Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kalian harus menemukan Ramuan Ajaib agar ibu kalian bisa disembuhkan, ramuan itu bisa menyembuhkan segala penyakit, termasuk penyakit ibumu," ucap seorang tabib kepada tiga saudara itu. Mereka adalah Tommy, anak sulung, Gandy, anak kedua, dan Harry, sang bungsu.
"Katakan kepada kami, di manakah ramuan itu bisa kami temukan?" tanya Tommy, matanya bersinar penuh keberanian, suaranya seperti lonceng pagi yang menggema di hutan.
"Gua Aspas," jawab Sang Tabib, suaranya serak namun menyimpan misteri seperti angin malam yang menyelinap di pepohonan.
"Apakah engkau bisa menunjukan kepada kami jalannya?" giliran Gandy bertanya.
Dengan perlahan, tabib itu membuka ransel bawaannya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam. Ia membuka kotak itu, dan tampak secarik kertas putih yang telah lapuk dimakan usia.
"Kalian bisa menggunakan peta ini sebagai petunjuk ke Gua Aspas," ucap Sang Tabib, menyerahkan kertas itu yang tampak memancarkan cahaya lembut seolah memiliki jiwa.
Harry membuka lipatan peta itu dan menatapnya dengan seksama, detak jantungnya berpacu. "Apakah jauh?" tanyanya.
"Ya, Gua Aspas terletak di hutan yang jauh, hutan purba yang beratus-ratus tahun tak dijamah manusia," jawab Sang Tabib.
"Lalu, darimana engkau tahu tentang Gua Aspas?"
"Peta ini pemberian nenek moyang saya. Mereka mengetahui segala rahasia Gua Aspas, dan semua misteri yang tersembunyi di dalamnya," ucap Sang Tabib.
Tommy merebut peta itu dari adiknya, menatap setiap garis dan simbol seakan membacanya sebagai mantra. Ia menoleh pada tabib. "Apakah engkau juga tahu tentang Gua Aspas?"
"Saya hanya tahu tentang Ramuan Ajaib yang tersimpan dalam botol emas, dan mahluk raksasa menakutkan yang mengawasi Gua Aspas," jawab tabib itu. "Jika kalian benar-benar ingin menemukannya, berhati-hatilah. Jangan ambil apa pun dari gua itu selain Ramuan Ajaib."
"Kalau begitu, kami sangat berterima kasih karena engkau bersedia membantu kami," ucap Tommy.
Tabib itu tersenyum, dan bayangannya menyatu dengan kabut pagi. "Sudah seharusnya sesama manusia saling menolong." Lalu ia pergi, menghilang di antara pepohonan yang berbisik.
---
Pagi harinya, ketiga saudara itu bersiap memulai perjalanan. Mereka ingin mencari Ramuan Ajaib demi kesembuhan ibu mereka, yang telah tiga tahun dirundung penyakit gila yang tak diketahui asalnya. Mereka membawa bekal secukupnya, senjata andalan masing-masing, sementara ibu mereka dijaga Bibi Arrow di rumah.
Ayah mereka telah meninggal lima tahun lalu, saat Harry berusia sebelas tahun, dalam kecelakaan kuda yang tragis. Sejak itu, mereka belajar hidup mandiri, menghadapi hutan, badai, dan malam gelap sendiri. Kini, misi mereka adalah menyembuhkan ibu tercinta.
Mereka menelusuri hutan belantara, pepohonan menjulang tinggi seperti menara hijau yang menyelimuti langit. Mereka hanya mengandalkan insting dan peta pusaka tabib untuk menentukan arah. Burung-burung menyanyi, daun-daun berbisik, dan angin malam menyusup di antara cabang-cabang raksasa.
---
Sudah 36 hari mereka mencari Gua Aspas, namun tak kunjung menemukannya. Tebing curam, jurang dalam, rawa berbahaya, sungai deras, dan hewan buas telah mereka lalui. Namun semangat mereka tak pernah pudar, karena bagi mereka, kesembuhan ibu lebih berharga daripada nyawa sendiri.
Pada hari ke-37, mereka menemukan gua berbatu di tepi sebuah air terjun yang menebar kabut. Air terjun itu menari di udara, menciptakan pelangi lembut di sela-sela bebatuan.
"Apakah ini yang disebut Gua Aspas?" tanya Harry, matanya berbinar, tubuhnya gemetar antara takut dan kagum.
"Sepertinya inilah Gua Aspas yang disebut Sang Tabib. Letaknya dan ciri-cirinya sesuai peta," ucap Gandy.
"Kalau begitu, ayo kita masuk dan mencari Ramuan Ajaib," kata Harry, bersemangat seperti pahlawan muda dalam legenda.
"Tapi jangan gegabah. Ingat ucapan tabib," Tommy menasehati kedua adiknya.
Mereka melangkah masuk, dan kegelapan gua membungkus mereka seperti selimut malam. Setiap langkah terdengar menggaung, memantul dari dinding berbatu, menimbulkan gema seram yang membuat napas mereka tercekat. Bayangan obor menari-nari di dinding gua, kadang tampak seperti tangan-tangan raksasa atau wajah-wajah menyeramkan. Udara di dalam gua berat, beraroma lembab dan tanah purba, membuat bulu kuduk meremang.
Di pertengahan gua, mereka menemukan tiga jalur berlubang. Bingung hendak memilih jalan, mereka sepakat berpencar: Tommy ke lorong tengah, Gandy ke kanan, Harry ke kiri, berjanji untuk kembali dengan selamat.
Di lorong tengah, Tommy melihat batu-batu kecil, sarang laba-laba, lumut hijau, dan lintah yang menempel di dinding, seperti penjaga hutan purba. Angin dari lorong sempit membawa suara bisikan misterius, membuat langkahnya terhenti sesaat.
Gandy di lorong kanan melihat kristal putih menempel di dinding, sedangkan di sebelah kiri terpahat ukiran sekelompok orang bertarung melawan naga. Ia ingin mengambil kristal, tetapi teringat ucapan tabib, ia menahan diri. Lorong itu terasa sempit, dan suara tetesan air terdengar seperti detak jantung raksasa yang menakutkan.
Harry di lorong kiri menemukan hamparan emas dan berlian yang berkilau seperti bintang jatuh. "Wow! Luar biasa," serunya, namun napasnya cepat dan hati berdebar, karena lorong terasa hidup, seakan ada mata yang mengintai dari bayangan gelap. Ia mulai mengisi kantung dengan emas dan berlian.
Tiba-tiba, dari tumpukan emas muncul mahluk raksasa: seekor naga menakutkan, matanya menyala merah dan kulitnya bersisik gelap memantulkan cahaya obor. Naga itu mengaum, getaran suara membuat tanah bergetar, udara bergetar dan lembab. Harry berlari ketakutan, kantung harta menambah beban. Ia sempat melawan dengan ketapel, tetapi naga menepisnya dengan mudah.
"Tolong aku!" teriak Harry, suaranya menggema di dinding gua, terdengar seperti jeritan roh-roh hutan purba.
Tommy mendengar teriakan itu, berlari ke sumber suara. Ia melihat adiknya terkapar di depan naga. Tanpa ragu, ia menusukkan pedangnya ke mata kiri naga. Naga meraung kesakitan, suaranya mengguncang gua dan memantul berkali-kali, menimbulkan rasa takut yang membeku di tulang. Tommy bersama Harry berlari menjauh, langkah mereka dibayang-bayangi bayangan naga yang menakutkan.
Gandy tiba, menatap kedua saudaranya dengan cemas. "Cepat! Naga itu masih bisa mengejar kalian!" teriaknya sambil menembakkan anak panah ke kepala naga.
"Apa yang kau bawa?" tanya Tommy curiga.
"Emas dan berlian," jawab Harry.
"Tinggalkan itu, itu memperlambat langkahmu," perintah Tommy. Harry menuruti, dan naga terlalu besar untuk mengejar mereka keluar lorong.
Mereka lega masih hidup, meski jantung berdetak kencang seperti genderang perang.
---
Mereka kembali mencari botol emas berisi Ramuan Ajaib, kini bersama-sama. Setelah menelusuri seluruh sudut gua, hanya napas terengah dan keringat yang mereka temukan. Frustasi hampir menguasai mereka.
"Aku tahu di mana botol emas itu," kata Harry.
"Di mana?" tanya Gandy.
"Kalau botol itu terbuat dari emas, kemungkinan ada di lorong kiri, karena di sana banyak emas," jawab Harry.
"Jangan ke sana, terlalu berbahaya," Tommy memperingatkan.
"Tapi ini demi ibu kita!" seru Harry.
"Tapi aku tak mau kehilangan kalian!" balas Tommy.
Akhirnya mereka sepakat menunda pencarian dan beristirahat. Malam itu, Harry tak bisa tidur. Ia memikirkan emas dan kemungkinan adanya botol emas di lorong kiri.
Diam-diam, ia nekat pergi sendiri membawa obor. Ia mulai mencari botol emas sambil mengambil sedikit demi sedikit emas. Tiba-tiba, naga muncul lagi, mengaum mengguncang gua, membuat tetesan air menari dan suara gema bergemuruh menyeramkan. Harry tersandung balok emas dan jatuh. Bahaya nyata di sekelilingnya.
Tommy dan Gandy mendengar auman naga, terbangun dan panik. Mereka berlari menuju lorong kiri. Saat tiba, mereka melihat Harry telah dilahap naga.
Tommy, penuh emosi, menyerbu naga dengan pedangnya. Gandy menembakkan anak panah ke mata kanan naga. Naga meraung kesakitan, gemuruhnya menggetarkan gua, dan akhirnya tergeletak tak berdaya.
Mereka membelah perut naga untuk menyelamatkan Harry, namun harapan hancur; Harry telah tiada, tubuhnya tak lagi manusiawi.
Air mata Tommy deras mengalir, Gandy menahan isak agar tetap kuat.
"Kakak, lihat ini," kata Gandy. Ia memegang botol emas di tangannya.
"Apakah itu botol yang kita cari?" tanya Tommy.
"Iya, di sini, di perut naga ini," jawab Gandy.
Tommy mencium wajah Harry yang telah tiada. "Kita harus berterima kasih kepada Harry, yang berani mengorbankan nyawanya demi ibu," ucapnya sambil menangis. Gandy ikut menangis.
---
Akhirnya, Tommy dan Gandy pulang membawa botol emas berisi Ramuan Ajaib. Harry telah dikuburkan di sekitar Gua Aspas. Ibu mereka sembuh, meski sedih mengetahui anak bungsunya gugur.
"Harry akan bahagia di sana, melihat ibu sudah sembuh."