Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Halaman Pertama: Prequel Halaman Terakhir
1
Suka
155
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Nomor berikutnya: 0341-1201919.

Aku berjalan mendekati seorang petugas. Tampilannya begitu rapi, memancarkan cahaya lembut yang menenangkan. Rasanya seperti bertemu seorang teman lama yang sudah melihatku di saat-saat paling rapuh dan paling bahagia.

“Selamat datang kembali, Anna,” ucapnya, suaranya terdengar familier seperti melodi dari kehidupan yang sudah lama kulupakan.

Aku hanya tersenyum. Aku ingat, ini bukan kali pertamaku. Aku sudah cukup sering bertemu dengannya.

“Pusat memberikan penawaran untukmu,” katanya, tatapannya penuh arti. “Karena laporanmu sempurna, kau tidak harus kembali ke sana.”

Sebuah kelegaan yang dingin merayap di dadaku. Jujur saja, aku sudah sangat bosan berkali-kali hidup. Rasanya, semakin sering aku bereinkarnasi, semakin mudah pula aku menjalani hidup, seolah takdir hanyalah pola yang bisa kupecahkan. Aku ingat kehidupan ke-12, saat aku mati di usia 5 tahun karena kelaparan. Atau kehidupan ke-23, saat aku harus merawat ibu yang sakit selama 40 tahun. Semua itu hanya serangkaian misi yang sudah kulalui.

Aku mengangguk, tanpa ragu. “Aku mau.”

“Ada empat pekerjaan yang ditawarkan: pencipta misi, pemandu jiwa, arsiparis semesta, atau menjadi petugas rekonsiliasi data sepertiku,” jelasnya, suaranya mengalir tenang.

“Haruskah aku memilih sekarang?” tanyaku.

“Tidak. Kau bisa melihat prosesnya terlebih dahulu.”

“Baiklah. Akan kucoba.”

Tak lama kemudian, sebuah gumpalan putih muncul dan perlahan berubah menjadi seorang pria. Ia bertubuh tegap, dengan senyum ramah di wajahnya. “Halo, Anna. Aku Sam, dan aku akan jadi mentormu. Aku dulu juga sepertimu, lelah bereinkarnasi. Sudah 847 kali sebelum aku memutuskan bekerja di sini.”

Aku menyambut uluran tangannya. Kulitnya terasa hangat, seperti sentuhan pertama yang penuh harapan. “Halo, Sam. Senang bertemu denganmu.”

Dalam sekejap, Sam membawaku ke sebuah tempat. Ruangan itu dipenuhi meja, dan di sana, puluhan petugas sibuk menulis. Jemari mereka menari di atas sesuatu yang terasa seperti kulit yang sudah tua, menghasilkan bunyi ketukan ringan yang memenuhi udara. Aroma tinta dan debu memenuhi udara, mengingatkanku pada perpustakaan di kehidupan kesepuluhku.

“Ini tempat para pencipta misi,” Sam berbisik, membiarkanku mengamati. “Setiap takdir yang akan dijalani manusia berasal dari sini.”

Aku melihat salah satu petugas berhenti menulis, menatap tumpukan kertasnya dengan ekspresi lelah. “Bagaimana jika mereka keliru? Bagaimana jika setelah ribuan tahun ini, mereka masih salah jalan?” tanyaku, keraguan merayap di benakku.

Sam mengangguk. “Itu risiko yang harus kami ambil. Ini tugas berat. Setiap misi yang mereka ciptakan akan membentuk takdir seseorang. Mereka harus melakukannya dengan kebijaksanaan dan pemahaman yang mendalam tentang sifat manusia.”

Sambil berbicara, Sam memimpin kami naik, menembus lapisan-lapisan cahaya. Di setiap lapisan, aku melihat petugas-petugas yang menulis misi.

“Para pencipta misi dibagi menjadi beberapa kelas,” lanjut Sam. “Kelas satu merancang misi-misi sederhana. Kelas lima bertanggung jawab atas misi-misi yang lebih kompleks dan berlapis. Dan, kelas sepuluh ditugaskan untuk menciptakan misi yang paling penting dan sulit.”

Aku menelan ludah. Kelelahan yang kurasakan di bumi terasa sepele jika dibandingkan dengan beban yang mereka pikul. Tidak kusangka seberat ini.

“Ada yang ingin kau tanyakan?” Sam menatapku, seolah tahu pikiranku berkelana.

“Apakah takdir itu hanya ditulis lalu dijalankan? Maksudku, apakah tidak ada revisi?”

“Revisi selalu ada,” Sam mengangguk. “Setiap misi yang ditulis akan dikirim ke pusat. Jika disetujui, misi itu diberikan kepada roh. Jika tidak, pencipta misi harus merevisinya.”

“Mari, Anna, kita ke ruangan berikutnya,” ajak Sam, memberi isyarat agar kami melanjutkan perjalanan.

Aku merasakan badai lembut mengelilingiku, membawa kami ke tempat lain. Di sana, aku melihat banyak gumpalan putih yang terdiam, memancarkan cahaya redup, seolah-olah sedang melepaskan sesuatu yang berat. Udara di tempat itu terasa dingin, namun dipenuhi getaran lega. Aku bisa mendengar bisikan lembut di ruang itu, seperti bisikan kesedihan dan kelegaan yang dilepaskan secara bersamaan.

“Ini tempat pemulihan roh,” kata Sam, suaranya dipenuhi empati. “Jujur, aku lebih suka jadi arsiparis. Lebih tenang daripada menghadapi jiwa yang masih terguncang.”

“Apa maksudnya?” tanyaku.

“Roh yang pernah hidup pasti membawa luka dari bumi. Sebelum bereinkarnasi kembali, mereka harus pulih dan melepaskan semua beban emosional.”

Kami berpindah lagi. Kali ini, gumpalan putih itu mendengarkan presentasi seorang petugas yang berdiri di depan mereka.

“Di tempat ini, setiap roh mendapat sosialisasi tentang kelahiran mereka,” Sam berbisik, “Mereka akan membaca dan menandatangani kontrak.”

“Apakah mereka harus menyetujui setiap kontrak yang diajukan?”

“Tentu saja,” jawab Sam, matanya sedikit redup. “Di sini, mereka tidak bisa menolak. Tapi di bumi, mereka punya pilihan. Roh bisa mengubah kontrak, meski ada konsekuensi yang harus mereka tanggung.”

Kami berjalan lagi, menuju ruangan yang dipenuhi petugas yang terlihat seperti arsitek.

“Ini masih tempat para pemandu jiwa,” jelas Sam. “Selain mengurus kontrak, mereka juga bertugas memilih memori dari kehidupan sebelumnya. Tidak semua memori dihapus. Sebagian bisa menjadi firasat atau keahlian alami di kehidupan selanjutnya.”

Setelahnya, Sam mengantarku ke sebuah gerbang besar yang memancarkan cahaya keemasan. Dari sana, aku bisa melihat lorong panjang yang gelap.

“Ini tugas terakhir pemandu jiwa: mengantarkan roh yang akan dilahirkan,” Sam menatap gerbang itu, wajahnya serius.

Aku melihat seorang pemandu jiwa mengucapkan selamat tinggal, seolah mengantar seorang anak ke sekolah untuk pertama kalinya, dengan senyum dan harapan di wajah mereka. Momen itu menjadi perpisahan yang penuh makna, menegaskan bahwa mereka akan menunggu jiwa tersebut kembali, apa pun hasilnya.

“Mari, Anna, ini tempat selanjutnya,” ajak Sam.

Kami melangkah lagi dan memasuki sebuah perpustakaan yang amat sangat besar. Aku tidak mencium bau tinta atau debu, melainkan bau yang segar seperti setelah hujan.

“Menjadi arsiparis semesta adalah tugas yang rumit. Mereka harus mengarsipkan setiap laporan yang masuk, termasuk melindungi kenangan roh agar tidak hilang. Selain itu, mereka juga membantu memulihkan data dan membantu roh-roh yang terikat,” jelas Sam.

Di perpustakaan itu, aku melihat pin berbeda yang dikenakan beberapa petugas. “Apa arti pin itu?”

“Pin yang berbeda itu menandakan mereka konsultan sejarah. Mereka membantu pencipta misi dalam menyusun informasi,” jawab Sam.

“Ayo, Anna, ini tempat terakhir.”

Aku dan Sam kembali ke tempat awal, tempat para petugas rekonsiliasi data. Di sana, ada meja, komputer tua, dan deretan kursi. Ada sesuatu tentang ruangan ini yang membuatku tenang. Kursi-kursi kayu sederhana, meja metal, komputer tua yang berkedip hijau. Aku melihat seorang nenek berjalan gemetar menuju petugas. Ada sesuatu yang familiar tentang kesedihannya.

“Ini adalah tempat rekonsiliasi data,” kata Sam. “Roh yang baru meninggal harus melewati verifikasi dan penilaian laporan. Mereka juga mengurus pemulangan jiwa yang selesai dan pemrosesan ulang jiwa yang belum selesai, seperti mengirim jiwa untuk dilahirkan kembali atau memproses permohonan kontrak baru.”

Aku terdiam, membiarkan semua informasi meresap. Perjalanan ini membuatku merasa kecil, seolah keabadian yang sudah kujalani hanyalah setetes air di lautan luas.

Sam menatapku dengan tenang, memberi waktu bagiku untuk berpikir. “Jadi, Anna, tugas apa yang akan kamu pilih?”

Aku menatap keempat pintu di hadapanku. Masing-masing memancarkan cahaya berbeda. Kuning kehangatan untuk pemandu jiwa, biru kebijaksanaan untuk pencipta misi, hijau ketenangan untuk arsiparis, dan putih polos untuk rekonsiliasi data.

“Apa pun yang kupilih,” gumamku, “aku tidak akan pernah kembali ke sana lagi, kan?”

Sam mengangguk. “Tidak pernah.”

Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, aku tersenyum sungguh-sungguh.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Balada Sepasang Kekasih Gila
Han Gagas
Novel
Segaris Waktu dan Mimpi Tengah Hari
Handi Namire
Flash
Rangga
Affa Rain
Cerpen
Crown Thieves
FS Author
Cerpen
Halaman Pertama: Prequel Halaman Terakhir
Sekar Kinanthi
Novel
Dolce Latte
Jenn
Novel
SANG DUKUN
Ikhwanus Sobirin
Novel
Bronze
SATU-SATUNYA CINTA
KUMARA
Novel
Diary Alyssandria
dilahamid
Novel
Bronze
Violet Athalea
Bluerianzy
Flash
Bronze
Terus Terbang
Silvarani
Flash
Pulang Kampung Katanya
Johanes Gurning
Cerpen
Bronze
Konsultan Skripsi
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
Life of Nadia - Original Version
mr. putri
Novel
KESAYANGAN PAK ABRA
tutusrrahayu
Rekomendasi
Cerpen
Halaman Pertama: Prequel Halaman Terakhir
Sekar Kinanthi
Cerpen
Halaman Terakhir
Sekar Kinanthi
Cerpen
The Unseen Hand: Prolog
Sekar Kinanthi
Flash
77 Questions Before I Was Born
Sekar Kinanthi
Cerpen
Kereta Terakhir Menuju Rumah
Sekar Kinanthi
Flash
Di Balik Kamera
Sekar Kinanthi
Cerpen
Bunga (di Retakan Dinding)
Sekar Kinanthi
Flash
Rumah yang Retak
Sekar Kinanthi
Cerpen
Ketika Langit Salah Dengar
Sekar Kinanthi
Flash
Tirai Merah
Sekar Kinanthi
Flash
Kasus Terakhir Rissa
Sekar Kinanthi