Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi masih berselimut kabut, Adi, Tim dan Putra sudah selesai menurunkan semua carrier dari sebuah angkutan desa. Sementara aku dan Deny menuju rumah sederhana persis di depan sebuah pabrik teh yang sudah cukup tua, untuk menemui pak Yadi, juru kunci gunung Dempo. Beliau adalah pria paruh baya, ramah dan bersuara berat. Kami disambut dengan hangat bahkan jabat tangan erat dan senyum di bibirnya, membuatku merasa dekat. Seakan kami sudah pernah bertemu sebelumnya, tapi entah di mana. Pak Yadi mengarahkan langkah kami menuju balai bambu, persis di sebelah rumahnya. Sambil menuangkan teh di cangkir-cangkir tanah, beliau mempersilakan kami minum. Di tengah perbincangan, beberapa kali helaan nafas terdengar, bersamaan dengan kepulan asap rokok kreteknya yang terbakar renyah.
Tidak banyak petunjuk yang didapat, entah karena keengganan untuk membicarakan pendakian atau rasa antusias kami terlalu besar sehingga tidak dapat mencerna kalimat pak Yadi dengan baik. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya karena rasa penasaran yang menggelitik,
“Pak... kami dengar ada mahasiswa hilang di pendakian, hingga sekarang jasadnya tidak pernah ditemukan meskipun tim SAR dan kelompok MAPALA sudah melakukan pencarian secara intensif."
Pak Yadi memandang kami satu per satu dengan raut wajah tegas. Dengan nada suara yang tinggi beliau memperingatkan kami agar tidak bicara sembarangan dan sesumbar. Bahkan jika melihat atau mendengar hal ganjil sekalipun kami dilarang berkomentar.
“Sudah, sekarang semua istirahat saja, besok mulailah pendakian dari kampung 4.”
-000-
Pagi yang memanjakan mata, hamparan kebun teh terlihat begitu indah. Segarnya udara pagi nyaris tidak ada partikel debu yang terendus oleh indera penciumanku. Setelah berpamitan kepada pak Yadi, kami memulai pendakian. Bisa dikatakan kami hanya bermodalkan nekat, karena mendaki tanpa membawa peta.
Jika dilihat lagi, kami tidak tampak sebagai pendaki. Hanya mirip pelancong yang sedang berjalan pagi menikmati kekayaan alam yang diciptakan sang Khalik.
Hanya mengenakan kaos lengan panjang, celana kargo pendek selutut dan sandal selop karet yang mirip sandal hotel, kami memulai petualangan. Belum lagi tenda yang dibawa hanya tenda pramuka berukuran medium, alih-alih tenda doom. Sungguh pendaki amatir yang buta akan medan pegunungan dan sama sekali tidak mengerti cuaca.
Matahari belum juga tinggi, Kami sudah tiba di pintu Rimba. Perjalanan yang melelahkan sekaligus menyenangkan. Bagaimana tidak, menempuh jalan berbatu, terjal dan curam. Tapi mata kami juga dimanjakan dengan hamparan kebun sayur dan teh.
Spot pertama, kami dapat melihat pemandangan langit yang mulai tertutup dengan hijaunya daun pepohonan yang berdahan putih. Parit hutan yang sempit dan licin menjadi jalur utama pendakian. Kami melanjutkan perjalanan dengan menapaki parit hutan secara perlahan karena lantai hutan masih basah diterpa kabut siang.
Berulang kali Putra tergelincir karena alas kakinya tidak cukup kasar untuk menahan licinnya permukaan parit hutan yang sempit. Tim pun mengalami kesulitan dengan carrier menjulang yang disandangnya. Berkali-kali dia terjatuh ke belakang karena postur badannya yang tinggi, hingga carriernya tersangkut di pohon mati yang melintang di parit. Lain halnya denganku dan Deny, kami hampir selalu terantuk saat merunduk di bawah pohon mati.
Satu-satunya yang dapat mengatasi segala rintangan adalah Adi. Dengan tubuh kecil dan atletisnya, dia mampu bergerak cepat, melompat dan mengelak dari penghalang. Dengan gesit dia mengelak layaknya pendekar, meski dengan beban carrier yang sangat berat. Saat ini aku hanya bisa merasakan keringat mengucur deras membasahi punggung.
“ Kita istirahat sebentar, aku haus," suara Tim terdengar serak.
“Iya, aku juga sudah kelelahan, liurku sudah mengental rasanya,” timpal Deny.
Ada tempat yang agak landai, tapi tampak sekitarnya sudah dijamah peladang. Tanpa disadari, kami pun tiba di Shelter 1, spot ke 2 setelah Pintu Rimba. Kami memutuskan beristirahat sejenak dan mulai membuka tumbler masing-masing. Sambil mengatur nafas, aku memandang sekitar, nampak sebuah jurang di samping kiri tempat kami duduk. Ada setapak sempit yang tertutup tanaman pakis hijau, nampak tunas mudanya masih tergulung. Terdengar juga sayup gemercik air dari kejauhan dan kicau riuh beberapa burung hutan. Begitu sejuk, tenang dan mendamaikan.
“Persediaan air kita masih cukup?” tanyaku sambil melangkah ke arah setapak sempit itu.
“Masih cukup, kau tak perlu turun ke sana untuk mengambil air,” larang Putra.
Merasa tenaga kami sudah pulih, Tim mengajak kami semua untuk kembali melanjutkan pendakian. Hal yang dikhawatirkan adalah saat hari mulai gelap dan kami belum mencapai puncak. Kami pun segera bergegas mengangkat carrier masing-masing, dan membawa serta sampah plastik makanan ringan bekas kami makan. Bagaimanapun, kami termasuk pecinta lingkungan yang tidak ingin melihat bumi yang ditinggali keracunan karena sampah.
Kurang lebih satu jam perjalanan dari Shelter 1, kami berhadapan dengan jalur vertikal yang memiliki kemiringan nyaris 90 derajat. Sebuah jalur licin yang sering disebut para pendaki sebagai "dinding lemari". Tempat ini tidak memberikan pilihan pada para pendaki untuk berjalan beriringan. Putra menyarankan agar Adi duluan dan meninggalkan carriernya di bawah. Rencananya nanti semua carrier akan diangkat secara estafet menggunakan tali. Setelah Adi tiba di puncak "dinding lemari", Deny kemudian menyusul.
Tim, aku dan Putra, secara bergiliran merayap di "dinding lemari". Hanya dengan berpegangan akar pohon dan dahan yang menjuntai di bibir tebing vertikal, kami telah memulai petualangan yang membahayakan nyawa.
Ternyata sudah cukup jauh kami berjalan dari "Dinding Lemari", nafas kami pun sudah pendek-pendek, terasa mencekik leher. Meskipun keringat membasahi pakaian yang dikenakan, tetapi iklim gunung yang sejuk masih berpihak kepada kami. Tidak ada bau badan yang keluar meskipun keringat membanjiri tubuh, hanya uap dari hidung dan mulut yang tampak mengepul hebat.
“Ada tempat landai di depan, mungkin itu Shelter 2, mari kita berhenti sebentar di sana,” ajak Adi.
Semua sudah sangat kelelahan. Tanpa memperhatikan sekitar, Tim langsung merobohkan tubuhnya pada tumpukan dedaunan di lantai hutan. Putra masih sempat meletakkan carrier dan menjadikannya sandaran. Sementara aku dan Deny saling bertolak punggung untuk bersandar.
Sambil beristirahat kami mulai membuka bekal dan sesegera mungkin menghabiskan makanan. Di ujung waktu istirahat, tiba-tiba suasana menjadi gelap dan lembab. Sudah dapat ditebak, hujan deras mengguyur disertai kabut tebal melintas di sela-sela pepohonan. Kami mencari tempat berteduh, setidaknya untuk menjaga tubuh tetap kering. Adi dan Tim menuju pojok dataran landai, sedikit lebih jauh dari teman-teman yang lain. Entah apa yang terjadi, secara tiba-tiba Adi meloncat ke semak lebat di tepi pojokan tersebut. Dengan cepat Tim menahannya, persis di kerah jaket Adi tangan kiri Tim mencengkeram kuat.
“Apa yang kamu lakukan!?" teriak Tim sambil melempar Adi kembali ke tempat aman.
Aku, Deny dan Putra terkejut dengan kejadian itu. Hujan sempat berhenti sesaat, kabut tebal juga mulai pergi berganti bias sinar matahari yang menabrak sela-sela pohon. Sementara yang lain menenangkan Adi, aku memberanikan diri untuk menyingkap semak belukar tadi, betapa terkejutnya. Persis di belakang semak tersebut menganga jurang yang curam, dengan bebatuan tajam di dasarnya, bisa diperkirakan kurang lebih 20 meter dalamnya. Apa yang akan terjadi pada Adi jika sedetik saja Tim telat menangkapnya.
Saat kami berkumpul, Adi menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia melihat kami semua berlarian dan melompat ke dalam semak itu. Entah terhipnotis atau gerak refleks, Adi pun ikut melompat ke sana. Meskipun hati bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, tetapi semua lega Adi masih dapat diselamatkan.
“Waktu istirahat sudah cukup, hujan juga sudah berhenti, ayo lekas kita lanjutkan perjalanan,” perintah Tim.
Langkah kami masih tertatih dan gemetar meninggalkan tempat itu. Aku masih mengamati sekeliling karena merasa ada yang sedang mengawasi. Sambil memandang sekitar, kami menyadari bahwa benar, tempat kami berdiri adalah Shelter 2, karena nampak aliran air dari sebuah mata air yang terletak tidak jauh dari bibir tebing yang kami lalui.
Tepat di atas dahan pohon, di tepi setapak menuju mata air, nampaklah seekor burung hitam kumbang, bermata merah yang terus memperhatikan gerak-gerikku. Disaat yang bersamaan kuhentikan langkah, tanpa sadar aku telah tertinggal dari teman-teman yang lain. Aku sempat terdiam dan menatap kosong ke arah burung itu. Berjinjit dan melompat kecil, makhluk itu pun mendekatiku. Ujung-ujung sayapnya memudar seperti tinta di dalam air, kepalanya mulai menunduk dengan punggung yang semakin naik, seolah ada sesuatu yang akan menyembul dan mematahkan rusuknya. Tubuh burung itu berdenyut dan semakin membesar.
Tiba-tiba tepukan Deny di pundak membuatku tersadar, seperti baru tersentak dari lamunan.
“Ayo kita lanjutkan perjalanan, jangan teralihkan,” ujar Deny yang kembali saat sadar diriku tidak berjalan di belakangnya.
Aku tidak menyadari apa yang baru saja kualami, namun Deny menceritakan bahwa dirinya melihatku terpaku sambil melangkah pelan ke arah bibir tebing, berteriak ke arahku pun tidak ada gunanya karena aku tidak merespon. Apa yang kulihat nampaknya tidak dilihat oleh orang lain.
“Dari atas terlihat air sungai mengalir melalui celah dua buah batu besar yang saling berimpit,” terang Deny kepadaku.
Aku hanya mengangguk dan berusaha keras untuk fokus agar tidak teralihkan lagi. Namun, dalam hatiku terus bergumam.
“Inikah Sungai Batu Gajah yang dimaksud para pendaki? Misterius dan sarat akan mistis yang sulit dijelaskan dengan akal sehatku. Dimensi pemisah dunia manusia dan dunia astral hanyalah setipis kata-kata.”