Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sorot lampu kuning menembus jendela, mengisi ruang tamu tempat kami berkumpul. Terdengar suara pintu mobil ditutup.
Seseorang masuk, berambut klimis, bersepatu pantofel mengkilap, dengan seragam coklat dari atas sampai bawah. Ialah Narman, anak kedua yang secara karier paling mentereng di antara kami. Jabatannya kini adalah pegawai negeri sipil di Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Jakarta.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumusaalam” jawab kami berempat hampir bersamaan.
Aku menjabat tangan Narman lalu berpelukan.
“Sehat, Mas?” tanya Narman.
“Sehat-sehat, alhamdulillah”
“Ibu di kamar ya?” tanya Narman sambil ngeloyor hendak menuju kamar ibu.
“Eh, besok aja ketemunya, Man. Ibu barusan tidur”
“Oh gitu”
“Mumpung ibu tidur, kita mulai saja”
Narman menggeret kursi. Diletakkan tas ransel hitamnya di lantai. Ia duduk di sebelahku.
“Seperti yang Mas sempat sampaikan di telpon. Ibu pengen kembali tinggal di sini. Sabdo mungkin bisa menjelaskan, sebagai yang paling tau kondisi terakhir ibu”
“Ya, itu Mas. Ibu mau tinggal di sini aja. Katanya dia kurang nyaman di rumah kita. Apalagi harus pindah-pindah”
“Waktu awal kita punya ide bergantian merawat ibu, bukannya ibu memang sering mengeluh begitu?” timpal Narman.
“Iya, Mas. Tapi sekarang sampai enggak mau makan. Kalau malam juga sering terbangun. Jarang bisa tidur nyenyak” imbuh Sabdo.
“Apa karena tiga bulan terlalu lama, ibu jadi bosan” ujar Arif.
“Iya. Apa mau dipersingkat, jadi dua bulan baru gantian?” usul Narman.
“Engga Mas. Bukan itu masalahnya. Ibu pengen tinggal di rumahnya ini. Itu saja. Soalnya itu yang ibu sampaikan berulang-ulang” ujar Sabdo.
Kami semua saling tatap, seolah bersiap untuk memasukin obrolan rumit seperti sebelumnya.
Dua tahun lalu, setelah melewati diskusi panjang, hingga perdebatan, dipilihlah ide merawat ibu secara bergantian. Ide ini adalah opsi yang kami rasa paling baik ketimbang menyediakan ART. Selain sulit mencari ART yang bisa dipercaya, ibu juga tidak nyaman ada orang asing di rumahnya.
Di tengah keheningan mencari opsi, aku pun menjelaskan kondisiku terkini.
“Keadaan Mas masih sama seperti dua tahun lalu, warung enggak bisa ditinggal. Meski ada tiga karyawan, tetap harus ada yang mengawasi di warung.”
“Kalau kamu Man, belum ada kabar mutasi ke sini?” tanyaku.
“Belum. Tidak semudah itu ternyata, Mas”
“Aku juga masih sama, Mas. Toko masih aku dan istri yang jaga. Belum sanggup bayar karyawan” timpal Sabdo.
Aku mengalihkan pandangan ke Arif.
“Aku di-PHK dari pabrik. Belum nemu kerjaan baru. Tapi ini lagi nunggu kabar kerjaan dari teman” cerita Arif sambil jemarinya memilin-milin kertas rokok.
Aku dan Narman saling tatap. Lalu pandangan kami beralih ke si bungsu, Ayu.
“Aku masih garap tugas akhir” ujar Ayu datar.
“Sebenarnya tugas akhirmu itu buat apa sih, Yu?” sambar Sabdo.
“Film”
“Iya, Mas tau. Tapi apa kudu lama gitu?”
“Iya, Mas. Ayu dan tim kudu ngumpulin duit buat tugas akhir ini.”
Soal Ayu ini, Narman dan Sabdo memang sering mengungkapkan keresahannya via telpon. Mereka sejak awal tidak sreg dengan pilihan Ayu mengambil jurusan film, di Jogja pula. Terutama Narman, ia cukup perhatian masalah pendidikan.
Buatku, aku tidak masalah dengan pilihan kuliah Ayu, termasuk keputusannya pindah ke Jogja. Namun jujur saja, aku tidak tahu kalau jurusan ini lama lulusanya, membutuhkan biaya besar, bahkan sampai mencari duit untuk menggarap tugas akhir.
“Seandainya kamu dulu ikut saran Mas Narman ambil sekolah kedinasan, pasti kamu sudah PNS di sini, Yu” ujar Sabdo.
“Apa sih, Mas! Mau ngulangi lagi debat empat tahun lalu?”
“Kenapa orang kuliah malah ngumpulin duit, Yu? Orang kuliah kan tujuannya buat nyari duit” timpal Arif.
“Mas enggak paham”
“Iya Mas enggak paham. Setidaknya Mas enggak nyusahin”
“Arif!” bentakku.
“Yu…” Narman akhirnya mengeluarkan suara.
“Iya Mas, Ayu tau. Ayu dari dulu dibantu biaya sekolah. Mas Narman mau bilang itu kan, seperti tahun lalu?” ujar Ayu memotong perkataan Narman.
“Kamu itu harus sadar. Kehidupan sebenarnya itu bukan hanya sekadar ngikutin kemauan sendiri, ngikutin passion. Tapi soal tanggung jawab”
“Man…” kataku pada Narman lirih, berharap dia tidak meneruskan kalimatnya.
“Tanggung jawab? Oh, jadi tanggung jawab bisa dialihkan kalau kita punya duit ya? Ayu tau kok, mas Narman pernah nitipin ibu lebih lama di tempat Mas Arif dengan imbalan duit”
“Itu…”
“Ayu juga sadar diri kok, kalau biaya kuliah Ayu enggak sedikit.” ucap Ayu tak memedulikan pembelaan Narman.
“Enggak pada tau kan kalau Ayu dari SMP jualan di sekolah. Jualan peyek, donat, nasi kuning. Sampai sekarang pun Ayu masih jualan.”
“Dari kecil Ayu di rumah sama ibu, masak, mencuci, bersih-bersih, bahkan bantu ibu buang air besar”
“Ayu sudah muak dengar, ‘ayu anak bungsung, ayu cewek’ seolah hidup Ayu wajib di rumah ini ngurusin ibu.”
“Mas Narman pernah ngomong, kalau Ayu mau di rumah, ngurushin ibu, Ayu bakal dapat jatah bulanan. Ini bukan soal duit, Mas. 17 tahun Ayu sama ibu, masa Ayu enggak boleh punya hidup sendiri!”
Ayu berdiri, lalu beranjak meninggalkan ruang tamu menuju teras. Sekilas ku lihat, setetes air matanya jatuh.
Sudah ku duga, ketegangan akan terjadi. Rapat keluarga semacam ini sering kali malah jadi ajang menumpahkan amarah yang menumpuk.
Suasana hening. Arif masih memilin-milin kertas rokok. Sabdo tampak tertunduk. Narman mencondongkan badan ke meja sambil memegang jidatnya.
Yang buat masalah ini sulit diurai adalah justru karena setiap dari kami tidak ada yang salah, tidak ada yang jahat. Semuanya ingin yang terbaik bagi ibu. Di satu sisi, ada tanggung jawab lain yang harus kami jalani. Masing-masing dari kami, kecuali Ayu, sudah memiliki keluarga. Kami semua berjuang masalah ekonomi. Kami pun memiliki luka masing-masing di keluarga ini. Aku yakin, meski belum berkeluarga, Ayu juga memiliki perjuangan dan lukanya sendiri.
Aku, sebagai anak tertua, akulah yang menggantikan bapak setelah ia meninggal. Bekerja dari subuh ke siang, dari sore ke malam. Termasuk membantu pekerjaan rumah yang tak terpegang oleh ibu.
Narman, anak terpintar di keluarga, banyak menanggung beban ekonomi. Ya, memang Narman memiliki gaji pasti sebagai PNS. Namun tetap saja, menanggung satu ibu dan tiga adik secara ekonomi tidaklah ringan. Bahkan aku pun pernah meminjam duit pada Narman.
Sabdo, anak tengah yang minderan. Selalu tidak pede dengan kemampuannya. Kepercayaan dirinya makin merosot sepeninggal bapak. Niatnya yang ingin kuliah pun padam. Hidupnya kini dibayang-bayangi penyesalan. Alih-alih menjadi arsitek, sekarang ia menjadi penjaga toko kelontong.
Arif, anak laki-laki terkecil yang memutuskan untuk tidak melanjutkan SMA karena pergaulannya yang ugal-ugalan. Memang, anak ini sejak kecil sulit diatur. Namun aku tak bisa sepenuhnya menyalahkannya. Arif tidak sempat merasakan perhatian dari seorang bapak. Kini hidup Arif benar-benar bagai roller coaster, ia harus membesarkan tiga anak dalam keadaan tidak memiliki pekerjaan.
Ayu, anak bungsu, wanita satu-satunya yang diminta menjadi sosok ibu di usia yang masih sangat belia. Ayu dibesarkan tanpa merasakan memiliki bapak dan ibu yang sudah tidak prima.
Aku menyusul Ayu ke teras rumah, membujuknya untuk masuk, karena ada yang ingin aku sampaikan.
Semua kembali di meja ruang tamu. Aku menarik napas panjang. Mempertimbangkan segala hal, sudah kuputuskan untuk mengambil langkah ini. Setidaknya untuk sementara.
“Oke. Semuanya bisa pulang besok pagi. Tapi, Mas mau kita semua kumpul di rumah tiga bulan lagi. Saat awal puasa dan Lebaran.”
“Ma-mas, bisa enggak kalau aku datangnya pas Lebaran, karena…”
“Do, kamu tega ibu hari pertama puasa sendiri? Lagi pula, enggak apa-apa cuman sehari atau dua hari”
Sabdo tak melanjutkan kalimatnya, ia tertunduk dan sedikit mengangguk.
“Mas bakal di sini selama seminggu, untuk renov bagian rumah yang rusak.”
“Jadi Mas minta kita patungan. Kirim ke rekening Mas. Seikhlasnya saja, mau enggak ikut patungan dulu juga boleh. Mas enggak bakal kasih tau siapa-siapa”
“Kalau sudah enggak ada yang disampiakan, Mas tutup. Semua segera istirahat.”
Ayu langsung bergegas ke dapur. Sementara Arif menuju teras sambil mengeluarkan sebatang rokok dari saku bajunya diikuti Sabdo. Aku dan Narman masih di meja ruang tamu.
“Mas, aku balik malam ini ya”
“Loh, kenapa buru-buru?”
“Aku besok pagi ada meeting dengan kepala dinas, Mas”
“Tadi siang saja aku izin dari rapat untuk ke sini”
“Oh gitu. Oke”
Narman berdiri sambil mengangkat tasnya, “Titip ibu ya mas. Maaf enggak bisa lama. Besok pagi segera aku transfer”
“Iya. Hati-hati ya. Salam untuk Lastri dan si kecil”
“Siap, Mas”
Narman mendekati pintu kamar ibu, mengintip ibu yang sedang tidur. Lalu ia bergegas pergi menuju taksi yang sudah menunggunya.
***
Keesokan paginya, semuanya telah pergi. Barusan aku dan ibu berpelukan dengan Ayu, melepas kepergiannya ke Jogja. Ibu langsung ke halaman belakang mengurusi tanaman-tanamannya yang terbengkalai.
Hari ini aku mulai dengan memperbaiki bagian rumah yang rusak dan menambahkan fasilitas untuk membantu keseharian ibu. Aku mulai dari kamar mandi. Sepertinya aku terpengaruh sinetron yang sering istriku tonton. Adegan terpeleset di kamar mandi membuatku parno. Aku ganti tegel kamar mandi degang yang berpola. Aku pun memberi besi-besi pegangan mengelilingi kamar mandi seperti di toilet rumah sakit. Lalu memasang shower, agar ibu tidak perlu membungkuk mengambil air dengan gayung. Timba sumur sengaja aku copot, aku ganti dengan mesin sanyo. Rasanya aku tidak bisa tidur nyenyak membayangkan ibu menimba di sumur. Terakhir, aku memasang kelambu di tempat tidur ibu.
Semua sudah beres, tinggal satu hal yang perlu aku lakukan, menemui Karjo. Karjo sebenarnya adalah teman sekelas Narman sewaktu SMP. Namun karena umur kami tidak terpaut jauh, aku kadang bermain bersamanya. Aku dengar dari Narman, Karjo sempat bekerja di sebuah pabrik di Cikarang. Tentu gajinya lumayan. Tapi entah mengapa ia tiba-tiba keluar dan memutuskan kembali ke desa, menjadi petani dan pekerja serabutan.
“Assalamualaikum” sapaku pada Karjo yang sedang menjemur gabah di halaman rumahnya.
“Waalikumusalaam. Mas Cipto ya?” buru-buru Karjo mengelap tangannya di kaos partai yang ia kenakan.
“Iya, Jo. Masih inget aja”
“Welah. Ingat dong, Mas. Ayo duduk” Karjo mempersilakan.
Ditemani teh hangat dan emping sebagai suguhan, aku mengutarakan maksudku untuk meminta tolong Karjo menjaga ibu dan mengurus rumah.
“Tapi saya kalau pagi sampai siang harus di sawah, Mas. Enggak bisa full”
“Oh, ya enggak masalah, Jo. Minimal sehari sekali menjenguk ibu, itu sudah cukup”
“Untuk pekerjaan yang berat-berat, bisa dilakukan selonggarmu, Jo”
“Sebenarnya yang terpenting, kita butuh orang yang bisa rutin memantau keadaan ibu”
“Oh gitu, baik Mas. Insyaallah bisa”
Aku pun pamit dari rumah Karjo. Membawa kembali uang dalam amplop yang sudah kusiapkan untuknya. Karjo bersikeras tak mau menerimanya. Namun aku mengatakan, akan tetap memberikannya nanti. Karjo hanya terseyum.
Hari ini aku balik ke Surabaya. Di teras rumah, aku mencium punggung tangan ibu dan kedua pipinya. Ku perhatikan sekilas, matanya yang dulu tegas menatap, kini terlihat sayu, redup oleh usia. Lalu kupeluk ibu erat. Tubuhnya pun kini tidak sehangat dulu. Mangkin karena bobot yang menyusut drastis akibat sakit. Bahkan bisa kurasakan lekuk-lekuk tulangnya.
“Ibu masih ingat kan yang Cipto ajarkan kalau di kamar mandi?”
“Iya, Gus. Hati-hati ya” ucap ibu, memanggilku dengan julukan masa kecilku, Bagus (anak baik).
Jawabannya yang selalu mengiyakan instruksiku, tanpa banyak bertanya, justru membuatku khawatir. Tapi ya sudahlah, aku harus memaksa diri mengendalikan rasa khawatirku.
***
Dua bulan dua puluh tujuh hari berselang. Siang itu warung sedang ramai-ramainya. Aku tengah membuat nasi goreng untuk pelanggan. Istriku tiba-tiba muncul dari dapur dengan HP yang masih menempel di telinga. Dari tatapan matanya, aku sudah tau akan ada berita buruk meluncur dari mulutnya.
“Ibu…”
Sekejap aku tahu apa berita buruknya.
***
Di rumah, di meja makan, kami berlima menyantap sahur yang dimasak istriku. Tak ada obrolan, hanya suara sendok garpu yang beradu dengan piring.
Aku lihat Narman berhenti makan, wajahnya tertunduk, badannya bergetar. Lekas ku tahu ia menangis. Aku berdiri dan memeluknya erat. Sabdo dan Arif pun ikut berdiri memeluk kami.
Ku lihat ayu masih diam di kusinya sambil menatap makannya. Aku tahu, bukan hanya sedih, di dadanya ada amarah. Aku menghampiri Ayu lalu memeluknya. Tangisnya pecah. Narman, Sabdo, dan Arif pun memeluk Ayu.
“Ma-ma-afin Mas ya, Yu” ucap Narman dengan bergetar. Tangisnya membuat kata-katanya terpenggal. Napasnya tersengal-sengal.
“A-ayu juga minta maaf, Mas” raung Ayu dengan wajah banjir air mata.
***
Aku sudah di depan pintu rumah Karjo. Sejak tadi ku panggil, ia tak kunjung muncul. Aku masuk ke rumahnya yang pintunya tak ditutup. Di desa ini, tak pernah ada pencurian, membiarkan pintu terbuka adalah hal lumrah. Ku panggil-panggil, Karjo tak kunjung muncul. Ku perhatikan sekeliling ruang tamunya. Aku melihat dua foto berbingkai ukuran sedang digantung, satu pria berseragam akademi pelayaran, satunya lagi foto wisuda. Lekas ku sadari mereka berdua adalah kakak Karjo.
Di sebelahnya ada sebuah lemari kayu tua, di situ aku menemukan foto Karjo. Foto berukuran kecil, tanpa bingkai, diselotip di kaca lemari. Di foto itu Karjo dan ibunya sedang memanen kacang. Keduanya tampak sumringah.
Selama tiga bulan berkomunikasi via telpon, yang baru aku sadari, Karjo adalah orang yang tekun. Tidak banyak pria yang telaten mengurus rumah. Bahkan ibu pernah bercerita, kakinya sering dibersihkan oleh Karjo selepas mengurus tanaman-tanamannya.
Karjo tak kunjung muncul, sementara jadwal keretaku kian mepet. Aku pun menyelipkan amplop putih berisi uang, upah tiga bulan Karjo menjaga ibu. Setelah ku pikir-pikir, menyelipkannya di lemari justru ide yang bagus. Belum tentu memberikan uang ini secara langsung akan diterimanya. Lebih baik aku mengucapkan terima kasih via telepon sesampainya di Surabaya.
Di perjalanan menuju stasiun, aku melewati jalan kecil setapak pinggir sawah. Di tepi jalan, belasan pohon trembesi tua berjajar. Di jalan ini dulu ibu sering menjemputku dengan sepeda onthel ketika mainku terlalu larut.
Matahari perlahan mulai tenggelam. HP ku tiba-tiba bergetar, ternyata alarm kalenderku berbunyi. Tentu, urusan teknologi seperti ini kerjaan istriku. Muncul pemberitahuan di layar HP…
“Giliran Mas Cipto merawat ibu”.