Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ruang guru itu pengap oleh bau kopi sachet, kertas lama, dan bisik-bisik yang tak pernah benar-benar mati. Di sudut ruangan, Bu Laras Astuti duduk dengan punggung tegak, menelusuri daftar nilai muridnya satu per satu. Tidak ada yang istimewa dari penampilannya hari itu—blus polos, jilbab abu-abu, dan wajah lelah yang tak sempat disentuh bedak. Tapi sorot matanya tajam, seperti mata seorang penjaga gerbang yang tahu siapa saja yang mencoba masuk tanpa izin.
"Bu Laras..."
Suara itu datang dari pintu. Seorang ibu dengan riasan berlebihan dan tas mahal melangkah masuk dengan senyum menggantung. "Saya ibu dari Kevin. Maaf mengganggu. Saya cuma mau titip ini saja."
Tangannya menyodorkan amplop cokelat.
"Untuk apa, Bu?" tanya Bu Laras, datar.
"Ah, ya ampun... anggap saja sebagai ucapan terima kasih. Kevin kan pengin banget masuk kelas unggulan. Saya tahu Bu Laras punya pengaruh dalam penentuan itu..."
Bu Laras menatap amplop itu, lalu menatap sang ibu. Diam. Sunyi sejenak mengambang di antara mereka.
"Ibu," katanya akhirnya, pelan namun tegas. "Saya guru, bukan makelar kursi."
Wajah sang ibu berubah. Senyum manisnya memudar jadi datar, nyaris marah.
"Semua orang juga sudah tahu cara mainnya, Bu. Ibu cuma perlu ikut arus saja. Lagipula, buat kebaikan anak-anak juga, kan?"
"Mendidik anak dengan cara kotor bukan kebaikan, Bu. Itu cara halus mengajarkan mereka jadi penipu sejak dini."
Sang ibu menarik napas kesal. Amplop itu ditariknya kembali, tapi sebelum pergi, ia sempat melontarkan kalimat menggantung, "Jangan terlalu ...