Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cerita ini tentang kucing betina, kucing peliharaanku. Bagi pecinta kucing, pasti akan merasakan bahagianya bertemu dengan teman baru yang bisa menemani hari-hari kalian. Ketika kita suntuk, sedih, gelisah, melihat tingkahnya membuat mood kita happy, seakan semua beban hilang.
Pada tanggal 26 November 2023, di pagi hari sekitar jam 6 pagi, awalnya, aku bertemu dengannya ketika ikut mamah belanja sayur. Aku melihat seekor kucing kecil yang begitu menggemaskan. Kucing imut itu tengah memakan potongan daging yang telah dibuang untuk santapan para kucing yang kelaparan. Ia asyik memakan daging ayam mentah bersama dengan spesies sejenisnya.
Kucing dengan perpaduan warna putih, orange dan hitam itu terlihat kurus. Tulang kakinya tampak jelas. Aku langsung menggendong anak kucing ini. Matanya berbinar, cerah namun sayu. Melihatnya, rasanya ingin membawanya pulang ke rumah untuk ku pelihara.
Walaupun kami memiliki seekor kucing jantan di rumah, tapi mungkin ia akan merasa senang bila mempunyai teman baru. Sementara mamah sedang sibuk memilih sayuran, ku elus-elus bulu halusnya dalam dekapan hangat di lenganku.
Lama aku menunggu mamah belanja sayur, akhirnya kucing manis ini bisa ku bawa pulang meskipun ia terus memberontak sepanjang perjalanan pulang, aku tetap mendekapnya hingga ia merasakan kehangatan dan kenyamanan. Sesekali aku tersenyum sembari mengajaknya mengobrol.
Tadi, mamahku sempat menasihatiku agar mengembalikan anak kucing ini di tempat asalnya. Namun aku enggan melakukannya. Tiba-tiba saja aku merasa sayang dan tak ingin pisah darinya. Mamah pun terus membujuk untuk memulangkannya karena jarak kami belum jauh dari tempat tadi. Tapi aku tetap kekeh membawanya pulang.
Mamah bilang, "Kalau betina, nanti anak beranak gimana? Repot nantinya." Mamah terus menggerutu masalah ini.
"Ah ... tapi dia lucu!" sunggutku. Keputusanku bulat. Aku akan tetap berniat memeliharanya hingga kucing ini tumbuh dewasa.
"Pelihara satu aja udah cukup. Umur segitu masih buang kotoran sembarangan." Mamah bukannya tak menyukai hewan lucu ini, tapi mamah sangat tidak tahan terhadap bau kotoran kucing.
"Nanti aku bersihin, Mah." Aku meyakinkan mamah kalau aku bisa merawatnya dengan baik.
Sesampainya di rumah, bapak yang sedang libur berkerja, tampaknya terkejut melihat kehadiran kucing kecil kampung ini. Aku tahu bapak tidak suka dengan kucing, namun bapak tak respon apa-apa saat mamah bilang kalau aku menemukannya di tempat tukang sayur.
Ku pikir ia kelaparan, aku langsung memberikannya makanan kering yang sudah tersedia di rumah karena kami sudah memiliki satu kucing jantan bernama Komeng. Warna bulunya abu-abu bercampur hitam. Kucing yang lucu dengan bobot sekitar 5 kg. Cukup gemuk dan bugar karena doyan makan.
Hobinya bermain dengan cicak, mencakar-cakar dan berlarian kesana kemari. Sangat aktif di pagi dan siang hari namun tak jarang ia sering tidur dalam waktu yang lama.
Si kecil ku coba beri makanan kering, namun tak sedikitpun ia menyentuhnya. Aku pikir semua kucing akan langsung menerima makanan kering ini, tapi ternyata ia sama sekali tak tertarik untuk mencicipinya.
Lalu aku mencoba untuk memberikannya susu coklat. Mungkin ia akan menyukainya? Tapi tak sedikitpun lidahnya menyentuh minuman manis itu. Aku gelisah dan tak tahu harus bagaimana? Sementara kondisi badannya yang kurus, sangat memprihatinkan.
Mamah lagi-lagi menasihati, seharusnya aku tidak mengadopsinya karena tidak tahu kalau ia tak menyukai makanan kucing peliharaan. Mungkin sebab kucing kecil ini selalu terbiasa memakan daging-daging mentah setiap harinya.
Anak kucing betina itu terus menelusuri rumah dengan mengendus-endus lantai dan setiap sudut rumah. Biasanya hal ini dilakukan para kucing untuk mengenali rumah barunya. Aku membiarkannya terus mengendus hingga keluar pintu.
Ia menelusuri hingga keluar pintu gerbang. Aku menggendongnya berkali-kali agar ia tidak main keluar, ke dunia yang baru untuknya. Meskipun ia kucing kampung, ada sedikit rasa khawatir, takut orang lain akan menculiknya. Warna bulunya yang unik, serta bulunya yang sedikit panjang membuat kucing ini terlihat lucu.
Aku bawa ia ke meja pendek yang terletak di teras rumahku. Aku merekam kucing manis ini yang sibuk menjilat-jilati tangannya lalu diusapkan ke kepala kecilnya. Sepertinya itu adalah cara kucing untuk mandi. Aku abadikan ia di akun sosial mediaku, dengan musik menggemaskan menggambarkan karakternya.
Bingung dengan makanan apa yang disukai kucing diumur anak-anak, aku berinisiatif bertanya di story, berharap mendapatkan jawaban. Kucing berbulu dominan putih itu melompat dari meja berjalan ke luar gerbang. Sepertinya ia ingin mencari makan? Ya sudah, kubiarkan ia keluar. Mungkin ia dapat mencari camilan untuk dirinya sendiri.
Aku sedikit cemas karena anak kucing cantik itu tak kunjung kembali ke rumah. Aku menunggu kepulangannya dan sementara itu, mamah sudah menyediakan ikan asin untuknya.
Setelah ia kembali, lekas kuberikan ikan asin tapi ia tetap tak mau makan. Aku khawatir kucing ini sakit sehingga tak nafsu makan. Adik perempuanku terkejut melihat kucing kecil asing yang tak pernah terlihat.
Ia pun bertanya, "Kucing siapa itu?"
Aku menjawab, "Itu kucing gua dapet pas tadi ikut mamah belanja sayur."
Dia memperhatikan kucing manis itu. Jalannya sedikit pincang dan aku baru menyadarinya. "Itu kenapa kakinya pincang?" tanya adikku yang usianya hanya berbeda 3 tahun dariku.
"Eh ... iya. Kok kakinya pincang?" seruku sembari memperhatikan kaki kanannya yang memang sedikit terluka. Luka kecilnya pasti akan sembuh dengan sendirinya. Diriku masih cemas memikirkan makanan apa yang disukainya?
Sampai akhirnya mamah kebetulan memasak ayam. Aku langsung memberikannya potongan daging yang baru di goreng itu. Sebelumnya ku tiup dan ku letakkan tepat di hidung mungilnya yang berwarna pink. Begitu aroma lezat masuk ke lubang hidungnya, ia langsung menyantapnya dengan lahap. Ia benar-benar ketagihan!
Aku senang akhirnya ia mau makan. Aku segera mengambil nasi dengan maksud makan bersama dengannya. Ternyata memang lidahnya hanya terbiasa dengan daging dan belum terbiasa makan makanan kucing.
Dia benar-benar kucing kelaparan. Ingin ku merawatnya hingga ia tumbuh besar menjadi kucing yang gemuk dan sehat. Rasanya seperti menambah kebahagiaan di dalam rumah ini.
Aku mencoba memberikannya makanan kering. Ia masih tak ingin memakan makanan itu. Aku sempat bingung karena mamah tak mungkin setiap hari memasak ayam di rumah. Tak seperti Komeng yang sudah terbiasa dengan rasa dari makanan kucing ini.
Saat kucing jantan peliharaan kami pulang, mereka sontak melolong satu sama lain karena mereka tidak suka kehadiran satu sama lain di tempat yang sama. Merasa tubuhnya lebih kecil, kucing mungil ini bersembunyi darinya. Sepertinya Komeng tidak suka ada kucing asing di rumah ini. Kucing juga bisa merasakan cemburu dengan kehadiran kucing lain.
Ketika Wooly sudah mau memakan makanan kucing, aku merasa lega. Aku tak perlu memikirkan makanan lain untuknya. Komeng dan Wooly pun selalu makan bersama walaupun mereka tetap tak saling suka.
Awalnya, mereka selalu bertengkar. Komeng selalu bersikap tidak ramah pada kucing cantik itu. Mungkin ia takut kasih sayang kami terbagi untuknya. Komeng tak ingin berbagi makanan ataupun tempat tinggal dengannya. Meskipun begitu, suara protesannya terdengar menggemaskan.
Aku selalu berusaha melindungi si kecil dari cakaran tajam kucing yang lebih besar darinya. Walaupun Komeng bersikap demikian, kami tak pernah bisa memarahinya.
Hingga lama kelamaan, mereka mulai terbiasa. Kejahilan Wooly terhadap seniornya membuat Komeng terus merasa terganggu dengan tingkahnya. Sering kali ia memainkan buntut Komeng yang sedikit bengkok dan terkadang ia membalasnya.
Seiring berjalannya waktu, mereka mulai akrab dan sering bercanda, kejar-kejaran kesana kemari membuat kegaduhan di rumah. Bukannya aku tak ingin mereka bercanda, tetapi cakaran serta gigitannya lebih tajam membuatku khawatir. Aku selalu mencoba memisahkan mereka, tapi Wooly-ku kerap memberontak dan akhirnya mereka kembali bermain.
Kami memanggil Komeng sebagai abang dan Wooly sebagai adek. Abang dan adek selalu saja bercanda membuat kami gemas dengan tingkah mereka. Aku senang karena pada akhirnya Komeng mempunyai teman baru dan begitu pula dengan Wooly yang sudah merasa aman dan nyaman dengan lingkungan barunya.
Selama ia tinggal di rumah, aku selalu mengajarkan Wooly untuk buang kotoran di kamar mandi. Ia sudah mulai terbiasa di dalam hingga suatu saat aku sedang menggunakan kamar mandi, ia malah pipis di depan pintu.
Aku takut bapak akan marah, tapi justru bapak malah memujinya. "Pinter banget dia buang air di kamar mandi." Aku menanggapi dengan tertawa lalu ku bersihkan kain lap yang biasa diletakkan di depan kamar mandi sekalian ku cuci karpetnya.
Karena Wooly terkadang masih harus di tuntun untuk buang kotoran, mau tak mau kucing kesayanganku harus tidur di luar teras. Ku buatkan tempat tidur untuk para kucing dengan kardus. Ku letakkan di atas meja keramik dengan alas kain supaya tidak merasa kedinginan.
Karena tak ada tempat untuk buang kotoran, Wooly selalu buang kotoran di lantai dekat rak sepatu. Setiap paginya aku selalu di bangunkan oleh teriakan mamah yang menyuruhku untuk lekas membersihkan kotorannya.
Ku bersihkan semua dan ku basuh duburnya, kulakukan seperti bayi. Setelah bersih, barulah ku beri ia makan sampai kenyang. Setelah adzan selesai, barulah kucing besar kami pulang dengan suara nyaring ia meminta dibukakan pintu pagarnya.
Dengan perasaan senang menyambutnya, selain mamah, aku selalu membukakan pintu pagarnya dan ia lantas berlari masuk ke dalam rumah menuju dapur dimana makanan tersedia di sana. Ku tuang makanan kegemaran mereka dan mereka makan bersama dengan lahapnya.
Aku tersenyum memandangi mereka berdua dengan harapan mereka dapat tumbuh dengan cepat. Selain makanan kering, terkadang kami memberikan mereka daging ayam atau ikan. Yaaa seadanya makanan di rumah ... kami senang kucing-kucing kami doyan sekali makan.
Komeng bisa makan lebih dari 3 kali dalam sehari. Belum lagi kucing kecil ini yang selalu celamitan bila melihat orang makan, ia selalu meminta dengan mengeong sampai-sampai naik ke atas paha kami agar lekas diberikan. Padahal ia sendiri pun sudah kenyang dan baru selesai makan. Kami pun tak pernah menolaknya untuk memberikannya camilan.
Tapi disaat kami memakan makanan yang bukan kesukaannya, Wooly tetap memintanya dan selalu penasaran dengan makanan yang kami makan. Hingga kami jahil menggodanya dengan berpura-pura mengunyah sesuatu dalam mulut kosong. Ia senantiasa memperhatikan siapa saja yang tengah mengunyah makanan.
Melihatnya membuatku gemas. Ku cubit-cubit pipi kecilnya itu. Ku gendong ia meski ia selalu menolak, sama seperti Abangnya-Komeng.
Sudah hampir sebulan, kehadiran Wooly membawa keceriaan di rumah ini. Kami semua senang bermain dengannya juga dengan Komeng-abangnya. Mereka senang bermain dengan benda-benda bergerak, juga terkadang mereka berebutan hewan buruan seperti cicak.
Komeng selalu senang memainkan jenis hewan kecil seperti cicak ataupun serangga. Karena ia sibuk dengan mainan barunya, Wooly pun penasaran dan ingin ikut bermain. Namun Komeng tak pernah mau memberikan hasil buruannya kepada siapapun. Ia berupaya mempertahankannya dengan mengerang sembari sesekali menggigit hewan kecil melata itu.
Pada tanggal 09 Desember 2023, kami terpaksa meninggalkan kucing-kucing kami sendirian di rumah. Kami pun menyediakan makanan dan air minum untuk mereka. Kami letakkan di luar agar mereka tidak kelaparan. Meskipun kami tahu pasti akan dimakan kucing lain yang sering mampir ke rumah kami karena tahu di tempat ini selalu tersedia makanan kucing.
Tapi kami tak begitu risau karena kami takan pergi lama. Kami harus menghadiri pernikahan saudara sepupu perempuan kami yang menikah di hari sabtu.
Dalam perjalanan pulang, kita saling mengobrol di dalam mobil. Banyak pembahasan yang kami bicarakan di dalam mobil menjadi keseruan dalam perjalanan yang cukup panjang. Sembari memakan oleh-oleh berupa asinan mangga yang mamah beli, aku teringat pada kucing-kucing.
Aku berkata, "Pasti di rumah, udah numpuk kotoran." Aku berucap sembari tertawa ringan.
"Iya. Pasti," seru mamah.
"Siapa? Si Wooly?" tanya bapak.
"Iya." Aku menjawab sembari cengengesan.
"Mending beliin pasir buat beolnya," usul bapak.
"Iya. Ini lagi di pesen. Lagi dalam perjalanan," jawabku.
Bapak pun menumpahkan seluruh kesekesalannya di dalam mobil. Meskipun bapak mengutarakan dalam nada yang santai, hatiku serasa sesak di dalam. Seperti membutuhkan udara segar untuk menenangkan pikiran. Duduk bersebelahan dengan bapak, membuatku merasa tak nyaman. Namun aku berusaha untuk tidak menanggapinya dengan mendinginkan pikiran karena ku tahu kalau bapak dari dulu tak menyukai hewan berbulu jenis kucing.
Setibanya kami di rumah, kami langsung disambut oleh mereka yang terlihat senang dengan kepulangan kami. Bau menyengat begitu menusuk hidung. Terdapat setumpuk kotoran ada di pojok lantai.
Meskipun fisik dan mental ini terasa lelah, lekas ku bersihkan lantai dan seperti biasa ku basuh duburnya sebelum masuk ke dalam rumah. Sedangkan bapak pergi untuk mengembalikan mobil. Kulihat makanannya masih banyak. Entah kucing mana yang memakan makanan yang kami sediakan? Karena mereka mengeong terus-menerus, kami pun memberikan mereka makanan.
Tak lama kemudian, barulah kurir paket datang. Langsung ku tuang pasir ke dalam liter box untuk WC barunya Wooly. Semoga dengan ini, aku akan lebih mudah membersihkan kotorannya.
Suatu saat aku berkumpul dengan keluarga, kami membicarakan tentang Wooly. Bagaimana jika nanti Wooly akan menjadi ibu? Bagaimana kalau ia akan mempunyai banyak anak? Segala canda dan pendapat kami keluarkan untuk mencari solusi.
Kebetulan sekali, Komeng kini sudah remaja. Ia sudah mulai tertarik dengan lawan jenisnya. Entah kucing betina mana yang menjadi incarannya? Sepertinya Lusi, si kucing anggora galak milik tetangga. Karena terkadang ia mendekati kucing cantik itu dengan keberaniannya sebagai pemuda yang mulai merasakan jatuh cinta.
Namun, terkadang adik laki-laki ku yang sudah remaja sering mengeluarkan guyonan kalau Komeng akan menikahi Wooly yang masih terbilang balita?
Dengan tawaan, aku menanggapi ucapannya. "Ya ... yang bener aja. Wooly masih kecil. Gak mungkin lah. Komeng sukanya sama si Lusi."
Sejak ia remaja, memang kucing jantan itu jarang pulang ke rumah. Jadi biarkan saja ia berpetualang mencari cintanya di luar sana.
Meskipun sering keluar rumah, Komeng pasti akan balik ke rumah kalau ia lapar. Walaupun kucing ini sifatnya cuek, tapi ia sangat manja pada majikannya.
Pernah waktu itu ia membuat heboh dan bikin kami semua cemas. Karena ia tidak lekas pulang dan tiba-tiba mamah mendengar suara kucing dari luar. Setelah di telusuri, kucing berbulu abu-abu dan hitam itu tidak ada di depan pagar rumah. Lalu dimana ia berada?
Tetahunya setelah kami cari, ia terjebak di sela-sela pagar, depan tiang rumah. Mungkin tadinya ia melompati pagar tapi malah terjatuh dan terjebak di dalamnya. Ia mengeong meminta pertolongan karena tidak bisa keluar.
Saat itu hujan dan tetangga sebelah rumahku sedang ada acara sehingga di luar banyak tamu. Segera ku ambil payung dan melihat kucing kesayangan kami yang tampaknya panik. Ia mengeraskan suaranya.
Aku yang bingung dengan mencoba mengeluarkannya dari dalam sana, begitu sempit karena jarak pagar kami dengan tetangga yang dekat juga di depannya terdapat tiang besar sehingga menghalangi jalan keluarnya.
Aku tak berhasil mengeluarkannya dari sana, lekas meminta bantuan adikku yang mungkin bisa menolongnya.
"Gimana nih? Susah di keluarin!" ucapku panik.
Akhirnya adik perempuanku mengangkat tubuh kucing dengan bobot cukup besar itu menggunakan satu tangannya. Dia angkat tubuhnya ke atas sampai akhirnya ia bisa keluar. Kami tak peduli menjadi tontonan semua orang di luar yang memperhatikan kami.
Kami tertawa lega karena berhasil mengeluarkannya. Dan juga karena tingkahnya yang membuat kami sedikit kesal.
Adikku mendekap Komeng untuk menghilangkan rasa takutnya.
Hal yang serupa dilakukan oleh adiknya, yaitu Wooly. Apa yang telah dilakukannya? Anak kucing ini bermain-main di genteng depan rumah tetanggaku. Aku terkejut sekaligus syok, khawatir ia tak bisa turun.
Mamah pun mencoba meyakinkan kami dengan berkata, "Kalau dia bisa naik, dia pasti bisa turun."
"Tapi gimana caranya? Dia kan masih kecil!" gerutuku, cemas.
"Dia kan kucing. Pasti bisa turun," jawab mamah. "Dia pasti naik dari pohon. Nanti juga turun. Biasa kucing suka naik-naik ke atas genteng."
Aku menunggu kucingku turun sembari sesekali mencari keberadaan anak kucing itu. Tapi mataku tak menemukannya. Dimana ia? Kemana kucingku? Hati ini mulai gelisah.
"Mah, dimana Wooly? Dia masih belum turun juga. Kalau gak bisa turun gimana?" sungutku. Aku pun memakai jilbab juga kacamata dan keluar rumah. Mereka ikut keluar untuk mencarinya.
Kami menemukan kucing mungil itu tengah duduk di atas genting rumah kosong, rumah yang tak jauh dari rumah kami. Tampak Wooly duduk dengan tenangnya tanpa rasa takut, sementara aku yang memandanginya dari bawah, khawatir terjadi sesuatu padanya.
"Wooly! Ya ampun Woly ... turun!" teriakku dengan nada tegas.
"Mah, gimana caranya Wooly turun?" tanyaku.
"Itu pakai kayu aja!" ujar mamah.
Aku pun mengambil sebuah kayu panjang yang tergeletak. Karena berat, aku meminta adikku untuk mengangkatnya, kemudian disenderkan di atap sebagai tangga. Tapi kucing polos itu hanya diam saja.
"Wooly! Cepetan turun!" teriakku, gemas. Kalau terdapat tangga, ingin rasanya langsung mengambil anak kucing itu. Entah kenapa kucing sangat suka membuat majikannya cemas?
Tak lama kemudian, tetangga kami yang melihat kami langsung menegur. "Ngapain?" tanyanya.
"Ini ... kucing naik ke atas genteng," jawabku sembari menunjuk ke atas.
" Oalah ... kucing siapa?" tanyanya.
"Kucingku," jawabku.
"Yang mana? Yang putih?" tanyanya lagi.
Mamah bantu menjawab, "Iya. Yang putih nih naik-naik ke atas genteng."
"Oalah ... gak bisa turun dia?" ucap ibu itu sembari memperhatikan kucingku.
"Iya. Nanti juga turun. Namanya juga kucing. Pasti bisa turun sendiri," seru mamah.
"Lah ... kemarin kan kucingnya sempet mau dibuang sama bapaknya." Mendengar pernyataan dari tetangga kami membuat kami terkejut.
"Yang mana?" tanya mamah.
"Itu yang putih. Sempet mau dibuang sama bapaknya. Di tenteng-tenteng gitu. Katanya mau dibuang," jawab ibu itu membuatku merasa kecewa.
Setelah itu, datang tetangga lainnya menanyakan hal yang sama. Mamah dan wanita baya itu pun berbincang-bincang. Sementara kami masuk karena adzan magrib sudah berkumandang.
Setelah selesai salat, aku tersentak melihat kucing cantikku sudah ada di teras rumah. Aku sontak berteriak girang, "Itu Wooly!"
"Kan dibilang kucing bisa turun sendiri," ucap mamah.
Aku pun menghampiri kucing imut itu dan langsung menggendongnya. Aku benar-benar khawatir padanya. Melihatku begitu cemas, adik perempuanku pun berkata, "Sama yang gua rasain kemarin waktu Komeng terjebak. Gua cemas banget. Si Komeng sampai ketakutan."
"Lagian si Komeng kenapa suka naik-naik pager sih?" kataku, keheranan.
"Tahu tuh," serunya.
Wooly, adiknya Komeng ini sama persis dengan abangnya yang tak suka digendong. Ia langsung memberontak dan pergi dari dekapanku. Setelah membuat semua orang rumah cemas, ia seperti tak merasa bersalah, langsung beranjak pergi ke dapur.
Tapi sebagai majikan, semua permintaannya akan kami penuhi. Lekas ku tuang makanan ke tempat makannya. Ia menyantapnya dengan lahap. Ia terlalu lelah bermain sampai sangat kelaparan.
Ada saja memang tingkah kucing yang membuat kita gemas. Namun meskipun terkadang mengesalkan, kami tetap berupaya menjaga dengan sepenuh hati kucing kesayangan kami yang sudah kami anggap menjadi bagian dari keluarga kami.
Pada malam hari, kami membiarkan Komeng tidur di dalam rumah. Entah mengapa kucing ini tak mau keluar rumah karena biasanya ia selalu berkelana mencari betina. Tapi kali ini ia memilih untuk tidur di dalam.
Tingkahnya aneh ... Benar-benar aneh ...
Di tengah malam, ia naik ke atas ranjang kami. Aku dan adikku berbagi kamar. Jadi ketika salah satunya bersuara, pasti ada yang terbangun. Aku terjaga di malam hari.
"Dia aneh banget tingkahnya. Tiba-tiba dia pengen disayang kaya gini ... Gua khawatir!" Adikku merasa resah karena tak biasanya Komeng bersikap sangat manja pada majikannya.
Dengan mata sayu, sembari mengelus-elus punggung berbulu itu, aku berkata, "Gaklah! Komeng sehat ... dia pasti umurnya panjang."
Meskipun aku meyakinkannya, adikku tak bisa menghilang firasat buruk dikepalanya. Kecemasan dan kegelisahan menghantuinya di malam itu. Baru kali ini Komeng meminta di elus-elus dalam waktu yang cukup lama. Aku yang mengantuk, melanjutkan tidurku.
Keesokannya, mereka sehat-sehat saja. Komeng masih senang bercanda dengan Wooly seperti biasanya, saling menggigit dan terus berlarian di sekitar rumah. Bahkan sekarang Wooly-ku begitu sehat dan lincah membuat kami senang sekaligus bersyukur, itu berarti aku berhasil merawatnya dengan baik.
Seperti layaknya raja dan ratu, kami memperlakukan mereka istimewa. Memanjakan mereka dengan makanan yang mereka sukai. Terkadang mereka meminta ikan, kami berikan agar mereka senang.
Hingga suatu ketika pada tanggal 25 Desember 2023, tepat di hari senin. Suasana rumah ini yang tampak ceria mendadak menjadi suram. Kedua kucing kami tampak lemas dan tak bergairah.
Awalnya aku hanya curiga pada Wooly, karena kucingku terus melamun. Sedangkan Komeng seperti biasa tidur di bawah meja teras. Aku membiarkan mereka. Mungkin mereka butuh istirahat? Jadi aku tak mau mengganggu mereka.
Mamah yang keluar teras juga merasakan ada yang aneh pada Wooly. "Itu si Wooly kenapa ngelamun begitu? Kelihatan lemes banget."
Aku menghela napas. Pikiranku tak karuan. Aku takut ia kenapa-kenapa. Aku pun keluar untuk memeriksanya lagi. Ia masih termangu dengan tatapan kosong. Entah apa yang terjadi dengannya?
Aku berinisiatif mengambilkannya minum. Namun ia enggan meminumnya. Ia memilih untuk tidur di karpet. Akhirnya aku membiarkan kucing cantikku tidur. Mungkin dengan istirahat ia dapat membaik?
Tapi hari semakin sore, mereka terus tertidur dan begitu tak bersemangat. Kami sama-sama kebingungan, karena pagi itu mereka masih sehat dan bugar. Bahkan mereka sempat berbutan makan ikan. Tapi kenapa mendadak mereka drop, sakit tanpa sebab?
Kami memindahkan Wooly dan Komeng di tempat tidur dari kardus yang sudah kubuat. Beberapa kali kami pindahkan ke tempat yang hangat, mereka malah justru memilih tidur di ubin teras.
Kami terus membujuk mereka untuk makan dan minum. Tapi indra penciumannya seakan tak mau menerima bebauan sedap dari makanan yang mereka sukai. Entah mengapa mendadak mereka jadi kehilangan selera makan mereka?
Kami bingung dan terus mempertanyakan penyakit apa yang tengah mereka derita sekarang? Sampai akhirnya aku memberikan Wooly obat diare karena kotorannya begitu lembek tidak seperti biasanya.
Sedangkan Komeng malah pergi tanpa kami ketahui. Sembari menunggu kepulangannya, aku pun mencari tahu melalui internet.
Dari artikel yang kubaca, kemungkinan mereka cacingan. Karena ciri-ciri gejalanya mirip dengan yang mereka alami saat ini.
Seharian Komeng tak kunjung datang. Kami cemas memikirkannya. Adikku takut akan hal yang terjadi pada kucingku dulu, yang tiba-tiba menghilang tak kunjung kembali. Mungkin itulah cara mereka agar majikan mereka tidak merasa sedih dengan kepergiannya dengan cara mengasingkan diri.
Aku berupaya meyakinkan adik perempuanku kalau Komeng pasti akan kembali. Tapi adikku tak mau menyimpan harapan yang akan menyakiti hatinya bila nanti harapannya tak seperti yang diharapkan.
Keesokan harinya, akhirnya Komeng pulang. Setelah kudengar suaranya yang tak semelengking dulu, aku langsung menghampiri kucing itu yang tampak lemas berjalan kemari. Mataku berbinar melihatnya kembali.
Aku langsung menggendongnya untuk menunjukkannya kepada adikku yang tengah berbaring sembari bermain ponsel di kamar. Reaksinya terkejut melihat kucing jantan kesayangannya akhirnya pulang.
Aku pun senang karena Allah mengabulkan doaku untuk meminta Komeng agar kembali kerumah walaupun dirinya masih dalam keadaan sakit.
Ia sontak berpaling dari ponselnya untuk memperhatikan Komeng. Kami beri ia minum dan Alhamdulillah, ia mau minum walaupun sedikit-sedikit. Meskipun ia tak mau makan, setidaknya ia mau minum agar tidak dehidrasi.
Tidak seperti Wooly yang hanya minum sekali. Tubuhnya sudah semakin kurus, bahkan terlihat lebih kurus dari sejak awal aku melihatnya. Kondisinya lebih memprihatinkan.
Pada tanggal 26 Desember 2023. Tepat di keesokan harinya, kondisi mereka malah semakin drop. Kami tak mampu membawa mereka periksa ke dokter hewan. Kami hanya bisa membelikan obat dengan harapan mereka lekas sembuh.
Kami cekoki mereka obatnya. Setelah itu, kami baringkan mereka di tempat tidur masing-masing. Kami biarkan mereka istirahat.
Pada sore harinya, aku tak sanggup menuliskannya karena hatiku masih bergetar bila mengingat duka yang begitu mendalam, masih membekas di hatiku.
Kondisi Wooly saat itu sudah benar-benar membuatku tak kuasa menggambarkannya. Untuk berjalan sudah tak mampu. Jalannya sempoyongan seperti tak ada kekuatan pada kaki-kaki kecilnya.
Entah kemana kakinya ingin membawanya pergi? Mungkin dia kehausan? Aku pun menyiapkan minum untuk kuberikan padanya. Tapi ia enggan menyentuh air dan hanya diam. Tubuhnya hanya bisa terbaring lemas di lantai.
Jika tak ada asupan yang bisa ia terima, aku pun menggendongnya agar ia beristirahat saja. Saat ku gendong, aku merindukan tubuhnya yang mempunyai tenaga cukup besar untuk melepaskan diri dari dekapanku. Tapi sekarang tubuhnya lunglai di atas lenganku. Ku biarkan raganya yang lelah beristirahat di tempatnya yang hangat.
Sedangkan Komeng masih di bawah meja sembari terus melamun. Adikku terus menemaninya agar ia tidak merasa kesepian disaat kucing itu mungkin membutuhkan perhatian.
Sungguh, kami bingung, khawatir dan cemas. Dipikiran kami terus bertanya-tanya, sakit apa mereka sebenarnya? Dan kenapa sakitnya mendadak? Kenapa mereka sakitnya bisa barengan?
Aku tak tahu kenapa tubuh Wooly begitu bau busuk. Sangat menyengat, sampai-sampai terkadang dihinggapi lalat. Aku mengabarkan kondisinya kepada mamah dan mamah menyimpulkan, "Yah ... gada harapan lagi kalau begitu mah."
Ya Allah ... rasanya aku belum bisa kehilangan Wooly-ku. Tapi melihat kondisinya yang sudah separah ini, membuatku tak yakin kalau ia bisa bertahan.
Aku terus menemani Wooly yang hanya bisa berbaring. Aku tak berhenti menangisinya. Membayangkan hal buruk akan kehilangan kucing cantikku, begitu menyakitkan.
Aku hanya bisa menangis sembari mengajaknya mengobrol. Adikku pun tak bisa membendung air mata melihat kucing kesayangannya yang juga terlihat payah, lesu dan tak bergairah.
"Udah, sekarang doain aja ... Ya Allah, jika engkau mau mengambil mereka, tolong permudahkanlah, hilangkan rasa sakit mereka dengan segera. Jika mereka tetap hidup, maka segera sembuhkan dan angkat penyakit mereka," ujar adikku dengan terisak-isak.
"Aamiin," seruku, mengaminkan. Aku tak berhenti menangis. Rasanya sesak melihatnya kesakitan. Ada penyesalan dalam dada karena tak bisa membawa mereka untuk berobat.
Saat adzan asar berkumandang, aku menjawab seruan adzan sembari ku elus-elus dengan lembut bulunya yang telah bercampur cairan busuk yang keluar dari mulutnya.
"Wooly ... Wooly kenapa sih Ly? Wooly kenapa?" tanyaku yang tak berhenti menangisinya.
Napasnya begitu cepat sehingga mulutnya terus terbuka tutup. Aku segera meletakkan minum. Mungkin ia meminta minum? Tapi ia tak mau minum juga karena sepertinya mulutnya tak mau menerima apapun masuk ke dalam mulutnya.
Tak berselang lama, kakinya bergerak seakan meminta pertolongan padaku. Aku yang kebingungan melihatnya hanya bisa bertanya, "Kenapa Wooly? Wooly mau apa?"
Mulutnya mencucu terus terbuka tutup seperti ikan yang menggelepar terdapar di darat. Aku lekas berlari untuk memberitahukan kepada mamah.
"Mah, kayanya Wooly mau sekarat? Mulutnya kebuka tutup begitu," ucapku dengan lemas.
"Heh." Entah kenapa bapak malah tertawa? Sedangkan mamah menjawab,"ya sudah, mau di apain lagi? Udah ajalnya."
Aku kembali melihat Wooly. Ya Allah ... rasanya tak sanggup melihatnya menderita. Kukira ia akan sembuh dengan sendirinya, tapi ternyata sakitnya semakin menjadi jadi.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan cairan kuning bercampur darah yang terus keluar dari mulutnya. Ku bersihkan mulutnya dengan menggunakan tissue. Tubuhnya tiba-tiba saja kejang-kejang membuatku panik dan tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menjerit.
Ku ucapkan syahadat dan dalam hati berharap agar kami dipertemukan suatu saat nanti. Tubuhnya terus bergetar membuatku lemas. Pikiranku kacau.
Mencoba mengikhlaskan meskipun sakit. Bila Tuhan ingin mengambil nyawanya, silahkan saja. Aku berusaha merelakannya. Hingga akhirnya kejang-kejangnya berhenti dan sekujur tubuhnya mendadak kaku.
"ly ... jangan bercanda, Ly... Wooly...."
Aku mencolek-colek perutnya berharap ia masih bergerak. Tapi kucoba berkali-kali, hasilnya nihil. Aku harus menerima kenyataan kalau dia sudah tidak ada di dunia ini.
Tangisku semakin menjadi-jadi. Akhirnya ia telah pergi untuk selama-lamanya. Seperti luka dibubuhi garam, terasa pedih menyayat hati. Tak percaya akan kehilangan sosoknya yang periang.
Aku pun kembali masuk ke dalam rumah untuk mengabarkan kalau Wooly sudah pulang. "Mah, Wooly udah mati."
"Ya udah. Namanya udah takdir," ucap mamah.
Aku kembali ke teras melihat tubuh mungil yang sudah tak bertuan. Menatap sayu bulu-bulunya yang basah. Ku elus-elus lembut bulunya yang halus untuk terakhir kalinya. Setelah ini, aku takan bisa merasakan kelembutan bulunya. Aku akan mengingat setiap kenangan manis yang ia tinggalkan di rumah ini.
Terimakasih untuk kehadiranmu yang singkat ini. Terimakasih karena sudah memberikan kebahagiaan di rumah ini. Dan maaf kalau aku tidak bisa merawatmu dengan baik.
Terimakasih atas keceriaan yang kau berikan walaupun hanya sebulan.
26 November, pertemuan yang kusebut sebagai pertemuan indah. Sahabat terindah yang bisa dipercaya. Walau tak dapat memahami dengan kata-kata, dia tak pernah bisa memahami bahasaku dan begitu pula denganku yang tak pernah bisa memahami bahasamu. Tapi kita berusaha saling memahaminya dengan menunjukkan kasih sayang satu sama lain.
Aku juga berterimakasih kepada Allah yang telah memberikan kebahagiaan untuk sebulan terakhir ini. Hari-hariku selalu dipenuhi keceriaan. Hari-hari yang dipenuhi tawa, akan selalu kuukir di memoriku.
Suaranya yang begitu lembut, bagaikan melodi di telingaku. Suara manja itu takan pernah terdengar lagi. Aku lekas meminta pada adik laki-lakiku untuk mengambil gambar agar bisa ku kenang sepanjang hari.
Sejenak aku termangu memandangi raga Wooly. Ini bukan pertama kalinya bagiku kehilangan kucing kesayangan. Namun ini adalah untuk pertama kalinya melihat kucing mengalami sekaratul maut dan aku yang menyaksikannya sendiri.
Membayangkan betapa sakitnya, tak sanggup ku bayangkan. Tapi aku bersyukur karena ia tak lagi merasakan sakit yang di deritanya. Jiwanya sudah pergi dengan tenang.
"Tolong ambilin Hp mamah buat foto. Buat kenang-kenangan," pintaku sembari menatap raganya. Kedua matanya masih terbuka lebar.
Adikku segera mengambilkan Hp dan langsung ku foto tubuhnya yang tak sebagus dulu, saat awal aku melihatnya. Walaupun begitu, aku tetap menyayanginya. Rasanya baru kemarin bertemu, sekarang kami sudah berpisah pada tanggal 26 Desember 2023, pada pukul 15. 20 PM, setelah ba'da asar.
Tiba-tiba saja bapak keluar dan langsung menegur kami dengan nada yang tinggi. "Cepetan kuburin, udah sore! Malah ditangisin!"
Hatiku memekik. Ingin rasanya menjerit pada saat itu juga. Aku hanya ingin memandangnya sebentar untuk terakhir kalinya. Namun, karena sudah sore, aku harus segera menguburkannya.
Aku segera mencari kain dengan batuan mamah yang memberikan kain putih bekas baju yang tak terpakai. Kain itu disobek agar mudah untuk mengkafaninya.
Ku bawa kain itu keluar teras dan langsung ku bungkus tubuh mungilnya. Mengambil sekop yang akan ku butuhkan untuk menguburkannya. Aku mengajak adik laki-lakiku untuk ikut ke halaman belakang rumah. Sementara adik perempuanku akan menjaga warung.
Kami pun berjalan ke halaman belakang. Aku tak percaya hari ini aku akan menguburkan kucingku sendiri dengan tanganku.
Aku memutuskan untuk memilih menguburkannya tepat di belakang halaman rumah kami. Di dekat pohon pisang, ku gali tanah merah hingga kedalamannya cukup untuk tubuhnya.
"Ayo sayang, pindah ke rumah barumu," ucapku sembari mengangkat tubuhnya yang sudah tertutupi kain.
Ku masukkan tubuh mungilnya yang sudah terbungkus kain putih ke dalam liang lahat, menghadap arah kiblat. Dengan mempersiapkan mental, ku tutup jasadnya dengan tanah. Untungnya belum hujan, kalau tidak kami akan kesulitan menggalinya karena basah.
"Semoga nanti kita bertemu lagi di surga, ya," ucapku dengan nada lirih sembari meninggikan tanah kuburan. Ku kuburkan kucingku dengan layak.
Setelah selesai, aku pun pulang bersama dengan adik laki-laki ku yang berjalan di depan. Kakiku membuntuti langkahnya melewati pepohonan dan semak-semak yang rimbun. Kakiku melangkah menuju rumah, tapi pikiranku kemana-mana.
Seperti masih tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Namun aku percaya disetiap pertemuan, pasti ada perpisahan yang menyakitkan. Raga ini pulang dengan perasaan hampa.
Aku mengatakan pada mamah dan adik perempuanku kalau aku menguburkannya di tanah halaman belakang. Adikku berkata, "Alhamdulillah. Dia udah gak ngerasain sakit lagi."
"Iya." Aku menanggapi ucapannya yang benar dengan memberikan senyuman getir.
Sekarang hanya tinggalah kucing kami satu-satunya, yaitu Komeng. Kami berharap kucing jantan yang kami kenal tangguh itu akan tetap bertahan berjuang dengan penyakitnya. Sedangkan adiknya, Wooly yang tak sanggup berjuang melawan penyakitnya. Atau mungkin Tuhan lebih menyayanginya sehingga membuat rasa sakitnya hilang untuk selamanya.
Pada malam harinya, ditengah-tengah gerimis, Komeng meminta pergi. Mamah pun menyuruhku untuk membiarkannya pergi karena mungkin kucing berbulu pendek itu mau buang kotoran. Tapi aku sudah terlanjur menggembok pagar.
Jika hanya sekedar buang air, aku pun membukakan pintu pagar. Namun kucing manis itu hanya terdiam, duduk di sana. Mungkin kakinya masih terlalu lemas untuk berjalan karena tak ada sumber energi yang masuk ke dalam tubuhnya, ia hanya mau minum saja. Tapi itu lebih baik, setidaknya ia takan kekurangan cairan dalam tubuh.
Beberapa menit kemudian, aku lihat Komeng menghilang. Ia sudah tidak ada di depan gerbang. Mungkin ia hendak mencari tempat untuk buang kotoran karena ia tak terbiasa buang kotoran di rumah meskipun kami sudah mengajarinya untuk buang air di rumah.
Sampai saat ini, Komeng tak kunjung pulang. Kami sudah berpikir bahwa ia memang mau pergi di malam itu. Mungkin saat itu, ia ingin berpamitan pada kami. Karena tak biasanya ia ingin dimanjakan oleh kami seakan menandakan kalau ia tidak akan di sini lagi. Kami coba mengikhlaskannya jika memang Komeng akan pergi menyusul adiknya.
Kami membicarakan kematian Wooly yang misterius dan penyakit mereka yang datang secara tiba-tiba.
"Kenapa mereka bisa mendadak sakit? Padahal pas paginya mereka lahap makan ikan tapi kenapa waktu siangnya mereka sakit?" tanyaku, bingung.
"Iya, aneh ... masa ujuk-ujuk sakit. Kita gak pernah kasih makanan yang macam-macam. Apa jangan-jangan, ada yang ngeracunin?" ucap mamah membuatku over thinking.
"Jangan suudzon!" bisik adik perempuanku tak mau berprasangka buruk.
Di setiap paginya, aku tak bisa merasakan sambutan hangat dari para kucing-kucing manis itu. Menyambut kehangatan fajar dengan suara-suara manja yang menjadi vitamin untuk menjalani aktivitas di setiap harinya. Dayaku seperti tak terisi penuh walaupun tidurku cukup.
Ketiadaan mereka, membuat rumah ini terasa sepi. Setiap sudut rumah ini, memberikan banyak kenangan manis bersama mereka. Tak ada satu titikpun tanpa jejak. Semua dipenuhi dengan kenangan indah yang tak terlupakan.
Hari demi hari harus kami jalani tanpa kehadiran mereka yang menemani hari.
Kami harus menerima kenyataan kalau mereka takan berada disisi kami lagi.
Untuk menemani dikala sepi..
Rintik demi rintik hujan, kami menyampaikan rindu pada satu harapan kami yang mungkin takan pernah kembali.
Dimanakah ia berada saat ini?
Berharap kucing berbulu pendek itu datang, namun semua seperti mimpi.
Hanya tertinggal bulu-bulu halus di kain yang menjadi alas untuk tidur mereka.
Aku harap, mereka akan mendapatkan tempat yang nyaman di surga suatu saat nanti..
Tiba-tiba saja, bapak menanyakan Komeng yang tak pulang juga sampai sekarang. "Si Komeng belum balik juga?"
Mamah menjawab, "Belum. Kucing kalau pada sakit biasanya begitu ... kalau mau mati, pergi cari tempat persembunyian."
"Kasihan." Responnya seperti ada rasa iba terhadap kucing jantan itu. Aku tak percaya kalau bapak peduli padanya.
"Aneh deh ... Tadinya padahal sehat-sehat aja. Sakitnya mendadak. Orang pagi-paginya mereka pada sehat, berebutan makanan. Eh ... gak lama malah pada sakit." Mamah menjelaskannya sembari keheranan.
"Kaya ada yang sengaja ngeracunin. Katanya, si Wooly keluar darah dari mulutnya," imbuhnya.
"Oh ... tega amat yang ngeracunin," ucap bapak, kasihan.
Mungkin bapak tak pernah menyukai kucing karena prilaku kucing yang jorok. Tapi meskipun begitu, tak pernah diriku merasa jijik karena cintaku terhadap hewan manis itu membuatku tulus merawatnya. Mamah pun berpesan untuk tidak memelihara kucing lagi bukan karena tak suka, tapi tak mau kami terluka karena kehilangan untuk kesekian kalinya.
Mamah menyarankan untuk berbagi pada kucing dan sekedar memberikan makanan saja, tanpa menyayanginya dan merasa memilikinya agar suatu saat mereka pergi, tak akan merasakan sakitnya kehilangan.
Entah, apakah diriku bisa hidup tanpa teman imut berkaki empat itu? Adakah yang bisa menggantikan sosok mereka yang selalu mewarnai rumah ini? Hanya ada satu harapan, semoga kami semua dipertemukan dengan kucing-kucing kami yang telah tiada..
Karena aku tidak bisa kehilangan mereka untuk selama-lamanya.. Aku ingin ada pertemuan indah suatu saat nanti, jika Allah mengkehendaki..