Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ruangan ini tidak memiliki jendela, namun cahaya datang dari mana-mana. Dinding-dindingnya berwarna putih bersih, tanpa ornamen, hanya deretan kursi kayu sederhana yang berjajar rapi. Aku duduk di balik meja metal dengan sebuah komputer tua yang layarnya berkedip hijau.
Sudah berapa lama aku di sini? Waktu tidak berlalu seperti di tempat mereka. Mungkin seratus tahun, mungkin ribuan. Yang jelas aku masih ingat hari pertamaku, ketika Supervisor menjelaskan tugasku: melakukan rekonsiliasi data. Setiap jiwa yang kembali harus melalui prosedur ini. Kontrak mereka harus diverifikasi, laporan harus diperiksa.
"Setiap kehidupan adalah sebuah misi," kata Supervisor waktu itu. "Dan setiap kematian adalah laporan akhir."
Bell kecil berbunyi. Sesi baru dimulai.
Nomor: 0620-080925.
Perempuan tua berjalan pelan mendekatiku, langkahnya gemetar namun tatapannya teduh. Sistem menampilkan data: Maria Santosa, 73 tahun, kontrak selesai.
“Selamat datang kembali, Maria. Laporanmu sudah diterima,” sambutku, suaraku datar seperti biasa.
“Laporan apa?” tanyanya, suaranya dipenuhi kebingungan.
“Laporan tentang kehidupanmu,” jawabku.
“Kehidupanku? aku hanyalah seorang nenek tua yang menjalani hidup biasa,” bisiknya.
"Justru itu laporan yang sempurna. Tujuanmu adalah mencintai cucu pertamamu tanpa syarat, mengajarinya arti cinta dan kesabaran. Kamu melakukannya dengan sangat baik, Maria. Laporanmu diserahkan saat kamu mengantarkan cucumu sekolah untuk yang terakhir kalinya."
Maria terdiam, tatapannya menerawang jauh. Aku tahu ia mencoba mengingat, tapi tidak akan bisa. “Kamu tidak ingat karena 'laporan' itu adalah kesepakatan dari sebelum kamu dilahirkan. Tujuannya bukan untuk diingat, melainkan untuk dilakukan.”
Air mata menetes dari matanya, bukan karena sedih, melainkan karena kelegaan yang dalam. “Jadi, selesai?” tanyanya, suaranya serak.
"Ya, Maria. Sekarang, kamu bisa kembali ke tempat asalmu."
Aku melihat tubuhnya mulai memudar. Perlahan, seperti hembusan napas terakhir, ia berubah menjadi gumpalan kabut putih yang melayang dengan damai. Kabut itu naik, seolah ditarik oleh benang tak kasat mata menuju langit-langit, dan menghilang.
Nomor berikutnya: 0625-080925.
Kali ini yang datang bukanlah sosok manusia, melainkan gumpalan kabut berwarna pelangi yang berputar perlahan, setiap warnanya seperti melodi yang belum selesai. Aku tahu setiap warna itu adalah janji: tawa yang tidak terucap, tangisan yang tidak terdengar, dan cinta yang tidak pernah ia terima. Itu adalah wujud jiwa yang siap untuk hidup, tetapi tidak pernah memiliki kesempatan.
Sistemku tidak menunjukkan nama, tetapi kontraknya sudah dianggap selesai.
”Selamat datang kembali.”
Tidak ada suara, hanya getaran lembut yang penuh kebingungan.
"Jangan khawatir. Kamu sudah berhasil memenuhi tugasmu. Tugasmu adalah kembali."
Saat aku mengucapkan kalimat itu, getarannya berubah. Bukan lagi kebingungan, melainkan sebuah 'terima kasih' yang lembut, seolah ia merasakan cinta dari ibunya. Meskipun hanya sesaat, cinta itu cukup untuk menyelesaikan tugasnya, untuk kembali dengan damai. Getaran itu terasa seperti sebuah pelukan hangat, ucapan selamat tinggal, dan permintaan untuk tidak bersedih.
Nomor berikutnya: 0731-080925.
Paul Matthew, 32 tahun. Status: Laporan Tidak Lengkap.
Pria itu duduk gelisah, sering menoleh ke belakang seolah mencari jalan keluar. Wajahnya pucat, mata cekung, dan rambutnya kusut.
"Selamat datang kembali, Paul."
"Kembali? Kembali dari mana?" Suaranya bergetar. "Terakhir aku ingat, aku di apartemen, minum obat untuk tidur..."
Aku menghela napas. Kasus seperti ini selalu sulit. "Kontrakmu berlangsung 32 tahun, tapi misimu tidak selesai."
"Misi apa?"
"Belajar memaafkan dirimu sendiri."
Data di layar menunjukkan statistik yang menyedihkan Self-forgiveness 15%. "Kau menghabiskan seluruh hidupmu menyalahkan diri atas kecelakaan yang menimpa adikmu. Padahal tugasmu adalah memahami bahwa beberapa hal terjadi di luar kontrolmu."
Paul menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Tapi... aku yang menyuruh dia menyeberang..."
"Dia berusia 7 tahun dan kau 8 tahun. Kalian berdua anak-anak." Aku melembutkan suara. "Sistem menunjukkan bahwa kau hampir mencapai pemahaman itu di usia 28, saat kau mulai terapi. Tapi kau berhenti."
"Aku tidak bisa... rasa sakitnya terlalu besar..."
"Mau mencoba lagi? Kontrak baru, kehidupan baru, dengan beban yang sama tapi pengalaman yang berbeda?"
Paul diam lama. Akhirnya dia mengangguk. "Aku ingin mencoba."
Aku mengetik permohonan ke sistem pusat. Approved. "Kau akan lahir kembali, Paul. Kali ini, semoga kau menemukan jalan untuk mengampuni dirimu."
Tubuhnya tidak memudar menjadi cahaya, melainkan perlahan menjadi transparan sebelum menghilang seperti seseorang yang berjalan menjauh dalam kabut.
Nomor berikutnya: 1027-080925.
Namanya Luna. Laporannya tidak lengkap. Bahkan, lebih tidak lengkap dari Paul. Kontraknya terputus secara paksa. Aku menghela napas. Kasus seperti ini selalu paling sulit.
Sosok yang mendekatiku adalah seorang wanita muda, rambutnya kusut, matanya kosong, dan lehernya memiliki garis merah melingkar. Aura kesedihan yang pekat menyelimutinya, terasa dingin dan berat.
"Selamat datang kembali, Luna," sapaku, mencoba melembutkan suaraku.
Luna tidak menjawab. Matanya menatapku, tapi seolah menembusku, melihat ke suatu tempat yang jauh. Bibirnya bergetar.
"Kontrakmu baru berlangsung 19 tahun, Luna," kataku, dengan nada penyesalan yang tak bisa kusembunyikan. "Laporanmu terputus di tengah jalan. Tujuanmu adalah menemukan alasan untuk bertahan, untuk melihat bahwa setiap hari adalah sebuah kesempatan. Kamu tidak menyelesaikannya."
Mendengar itu, Luna tiba-tiba berteriak. Jeritan pilu yang memekakkan telinga, bukan dari suaranya melainkan dari kedalaman jiwanya. Cahaya yang samar di sekitarnya mulai meredup, digantikan oleh kegelapan yang menyebar. “Tidak! Aku... aku tidak bisa... aku tidak pantas...” katanya, suaranya putus-putus.
Aku menggelengkan kepala. “Kamu telah memilih untuk memutus kontrakmu sendiri, Luna. Bukan kami yang mengakhirinya.”
Seiring kata-kataku, tubuh Luna tidak memudar menjadi kabut putih atau pelangi. Sebaliknya, ia mulai mengecil dan mengkerut, cahayanya terkikis habis. Warna-warnanya lenyap, digantikan oleh bayangan gelap yang berputar-putar. Matanya yang kosong kini berkobar dengan nyala api penderitaan. Rohnya tidak melayang damai, melainkan jatuh ke lantai menjadi gumpalan kabut hitam pekat yang bergolak.
Kabut hitam itu tidak bergerak menuju tempat asalnya. Ia tidak kembali. Sebaliknya, ia mulai merayap, mencoba mencari celah, melarikan diri dari ruangan ini, dari takdirnya yang tidak selesai. Aku tahu apa artinya. Dia akan gentayangan, terikat pada dunia yang ia tinggalkan, mencari apa yang ia putuskan sendiri.
Sistem mengeluarkan suara berderit kecil, dan sebuah peringatan muncul di layar: "Status: Terikat. Menunggu Pembebasan." Itu adalah tugas yang akan berlangsung sangat lama.
Nomor berikutnya: 1111-080925.
Seorang pria tua bungkuk berjalan ke arahku. Tubuhnya terlihat rapuh, tetapi matanya memancarkan kedamaian dan kebijaksanaan yang tak terlukiskan. Butuh waktu baginya untuk sampai ke sini. Setiap langkahnya seolah melintasi seabad. Namanya Kakek Wiryo. Laporannya lengkap.
"Selamat datang kembali, Kakek Wiryo. Perjalananmu sangat panjang."
Ia tersenyum, wajahnya berkerut tapi terlihat damai. "Begitulah. Tugas yang mudah, tapi butuh waktu."
"Laporanmu sudah diterima," kataku. "Tujuanmu adalah untuk menjadi pilar bagi tiga generasi di keluargamu. Kamu melakukannya dengan sangat baik."
Kakek Wiryo mengangguk pelan. "Aku hanya ada untuk mereka. Menunggu mereka tumbuh, menjadi ayah dan ibu, dan melihat anak-anak mereka beranjak dewasa. Itu adalah satu-satunya tugasku."
"Kamu melihat cucu pertamamu lahir dan melihatnya menikah. Kamu bahkan sempat menggendong cicit pertamamu," kataku. "Saat kamu tertidur di kursi goyangmu, laporanmu sudah lengkap."
Kakek Wiryo menghela napas, seolah melepaskan semua beban waktu. "Aku sudah lelah," katanya, suaranya adalah bisikan angin yang lembut.
"Istirahatlah, Kakek Wiryo. Kamu bisa kembali sekarang."
Aku melihat tubuhnya memudar. Tidak secepat Maria, tidak juga sedingin jiwa yang tak terlahirkan. Perubahannya sangat perlahan, lapis demi lapis, seolah-olah setiap kerutan, setiap memori, kembali ke tempat asalnya. Akhirnya, yang tersisa hanyalah gumpalan kabut keemasan yang berkilauan seperti debu bintang yang melayang damai sebelum akhirnya menghilang.
Nomor berikutnya: 1212-080925.
Nama yang tertera adalah Rara. Kontraknya hanya berlangsung selama 19 tahun dan diakhiri secara dramatis, tapi laporannya lengkap.
Sosok gadis muda berjalan mendekatiku. Wajahnya dipenuhi goresan dan ada bekas debu di pakaiannya, seolah ia baru saja melarikan diri dari sebuah kehancuran. Namun, matanya memancarkan ketenangan yang aneh.
"Selamat datang kembali, Rara," sapaku.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya bergetar. "Kenapa... aku di sini?"
Aku menunjuk ke layar sistem. "Tujuanmu adalah untuk menyelamatkan satu jiwa, Rara. Dan kamu telah melakukannya."
Kebingungan merajai wajahnya. "Menyelamatkan? Aku tidak menyelamatkan siapa pun."
"Kamu menyelamatkan seorang anak kecil dari sebuah kecelakaan bus. Tepat saat bus itu menabrak lampu jalan yang rapuh. Kamu mendorongnya menjauh, dan kamu mengambil tempatnya." Aku mengucapkannya dengan lembut. "Di mata manusia, kamu adalah korban. Tapi di sini, kamu adalah pahlawan. Kamu menggenapi tujuanmu, Rara. Kamu menukar hidupmu untuk satu nyawa lain."
Rara terdiam, menunduk, mengingat momen-momen terakhirnya. Wajahnya perlahan berubah dari bingung menjadi sebuah pemahaman yang mendalam. Sebuah senyum tipis, damai, terukir di bibirnya.
"Jadi... ini dia," bisiknya.
"Ya, ini dia," jawabku. "Kamu bisa kembali sekarang. Laporanmu adalah salah satu yang paling sempurna."
Saat Rara mengangkat kepalanya, goresan di wajahnya mulai menghilang. Tubuhnya memudar menjadi gumpalan kabut yang bersinar terang, lebih terang dari kabut mana pun yang pernah kulihat. Ia melayang dengan cepat ke atas, seolah ditarik oleh cahaya yang sangat kuat. Itu adalah akhir yang indah.
Aku kembali menatap layar sistem, menunggu nomor berikutnya. Namun, layar itu kosong. Tidak ada nomor baru. Hanya ada satu kata yang berkedip di sana:
"Istirahat."
Aku bersandar di kursi, menatap ruangan yang sekarang kosong. Di balik pintu yang tidak pernah terbuka, aku tahu masih ada ribuan jiwa lain yang menunggu giliran, dengan laporan lengkap, tidak lengkap, atau terputus di tengah jalan. Dan aku akan tetap di sini, melakukan rekonsiliasi data karena itulah tugasku. Itulah kontrakku.