Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ibuku tidak mengajariku cara menangis yang tenang. Ia juga tidak pernah memelukku saat aku gagal. Tapi ia pandai menyeterika seragamku setiap malam, memastikan lipatannya rapi walau hatiku berantakan.
Namaku Nara. Aku anak tunggal. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana di gang sempit kawasan Rawasari, Jakarta Pusat. Rumah kami tidak besar, hanya dua kamar tidur, ruang tamu mungil, dan dapur yang menyatu dengan kamar mandi di belakang. Halamannya hanya cukup untuk satu pohon mangga kecil dan jemuran. Di gang yang padat ini, suara sepeda motor, tangis bayi, atau obrolan ibu-ibu selalu terdengar, tetapi di rumah kami, ada keheningan yang menggantung seperti lampu neon yang redup.
Ayah meninggal saat aku kelas dua SMP, kecelakaan lalu lintas di Jalan Raya Bekasi ketika ia sedang mengantar paket sebagai kurir freelance untuk sebuah jasa logistik. Sepeda motor tua yang ia pakai tergelincir saat hujan deras dan truk besar dari arah berlawanan tak sempat menghindar. Ia hanya meninggalkan surat izin mengemudi, sebuah motor rusak dan sedikit uang tabungan yang habis untuk pemakaman. Sejak itu, Ibu berubah menjadi batu yang tabah. Keras, kokoh, tak bisa dipeluk.
Ibu bekerja sebagai penjahit rumahan. Ia menerima order dari tetangga sekitar baju seragam sekolah, kebaya pesta, atau kadang hanya sekadar memperpendek celana. Penghasilannya pas-pasan. Ketika permintaan banyak, dapur kami bisa tetap berasap. Tetapi kalau sepi, kami harus pandai-pandai menghemat. Ruang tamu sekaligus jadi tempat kerja Ibu, dengan mesin jahit tua warisan nenek, benang-benang kusut di rak dan manekin yang tertutup kain. Jahitan demi jahitan bukan hanya menyambung kain, tapi juga menyambung hidup kami. Setelah Ayah pergi, Ibu mengambil alih semua peran. Ia tidak pernah mengeluh, setidaknya tidak di hadapanku. Tetapi aku tahu tubuhnya lelah. Matanya selalu merah, dan punggungnya mulai bungkuk karena terlalu sering duduk menjahit.
Aku bersekolah di SMA Negeri 30 Jakarta. Sekolah negeri memang tidak memungut biaya, tetapi ada kebutuhan lain: seragam ekskul, buku latihan, iuran kegiatan, bimbingan belajar tambahan. Untungnya aku terdaftar sebagai penerima KJP. Dari dana itu, aku bisa membeli alat tulis, membayar kegiatan sekolah dan kadang menyisihkan sedikit untuk membeli kebutuhan Ibu. Uang saku harian yang kudapat dari program itu kadang tak kugunakan penuh untuk sekolah. Aku sisihkan untuk membeli beras atau minyak goreng, sesuatu yang membuat Ibu bisa sedikit bernapas lega.
Setiap sore, aku menjadi guru les privat bagi anak-anak kelas 2 dan 3 SD di sekitar rumah. Lima ribu rupiah per sesi. Tidak banyak, tetapi cukup untuk menambah isi kartu transportasi elektronikku, membeli sabun atau kebutuhan sekolah mendesak. Aku juga kadang membantu ibu warung di ujung gang menata rak minuman atau menulis daftar stok barang. Dari RT, aku termasuk dalam daftar keluarga tidak mampu dan mendapat bantuan dana kesejahteraan tiap beberapa bulan. Sedikit, tapi berarti.
Kami pernah hidup dari sisa-sisa harapan. Saat listrik hampir diputus karena menunggak, Ibu menyuruhku belajar di teras dengan senter kecil. Kami pernah makan nasi dengan garam dan minyak karena pesanan jahitan belum dibayar. Tetapi Ibu selalu berkata, “Orang miskin bukan yang tidak punya uang, tetapi yang menyerah tanpa berjuang.”
“Ibu capek?” pernah kutanya suatu malam saat ia mengeluh nyeri punggung karena terlalu lama duduk.
Ia hanya menjawab, “Kalau kita berhenti sekarang, besok kita makan pakai apa?”
Aku tidak menjawab. Hanya menatap tangan tuanya yang kapalan dan pundaknya yang mulai membungkuk.
Tiga bulan lalu, Ibu jatuh di kamar mandi. Stroke ringan, kata dokter di Puskesmas Rawasari. Beruntung kami memiliki BPJS. Prosedur memang panjang dan berlapis, tetapi tanpa itu, kami takkan mampu membiayai pengobatannya. Sejak itu, Ibu hanya bisa duduk, berbicara pelan dan kadang kehilangan arah pandang.
Aku tidak pindah sekolah. Tidak ada cuti untuk pelajar SMA di Jakarta. Tetapi aku mengatur ulang hidup. Setiap pagi, aku bangun pukul lima, menyiapkan makanan untuk Ibu, mengecek popoknya, lalu menitipkan Ibu pada Bu Imah, tetangga sebelah rumah yang sesekali bergantian menjaga. Sepulang sekolah, aku langsung pulang, menyuapi Ibu, lalu belajar atau mengerjakan les privat. Hidupku adalah rotasi yang melelahkan, tetapi aku tidak punya pilihan lain.
Aku mulai mencatat semua pengeluaran di buku kecil. Setiap rupiah penting. Kadang aku menahan diri membeli jajanan di kantin agar bisa membawa pulang roti untuk Ibu. Teman-temanku bercerita soal liburan, sepatu baru, atau ikut bimbel ternama. Aku hanya tersenyum, lalu mencatat soal matematika di buku robekku.
Hari-hariku berlalu dalam ritme yang pelan dan sunyi. Aku tidak punya banyak teman dekat. Aku bukan siswi yang aktif di organisasi. Tetapi aku tahu aku sedang menjalani sesuatu yang lebih besar dari nilai ujian atau kegiatan OSIS.
Suatu malam, ketika sedang membereskan laci di kamar Ibu, aku menemukan sebuah buku catatan tua. Di dalamnya, tulisan tangan Ibu, bergetar dan tidak rapi:
"Kalau aku mati besok, Nara tidak akan pernah tahu bahwa aku bangga padanya, walau aku tak pandai bilang langsung."
Tanganku gemetar membalik halaman berikutnya.
"Setiap kali aku marah, itu karena aku takut. Takut dia tumbuh terlalu manja, terlalu rapuh. Aku tidak tahu cara mencintai dengan lembut. Aku menyalin dari caraku dibesarkan."
Air mata yang selama ini kutahan, akhirnya pecah. Ibu... ternyata kamu juga belajar mencinta.
Esok paginya, aku menyeduh teh seperti biasa. Tetapi kali ini, aku tambahkan dua sendok gula, seperti kesukaan Ibu dulu. Ia mencicipinya perlahan. Tatapannya samar, tetapi penuh pengakuan.
“Kamu letih?” suaranya pelan.
Aku mengangguk. “Tetapi aku tidak menyerah, Bu. Sama seperti yang Ibu ajarkan.”
Ia menatapku, lama. “Maafkan ibu ya, Ra...”
Tiga kata. Tetapi seperti hujan pertama setelah musim panjang. Tak perlu sempurna. Hanya cukup.
Hari-hari berikutnya kami habiskan lebih banyak di teras. Aku menyisir rambut Ibu, membacakan surat kabar, atau hanya duduk mendengarkan radio. Ia tak banyak bicara, tetapi genggaman tangannya lebih sering hadir. Kadang kami hanya memandangi langit sore yang menguning dan itu sudah cukup untuk membuatku merasa ada.
Suatu sore, ia bertanya pelan, “Nara, kamu masih ingat boneka kelinci pink yang Ibu bilang hilang di jemuran?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya, yang bikin aku nangis seminggu?”
Ia tertawa kecil. “Sebenarnya nggak hilang. Ibu sembunyikan. Takut kamu terlalu sayang dan lupa belajar.”
Aku menggenggam tangannya. “Nggak apa-apa, Bu. Itu juga bentuk cinta, kan?”
Dan untuk pertama kalinya, Ibu tidak menarik tangannya saat kugenggam. Ia membiarkannya diam di sana. Hangat. Nyata.
Malam itu, aku menulis di buku catatan baruku. Bukan soal sekolah. Bukan soal ranking. Tetapi soal kehidupan yang selama ini kulalui. Tentang ibu yang tak pandai memeluk tetapi tahu caranya bertahan. Tentang cinta yang hadir dalam diam, dalam usaha, dalam tangan yang selalu menyiapkan seragam sekolahku, walau tubuhnya menggigil.
Itu hal yang tidak pernah kupelajari dari Ibu. Tetapi kini, aku tahu: itu adalah pelajaran paling penting dari semuanya.