Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
GUNUNG SIBAYAK
1
Suka
31
Dibaca

Kabut tipis menari di antara pepohonan pinus ketika Rafi, Dimas, dan Sinta turun dari angkot di persimpangan Berastagi. Udara dingin langsung menyambut, menelusup ke kulit mereka yang belum terbiasa. Pagi itu, langit masih abu-abu muda, seolah matahari enggan menampakkan diri.

“Serius kalian masih mau naik?” tanya Sinta sambil merapatkan jaket birunya. Napasnya tampak dari uap dingin yang keluar dari mulut.

Rafi tersenyum tipis. “Kita sudah rencanakan ini dari sebulan lalu, Sin. Nggak mungkin batal cuma karena kabut.”

Dimas, yang paling tinggi di antara mereka, hanya menepuk bahu Sinta sambil menenteng ranselnya. “Tenang aja, Gunung Sibayak bukan gunung pertama yang kita daki. Lagian, pemandangannya katanya luar biasa.”

Mereka bertiga adalah teman satu kampus yang punya kesamaan aneh: selalu mencari petualangan di sela kesibukan kuliah. Rafi, si tenang tapi nekat. Dimas, kuat dan sedikit humoris. Dan Sinta, satu-satunya perempuan di tim kecil mereka, yang lebih sering jadi suara logika di antara dua orang gila petualangan itu.

Tujuan mereka sederhana: menaklukkan puncak Sibayak, menikmati matahari terbit, lalu turun sebelum sore. Tapi seperti kebanyakan cerita di gunung, kenyataan jarang sesederhana rencana.

---

Perjalanan Naik

Langkah mereka dimulai dari jalur sempit yang menanjak pelan, dihiasi akar pohon besar dan bebatuan licin. Kabut mulai menebal, membuat jarak pandang tak lebih dari lima meter. Suara serangga dan burung samar-samar terdengar di antara desir angin.

“Rafi, yakin ini jalurnya?” tanya Dimas setelah setengah jam berjalan.

Rafi membuka peta di ponselnya. “Iya, harusnya ini jalur menuju pos pertama. Cuma sinyalnya hilang, jadi agak lambat.”

Sinta menghela napas panjang. “Aku cuma berharap kita nggak tersesat.”

Mereka terus berjalan. Di beberapa titik, jalur menanjak curam, memaksa mereka berpegangan pada akar atau batu. Meski sulit, suasana tetap hangat dengan obrolan kecil dan canda ringan.

Namun, satu jam kemudian, kabut berubah semakin pekat. Udara makin dingin. Suara gemuruh samar terdengar dari kejauhan—seperti sesuatu yang meledak perlahan.

“Itu suara apa?” Sinta berhenti, wajahnya tegang.

“Kayaknya aktivitas kawah. Sibayak kan masih aktif, cuma aman buat pendaki,” jawab Dimas mencoba menenangkan, meski matanya ikut mencari arah suara.

Rafi diam. Ia menatap langit yang gelap—awan menggulung, tanda hujan mungkin datang lebih cepat dari perkiraan.

---

Kehilangan Jalur

Hujan turun tiba-tiba, deras. Jalur tanah berubah licin, membuat langkah mereka sering tergelincir. Dalam kekacauan itu, Dimas yang berjalan paling depan tiba-tiba berhenti.

“Raf, Sin! Nih lihat, jalurnya bercabang dua!”

Di depan mereka memang ada dua jalan: satu menanjak ke kiri, satu menurun ke kanan. Tak ada papan penunjuk arah.

Rafi mencoba membuka GPS, tapi sinyal benar-benar mati. “Sial…” gumamnya.

Sinta menarik napas. “Kalau lihat arah mata angin, jalur kiri kayaknya ke puncak. Tapi terlalu curam.”

Dimas mengamati tanah. “Yang kanan kelihatan sering dilalui orang.”

Mereka berdiskusi singkat dan akhirnya memutuskan mengambil jalur kanan. Tapi baru lima belas menit berjalan, jalur itu justru semakin sempit, menurun ke lembah kecil, dan berakhir di tepi jurang dangkal dengan aliran air kecil.

“Kayaknya kita salah arah,” ucap Sinta lirih.

Rafi menatap sekeliling, mencoba menenangkan diri. “Kita istirahat dulu di sini. Tunggu hujan reda, baru naik lagi.”

Mereka bertiga duduk di bawah batu besar, membuka bekal roti dan air. Sinta tampak cemas, tapi Dimas mencoba bercanda.

“Paling parah, nanti kita buka tenda di sini, terus lihat bintang malam ini.”

Rafi tertawa kecil, tapi dalam hatinya ia tahu mereka harus segera kembali ke jalur utama sebelum gelap.

---

Suara dari Kabut

Sore menjelang, hujan mereda, tapi kabut belum pergi. Saat mereka mulai bersiap naik kembali, Sinta tiba-tiba menghentikan langkahnya.

“Kalian denger nggak?” bisiknya.

Rafi menajamkan telinga. Dari arah hutan terdengar suara samar—seperti orang memanggil.

“...Tolong...”

Dimas spontan menoleh. “Itu suara orang?”

Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. “Tolong… di sini…”

Tanpa pikir panjang, Dimas langsung melangkah ke arah suara, tapi Rafi menahannya. “Jangan dulu, kabutnya tebal banget! Bisa bahaya.”

“Tapi itu manusia, Raf! Kita nggak bisa diam aja!” balas Dimas keras.

Akhirnya mereka bertiga memutuskan mencari sumber suara itu dengan hati-hati. Langkah demi langkah menembus kabut, hingga mereka tiba di sebuah area terbuka—ada jurang kecil di sisi kiri dan pohon tumbang di depan.

Di sana, mereka melihat sesosok pria tua duduk bersandar di batu, dengan kaki terkilir.

“Pak! Bapak kenapa?” seru Sinta berlari mendekat.

Pria itu tampak pucat, tapi masih sadar. “Saya… tersesat… sejak pagi. Terjatuh waktu hujan.”

Dimas membantu mengangkatnya ke tempat yang lebih aman. Mereka memberi air dan sedikit makanan.

Rafi memeriksa kakinya. “Nggak patah, cuma keseleo. Tapi kita harus segera bawa beliau turun.”

Namun langit semakin gelap. Jalur hampir tak terlihat. Akhirnya mereka sepakat bermalam di situ dan turun besok pagi.

---

Malam di Lereng Sibayak

Mereka mendirikan tenda seadanya. Angin malam berhembus membawa aroma belerang samar dari kawah. Api kecil mereka nyalakan dari kayu lembab, cukup untuk menghangatkan tubuh.

Pria tua itu memperkenalkan diri, “Nama saya Pak Surya. Saya naik sendirian, ingin lihat kawah. Tapi jalur licin, jatuh, dan ponsel saya rusak.”

Rafi mengangguk. “Untung kami dengar suara Bapak.”

Pak Surya tersenyum lemah. “Gunung ini memang indah, tapi juga misterius. Banyak yang bilang, kalau kabut turun terlalu cepat, berarti penjaga gunung sedang marah.”

Sinta menatap Rafi dengan ekspresi cemas. Ia tidak suka hal-hal mistis, tapi ucapan itu membuat bulu kuduknya berdiri.

Malam itu, mereka tidur bergantian berjaga. Sekitar tengah malam, Sinta yang sedang jaga mendengar suara langkah di luar tenda. Ia menahan napas.

“Rafi… Dimas…” bisiknya pelan.

Dimas keluar perlahan sambil membawa senter. Tapi tak ada siapa-siapa—hanya kabut yang bergerak seperti bayangan.

“Mungkin cuma hewan,” kata Dimas, tapi suaranya terdengar ragu. Mereka kembali ke dalam tenda, berusaha tidur sambil menahan rasa tidak nyaman.

---

Pagi dan Puncak

Pagi datang perlahan, membawa cahaya keemasan yang menembus kabut. Setelah membantu Pak Surya berdiri, mereka bertiga mulai berjalan turun, mengikuti arah suara air dari sungai kecil.

Namun di tengah perjalanan, Rafi berhenti. “Tunggu. Lihat itu.”

Dari celah pepohonan, mereka melihat jalur batu berpapan kayu bertuliskan “Arah Puncak Sibayak.”

Ternyata mereka tidak jauh dari jalur utama!

Sinta tertawa lega. “Ya ampun, semalam kita cuma beberapa ratus meter dari jalur pendaki!”

Dimas menatap puncak yang mulai terlihat di kejauhan. “Gimana, naik sebentar aja? Biar nggak sia-sia.”

Rafi menatap Sinta, lalu Pak Surya.

Pak Surya tersenyum. “Pergilah. Aku tunggu di sini, sudah cukup bisa jalan pelan.”

Akhirnya mereka bertiga naik menuju puncak. Langit mulai cerah, kabut tersibak perlahan, menampakkan kawah berasap putih dan panorama kota Berastagi di kejauhan.

Sinta berdiri di tepi kawah, matanya berbinar. “Kita berhasil…”

Rafi tersenyum, lalu berkata pelan, “Kadang gunung cuma ingin tahu seberapa kuat kita bertahan.”

Dimas menepuk bahunya. “Dan seberapa besar kita berani membantu orang lain.”

Mereka bertiga tertawa kecil, menikmati udara hangat matahari pagi. Dari kejauhan, suara burung bersahutan—seolah Gunung Sibayak ikut menyapa.

Hari itu, bukan hanya tentang mencapai puncak. Tapi tentang bertahan, menolong, dan belajar bahwa setiap perjalanan menyimpan ujian yang tak selalu terlihat.

Dan di antara kabut tipis yang mulai menari kembali, mereka meninggalkan puncak Sibayak dengan hati yang lebih hangat dari sebelumnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
AKU MELIHAT NAGA MENARI KEMUDIAN MATI
Rian Widagdo
Cerpen
GUNUNG SIBAYAK
farant c.n. pardosi
Novel
Bronze
Terjebak Pacar Posesif
Nona Adilau
Skrip Film
Potret Arunika
Mutiara Cahyani
Flash
Bronze
Menimang Senja
Arianto Pambudi
Cerpen
Mau Pulang
Anisah Ani06
Novel
Memories
Nany Parker
Skrip Film
Harumi
Gyul
Flash
Dokter Spesialis Kandungan
Luca Scofish
Flash
Iri hati
Cahaya HusMa
Novel
From the heart
Annisa Ramayanti
Novel
Anak Kencing
Zangi al'Fayoum
Skrip Film
Diary untuk Arland (Script)
Rika Kurnia
Cerpen
Bronze
Pemuda Pemburu Sunyi, Tiga Kucing dan Seekor Kelabang
Titin Widyawati
Novel
My Old Story
arina winter
Rekomendasi
Cerpen
GUNUNG SIBAYAK
farant c.n. pardosi