Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku membukakan pintu bagi tamuku. Kupikir, tamu yang datang adalah temanku atau kalau tidak teman orangtuaku. Ketika ternyata yang datang adalah tetanggaku, Bu Arum, aku kembali cemberut.
“Halo, Andi. Apa kabar? Mana ibumu? Tante mau bicara sama ibumu,” kata Bu Arum sambil mengacak rambutku.
Aku bergegas pergi ke kamar Ibu. Rupanya, Ibu sedang menyulam.
“Bu, ada Bu Arum, tuh,” ujarku dengan suara pelan.
“Baiklah. Kamu siapkan kudapan dan teh buat Bu Arum, ya!” jawab Ibu sambil berdiri dan merapikan sulamannya.
Aku berlari ke dapur dan membuat secangkir teh. Tak lupa, kubuka stoples berisi kue keju dan kutuangkan ke piring. Lalu, aku berjalan menuju ruang tamu.
“Bu, bagaimana kabarnya suami Ibu?” tanya Bu Arum memulai percakapan.
“Alhamdulillah, suami saya sehat, kok. Saat ini, beliau masih bekerja,” jawab Ibu dengan senyum indahnya.
Aku memasuki ruang tamu sambil membawa teh dan kue keju. Kuletakkan semuanya di meja kaca.
“Ah, tidak usah repot-repot,” ucap Bu Arum. “Terima kasih, Nak. Tapi Tante sedang tidak mau teh. Saya mau mengurangi gula. Anak saya yang kedua sekarang terkena penyakit diabetes, loh, Bu.”
“Oh, ya? Wah, kasihan sekali Ibu. Mudah-mudahan, penyakit itu cepat hilang dari anak Ibu, ya!”
“Saya berharapnya begitu. Sekarang, dia jarang mengonsumsi makanan dengan gula. Jajannnya saya belikan buah semangka, atau kalau tidak makan kacang tanah. Walaupun anak saya merengek minta dibelikan es teh, saya berkata padanya bahwa dia tidak boleh makan makanan yang mengandung gula.”
Aku terdiam. Kutinggalkan Ibu dan juga Bu Arum. Aku pun pergi ke kamar untuk belajar.
Bu Arum adalah istri dari kepala desa kami. Beliau berusia sekitar empat puluhan, sedikit lebih tua dari Ibu. Bu Arum sebetulnya sangat baik hati. Sesekali, dia memberikan paket sembako dan uang untuk panti asuhan di desa kami, atau kadang-kadang Bu Arum membagi-bagikan salad buah buatannya kepada penduduk di desa ini. Tapi, yang membuatku jengkel dan tidak suka padanya adalah karena Bu Arum adalah tukang gosip. Hampir setiap minggu Bu Arum mengunjungi rumah kami, hanya untuk berbicara atau menggosipi seseorang dengan Ibu. Aku juga kesal karena ibuku jadi ikut-ikutan menggosip. Aku sangat tidak suka gosip. Menurutku, hal itu hanya akan menjatuhkan harga diri seseorang yang sedang dibicarakan.
Kalau ibuku menyuruhku ikut ke pasar, biasanya aku memiliki alasan supaya tidak pergi ke sana. Alasannya bukan karena tidak mau membantu Ibu, tetapi karena setiap pulang dari pasar aku selalu melihat ibu-ibu berkumpul di pojokan, dan terkadang Ibu diajak turut serta. Aku malas mendengar mulut-mulut tajam itu masuk ke telingaku. Namun Ibu tidak mau tahu alasanku, dan selalu membentak bila aku tak mau ikut. Akhirnya terpaksalah aku ikut dengannya.
Satu jam kemudian, Ibu memanggilku. Mau tak mau, aku pergi ke ruang tamu. Beruntunglah Bu Arum sudah pergi.
“Andi, ayo kembalikan kue ini ke stoples dan cuci cangkirnya. Ibu mau ke toko dulu, beli terigu dan bumbu masak,” suruh Ibu.
Setelah Ibu pergi, aku bergegas mengembalikan kue yang tersisa ke dalam stoples, lalu kucuci piringnya dan cangkirnya. Kulihat cangkir teh dalam keadaan kosong dan tak bersisa. Bukannya tadi Bu Arum mengatakan dia tidak mau minum teh? Ataukah Ibu sendiri yang meminumnya karena takut mubazir?
Saat Ibu kembali, aku pergi ke kamar dan belajar. Tetapi setelah itu, Ibu memintaku untuk membantunya memasak.
“Bu, kenapa, sih, Ibu selalu ikut-ikutan menggosipi seseorang? Bukannya gosip itu tidak baik?” Sambil memotong sayuran, kukeluarkan semua unek-unek di dalam hatiku.
“Yah, memangnya kenapa, Di? Kan, terserah Ibu. Kamu juga kenapa terlalu sering main ke luar dan berkumpul sama teman?” balas Ibu tanpa ekspresi.
“Maksudku bukan begitu, Ibu…”
“Sudahlah, tidak usah banyak omong. Ayo, kerjakan tugasmu!” tukas Ibu dengan tegas.
Aku pun menuruti Ibu. Tak lama setelah memasak, Ibu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya.
“Andi, Ibu minta tolong belikan sabun cuci piring yang baru. Ini uangnya,” katanya sambil menyerahkan selembar uang padaku. “Belinya di toko Bu Tina saja, ya! Selain lebih dekat, jualannya juga pada murah-murah!”
“Aduh, Bu, kenapa tidak sekalian tadi? Aku capek, Bu,” kataku. Sebenarnya aku malas mendengar ceramah Bu Tina, yang juga merupakan penggosip di desa ini.
“Ayolah, cepat beli! Anak laki-laki itu harus rajin, tidak boleh malas-malasan! Lagi pula, tokonya Bu Tina, kan, dekat. Kenapa harus capek?”
Kuambil uang yang digenggam Ibu, lalu aku bergegas ke luar. Aku pergi ke toko Bu Tina.
“Hai, Andi, apa kabar, Nak? Ibumu sehat?” sapa Bu Tina dengan ramah.
“Sehat, kok, Bu. Oh, iya, Bu, sabun cuci piringnya masih ada? Saya mau beli,” ucapku dengan tak sabaran.
“Aha, kebetulan Bu Tina masih ada stok sabun cuci piring. Sebentar, ya, saya ambilkan,” kata Bu Tina sambil mencari-cari sabun cuci piring.
Aku menunggu. Tak lama kemudian, Bu Tina membawa sebungkus sabun cuci piring yang besar.
“Ini, Andi. Harganya enam ribu.”
Tanpa banyak bicara, kuulurkan uang sepuluh ribu ke tangan Bu Tina.
“Ini kembaliannya,” sahutnya sambil menyerahkan uang receh kepadaku. “Maaf, ya, kalau dikasih uang receh.”
Aku mengangkat bungkus sabun cuci piring itu tanpa semangat. Sebelum pulang, Bu Tina melambaikan tangan padaku dan menitip salam untuk Ibu.
“Nah, begitu, dong,” kata Ibu setibanya di rumah. “Belinya di toko Bu Tina, kan? Mana kembaliannya?”
“Ini, Bu,” jawabku sambil menyerahkan uang kembalian pada Ibu. “Oh, iya, Bu Tina titip salam buat Ibu.”
“Oke,” jawab Ibu pendek.
Sampai di kamar, aku langsung kembali belajar. Dalam hati aku heran, Kok, tumben tadi Bu Tina tidak berceramah? Biasanya sebelum aku pulang, Bu Tina bakal bergosip di hadapanku. Keheranan itu tetap berada di otakku, sampai esok harinya.
Pagi itu, Bu Arum datang kembali ke rumahku. Aku diberinya sepiring pisang goreng dan juga semangkuk salad buah.
“Terima kasih, Bu Arum!” kata Ibu. “Ini pasti buatan Ibu sendiri, ya, kan?”
“Anak saya yang pertama membuatnya dan menyuruh saya berbagi. Salad buahnya tentu saja saya yang buat. Nah, Bu, selamat tinggal! Saya mau kembali dan membagi-bagikan salad buah kepada yang lain.”
Ibu masuk sambil membawa mangkuk dan piring. Aku tertegun. Aneh sekali, Bu Arum tidak bercakap-cakap dan bergosip lagi. Biasanya, walau sangat sibuk, Bu Arum selalu menyempatkan waktunya untuk mengobrol sebentar, batin hatiku.
“Bu, biasanya Bu Arum selalu mengobrol panjang-lebar dengan Ibu. Sekarang, kok, tidak? Ada apa? Kemarin Bu Tina juga tidak berceramah denganku,” komentarku.
Ibu tersenyum lembut dan tidak menjawab.
Esok harinya, aku pergi ke rumah Bu Tina untuk mengantarkan sayur asem buatan ibuku. Kuketuk pintu rumahnya, namun tak ada tanggapan.
“Permisi, Bu Tina, saya Andi. Tolong bukakan pintunya,” ujarku keras-keras, agar Bu Tina mendengarnya.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Namun, yang terlihat bukanlah Bu Tina, melainkan seorang remaja perempuan yang berpakaian sederhana. Rambutnya disanggul, dan dia memakai sandal jepit.
“Halo, ini siapa, ya?” tanya perempuan itu.
“Saya Andi, putranya Bu Aisyah. Saya mau mengantarkan sayur asem untuk Bu Tina,” jawabku dengan sopan.
“Oh, kamu cari ibuku, ya? Mari masuk, duduk dulu. Maaf kalau kamu sudah menunggu lama di luar. Ibuku sedang sakit gigi, dan sekarang baru istirahat,” terang perempuan itu, sambil menyuruhku masuk.
Aku pun duduk di sofa ruang tamu sambil membawa mangkuk sayur. Perempuan itu mengambil mangkuk dariku.
“Sebentar, ya, kupanggilkan Ibu dulu,” katanya.
“Eh, Kakak, kalau Bu Tina lagi tidur, tidak usah dibangunkan. Kasihan Bu Tina kalau lagi sakit,” cegahku.
Namun, perempuan itu sudah pergi ke atas, sambil membawa mangkuk itu. Kudengar si perempuan berseru-seru memanggil ibunya.
Beberapa detik kemudian, Bu Tina datang. Dia membawa stoples kaca berisi biskuit.
“Hai, Andi. Maaf, ya, kalau Bu Tina lagi sakit. Dua hari yang lalu, gusi Ibu terasa sakit. Kemarin baru periksa ke dokter, dan katanya gigi Ibu bengkak. Maaf kalau tokonya lagi tutup. Anak saya juga lagi belajar buat ujian,” jelas Bu Tina dengan suara tidak jelas. Kelihatan sekali wanita itu berusaha menahan sakit.
“Tidak apa-apa, Bu Tina. Saya ke sini bukan untuk beli di toko Ibu, tapi untuk mengantarkan sayur asem buatan ibu saya ke sini. Mudah-mudahan Ibu cepat sembuh, ya!” kataku dengan wajah ceria.
Bu Tina memberiku stoples berisi biskuit sebagai balasan atas kebaikan hatinya. Aku pun pulang, sambil tak lupa menyertakan senyum.
Sampai di rumah, Ibu memintaku mengantarkan sayur asem ke rumah Bu Arum. Aku pun menurutinya, dan pergi ke rumah tetanggaku itu.
“Permisi, Bu Arum, saya Andi! Apakah Ibu ada di dalam?” teriakku sesampainya di rumah Bu Arum yang terkunci pagarnya.
Kemudian, seorang pembantu berpakaian serba biru datang dan membukakan pagar. Kujelaskan kepadanya bahwa aku ingin mengantarkan sayur asem pada Bu Arum.
“Maaf, ya, Nak, Bu Arum sedang sakit demam. Boleh saya tahu nama kamu siapa?” tanya pembantu itu.
“Saya Andi.”
“Oh, Andi. Sini, sayur asemnya biar saya berikan pada Bu Arum. Terima kasih, ya, atas kebaikan hatinya!”
Kuserahkan mangkuk itu pada pembantu Bu Arum. Aku pun pulang ke rumah. Sampai di rumah, Ibu memberiku sebuah penjelasan.
“Bu Tina sebenarnya dua hari yang lalu sedang sakit, makanya tidak bisa mengobrol sama kamu. Bu Arum pulang karena tiba-tiba dia pusing dan merasa badannya panas. Ibu pun menyuruhnya pulang. Kamu pasti heran karena dua orang itu tidak mengobrol dan bergosip seperti biasa? Itu karena mereka sakit, Andi. Makanya hari ini Ibu bikin sayur asem lebih banyak dan menyuruh kamu membagikannya pada Bu Arum dan Bu Tina.”
Aku termangu. Menyesal hatiku karena tidak suka pada Bu Arum dan Bu Tina. Walau mereka suka bergosip, tetapi sebetulnya mereka tidak sejahat itu. Sepertinya mereka kena karma karena suka bergosip.
“Pokoknya aku harus menghargai mereka walau mereka adalah tukang sebar gosip!” begitulah tekad dalam hatiku.