Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ibu!!!! Kucing Kak Gunung masuk kamar aku lagi nih!!” teriak Haura ketakutan sampai naik ke sofa kamarnya. Kini kucingnya berada di atas kasurnya, “Husss! Husss!” Haura berusaha membuat kucing itu turun dari selimut kesayangannya.
Crek! Bukan Ibunya yang datang, melainkan sang pemilik kucing yang masuk. Lelaki berambut gondrong itu masuk dengan wajah datar dengan senyum janggalnya berbicara dengan nada sok imut, “Honey... Orenji.. aku cariin kamu semalaman ternyata kamu di sini. Jahat ya kamu ninggalin aku,” Gunung menciumi kucingnya itu dan malah asyik bermesraan di atas kasur Haura.
Haura yang kesal melihat tingkah kakaknya hanya melempari bantal kecil sofanya, “Aku nggak mau tahu, pokok kakak harus cuci seperangkat alat tidur aku!” ucap Haura yang langsung melangkah gontai meninggalkan kamarnya.
Haura kemudian menghampiri Ibunya yang sedang memasak bakwan di dapur. “Sudah jangan cemberut lagi ya, sayang. Kamu harus mengerti kakakmu,” kata ibunya sambil mengusap lembut kepala Haura.
Meski kesal Haura masih menikmati cemilan paginya, “Tapi bu, Kak Gunung tuh sudah keterlaluan. Minggu pagiku hancur hari ini. Pokoknya kalau sekali lagi kucingnya masuk ke kamarku, aku mau pergi aja dari rumah.”
“Yaudah, lo pergi aja dari sini. Salah apa sih kucing gue sama lo, lo benci banget kayaknya sama kucing gue,” ucap Gunung yang langsung nimbrung percakapan antara Haura dan Ibu.
“Aku harus bilang berapa kali sih ke kakak? Aku bukan benci sama kucing, tapi aku takut. Coba kakak ingat-ingat lagi, kalau aku belanja di luar, aku sempetin juga beli makanan kucing, kan? Waktu kakak ngerantau terus kehabisan uang, aku pikir untuk kakak makan, taunya untuk beli makanan kucing. Apa akau marah? Enggak, kan? Aku terus bantu kakak buat ngerawat kucing itu. Cuma bedanya, aku takut.”
“Intinya sama aja. Lo jijik sama kucing gue,” jawab Gunung lagi.
Haura teriak gemas. Ibunya lalu memberi kode dengan wajahnya menyuruh Haura pergi dari meja makan itu. Haura menurut sambil memasang muka cemberut. Ibunya hanya tersenyum melihat tingkah kedua anaknya yang seringkali bertengkar. Tapi sangat terlihat jelas bahwa keadaan itu adalah hal indah yang mewarnai rumah itu.
* * *
“Ibu, sampai kapan sih aku harus ngertiin Kak Gunung? Aku capek tahu, Bu. Kak Gunung aja nggak pernah tuh mikirin perasaan adeknya yang takut dicakar atau digigit sama kucingnya itu. Dia seharusnya sadar dong kalau aku takut sama darah,” kata Haura sambil memasang sprei kasurnya yang dibantu oleh ibunya.
“Sabar ya, Haura. Kakakmu kan masih dalam proses penyembuhan. Nanti kalau kakakmu sudah dapat menerima kenyaataan yang ada, kita bisa sama-sama kasih pengertian ke dia.”
“Selalu aja Ibu jawab begitu. Sudah dari aku kelas 6 SD sampai sekarang aku hampir lulus SMA ibu selalu kasih jawaban gini ke aku. Kakak kenapa sih bu?” tanya Haura penasaran.
Ibunya tidak menjawabnya dan malah berjalan keluar kamar. Ternyata untuk mengambil sapu. Ketika masuk lagi Haura terus memborong pertanyaan ke ibunya, “Kak Gunung aneh banget sih, Bu. Dia memperlakukan kucing lebih dari manusia. Aku juga punya teman pecinta kucing, tapi tingkahnya tidak segila Kak Gunung. Ibu dan ayah juga nggak pernah tuh marah atau memaksa dia buat cari kerja, padahal ini udah 2 tahun sejak Kak Gunung lulus kuliah arsitek 2 tahun lalu.”
Seperti biasa. Ibunya tidak menjawab dan hanya memberikan senyuman pada Haura. Haura sudah tahu bahwa ibunya tidak akan pernah menjawab, namun Haura terus saja bertanya-tanya berharap ibunya tidak kuat menampung beban lagi dan menceritakan apa yang pernah terjadi pada kakaknya saat ia masih kecil belum mengerti dengan peristiwa besar yang pernah terjadi itu.
* * *
Orenji adalah nama kucing ras persia himalaya kesayang milik Gunung yang 80 persen bulunya berwarna putih. Haura hanya tahu kucing itu memang dirawat sejak lahir oleh Gunung bersama pacarnya waktu SMA saat itu yang bernama Risa. Kenapa namanya Orenji? Meski lebih dominan berwarna putih, tapi kucing itu memiliki ekor yang bulunya berwarna oranye. Risa, pacar yang sangat dicintai oleh Gunung saat itu sangat fanatik dengan korea dan belajar bahasa korea. Oranye dalam bahasa korea menyebutnya orenji. Begitulah cerita kucing ekor oranye itu. Sedangkan Risa meninggal tak lama saat mereka berdua memberi nama kucing itu. Bagi Haura, kematian Risa adalah salah satu penyebab perubahan besar pada kakaknya yang menjadi seperti orang depresi.
Haura sangat mengerti keadaan kakaknya, namun satu hal yang membuat Haura sangat kesal dengan sikap kakaknya yang menyukai kucing itu adalah Gunung seharian penuh hanya mengajak ngobrol kucingnya saja hingga mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Seakan-akan Orenji adalah manusia yang dapat menjawab segala obrolannya dan juga mengerti perasaannya. Haura sebagai adiknya saja hanya selalu diajak bicara ketika bertengkar ataupun perlu bantuan. Ibu dan ayah juga hanya diajak bicara seperlunya saja. Apapun yang Gunung lakukan semuanya harus bersama Orenji. Dari tidur sampai tidur lagi ia akan lakukan bersama Orenji. Kehidupan sosialnya juga cenderung menghindar dari perkumpulan apapun. Seperti orang yang menjalani hidup tapi tak punya tujuan yang jelas. Namun, yang terlihat jelas hanya satu, dia harus bersama Orenji. Tidak ada yang boleh menyakiti atau membenci kucingnya itu. Kalau Orenji sakit, dunianya seperti runtuh. Muram dan marah secara bersamaan pada dirinya sendiri.
* * *
“Kak Gunung, traveling yuk liburan semester aku nanti,” ajak Haura to the point sesaat membuka pintu kamar Gunung. Sebelumnya Haura tak pernah mengajaknya. Seperti biasa gunung terlihat sedang mengajak Orenji berbicara di kamarnya. “Ajak Orenji, ya?”
“Nggak jadi deh,” kata Haura singkat kembali menutup pintu kamar Gunung. “Yaudah.”
* * *
Malam ini tak seperti biasanya Haura sangat gelisah memikirkan kakaknya. Biasanya ia tak pernah memikirkan keadaan kakaknya sedalam ini. Haura sangat percaya ayah dan ibunya bisa merawat Gunung hingga ia sembuh dan hanya saja butuh waktu yang lebih lama. Haura melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam. Ia ingat jam segini biasanya Gunung sedang menonton film di kamarnya. Segera saja Haura beranjak dan menuju kamar kakaknya.
Benar saja. Gunung sedang duduk di sofa sambil memangku dan mengelus Orenji sambil matanya menatap televisi. Namun, Haura tahu bahwa kakaknya tidak benar-benar sedang menonton film. Tatapannya kosong seperti biasa. Mata Gunung hanya hidup saat bercengkrama dengan Orenji.
“Kak Gunung, aku mau ngomong. Kita ke taman sekarang.”
“Sama Orenji, ya?”
“Kalau gitu sekalian bawa kotak P3K persiapan kalau aku digigit.”
“Lebay lo. Baru sekali aja pernah digigit kucing, bukan berarti seterusnya lo akan digigit lagi.”
Haura tidak menjawabnya dan terus berjalan lebih dulu di taman kecil rumahnya. Hingga 5 menit Haura tidak berbicara dan hanya melihat kakaknya bermain dengan kucingnya yang berlari-larian dan mendusel-dusel manja di kakinya Gunung. Haura melihat mata Gunung hidup setiap melihat Orenji.
“Kak Gunung, nggak bisa apa menatap orang di sekitar kakak seperi Kak Gunung menatap Orenji?”
Gunung hanya menatap sinis Haura sebentar lalu tertawa dengan kucingnya lagi. “Selama ini aku selalu diam dan nurut apa kata ibu dan ayah. Kak Gunung memang butuh ketenangan, tapi sampai kapan kak? Kehidupan kakak terus berjalan. Ayah dan ibu enggak selamanya akan selalu di sisi kita. Tolong kak jadi manusia lagi. Tadi kakak sempet bilang bahwa sekali kita pernah disakiti, bukan berarti akan terus disakiti, kan? Dalam kasus aku ya digigit kucing. Dan dalam kasus kakak ya kakak kehilangan Kak Risa.”
Tanpa diduga Gunung duduk di samping Haura melepaskan Orenji dan lalu mengusap kepala Haura. Haura memasang wajah kagetnya, karena Gunung tidak pernah sama sekali berlaku manis padanya, “Kamu sudah besar ya,” Gunung tersenyum tipis.
“Kalau elo jadi gue, elo akan bersikap gimana, Ra? Gue selalu berusaha untuk jadi manusia. Tapi manusia-manusia di sekitar gue lebih dulu memandang gue aneh. Contohnya ya elo aja. Selama ini elo selalu nurut dan kalau pun kita bertengkar elo pasti ngalah, kan? Lo pasti mikir nggak ada gunanya nanggepin gue yang selama ini lo anggap depresi. Ibu dan ayah meski gue tahu bentuk kepedulian mereka adalah membebaskan gue melakukan apapun dan tidak banyak menuntut, itu sama saja menganggap gue sebenarnya orang lemah. Temen-temen gue dulu juga melihat ekspresi gue yang memang berwajah datar, menganggap gue manusia gila tanpa ekspresi. Gue harus gimana menghadapi orang-orang yang menganggap gue udah tidak wajar, Ra?”
Haura mematung. Ia setuju semua dengan pernyataan kakaknya barusan. Ia baru menyadarinya saat itu.
“Jujur gue hancur banget waktu Risa tiba-tiba meninggal karena serangan jantung. Tiba-tiba aja dia pergi ninggalin gue. Lo tahu, nggak? Yang bisa mengerti gue cuma dia.”
“Ibu? Ayah?”
“Gue sadar sikap ibu dan ayah yang seperti itu adalah bentuk cinta mereka ke gue. Gue sadar banget akan hal itu. Tapi, mereka nggak memeluk gue seutuhnya.” “Tapi, kenapa Kak Gunung cuma ceria sama Orenji? Memang Orenji bisa jawab ucapan kakak?”
“Setidaknya Orenji tidak memalingkan wajahnya dari gue seperti yang orang orang lakukan ke gue. Gue akui, dunia gue hancur banget rasanya waktu Risa pergi. Gue nangis berhari-hari dan membuat gue semakin murung dan tanpa ekspresi lebih dari biasanya. Sejujurnya, gue masih bisa mengendalikan kesedihan gue itu. Tapi, satu hal yang bikin gue tidak menyangka adalah ketika Ayah menyuruh gue untuk ke psikolog. Gue makin sedih karena orang tua gue aja nggak paham dengan yang sebenernya gue rasakan. Karena gue sayang dengan mereka gue nurut untuk melakukan terapi itu.”
Terlihat air mata menetes di pipi Gunung. Haura lalu memeluk Gunung erat, “Kak, maaf ya aku nggak paham kakak selama ini. Tapi aku sayang banget sama kakak.” “Kamu nggak salah. Ini salah gue sendiri yang memilih jalan ini. Gue terlalu malas menjelaskan diri gue dan membiarkan orang lain menganggap gue aneh.”
* * *
Haura dan Gunung melangkah mengendap-endap melangkah ke kamar orang tua mereka. Sesekali Haura membenarkan kunciran rambutnya dengan kesal karena rambutnya yang ditarik oleh Orenji yang digendong Gunung di belakangnya.
“Kakak yakin, kan sudah bisa tersenyum?”
Gunung menunjukkan senyum ganjilnya sambil menatap Haura berani. Ternyata pintu kamarnya tidak dikunci dan malah sedikit terbuka. Belum sempat mengetuk pintunya terdengar suara ayah dan ibu sedang bertengkar. Iya. Keduanya sedang saling beradu argumen yang sesekali ayahnya menampar ibu. Melihat itu Haura sangat terkejut. Berbeda dengan Gunung yang terlihat biasa saja dan menurunkan Orenji dengan santai dari pelukannya dan segera menutup kedua telinga Haura dari belakang dan memeluknya. Gunung membawa Haura ke dapur. Lampunya tidak Gunung nyalakan. “Sekarang, kamu tahu, kan? Tidak semua hal bisa kita tunjukkan di depan orang lain? Ada hal-hal yang lebih baik orang lain tidak tahu.”
Haura tidak menjawabnya dan terus menangis terisak di pelukan kakaknya.
* * *