Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ruang cuci itu terasa panas dan pengap. Izar berdiri untuk menyalakan kipas angin di sudut ruangan ketika mesin cuci tua itu kembali bertingkah. Mesin itu bergoyang keras sekali sambil mengeluarkan bunyi dok-dok-dok keras. Izar pusing dibuatnya.
Bunda mencuci apa sih, sampai bunyinya kayak gini? Jangan-jangan ibunya itu tadi memasukkan bed cover ke dalamnya.
Indikator waktu menunjukan sisa waktu satu menit lagi. Izar menahan mesin itu dengan tubuhnya sehingga tidak bergoyang terlalu keras. Tepat ketika indikator waktu menunjuk ke angka nol, pintu mesin cuci mendadak menjeblak terbuka.
Izar terlompat ke belakang, menabrak rak berisi botol pengharum dan sabun cuci. Matanya terbelalak ketakutan. Seseorang baru saja keluar dari mesin cuci tuanya!
Seorang gadis berambut ikal pendek berpegang pada pinggiran mesin cuci dengan mata berputar dan tubuh basah kuyup.
"Astaga, kepalaku pusing," gumamnya sebelum jatuh pingsan.
***
"Apa yang...." gumam gadis itu ketika membuka matanya. "Ugh, bau apek," gerutunya seraya berusaha duduk.
"Sorry ya, kamarku bau apek," ucap Izar sinis.
Mata gadis itu berubah waspada menyadari di mana dirinya berada. Matanya memindai cepat seluruh ruangan, kemudian dia bergegas memeriksa dirinya. Dia terkesiap panik karena tidak bisa bergerak, tapi segera menyadari bahwa bukan tali yang menghambat gerakannya, melainkan selimut tebal yang membalutnya seperti kepompong.
"Ganti bajumu. Kamu basah kuyup, jadi aku bungkus pakai dua lapis selimut biar nggak masuk angin." Izar menunjuk setumpuk pakaian yang dia siapkan di ujung tempat tidur.
Tadi, dengan susah payah Izar membawa gadis itu ke kamarnya. Dia terpaksa mengangkutnya menggunakan lift barang berukuran mini rancangan ayahnya. Syukurlah gadis itu tidak terlalu berat.
Gadis itu beringsut keluar dari kepompongnya. Matanya tetap mengawasi Izar dengan curiga, tapi perlahan dia mengendurkan pertahanannya ketika menyadari bahwa lawan bicaranya hanyalah seorang bocah berkacamata dan berkulit pucat.
"Aku ganti di mana?"
Izar menunjuk salah satu pintu di kamarnya. "Itu kamar mandiku, pakai sesukamu."
***
"Siapa namamu?" Izar memulai interogasinya.
"Aurora," jawabnya.
"Kenapa kamu keluar dari mesin cuciku?" tanya Izar.
"Aku tidak tahu. Aku terjatuh ke dalam salah satu Storage Room di Distrik 7, lalu tiba-tiba pintunya menutup dan berputar. Kukira aku bakal mati. Lalu aku terlempar di sini," ucapnya kebingungan.
Distrik 7? Di mana pula itu?
"Kok kamu bicara bahasaku? Umurmu berapa? Tinggal di mana?"
Mata Aurora membelalak. "Kamu cerewet banget. Berapa umurmu, sih?" balas Aurora.
"Aku sepuluh," jawab Izar.
Mana ada anak sepuluh tahun baca buku tentang teori Einstein-Rosen Bridge dan Fisika Kuantum.
"Beneran sepuluh kok. Aku keluar dari sekolah umum. Katanya aku bikin onar terus, padahal aku yang di-bully," ucap Izar. "Aku dibilang nyontek, padahal aku memang tahu semua jawaban soalnya."
"Masa?" ucap Aurora tak percaya, seraya duduk di salah satu kursi putar Izar di sebelahnya.
"IQ-ku 182," ucap Izar tanpa ditanya.
Aurora terjungkal terkejut.
***
Aurora duduk memeluk lutut di karpet kamar Izar. Pikirannya mulai tenang setelah secangkir coklat hangat mengisi perutnya.
"Ini tahun berapa?" tanya Aurora, mengamati interior kamar Izar. Warna biru dan perak mendominasi.
"2030," jawab anak itu.
"Kukira aku masih di tahun 2055," gumam Aurora. "Ada microchip di gigi gerahamku, untuk mengolah bahasa asing. Itu sebabnya aku seperti fasih bahasamu. Alat ini juga berfungsi sebagai pelacak. Semua penghuni Outer Earth Voyage dipasangi alat ini karena kami terdiri dari berbagai bangsa."
"Outer Earth Voyage?" Izar membelalak.
"Kamu tahu 'kan, tiga tahun lalu hotel luar angkasa mulai beroperasi? Ini konsepnya sama, tapi lebih ke arah hunian jangka panjang. Kayak apartemen. Aku termasuk generasi pertama yang terpilih," jelasnya.
Sebetulnya, Aurora nyaris gagal saat seleksi karena faktor usia, tapi seseorang bernama Mr. Argyros membantunya dengan surat rekomendasi.
"Umurmu?" tanya Izar.
"Ngotot amat sih nanya umur orang," gerutu Aurora. "Sembilan belas. Puas?!"
"Bohong," sergah Izar.
"Bohong gimana?" Aurora meradang.
"Kakakku umur sembilan belas, tapi nggak rata kayak kamu!"
Aurora menjitak Izar dengan jengkel.
***
Mereka berempat duduk di ruang tamu, menikmati kue-kue dan teh hangat. Kedua orang tua Izar mengamati Aurora dengan penasaran.
"Jadi, ini temanmu dari forum Scientia itu?"
"He em." Izar menghindari tatapan ibunya.
"Siapa namamu, Nak? Kamu imut sekali." Bunda menatap gemas.
"Aur ... Ow!" Izar mencubit lengan Aurora.
"Namanya Aurum. Biasa dipanggil Au," sambar Izar.
Bisa repot kalau ketahuan Aurora itu perempuan. Izar memberi isyarat pada Aurora. Gadis itu mengangguk terpaksa.
Astaga, ini bakal melelahkan.
***
Aurora meraih buku komik satu-satunya yang ada di kamar Izar. Ternyata dia cukup normal, suka baca komik juga. Aurora terkekeh melihat judulnya. Si Kucing Biru.
Pintu menjeblak terbuka ketika Aurora sedang asyik membaca. "Gimana?" tanyanya ketika Izar muncul dengan wajah kusut.
"Belum. Aku butuh satu spare part lagi. Mesin cuci itu kelewat tua, susah banget nyarinya. Mana Bunda curiga pula karena aku ngotot memperbaiki mesin itu," keluh Izar.
Mesin cuci itu mati total setelah Aurora keluar dari dalamnya. Sebagian baju yang dicuci hilang, mungkin terbuang ke luar angkasa. Aurora terkikik membayangkan kemungkinan itu. Bagaimanapun, mesin itu harus diperbaiki karena bisa jadi itu satu-satunya jalan bagi Aurora untuk kembali.
"Aku lebih suka kamu nggak pulang, Au. Kamu teman pertamaku. Aku nggak punya teman, anak-anak seusiaku menganggapku aneh."
Aurora menatapnya penuh simpati. Dia paham perasaan Izar. Di Outer Earth pun dia penghuni termuda. Perawakannya yang kekanakan membuatnya mendapat tatapan aneh dari penghuni lain. Terutama orang itu, Mr. Argyros. Entah kenapa pria itu selalu menatapnya penuh selidik.
"Au. Jangan pulang ya. Tinggal di sini saja."
***
Hari berganti. Aurora sebisa mungkin menghindari pergi ke luar ataupun bertemu orang lain. Sebagian karena khawatir akan mengubah masa depan, sebagian lagi karena tubuhnya terasa berat.
Gadis itu menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku karya ayah Izar--yang ternyata adalah penulis novel misteri, serta mencoba beberapa permainan milik Izar.
Sebaliknya, Izar jadi lebih sering keluar rumah, terutama untuk melengkapi spare part mesin cucinya. Seringkali Izar membawa pulang komik dari perpustakaan kompleks untuk dibaca oleh Aurora.
"Au. Sini! Mesin itu berhasil kuperbaiki," panggil Izar suatu sore.
Aurora menutup komik yang baru saja hendak dibacanya dan memasukkannya ke dalam saku.
"Ke mana orang tuamu?"
"Pergi," jawab Izar singkat. Tangannya memencet beberapa tombol dan membuka keran air. "Tuh, 'kan?" ucapnya bangga.
Mesin itu memang kembali berfungsi, tapi....
"Jadi gimana caranya aku pulang? Masuk ke dalam situ?" tanya Aurora ragu.
"Yah, waktu itu juga kamu keluar dari situ. Bunyinya heboh sekali," jawab Izar.
"Waktu itu aku jatuh ke Storage Room yang kering, bukan sengaja nyemplung ke dalam mesin penuh air begini," protes Aurora.
"Takut?" ledek Izar.
"Enak saja. Minggir! Dasar bocah tengil." Dia mendorong kursi ke sebelah mesin untuk menggunakannya sebagai pijakan.
Izar mencekal lengannya. "Tunggu!"
"Apaan?"
"Bagaimana kalau ... wormhole-nya nggak terbuka?" Izar menelan ludah.
Aurora tertawa gelisah. "Beri aku sepuluh detik ya. Kalo aku teriak-teriak, matikan mesinnya dan keluarkan aku."
"I'm in a huge trouble," gumam Izar. "Baiklah."
"Bye, Izar. Kamu kadang menjengkelkan, tapi aku sayang kamu." Aurora memeluknya.
"Yeah. Bye." Wajah Izar merah padam. "Kamu sama menjengkelkannya dengan kakakku."
Aurora tertawa. Dia membuka tutup mesin, sekilas menatap cemas ke arah air yang bergolak, lalu melompat ke dalamnya. Samar-samar didengarnya suara Izar berteriak.
"Au! Aurora! Tunggu!"
***
Berapa lama dia mengapung di kegelapan? Ini bukan di dalam air, juga bukan di udara. Dia bernafas, tapi tidak dapat merasakan udara masuk ke dalam paru-parunya. Aurora kehilangan arah. Sensasi ini persis seperti yang dirasakannya sebelum tiba di tempat Izar.
"Phuah!"
Aurora terbatuk-batuk. Dia mengerang dan berguling ke samping.
"Ssh, kamu aman sekarang." Seseorang mengusap kepalanya.
Aurora menatap ke arah suara. Matanya yang buram menatap sosok tinggi besar berlutut di hadapannya. Sosok-sosok buram lain berkerumun di latar belakang.
"Mr. Argyros?" ucapnya serak.
"Aku bergegas ke sini setelah mendengar ada kebocoran di ruang 737. Ternyata yang terjadi bukan sekadar kebocoran ya." Dia mendengkus menahan tawa.
Aurora tidak pernah melihat Mr. Argyros tertawa atau menampilkan emosi apapun. Wajahnya selalu datar dan matanya penuh perhitungan.
"Apa yang lucu?" tanya Aurora curiga.
"Bajumu itu. Kuno sekali." Dia tertawa. "Kamu nyasar ke mana, ditelan lubang waktu?"
"Tidak lucu, Mr. Argyros," gerutu Aurora. Tatapannya menyapu ruangan itu. Beberapa potong kaus anak-anak basah bertebaran di antara genangan air. Entah bagaimana dia menjelaskan kejadian ini pada pengawas distrik yang masih terkekeh di hadapannya.
"Begini ...." Aurora membuka mulut.
Mr. Argyros mencegahnya bicara dengan lambaian singkat. "Nanti saja. Kembali ke kamarmu, kamu basah kuyup. Nanti masuk angin."
Kening Aurora berkernyit. Masuk angin?
Dia menggelengkan kepala, berusaha menjernihkan benaknya yang berkabut. Mungkin sebaiknya dia kembali dulu ke kamarnya. Beberapa petugas tampak berdatangan untuk memasang barikade dan membersihkan ruangan itu.
"Tunggu," panggil Mr. Argyros.
Aurora pura-pura tidak mendengarnya. Dia sudah terlalu lelah.
"Au! Tunggu, Aurum!"
Terkejut, Aurora menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Jangan lupa kembalikan komik itu. Aku kena denda perpustakaan puluhan tahun gara-gara buku itu kamu bawa," ucapnya sebelum melangkah pergi.
Komik?
Gadis berambut emas itu meraba saku bajunya, teringat dirinya mengantungi sebuah komik sebelum melompat.
Dibukanya komik yang halamannya nyaris lengket karena basah. Selembar kartu magnetik perpustakaan terselip di bagian dalam sampulnya.
Nama yang tertera pada kartu itu membuatnya terhuyung.
Izar Caelum Argyros.
-Tamat-
Mælkevejen, 17 Juni 2023