Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku baru tiba di Surabaya, Indonesia, saat berita tentang gus-gus itu viral. Jika berpikir dengan sederhana, aku akan bilang bahwa aku tidak ingin menjadi seorang yang ceplas-ceplos sepertinya. Dan jika berpikir dengan rumit, aku setuju bahwa berjualan minuman dengan jerih payah sendiri itu jauh lebih baik daripada menjualbelikan agama. Kamu menangkap apa yang kumaksud?
Aku baru tiba di Surabaya, Indonesia, saat berita tentang gus-gus itu viral. Jika berpikir dengan sederhana, aku akan bilang bahwa aku tidak ingin menjadi seorang yang ceplas-ceplos sepertinya. Dan jika berpikir dengan rumit, aku setuju bahwa berjualan minuman dengan jerih payah sendiri itu jauh lebih baik daripada menjualbelikan agama. Kamu menangkap apa yang kumaksud?
Bosan berlama-lama di mobil, dengan Papa yang berlaku sok-oke dengan jas dongker formalnya padahal mengantuk, dan Mama bersenandung nasyid dengan suara merdunya. Oh, aku suka lagu, hard rock khususnya. Untuk ke rumah kakekku di Jombang, Jawa Timur, sekarang ini bahkan aku membawa gitar listrikku dari Rusia.
“Jenya,” Papa menepuk pahaku dan perhatianku teralihkan ke arah yang ditunjuk olehnya. “Kamu lihat bangunan hijau itu? Itu adalah tempat ayah dan ibumu bertemu,” kata Papa dengan bahasa Rusia. “Aku berkunjung sebagai peneliti di acara organisasi Islam di sana, sedangkan ibumu tampil membaca ayat Al-Qur’an.”
“Aku tahu, Papa. Kenapa kamu selalu menceritakan itu berkali-kali?” tanyaku tak tertarik lagi. Begitulah ayahku. Dia tidak tahu bahwa dirinya membosankan. Jelas sekali bahwa aku tahu dia lulusan Monash University, dulunya peneliti politik dan sejarah Indonesia, dan sekarang bekerja di kedutaan Rusia untuk Indonesia sebagai pegawai.
“Mama tahu apa yang kamu belum tahu, Ghinan,” kata Mama yang duduk samping supir.
Ghinan? Apa Mama membuat resmi nama Indonesiaku sekarang? Dari Yevgeny “Jenya” Mylov menjadi Ghinan Nafsih Mylov? Aku kira itu cuma wacana di masa kecil.
“Apa itu?” tanyaku.
“Mama kasih tahu ini, tapi Mama nggak mau kamu jadi sombong karenanya. Ghinan, Mbah Baqir itu bukan orang biasa. Dia adalah seorang kiai yang memiliki asrama untuk murid-muridnya yang berjumlah ratusan, dan itu dinamakan pesantren. Itu kenapa dulu waktu SMP kamu kaget tiba-tiba akun Instagram barumu langsung banyak yang mengikuti, dan kebanyakan itu gadis-gadis berhijab sebayamu. Mereka adalah murid-murid Mbah Baqir—kakekmu.”
"Bozhe moi…” (Oh Tuhan…) desahku. Aku membuka Instagram dan membaca DM dari Elshanum, salah satu dari banyaknya gadis-gadis yang men-DM-ku. Elshanum adalah gadis yang lumayan cerdas dan aku selalu menanggapi DM darinya. DM pertamanya kepadaku bahkan hanya, ‘Assalamualaikum, Privyet, Jenya.’ Tidak seperti DM dari gadis-gadis lainnya yang memanggilku dengan embel-embel ‘Gus’, yang jujur saja, aku tidak tahu apa artinya.
Sesampainya di Pondok Pesantren Al-Baqir Jombang, kakek dan nenek langsung memeluk Mama, satu-satunya putri mereka. Papa, aku, dan supir masih menurunkan barang-barang dari mobil.
“Mana Jenya?” tanya Mbah Uti, nenekku.
Aku mengangkat tanganku, berjalan mendekat untuk bersalim. “Masya Allah, gantenge anakmu, Muthi’ah. Ijo yo matane,” (Masya Allah, ganteng sekali anakmu. Hijau ya matanya) puji Mbah Uti.
“Seafoam green aranane, Buk,” (Seafoam green namanya, Bu) jawab Mama.
Tiba-tiba Mbah Baqir keluar dari rumah. “Hey, wis teko. Alhamdulillah. Piye kabare?” (sudah datang. Bagaimana kabarnya?) Mbah Baqir mengajak bicara Papa.
Papa hanya menjawab “Kharasyo,” (Baik) dengan canggung.
Aku segera membasuh diri di kamar mandi dan berganti pakaian menjadi koko putih, peci hitam, dan sarung yang disiapkan Mbah Uti. Mbah Uti bilang Mbah Baqir ingin mengenalkan cucu pertamanya, yakni aku, kepada semua santri-santrinya. Wah, aku mendapat kata bahasa Indonesia baru: santri, artinya murid yang tinggal di asrama dan mengaji pada kiai.
Mbah Uti mengantarkanku ke teras tempat tadi aku dipuji ganteng olehnya, di mana sekarang, Mbah Baqir sedang memberikan ceramah kepada ratusan santrinya baik putra maupun putri yang duduk di tanah beralas terpal. Ini akan menjadi sangat kikuk jika aku, cowok kelas 11 SMA, dituntun neneknya untuk duduk di samping sang kakek. Akan tetapi ternyata, Mbah Baqir yang melihat kami duluan.
“Oh, perkenalkan,”
Belum selesai berbicara saja hadirin sudah ramai, dan gadis-gadis bersorakan. Aku jadi bertanya-tanya memang setampan apa sih diriku? Rambut seperti River Pheonix, hidung bulat, dan rahang kuat.
“Ssstt…” kata salah satu santri di sana, lalu Mbah Uti mengimbuhkan. “Ini cucu kandung saya, ayahnya orang Rusia, putra pertama dan satu-satunya dari Ning Muthi’ah Baqir. Perkenalkan dirimu, Ghinan.”
“Halo semuanya. Nama saya Yevgeny Rostislavovich Mylov atau Ghinan Nafsih bin Rostislav Mylov. Saya lahir di Moskwa pada tahun dua ribu tujuh. Terima kasih atas perhatiannya.”
“Ustaz Muslih, nanti tolong carikan kamar yang kosong untuk Ghinan ya. Jangan lupa berikan dia kitab-kitab untuk pengajian kita. Meskipun baru pertama kali ke Indonesia, tapi ia menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Saya titip padamu, Staz,” ucap Mbah Baqir.
Akhirnya aku diantar ke kamar para santri. Di sana, aku bergaul cukup baik dengan teman-teman baru sekamarku. Meskipun aku tidak bisa benar-benar menjadi diriku sendiri, karena entah mengapa aku merasa ada ekspektasi-ekspektasi tertentu sebagai Gus. Aku bukan tipe orang yang sulit beradaptasi. Namun, itu karena aku kurang peduli saja. Pada sore hari, kami melakukan piket yang diatur Ustaz Muslih.
Ustaz membagi kami semua untuk melakukan piket. Ia menulis di papan tulis. Namaku ditulis di bagian ‘mengemocengi rak Al-Qur’an di masjid,’ sedangkan nama-nama teman-temanku ditulis di bagian ‘menguras kolam’, ‘menguras kamar mandi’, dan ‘membuang semua sampah.’
Aku mengemocengi Al-Qur’an dengan telaten, dengan latar belakang suara sapu lidi yang tergesek-gesek ke tanah, dua orang santri menyapu di tanah depan masjid. Namun, fokusku bubar saat mendengar percakapan mereka.
“Percuma ganteng, nggak bisa apa-apa.”
“Ya begitulah kalau jadi Gus, terbiasa hidup enak.”
Setelah semuanya kelar, aku kembali ke kamarku, membuka resleting tempat gitar listrikku, memasangkan kabelnya pada stop kontak, lalu mulai memainkan lagu “Cincin” oleh Hindia. Tak peduli suaranya yang menggelegar, aku mau menunjukkan bahwa aku bisa apa-apa. Tapi sungguh, aku tidak yakin apakah ini yang mereka mau?
Baru satu putaran lagu, tiba-tiba Ustaz Muslih membuka pintu kamarku, menyumpahi aku dengan ungkapan Islami. “Astaghfirullah, Gus…! Kamu tidak boleh membawa alat musik…!”
Ustaz Muslih mendekat lalu menarik gitar listrik warna salmonku, dan aku turut menarik ke arahku, begitu terus seperti anak kecil rebutan mainan.
“Aku akan bilang kakekku!” Aku tahu ucapan itu terdengar kekanak-kanakan, tapi aku tidak bisa apa-apa lagi.
“Bilang saja padanya. Aku nggak takut. Kamu tahu, orang seperti kakekmu itu bicara soal agama tapi yang mereka pedulikan hanya nama besar dan kuasa. Dan kamu? Kamu hanyalah bayangan dari kebohongan itu. Aku kasihan pada pesantren ini karena diwariskan pada keturunan sepertimu.”
Aku begitu syak sehingga melepas gitar listrikku ke tangan Ustaz tidak sopan itu. Aku duduk di ujung kasur, melihat lantai seperti orang gagal, merintih, lalu mencengkram kedua telingaku dengan tangan. Mengapa sulit sekali menjunjung nilai-nilai yang diharapkan tempat ini!?
Aku mencoba mendistraksi diriku dari emosi yang menggebu-gebu ini dengan membaca novel yang kubawa dari Rusia. Novel fiksi-ilmiah bahasa Rusia berjudul “Hard to be a God” karya Arkadiy dan Boris Strugatsky. Terkadang, kita butuh pelarian dari dunia yang janggal dan problematik, salah satunya dengan membaca buku.
Bercerita tentang agen rahasia dari masa depan yang ditugaskan ke sebuah planet yang masyarakatnya masih hidup seperti di Eropa abad Pertengahan, novel ini menyiratkan kritik terhadap agama dan keyakinan buta, yang kerap digunakan sebagai alat penindasan yang ampuh, dan dua hal ini yang akan menghambat dan menghancurkan ilmu pengetahuan.
Aku ketiduran sampai Maghrib. Bangun dengan terkejut, aku lupa tidak mengenakan koko putihku dan hanya mengenakan kaos hitam bertulisan Russian Circles. Aku berwudu dan ikut salat berjamaah di masjid, setelah itu pergi mengaji. Pengajian kali ini dihadiri oleh santri putri juga, dan bukan Mbah Baqir pengajarnya.
Aku kira itu bukan masalah besar memakai kaos sendiri saat mengaji. Namun aku sadar beberapa santri di dekatku menggunjingku dengan berkata, “Lihat deh Gus Ghinan, mengaji pakai kaos band. Kayak nggak tahu tempat aja.” Yang lain mengimbuhi, “Iya, mana tulisannya serem kayak gitu. Apa nggak ada baju lain yang lebih pantes?”
“Eh, dia kembali ke rumah kakeknya begitu saja. Payah banget.”
Daripada selalu menyangkal bahwa diriku ini payah, nggak bisa apa-apa, terbiasa hidup enak, mengapa tidak sekalian mewujudkan itu semua? Kini aku kembali ke rumah kakek dan tidak mau ke kamar santri lagi. Persetan apa kata mereka, persetan!
Mama menghampiriku tak lama dari kedatanganku. Dia menawarkanku makanan Rusia karena mengira tubuhku yang lemas ini dikarenakan tidak nafsu makan. Memang benar aku tidak nafsu makan, tapi sekarang yang lebih tepat adalah aku tidak nafsu hidup. Aku merasa tidak ingin dilahirkan saja.
“Kalau kamu nggak mau makan, setidaknya ceritakan apa yang terjadi. Kenapa kamu pulang dari pengajian begitu saja?” tanya Mama.
Aku menarik napas, “Aku nggak mau ngomongin itu.”
“Ghinan, asal kamu tahu saja, semua ini demi kebaikanmu. Mama ingin kamu belajar tentang adab yang ada di pesantren ini, karena itu bernilai positif dan bermanfaat buat kamu.”
“Adab? Dari mana aku bisa menemukan contoh adab yang baik di sini? Santri-santri di sana bahkan menggunjingku hanya karena pakaian yang aku kenakan. Apa menurut Mama itu contoh adab yang baik?”
“Ya Allah, Ghinan. Di pesantren pasti ada aturan yang mengatur berpakaian. Wajar kalau mereka sedikit bereaksi.”
“Wajar? Aku nggak setuju. Mereka selalu membicarakan kesalahanku di belakang, tanpa mau menegurku secara langsung!”
“Karena kamu itu seorang Gus, mereka segan menegurmu secara langsung!”
“STOP menyebutku Gus atau aku nggak akan lagi berbicara denganmu, Mama. Ya nenavizhu tebya, mama. Ya nenavizhu eto mesto.” (Aku membencimu, Mama. Aku membenci tempat ini).
Aku masuk ke salah satu kamar meninggalkan Mama yang terpukul. Di dalam kamar aku terduduk di lantai, menundukkan kepala dan mengacak-acak rambutku, merasa hampa dan sendirian.
Papa dan kakek membuka pintu kamar saat aku menghapus air mataku. Aku berdiri.
“Jenya, shto ty sdelal so svoey materyu?” (Kau apakan ibumu?) “Cepat minta maaf.”
“Da, Papa.” Aku melewati mereka dan duduk di depan Mama. “Prastite menya, Mama. Ya was lyublyu.” (Maafkan aku, Mama. Aku mencintaimu) Wajah Mama tetap sedih tapi ia mengelus punggungku dengan halus.
“Ghinan belum bisa betah ya di sini?” tanya Mbah Baqir. “Coba sekarang Ghinan ungkapkan semua unek-unek yang Ghinan rasakan mengenai semua hal yang ada di pondok. Apa yang membuat Ghinan frustrasi, sampaikan itu semua.”
“Begini, Mbah. Saya merasa tidak nyaman dengan perlakuan orang-orang di sini yang terlalu menghormati saya dan menilai bahwa diri saya luput dari dosa. Beberapa dari mereka bahkan tidak berani menegur saya ketika berbuat salah, dan lebih memilih untuk membicarakan kesalahan saya di belakang. Itu semua dikarenakan saya adalah seorang Gus. Saya terus bertanya-tanya, mengapa seorang Gus yang hanya mewariskan statusnya berdasarkan keturunan, berhak mendapatkan perlakuan istimewa? Saya tidak menyukai budaya pesantren yang terlalu mengglorifikasi Gus. Menurut saya, tidaklah adil memperlakukan seseorang berdasarkan nasabnya. Satu hal lagi, bahwa tidak semua Gus itu gila hormat, ada beberapa yang low-profile dan membenci penghormatan palsu yang diberikan orang-orang di sekitarnya.”
“Bagus, Ghinan. Sekarang, ayo sampaikan semua itu pada Ustaz Muslih dan santri-santri yang datang untuk meminta maaf di samping rumah. Kamu bisa kan?”
Agak mendadak sih, tapi tidak apa-apa. “Ty smozhesh, anakku.” (Kamu pasti bisa) kata Papa, menepuk pundakku sebelum aku pergi ke samping rumah.
Di sana, Ustaz Muslih dan rombongan santri sudah duduk sopan menghadap pintu tempat Mbah Baqir dan aku keluar. Mbah Baqir memulai. “Wis, memang takdirnya seperti ini. Sebelum kalian bersalaman semua. Ghinan akan menyampaikan pepatah dua kata. Silakan sampaikan, Nak.”
“Sebetulnya, aku tidak pernah menyangka bisa menjadi anggota keluarga seperti keluarga Baqir. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Jombang, pemandangan yang aku lihat adalah teman-teman sebayaku yang menunduk rendah sekali bagaikan bulir padi yang berat menanggung isi.
“Jujur, aku tidak pernah menginginkan hal seperti itu. Aku ingin agar orang-orang jujur tentang apa yang mereka sukai dan tidak sukai. Jika tidak menyukaiku, jangan pura-pura menghormatiku, dan jika memang perlu untuk menghormatiku, aku bukanlah orang yang cocok untuk dihormati. Aku masih jauh dari kata sempurna.
“Oleh karena itu, aku harap kalian bisa menciptakan suasana yang aman bukan bagi aku saja, tapi bagi siapa pun, untuk memperbaiki diri dan menemukan diri sendiri. Mungkin itu saja yang bisa kusampaikan. Semua pengalaman di sini akan menjadi pelajaran yang tak terlupakan olehku. Aku juga ingin meminta maaf sebesar-besarnya karena telah melanggar aturan, aku benar-benar menyesalinya.”
Wah, akhirnya pidato singkatku selesai juga. Aku bahkan tidak bisa menilai pidatoku bagus atau tidak. Setelah itu, kami semua bersalaman. Para santri dan ustaz mencium tangan Mbah Baqir sebagai rasa takzim kepada guru, dan ketika hendak menyalimiku dengan cara yang sama, aku langsung menarik tanganku. Begitu terus, sampai semuanya berakhir. Pertemuan dalam rangka minta maaf kepadaku ini diakhiri dengan pengembalian gitar listrikku. Aku berjanji tidak akan bertingkah seenaknya.
Pada akhirnya, kamu tidak bisa memilih terlahir di keluarga apa kamu, tapi kamu bisa memilih bagaimana kamu menerima kenyataan itu, dan apakah kamu akan tetap berjalan meskipun semuanya terasa salah.
TAMAT.