Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kehidupan bertetangga seringkali tidak berjalan mulus, ada saja cerita dibaliknya yang disebabkan oleh perilaku tiap-tiap individu. Kadang menyusahkan, membuat kesal, sedih dan emosi. Namun, tidak sedikit membuat tertawa, menyenangkan bahkan juga rindu. Namanya juga manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup sendirian. Beberapa kisah ini sangat relate dengan kehidupan sehari-hari tentang tetangga sebelah dan diceritakan dari mulut ke mulut dan supaya terdengar lebih halus, sebut saja Gibah Syariah.
Tetangga menjadi saudara terdekat yang kita punya karena jauh dari rumah. Hubungan unik ini tidak melulu soal hak dan kewajiban, tetapi penyesuaian yang bersifat dinamis agar bisa terus menyelaraskannya dengan pribadi sebagai manusia. Mari kita bergibah….
***
Bising Knalpot
Bising knalpot di pagi hari memang sering mengundang kegeraman bagi siapa saja yang mendengarnya. Kehadiran pagi yang dinanti-nanti setelah kepenatan kemarin membuat kebanyakkan orang berekspektasi tinggi kepada pagi. Cuaca cerah dengan udara sejuk, tanpa hujan yang mengguyur. Menikmati jeda kelengangan sebelum berangkat bertempur adalah sesuatu yang berharga. Namun, kebisingan itu tak melulu dari suara knalpot. Kadang kala keluar dari mulut cecerepet yang mengeluarkan kata-kata kotor menjemukan tetangga sebelah.
Mursinah yang biasa dipanggil Bu Yadi seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua orang anak yang sudah remaja dan balita. Tidak perlu bingung mengapa seorang perempuan bernama Mursinah ketika sudah menikah akan kehilangan hak nama gadisnya menjadi nama suaminya. Kebetulan, Mursinah menikah dengan laki-laki bernama Yadimar Daryanto. Pak Yadi bekerja di salah satu Bank Swasta di kota. Setiap pagi, ia harus berangkat subuh-subuh agar tidak terkena macet.
Suatu pagi, Pak Yadi sudah siap untuk berangkat kerja. Bu Yadi sedang memanaskan motor di teras. Terdengar derungan mesin yang sengaja dikencangkan hingga asap mengepul dari lubang knalpot. Suara bising itu sering mengundang nyinyiran tetangga sebelah karena kebiasaan Bu Yadi yang entah belajar dari mana jikalau memanaskan mesin kendaraan harus seperti itu.
“Bu-bu … Bu, jangan di gas terus, nanti ditegor sebelah lagi!” pekik Pak Yadi sambil menggenggam secangkir teh hangat di depan bibirnya.
“Ben (biarin) toh, Pak. Motor-motor kita kok sing (yang) ribut kono (sana),” timpalnya sambil melirik ke sebelah, nyaris bulatan hitam matanya tak bisa balik lagi ke tengah.
“Ckckck,” keluh Pak Yadi menggeleng sambil menyeruput tehnya yang sudah mulai dingin.
Tak lama, Bu Yadi beralih menyapu garasi yang terdapat motor suaminya yang sudah dimatikan dan motor miliknya untuk mengantar anaknya yang baru di taman kanak-kanak agak siangan. Anak gadis mereka yang bernama Tiara Andini keluar dari kamarnya sudah siap berangkat ke sekolah.
“Ayo, Pak. Tia harus berangkat pagi soalnya jadi petugas upacara!” ajak Tia terlihat terburu-buru sambil membetulkan posisi dasinya.
“Loh, enggak sarapan dulu?” balas Pak Yadi. Tia melihat potongan telur dadar yang terbagi empat. Ia mengambilnya sepotong dan memasukkan semuanya ke mulut.
“Ckckck … nanti keselek gimana?” ujar Pak yadi menggeleng. Sudah dua kali pagi ini, ia menggeleng keheranan.
“Ayo, Pak! Buruan!” keluh Tia dengan mulut penuh.
“Iya-iya!” ucap Pak Yadi menghabiskan tehnya dan beranjak dari bangku.
“Bu, Tia berangkat … Salamualaikum,” ucap Tia sambil menyium tangan Ibunya.
“Waalaikumsalam, hati-hati, Nduk!” balasnya.
“Bapak juga ya, Bu.” Pak yadi menyodorkan tangannya kepada istrinya.
“Hati-hati, Pak.”
Motor pun dinyalakan Pak Yadi, Tia yang sudah menaiki boncengan sudah siap meninggalkan rumah. Keduanya melewati rumah tetangganya yang terbuka pintu utama dan pagarnya, dalam hati Pak Yadi pagi ini cukup aman karena mungkin tetangganya yang cerewet itu sedang ke tukang sayur pengkolan dan tidak mendengar derungan gas dari motornya barusan. Ketika di belokan perempatan benar saja beberapa tetangganya sedang mengerubungi mobil belanjaan. Namanya sama, Mas Yadi.
“Pak-pak Yadi, berhenti, Pak!” panggil Ibu Daria melambaikan cepat tangannya ke arahnya. Otomatis, Pak Yadi yang bawa motor mengerem dan berhenti mendadak begitu pun Mas Yadi tukang sayur ikut menengok, merasa namanya terpanggil. Tiara yang berada di belakang merasakan hentakan dan menabrak punggung Ayahnya. Wajah Ibu Daria yang terlihat menggebu-gebu itu merasa berhak untuk menyampaikan perihal penting dalam hidupnya.
Astagfirullah. Keluh Tiara dalam hati.
“Pak Yadi buru-buru amat sih, bahaya loh di depan gang anaknya Bu Mar pasti lagi keluyuran di jalan sambil di suapin,” sindir Ibu Daria sok bijak. Padahal, justru dia yang telah membahayakan orang lain karena menghadang ketika sedang melaju.
Pak Yadi cukup sabar menghadapi Emak-emak di lingkungan rumahnya, jika tidak tahan mungkin mereka sudah memilih pindah rumah saja ke perumahan lain ketimbang harus bertemu dengan ibu-ibu yang unik bin ajaib itu.
“Ada apa, Bu. Anak saya sedang buru-buru, tugas upacara.”
“Ah … sebentar, Pak Yadi. Begini, anak saya baru lulus SMA, minta tolong dong masukan ke tempat kerjanya, Pak Yadi. Lumayan kan kerja di Bank, hehe,” pintanya cengengesan.
Pak Yadi terdiam.
“Kok diam aja sih, Pak. Masa enggak ada lowongan. Di Bank kan banyak kerjaannya. Pak Yadi aja berangkatnya subuh-subuh begini.”
“Nanti kalau ada saya kasih tahu ya, Bu.” Pak Yadi menganggukkan kepalanya pertanda pamitan. Ia segera menggas kembali laju motornya dan meninggalkan Ibu Daria dan tetangga lainnya dengan ekspresi melongo. Ibu Daria masih menyisakan segudang kata-kata yang ingin diungkapkan kepada Pak Yadi, tetapi waktunya yang tidak tepat, membuatnya jengkel karena tidak bisa leluasa mengatakan semua maksud hatinya.
“Ngomong apa sih, Bu. Kok dicuekin sama Pak Yadi, sombong banget!” ejek Ibu Farida tetangga sebelah persis Pak Yadi. Bu Gatot juga merasa penasaran, mendelik di sebelahnya sambil meraba-raba tempe seperti sedang memeriksa kerapian lipatan dari tempe yang terbungkus daun pisang.
“Enggak kok. Cuma tanya lowongan kerja di kantornya. Pak Yadi kan enak kerja di Bank, makanya Bu Yadi enggak perlu lagi tuh kerja sampingan jualan kue kaya saya,” jawab Ibu Daria.
“Ya ampun, Bu Daria. Minta tolong kok sama Pak Yadi. Dia bisa apa? ‘Kan cuma tukang bersih-bersih di bank!” bisik Ibu Farida setengah teriak biar semuanya mendengar.
“Masa sih? ‘Kok kalau ditanya kerjanya apa, jawabnya di Bank gitu.”
“Yaiyalah kerja di bank, tapi bagian apa dulu. Cuma cleaning service lagaknya kaya Bos!!” sungut Ibu Farida keki sambil megang pare. Rasanya ingin menumis pare setelah melihat lagak Pak Yadi yang semakin sok saja. Mendengar penjelasan Ibu Farida, semuanya manggut-manggut seperti orang yang baru mendengar kebenaran.
“Ibu-ibu masih lama enggak nih milih sayurnya, udah ditunggu di Blok bawah nih, Saya!” sentak Mas Yadi merasa keki. Sejak tadi Emak-emak itu hanya memilih-milih sayuran tapi tidak segera membayar.
“Idih, Mas Yadi buru-buru amat, baru juga milih,” protes Ibu Daria.
“Iya nih, Mas Yadi jutek amat, kita kan langganan lama daripada Blok bawah, sabar dong!” timpal Ibu Farida dengan wajah sok elegannya. Namun, tetap saja hanya Pare yang dipilihnya, mungkin hidupnya sudah terlalu manis sehingga memerlukan kepahitan seperti lidahnya yang sering gibahin tetangga.
“Udah lama ini, Buk. Setengah jam di sini belum selesai milih juga. Ntar Saya enggak enak sama tukang sayur lainnya,” dalih Mas Yadi beralasan sambil membereskan sayuran yang diacak-acak Ibu-ibu itu.
“Yauda nih, cerewet banget sih. Nih, itung belanjaan Saya dulu,” keluh Bu Farida yang membeli Pare tiga buah. Pare itu disodorkan ke Mas Yadi untuk dimasukkan ke kantong plastik.
“Cuma pare aja nih? Ayam, dagingnya enggak?” tanya Mas Yadi.
“Enggak, masih ada setok di rumah,” jawab Ibu Farida secukupnya.
“Enam ribu,” seru Mas Yadi. Ibu Farida memberikan uang sepuluh ribuan lecek dan pergi.
“Kembaliannya??”
“Buat besok aja.” Ibu Farida melengos pergi. “Saya duluan ya, Ibu-ibu,” pamitnya.
“Ya-ya, Bu.” Ibu Daria dan Ibu Gatot mengangguk bersamaan.
Kirain kembaliannya ambil aja, tahunya buat besok. Mana uangnya lecek banget lagi.
***
Dan Terjadi Lagi
Setelah Ibu Daria dan Ibu Gatot selesai berbelanja, Mas Yadi meninggalkan tempat dinasnya untuk berpindah tempat ke langganannya di Blok bawah. Sambil membawa plastik berisi penuh belanjaan untuk dua harian, keduanya membicarakan Ibu Farida yang terkenal sok kaya tetapi hanya belanja sayur pare saja.
“Sebenarnya, Ibu Farida itu sedang berhemat atau pelit sih, Bu. Kok belanja cuma Pare aja?” tanya Ibu Gatot memancing pembicaraan. “Duh, mau ngomong tapi kok takut dosa. Duh gimana yah,” ujar Ibu Daria ragu.
“Kenapa sih, Bu. Memangnya kenapa sampai takut dosa begitu?” tanya Ibu Gatot semakin penasaran. “Gimana yah, enggak enak ngomong di sini, kita pindah aja ke depan rumah yuk,” ajak Ibu Daria bersemangat. Seolah-olah kalau sudah bilang “takut dosa” maka apa yang akan diumbarnya tidak akan “berdosa”. Padahal, kalau nge-ghibah ya sudah pasti dosa, mau ragu-ragu atau dengan yakin.
Tiba-tiba motor melaju ke arah keduanya. Motor matic Vario berwarna putih yang dikendarai oleh Ibu Lela. Ibu muda yang baru memiliki anak satu itu fan fanatik Ariel Noah kaliber berat dan memiliki kecenderungan berhalusinasi memiliki kehidupan kaya raya seorang istri pengusaha bah Nagita Slavina. Ia memakai kerudung dan berpakaian gamis terbarunya dengan motif bunga-bunga berwarna mencolok membuat silau mata yang memandangnya. Ditambah dengan kebiasaan Ibu Lela memakai riasan wajah menor dan warna gincu merah mengkilap.
Ketika Ibu Daria dan Ibu Gatot terpukau dibuatnya, dengan sengaja Ibu Lela mengedepankan posisi tas barunya berwarna merah ke depan. Niatnya agar bisa dilihat tetangga-tetangganya itu jika tasnya baru. Keduanya tahu jika Ibu muda itu sering memamerkan barang baru yang dimilikinya. Sontak, Ibu-ibu itu berpura-pura menyeberang tanpa menyapanya. Namun, bukan Ibu Lela kalau hanya berlalu begitu saja. Ia harus mendapatkan perhatian yang lebih atas dirinya dan pencapaiannya hari itu.
“Ibu-ibu mau ke mana?” tanya Ibu Lela basa-basi. Rencana acuh tak acuh itu sepertinya tidak berhasil. Mental Ibu Lela patut diacungkan dua jempol. Ibu Daria dan Ibu Gatot terpaksa menoleh untuk menyapa balik. “Mau pulang,” jawab Ibu Daria seperlunya sambil memaksakan senyumnya.
“Mau ke mana, Bu Lela?” tambah Ibu Gatot. Sontak, sikut Ibu Daria menerjang lekukan pinggangnya. Kedua alis yang naik tinggi sedahi itu seolah-olah memberikan kode kepada Ibu Gatot untuk tidak perlu berbasa-basi.
“Ah … ini, Saya ada pertemuan di sekolahnya Lita, kebetulan kan Saya Bendahara. Jadi, harus hadir kalau ada rapat-rapat penting, begitu,” jelas Ibu Lela tersenyum genit sambil menyapu pelan tasnya agar perhatiannya ke tas itu. Namun, bukan tas yang menjadi perhatian justru ada hal yang mengganggu pandangan, bekas gincu yang menempel di dua gigi kelincinya. “I-itu, Bu. Ada lipstick di giginya,” tunjuk Ibu Gatot spontan.
Ibu Lela sedikit panik dan berusaha menghapus noda gincu di giginya dengan lidah yang bergoyang-goyang di dalam mulutnya seperti wiper. Melihat itu, Ibu Daria merasa geli karena Ibu Lela terlihat lucu seperti monyet. Tak lama, Ibu Gatot juga mulai merasa geli melihat Ibu Lela yang sibuk di depan spion motornya.
“Yauda, Bu. Saya pergi dulu. Sudah ditunggu Ibu-ibu komite,” ucap Ibu Lela menahan malu, menutupi noda gincu yang tak bisa hilang. Ibu Daria dan Ibu Gatot masih menahan tawanya agar tidak terlepas di depan orangnya. Keduanya berlari kecil menuju rumah. Setelah sampai di depan rumah, kegelian itu sudah tidak bisa terbendung hingga membuat keduanya tertawa lepas, terbahak-bahak.
Di ujung belokan Blok yang sepi, Ibu Lela berhenti untuk mengambil tisu dan menghapus bekas gincu di giginya. Setelah itu, ia merasa percaya diri lagi dengan melihat tas barunya yang membuatnya semakin yakin. Ia tidak akan kalah di depan Ibu-ibu komite di sekolahan.
***
Di depan rumah masing-masing, kebetulan Ibu Daria dan Ibu Gatot rumahnya berhadapan. Mereka tak berhenti tertawa mengingat kejadian barusan. “Mampir, Bu Daria, kita terusin obrolan tadi!” ajak Ibu Gatot ke rumahnya. Kebetulan Ibu Gatot baru saja merenovasi halaman rumahnya menjadi taman yang penuh dengan tanaman hias. Ditambah dengan suara air mengalir yang bermuara ke kolam ikan buatan Suaminya yang sering dibanggakannya.
Tak luput ke Ibu Daria tetangga depan rumahnya yang belum termakan gencarnya promosi pembuatan kolam ikan estetik made in Pak Gatot. “Duduk-duduk, Bu, silakan. Kolam Saya sudah ada jembatan sama air terjunnya loh. Ini buatan Pak Gatot semua!” jelasnya berbinar-binar. Ibu Daria merasa canggung, karena sebentar lagi ia tahu ke arah mana pembicaraannya. Pasti menawari pembuatan taman dengan harga promo.
“Kapan nih, Ibu Daria dibuatkan kolam sama Suami Saya. Lumayan Bu, biar adem rumahnya,” terang Ibu Gatot melancarkan jurus. “Hehe, nanti aja, Bu. Di depan rumah aja udah adem ada pohon mangga, tuh!” timpal Ibu Daria sambil menunjuk ke pohon mangga yang berbuah lebat. Dalam hati Ibu Gatot, alasannya itu-itu saja yang dipakai, pohon mangga. Padahal semua tetangga di perumahan sudah memakai jasa Suaminya itu, tinggal Ibu Daria dan Ibu Yadi.
“Ya sudah, kapan-kapan kalau berminat bilang aja ya, Bu. Nanti dikasih harga spesial deh, buat tetangga depan rumah, hehe,” ujar Ibu Gatot bermulut manis. Ibu Daria hanya tersipu sinis bercampur malu untuk menggelayutkan senyumnya dua senti ke kiri dan dua senti ke kanan tanpa tremor.
“Sebentar ya, Bu. Saya ambilkan minum dulu,” ucap Ibu Gatot masuk ke dalam.
“Enggak usah repot-repot, Bu.” Ibu Daria merasa ingin pulang saja daripada harus berbasa-basi seperti tadi. Ia bukan orang yang betah jika harus tersenyum padahal sebaliknya, ingin mengumpatnya keras-keras.
Tak lama, Ibu Gatot membawa minuman ringan teh dingin botolan dengan cemilan dalam toples. Memang, harus diakui Ibu Gatot orangnya sangat baik dalam hal makanan dan minuman. Seringkali, ia memberikan masakannya dan juga sesekali membeli kue-kue basah bikinan Ibu Daria untuk acara arisan dan acara keluarga. Namun, itu jeleknya, jikalau ada tetangga bertamu ke rumahnya, pasti gencar iklan pembuatan kolam oleh Suaminya. Sampai-sampai tak enak untuk menolaknya lagi.
“Silakan, Bu. Oiya Ibu Farida, gimana ceritanya?” seru Ibu Gatot langsung ingin mendengar cerita. Botolan teh dingin itu dipilih Ibu Daria yang memang sejak tadi sudah menahan dahaga. Sambil meneguk langsung dari botolannya dan menghabiskan setengah botol. Ibu Gatot termangu dengan rasa penasaran yang sudah di ujung, membuatnya gatal di ubun-ubun.
“Jadi, Ibu Farida itu yang terkenal sok kaya, sering cerita kalau keluarganya kaya tujuh turunan, eh enggak bener kaya, Bu,” terang Ibu Daria yang merasa lega, kerongkongannya basah.
“Maksudnya, Bu. Jadi, Ibu Farida bohong gitu?”
“Heem. Mungkin yah, dia itu, keluarganya kaya dulunya, tapi Ibu Farida keturunan ke delapan, jadinya tinggal sisa-sisanya deh!” kelakar Ibu Daria.
“Hehehe, Ibu Daria bisa aja. Tapi kan, Suaminya Pejabat?”
“Dulu, sebelum ketawan korupsi.” Sambil mengambil kue nastar dari toples.
“Hah? Jadi, Suaminya itu koruptor?” ucap Ibu Gatot tercengang.
“Loh, masa Ibu Gatot baru tahu sih. Kan masih di penjara.”
“Loh, ceritanya waktu itu dipindah ke Kalimantan kok,” timpal Ibu Gatot. Ibu Daria menggeleng keras menepis kebohongan informasi itu.
“Tapi, yah percuma di penjara juga enak, penjara rasa hotel?!” sungut Ibu Daria sambil memasukkan nastar kedua ke dalam mulutnya. “Kok enak ya, Bu. Bikin sendiri ya?” tambahnya. Ibu Gatot menggeleng.
“Terus, Bu?” cecar Ibu Gatot semakin penasaran.
Dengan mulut penuh, Ibu Daria berusaha mengunyah semuanya sebelum menjawab cecaran pertanyaan Ibu Gatot. “Ya, sekarang karena Suaminya masih dalam pantauan KPK, makanya dia pura-pura berhemat. Padahal, uang hasil korupsi mah ada. Aset mah ada.”
“Kalau gitu, Ibu Farida, kaya dong!?”
“Yah, siapa bilang dia miskin. Kan Saya bilang dia enggak bener-bener kaya.”
“Oh, begitu maksudnya.” Ibu Gatot terangguk-angguk berusaha menelaah pikiran Ibu Daria dari ucapannya yang tidak sepenuhnya dipahami olehnya. Dan, sebagai informasi nastar setoples sisa setengah saja.
“Oiya, Bu Daria, satu lagi sebelum nastar Saya habis. Kok cuma Ibu Farida yang dipanggil tanpa nama Suami sih?” sindir sekaligus nanya. Ibu Daria hampir sekeselek menelan sisa-sisa adonan nastar di dalam mulutnya.
Uhuk-uhuk!
“Oh, kalau itu karena Ibu Farida enggak suka dipanggil sesuai nama Suaminya, Nano. Aneh katanya, masa Bu Nano-nano, ramai rasanya dong!” lanjut Ibu Daria berkelakar lagi. “Hihihi, Ibu Daria, bisaaa aja!” tawanya.
Ibu Daria pulang setelah menghabiskan nastar setoples dan ketika sampai di depan rumah ia mendapati tahi ayam yang memenuhi beberapa titik. Di depan pagar, di dalam teras dan di atas undak-undakan. Rasanya ingin mengumpat, menemukan telek di teras rumahnya sepagi ini. Di bawah pohon mangga ia menemukan beberapa ayam yang sedang meneduh, diambilnya sapu lidi dan dilemparkannya kepada ayam-ayam itu.
Huuuuussssss!
Seraya mengusirnya pergi.
***
Pinjol
Mursinah kembali ke rumah setelah mengantar Si Bungsu ke sekolah Taman Kanak-kanak. Ketika membuka pagar, ia melihat di depan rumah tetangganya ada seorang Pria yang celingak-celinguk bersikap mencurigakan. Tak ingin terlibat terlalu jauh, Mursinah pura-pura tak melihatnya. Ia juga khawatir keselamatannya terancam yang sendirian di rumah. Apalagi, ia tak rukun dengan tetangga sebelah kanan dan depannya, bagaimana nanti jika harus meminta tolong jika ada apa-apa dengan dirinya.
Namun, Pria itu telanjur melihatnya dan segera mendekati Mursinah yang baru masuk memarkirkan motor. Mursinah berpura-pura sibuk dengan belanjaan sayuran dan lauk pauk yang dibelinya dari tukang sayur dekat sekolahan. Demi menghindari Pria itu, ia berjalan lurus menuju pintu utama, tetapi ia tersadar jika pagar belum ditutupnya. Mau tidak mau, ia harus melihat ke belakang. Dan, benar saja Pria itu sudah menunggunya.
“Bu, Bu sebelah ke mana yah? Kok motornya enggak ada?” tanya Pria itu seolah-olah mengenal tetangganya itu.
“Wah, Mas kurang tahu yah, tadi sih pergi pagi-pagi,” jawab Mursinah seadanya.
“Matic Vario putih kan, Bu?”
“Iya, motornya cuma itu.” Sambil menggeser pagar.
“Tolong bilangin, ke Ibu Lela, tolong bayar cicilan motornya. Kalau tidak kami sita, sudah telat 3 bulan,” jelas Mas-mas tanpa nama itu.
“Eh, Mas. Jangan minta tolong aku, itu dudu (bukan) urusanku. Kerjaanku akeh (banyak), ngapain ngurusin cicilan tetangga,” ketus Mursinah mulai meninggi. Terus terang sudah lama ia menyimpan perasaan dongkol dengan Para penagih utang yang sering merepotkannya.
“Ya kalau enggak mau bantu bilang aja, Bu. Enggak usah marah-marah begitu. Jawab santai aja,” tegur Mas-masnya.
“Eh, mas. Bukan sekali dua kali yah tukang kredit ke sini, kredit motor-lah, kreditan panci-lah, jilbab, sekinker-lah belom lagi Pinjol. Sing ngutang sopo, sing diteror sopo, mentang-mentang aku loh Mas, cuma sebelahan rumahnya, bukan keluarganya kok sampean ngerepotin aku. Bagaimana aku ndak jengkel, Mas kalau di posisi aku apa ndak emosi. Rasanya pingin mencak-mencak, tak uwel-uwel karo kain pel. Udahlah, jangan ke sini lagi, tagih aja Bu Lela-nya langsung.” Mursinah meluapkan kekesalannya selama ini kepada Mas-mas itu.
“Jangan kan Ibu kesel, apalagi Saya, Bu. Capek kerja begini, dimusuhin banyak orang. Kalau ada pekerjaan yang enak, duitnya banyak, Saya juga mau, Bu.” Mas penagih utang itu membalasnya dengan curhatan pribadinya, ia pergi setelah Mursinah tak peduli dengan penjelasannya. Lalu, ia pun menuliskan catatan yang diselipkan di jeruji pagar nasabahnya itu dan pergi dengan tangan kosong.
***
Di waktu itu juga, ada yang memanggil-manggil namanya. Mursinah baru saja akan memotong buncis dan kangkung untuk ditumisnya. Dengusan napas dalam diembuskannya kuat ketika harus beranjak dari lantainya yang dingin. Baru saja meredakan emosinya yang disebabkan oleh Penagih utang, kini ada yang menginterupsinya ketika sedang menggunakan pisau.
Opo meneh. Baru saja duduk dan hendak menyelesaikan masakannya agar bisa sarapan, sekarang ada tetangga yang datang. “Bu Yadi, di rumah?” panggil seseorang di luar pagar. Mursinah mengenal suara itu sepertinya suara Ibu Mar, tetangga belakang rumah.
Dari depan pintu, Mursinah menyapanya. “Ada apa, Bu?” tanyanya tidak kesal lagi. Mungkin jika yang datang Ibu Lela (tetangga sebelah kiri) atau Ibu Farida (tetangga sebelah kanan) yang suka menyusahkannya, bertambah tingkat emosinya. Wajah Ibu Mar dibalik jilbab kuning yang terpasang miring dan daster batik pekalongan lengan pendek, terkesan tergesa-gesa demi menegaskan niatnya untuk mengatakan sesuatu yang penting. Rasanya, Ibu Yadi mengenali raut serius itu yang seringkali mengabarkan berita dari obrolan Ibu-ibu sekomplek. Ternyata benar, Ibu Mar memang berniat mendatangi Ibu Yadi untuk berkeluh kesah. Ia sudah tidak tahan lagi dan hampir meledak.
“Bu Yadi, Saya masuk yah,” ujarnya sambil menggeser pagar sebelum dibukakan. Memang Ibu Mar itu cukup dekat dengan Ibu Yadi dan sudah sering menyurahkan jeritan hatinya.
“Kesel aku, itu loh pinjaman online telepon-telepon terus. Sebelahmu itu pinjam uang buat apa sih. Coba lihat grup RT heboh sekarang gara-gara utang Si Lela itu. Kalau bisa diusir aja dari sini, daripada ngerepotin semua tetangga,” geramnya. “Kamu belum lihat grup toh? Kok anteng.”
“Hmm, tadi aja ada yang datang, nagih motor. Sengit aku.”
“Nah, kan! Warga ngontrak kok bikin ulaah terus. Bikin ndak tenang. Coba itu yang nagih utang pake ngancam-ngancam, tahu rumahku mau didatengi kalau tidak disampaikan ke Bu Lela. Memangnya aku yang ngutang!!” sambar Ibu Mar dengan wajah merah padam. Kalau belum diluapkan bisa-bisa masakan asin semua nanti.
“Pokoknya masalah ini harus diselesaikan tingkat RT, RW kalau perlu Pak Lurah tahu,” ancamnya.
“Hubungannya apa sampe Pak Lurah?” timpal Ibu Yadi bingung.
“Loh, nomer telepon kita sampai tahu, alamat rumah juga kesebar, apa ndak jadi masalah. Itu kan privasi kita sudah dilanggar sama Si Lela tukang utang itu.” “Gayanya selangit, healing-healing, preeettt!!” ejek Ibu Mar emosi.
“Tapi, yang menyebarkan bukan Si Lela, Pinjolnya aja yang kurang ajar,” timpalnya.
“Pokoknya aku ndak mau tahu, nanti malam Ibu-ibu mau kumpul di balai, kamu ikut. Biar banyak suara, yo!” tambahnya.
“Yo, nanti aku bilang Suami dulu.” Ibu Yadi hanya bisa mengiyakan setiap perkataan Ibu Mar yang berapi-api. Jika dilawan atau tidak setuju bisa tidak selesai sampai sore.
Terkadang, Ibu-ibu itu memang begitu. Jika ada sesuatu yang mengganjal di hati harus ada seseorang yang dijadikan tempat berkeluh kesah. Fungsinya hanya untuk mendengarkan setiap unek-unek supaya tidak perlu aspirin untuk meredakan senut-senut di kepala dan debar jantung yang meningkat karena emosi.
Persoalan seperti ini yang sering disepelekan oleh Para Suami yang tidak memahami Istri-istrinya jika sedang memerlukan “tong sampah”, boro-boro (jangankan) bercerita ketika sedang dibutuhkan, sekadar bercerita soal keseharian pun ditakacuhkan. Nanti, kalau aib rumah tangga terdengar sampai ke luar jangan salahkan Si Istri saja. Suami juga turut andil karena tidak menjalankan perannya sebagai Tong Sampah.
“Yowes, aku pulang dulu, Assalamualaikum,” ucap Ibu Mar merasa lega.
“Waalaikumsalam.”
***
Sinar mentari berada di ufuk barat memancarkan warna oranye ke seluruh perumahan. Terik sisa-sisa siang tadi masih terasa. Membuat udara cukup panas, seperti situasi di perumahan Sendang Mulyo saat ini. Ibu-ibu perumahan sudah berkumpul di perempatan pos kamling setelah salat Asar. Mereka sudah janjian untuk membicarakan soal Pinjol yang meresahkan.
“Jadi, gimana Ibu-ibu apa kita datangi langsung rumah Bu Lela?” seru Ibu Mar memprovokasi. Kesabarannya sudah melewati ubun-ubun dan harus dituntaskan sampai ke akarnya.
“Loh, bukannya tadi Ibu RT bilang kita bicarakan baik-baik dulu, nanti biar Pak RT dan Ibu RT yang memanggil orangnya?” jawab Ibu Gatot.
“Aduuh, kelamaan. Kalau begini terus nanti orangnya keburu kabur. Terus siapa yang bayar utang-utangnya? Belum lagi, memangnya Ibu-ibu tahan di telepon setiap hari sama Pinjol. Belum lagi kasihan tetangga sebelahnya ditagih terus sama Debt Collector!” tegas Ibu Mar.
“Siapa Bu Mar yang sering kena tagih Debt Collector?” tanya Ibu-ibu penasaran.
“Ya, Ibu Yadi-lah. Tadi pagi aja tukang tagih motor ke rumahnya.”
“Kok Bu Yadi enggak lapor ke Ibu RT ya, paling enggak cerita dong sama kita. ‘Kan ada grup RT.”
“Aduh, Ibu Daria kaya enggak tahu sifat Ibu Yadi saja. ‘Kan orangnya sabar banget, biar pun tetangga-tetangganya pada ngejengkelin,” sindir Ibu Mar melirik ke Ibu Farida dengan halus.
“Kata-kata Ibu Mar kok sepertinya menyindir Saya yah. Jangan sembarang menuduh ya, Bu. Mentang-mentang Ibu dekat sama Ibu Yadi, terus aja belain dia! Ada juga Saya yang sering jengkel gara-gara dia, huh!” protes Ibu Farida tidak terima.
“Sudah-sudah, kok jadi ribut hal lain. Sabar Ibu-ibu, namanya juga hidup bertetangga, pasti ada enggak cocoknya,” ujar Ibu RT yang tiba-tiba muncul di belakaang.
“Eh, Ibu RT kok tiba-tiba datangnya, hehe!”
“Enggak tiba-tiba, Saya sudah lihat dari kejauhan. Ibu-ibu aja yang asyik ngobrolnya sampai enggak tahu Saya dataang,” balas Ibu RT.
“Jadi, gimana Bu RT? Warga sudah resah dan enggak sabar.”
“Tenang, kita bicarakan dulu di rumah Saya saja gimana? Tadi, Bapaknya sudah telepon Mas Handri (Suami Ibu Lela). Biar Pak RT yang bicara dengan Mas Handri ya, Ibu-ibu. Kita tunggu saja hasilnya.”
Paling-paling tidak ada solusi, ujung-ujungnya warga harus sabar dan menahan perasaan. Gumam Ibu Mar dalam hati.
“Apa ada lagi yang mau disampaikan, Ibu-ibu?” tanya Ibu RT sambil memandangi warganya satu per satu.
“Ahh, cukup bu RT. Semoga ada solusi yang diinginkan semua warga,” ujar Ibu Gatot.
“Aamiin ….” Seru Ibu-ibu berbarengan.
Hari pun mulai petang. Warna keoranyean kian memudar sepeninggalan mentari yang tenggelam. Mengiringi kepergian langkah Ibu-ibu itu kembali ke peraduannya. Meskipun menyisakan persoalan yang masih mengganjal dengan kesabaran tiada batas. Layaknya ketika sedang kehausan dan meminum sisa tetesan Zamzam baru sampai di ujung tenggorokan. Rasanya kerongkongan belum basah, belum tuntas menghempas dahaga.
***
Sampah
Malam pun tiba, Pak RT memenuhi janji untuk menyelesaikan masalah dengan mendatangi rumah Mas Handri soal Pinjaman Online Istrinya. Kebetulan, Mas Handri menerima baik dengan tangan terbuka maksud Pak RT ingin menemuinya. Setelah dikabari penghuni rumah sudah pulang kerja. Dengan langkah yakin, Ketua Sendang Mulyo yang cukup disegani itu menelusuri jalan aspal yang lebih pekat ketika malam. Lampu-lampu penerangan yang berada di ujung jalan menyinari langkahnya sendirian.
Tak pelak, lampu-lampu rumah warga yang redup di depan teras. Membuatnya merasa syahdu dengan sinar bintang yang bertaburan di langit gelap. Disayangkan, kegulitaan dan kesunyiaan bermakna damai itu tak bertahan lama. Terdengar suara keributan yang berasal dari dua blok di depan membuat Pak RT mempercepat jalannya.
“Kebiasaan banget sih, nyampah seenaknya. Tahu enggak Pak, sudah berapa kali Saya bilang. Kalau habis cuci mobil sampah-sampahnya langsung diberesin. Susah banget sih dibilanginnya, mau pakai cara kasar, Saya laporkan Pak RT!” semprot Ibu Farida membabi buta. Tangan kirinya di pinggang dan tangan kanannya menunjuk muka lawan di depannya.
“Nanti, Bu. Sabar, Saya mau masukin mobil dulu!” kata Pak Hartono.
“Nanti-nanti! Enggak, Saya mau sekarang, kalau perlu Saya lihatin. Enak aja, ini udah sering begini. Sampah dari mobil dikeluarin semua, pasti Pak Har nunggu diberesin Bu Atin besok!” kekeuhnya tak ingin kalah kali ini.
Pak RT datang mendengar keributan itu, ternyata Ibu Farida dengan tetangga di depan rumahnya. “Ya ampun, ada apa ini Ibu Farida suaranya terdengar dari jauh loh,” tanyanya.
Keduanya terkejut melihat Pak RT datang tanpa diminta. Namun, Ibu Farida tak gentar sedikit pun, karena ia merasa benar. “Ini loh, Pak RT sudah sering banget Pak Hartono setiap cuci mobil, sampahnya enggak diberesin,” jelasnya dengan menyisakan getaran di pita suaranya menahan emosi. Maklum, Ibu-ibu begitu jika menahan emosi akan terdengar dari suaranya yang gemetar. Bukan berarti takut, melainkan tak bisa menahan emosionalnya lagi yang terus bergemuruh di dalam.
Pak RT melihat ke sekitar kendaraan mobil Honda Yaris berwarna hitam itu. Memang dipenuhi dengan sampah bekas tisu kering, tisu basah, plastik kudapan, gelas mineral, bungkus permen dan botol teh kemasan berserakan. “Betul, Pak Har sampahnya tidak niat dibuang?” tanya Pak RT. Pak Hartono sedikit gugup untuk menjawabnya, ditambah sorot mata yang terus menelanjanginya. Membuat tubuhnya bergidik.
“Aah, nanti Saya bereskan Pak Erte, setelah masukin mobil hehe,” jawab Pak Hartono cengengesan.
“Bohong Pak! Mana mungkin bakalan diberesin, kebiasaan lama itu enggak akan hilang dalam semalam.” Ibu Farida menyambar dengan kalimat telak, sampai merasa puas.
“Sabar, Bu. Pak Har sudah berjanji akan beresin sampahnya. Ya ‘kan, Pak?” tekan Pak RT.
“I-iya, Pak, Saya akan bereskan, nanti.”
“Awas Ya, Pak Har. Saya lihatin, kalau Bapak enggak beresin sampahnya dan besok pagi sampah-sampah ini beterbangan ke depan rumah Saya seperti biasanya. Bakalan Saya buang sampah-sampah ini ke dalam rumah Pak Har!” ancam Ibu Farida tidak main-main.
“Enak saja! Emangnya sampah bisa masuk sendiri ke dalam tong sampah. Tiap pagi musti beresin sampah tetangga, males banget.” Ibu Farida sembari bersidekap menyindir habis-habisan kelakukan jorok tetangga depannya itu.
“Ya sudah, nanti Saya yang akan awasi setelah pulang dari rumah Pak Handri, ya Bu Farida. Tenang saja, tidak usah ribut-ribut begini, tidak enak didengarnya,” ucap Pak RT.
“O-iya, satu lagi Pak RT keluhan Saya sama tetangga depan ini. Saya minta tolong ayam-ayamnya dikandangin, sudah kebanyakan tuh. Bau banget kalau Saya buka pintu belum lagi tahi ayam di teras, aduh! Benci aku, tiap hari musti bersihin telek. Makan ayamnya enggak, eh … bersihin tahinya doang,” tambah Ibu Farida geram.
“Ayam?” gumam Pak RT.
“Iya, Pak RT, ayam Pak Hartono yang di belakang rumahnya. ‘Kan, kalau pagi suka dilepas, ke mana-mana tuh nelek-nya. Saya yakin enggak cuma Saya yang keberatan, banyak kok tetangga lainnya.”
Tiba-tiba, Pak RT melirik ke Pak Hartono, begitu juga sebaliknya yang membalas tatapan singkat itu. Keduanya seperti sedang berkutat dengan pikirannya masing-masing. Mencari jalan keluar. Tidak, mereka mencari jalan untuk bisa melarikan diri. Isi kepala Pak RT tak sanggup menemukannya, seperti berputar-putar di dalam labirin. Namun, ia memilih untuk memcari aman saja sementara waktu.
“Aah, Ibu Farida dan Pak Hartono, maaf Saya sudah terlambat, sudah ditunggu Pak Handri, permisi,” ucapnya sambil pergi. Melihat Pak RT pergi begitu saja tanpa balasan kalimat atas keluhannya soal “Kotoran Ayam” membuat Ibu Farida terheran-heran.
Tersuguh wajah heran Ibu Farida yang tidak habis pikir dengan sikap Pak RT yang tidak menggubrisnya, ada Pak Hartono yang justru merasa aman untuk sementara waktu. Kepalanya menggeleng-geleng dengan alis mata yang bertemu di tengah-tengah menarik guratan di dahi. Ada apa dengan Pak RT? Mungkinkah ia menutupi sesuatu, ataukah memang ia merasa keluhan itu bukanlah hal yang genting.
***
Di depan rumah berwarna abu-abu dengan beberapa rak pot bunga kehijauan dan corak unik dari daun aglaonema membuat asri rumah Ibu muda yang bernama Lela. Pintu utama tertutup, pagarnya juga. Pak RT melihat motor Matic Mio sporty berwarna hitam butut terlihat bersih. Tetesan air dari spatbor menandakan motor itu baru dicuci. Begitu juga dengan Vario putih yang biasa dipakai Ibu Lela, Istri Mas Handri. Orangnya ada di rumah, gumamnya.
“Kulo Nuwun (permisi),” salam Pak RT. Tidak ada sambutan dari dalam. Terdengar sepi hanya suara dialog dari layar televisi. Orangnya lagi nonton Sinetron, gumamnya.
Kedua kalinya, Pak RT sedikit membesarkan suaranya. “Kulo Nuwun. Assalamualaikum, Pak Handri!?” ucapnya.
“Nggih (ya), Mlebet (masuk) Pak RT!” sambut suara dari dalam. Pak Handri menyambut Pak RT yang berada di depan pagar. Membukakan pintunya sambil setengah membungkuk memegangi sarungnya.
“Di sini saja, Pak Handri, enak udaranya sejuk,” tutur Pak RT yang ingin duduk di depan saja daripada di dalam.
“Nggih, Pak.” Pak Handri mempersilakannya untuk duduk.
“Bu, bikinkan kopi dua ya,” pekik Pak Handri.
“Buk-buk!? Mama. Ndeso (norak)!” gumam Ibu Lela mengeluh di dapur. “Iya, sebentar!” balasnya.
Sambil menanti datangnya kopi, Pak RT memulai pembicaraan dengan basa-basi terlebih dulu. Muter-muter supaya tidak terkesan kasar, jikalau langsung to the point menjelaskan ke akar masalah. Pak RT bertanya jam masuk kerja Pak Handri, liburnya kapan dan perasaannya bekerja di kantor itu. Sepanjang pembicaraan, Pak Handri menunduk, tidak berani menatap kelamaan Pak RT. Tangannya pun mengusap-usap permukaan kulit di balik kemeja abu-abu khusus untuknya salat.
“Ya, gojek ndak mesti, Pak. Kerjaannya mubeng-mubeng (muter-muter) cari orderan. Kalau Saya, misalnya uang bersih di tangan seratus lima puluh ribu, ya pulang.”
“Tujuh puluh lima ribu buat dapur, sisanya buat bensin dan pegangan,” tambahnya menjelaskan.
“Lumayan, Pak sehari segitu,” timpal Pak RT.
“Yah, alhamdulillah. Ndak mesti tapi, Pak.”
“Kadang rame, kadang sepi,” jelasnya.
Tak lama, Ibu Lela muncul membawa baki berisi dua cangkir kopi dan roti unyil kecil-kecil dengan beraneka rasa. Meletakkan baki di atas meja, mendekatkan secangkir kopi di depan tamunya, dan satunya lagi untuk Suaminya beserta sepiring roti di tengah-tengah. Pak RT tersenyum melihat suguhan yang menggiurkan dari kilauan mentega panggang di permukaan roti.
“Wah, repot-repot ini, Bu Lela. Bikin sendiri?” tanyanya basa-basi.
“Walah repot, Pak. Beli aja banyak!” gurau Ibu Lela menimpali.
“Hehe, iya betul,”
“Silakan, Pak RT dicicipi,” tambah Ibu Lela.
“Ya, Bu. Terima kasih. Saya minum kopinya, ya Pak Handri,” kata Pak RT.
“Monggo, Pak, monggo,” jawab Pak Handri.
Lalu, setelah merasakan nikmatnya kopi panas buatan Ibu Lela. Pak RT sempat memeriksa dengan ekor mata punggung Ibu Lela yang berlalu ke dalam. Di waktu itulah, Pak RT mulai membicarakan maksud kedatangannya bertamu malam-malam.
“Begini, Pak Handri. Maksud kedatangan Saya itu atas masukan dari warga di sini yang merasa terganggu dengan Penagih utang yang sering datang. Dan juga, warga itu resah karena kerap kali ditelepon yang mengatasnamakan Pinjol,” kata Pak RT. Pak Handri diam sambil mendengarkan.
“Mohon maaf, Pak Handri kalau Saya harus mengatakan ini, karena situasinya sudah telanjur membuat tetangga-tetangga tidak nyaman.”
“Nggih, Pak. Saya paham, nanti biar Saya bicara dengan Istri, karena sebenarnya untuk utang Pinjol itu, kata Istri Saya sudah dilunasi, tetapi bunganya itu tinggi sekali. Istri Saya bolak-balik bicara dengan Penagih kalau tidak mau membayarkan bunga yang tidak masuk akal.”
Giliran Pak RT yang diam dan mendengarkan penjelasan Pak Handri mengenai utang-utang Istrinya. Ia hanya mengangguk-angguk sambil sesekali menyeruput kopinya, untuk menghilangkan rasa canggung. Ia pun tak sanggup menimpalinya karena penjelasan itu diselingi dengan curhatan pribadi yang merupakan aib Istrinya.
"Kalau Saya tanya Istri, kenapa dia begitu lagi? Jawabnya, enteng, Pak. Katanya biar Saya lebih kerja keras buat dia," tutur Mas Handri menghela napas. Kebingungan setengah mati bagaimana caranya untuk menyadarkan Istrinya.
“Jujur, Pak. Saya sudah tidak sanggup dan malu. Kelakukan Istri Saya ini, bahkan di sekolah, dia juga Bendahara. Uang kas digunakan untuk belanja online.” Pak Handri mengernyitkan rautnya, terlihat kesedihan dan rasa putus asa yang mendalam. Suaranya terdengar parau menahan sesuatu yang berat, antara marah, sedih dan kecewa.
“Sabar ya, Pak. Ini cobaan, sebaiknya Pak Handri membicarakan ini dengan Istri baik-baik saja, beri pengertian agar tidak mengulangi lagi dan mengembalikan semua uang yang terpakai,” saran Pak RT.
“Nggih, Pak. Nanti, Saya usahakan untuk selesaikan semuanya.” Pak Handri hanya bisa tertunduk semakin malu, seperti laki-laki tanpa harga diri lagi. Sewaktu datang tadi, Pak RT menaruh sedikit rasa jengkel terhadap kelakukan Ibu Lela, tetapi setelah mendengar ceritanya berubah menjadi iba kepada Pak Handri yang berusaha sabar menghadapi situasi serba bingung dengan himpitan ekonomi dan pengeluaran di luar batas kenormalan.
Suami seperti apa yang seharusnya menjadi pasangan Ibu Lela. Apakah, Pak Handri terlalu sabar sehingga sering diperlakukan seenaknya oleh Istrinya yang bergaya seperti Orang Kaya tanpa menyadari kemampuan Suaminya yang pas-pasan. Namun, benarkah Pak Handri tidak tahu kelakukan itu dari masa penjajakan dulu. Rasanya tak mungkin jika mereka tidak mengetahui kebiasaan, sifat dan perilaku buruk masing-masing sebelum menikah. Ataukah, ini yang namanya telanjur cinta. Sehingga, keburukan apapun pasangan dimaklumi sampai batas kemakluman itu habis. Mungkinkah, Ibu Lela tidak bisa berubah, begitu juga dengan Pak Handri yang harus bersikap lebih tegas.
***
Telek Ayam
Suatu pagi, Ibu Ade merasakan morning sick yang hebat di awal bulan kehamilannya. Pasangan muda yang mengontrak di depan rumah Pak RT ini sering merasakan mual, pusing setiap pagi. Pak Ade yang bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) terpaksa harus mengurus pakaian dan sarapannya sendiri sejak empat minggu belakangan. Ia merasa khawatir melihat kondisi Istrinya yang terus muntah dan tak ada makanan apapun yang masuk.
Tubuhnya kelihatan lebih kurus, kuyu dan pucat. Pak Ade sudah berseragam rapi dan selesai membuat telor dadar. Mendengar suara dari balik kamar mandi Istrinya yang terus muntah, membuatnya tidak napsu makan. “Dek, Aku telepon Ibu yah, biar ada yang ngurus kamu?” bujuk Pak Ade. “Enggak usah, aku enggak apa-apa, Mas,” tolaknya.
“Bukan apa-apa, aku kasihan sama kamu. Kalau ada Ibu, ada yang nemenin kamu di rumah, masakin kamu …,” ucapnya terpotong. “Enggak, Mas. Aku enggak mau. Kamu ingat ‘kan waktu kita tinggal di rumah Orang tuamu. Aku stress, Mas.”
“Yah, tapi ‘kan, ini lain situasinya. Kamu lagi hamil, pasti Ibu jagain kamu.”
“Sudah-lah, Mas. Aku enggak mau bahas ini lagi,” keluhnya sambil dibopong ke dekat ranjang. Tubuh mungil itu masuk ke dalam kasur dengan lemah dan dibalut oleh selimut agar lebih hangat.
“Ya sudah, aku berangkat ya,” pamit Pak Ade sambil mengecup kening Istrinya.
“Hati-hati ya, Mas. Oiya Mas, kalau ada telek di depan …,” ucapannya terpotong, baru saja mengucapkan tahi ayam ia sudah merasa mual karena membayangkannya sekaligus.
Uwek-uwek!
Buru-buru Sang Suami mengantar Istrinya ke dalam kamar mandi. Setelah selesai dengan urusannya yang tak bisa ditahan, Ibu Ade melihat Suaminya yang masih menunggunya di depan pintu. “Kok belum berangkat, Mas. Nanti telat loh.”
“Yauda, aku berangkat dulu ya, Dek. Oiya, nanti kalau ada di teras “itu-tuh”, biar Mas semprot biar kamu enggak mual terus,” kata Pak Ade. Ibu Ade mengiyakannya dan melambaikan tangan untuk kepergian Suaminya itu.
Benar saja, baru membuka pintu tercium bau tak sedap dari seberang. Aroma unggas menyelimuti udara pagi yang seharusnya terhirup segar. Namun, selama pasangan muda itu mengontrak di sana, tak sehari pun bisa menikmati pagi hari tanpa pencemaran udara. Belum lagi, sepatunya sering terkena jebakan batman dari tahi ayam yang menelek di garasi rumahnya.
“Astaga, telek lagi telek lagi,” keluhnya kesal.
Sebagai pendatang baru dan masih mengontrak terkadang harus semakin lebih sabar dan menahan perasaan. Walaupun kewajibannya sama dengan penghuni lama, seringkali hak-haknya tidak terpenuhi. Ditambah lagi tak bisa bersikap dengan leluasa karena dianggap sebagai warga sementara saja. Pandangan itu masih kentara dalam perlakukan di antara warga terhadap warga kontrak. Contohnya, pasangan muda-mudi ini yang menjadi warga taat dengan mematuhi kewajibannya membayar iuran sampah, wajib dan keamanan. Namun, tak bisa mengutarakan keluhannya untuk mendapatkan hak-haknya.
“Pagi, Pak Ade,” sambut Pak RT yang sedang menyiram beberapa kandang burung miliknya.
“Pagi, Pak Erte,” balasnya. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya tetapi seringkali segan diutarakan karena yang dihadapinya seorang yang dihormati oleh warga.
Namun, ia merasa kali ini tak bisa dibiarkan. Istrinya sedang lemah tak berdaya bahkan tak sanggup ke luar dari kamar apalagi berpijak di depan teras jika sedang bosan disebabkan oleh tahi ayam yang menjijikkan. Kesabarannya sudah cukup untuk memaklumi ketidaknyamanan itu. Ia harus berbuat sesuatu demi Sang Istri.
Ia mendekati Pak RT dengan langkah pelan, ada keraguan dalam hatinya. Akan tetapi, mungkin ini saat yang tepat untuk bicara, kapan lagi. Sekarang waktunya untuk mengungkapkan keberatan itu kepada empunya. Pak Ade sudah berada di depan Pak RT yang membelakanginya. Ia tidak sadar kehadiran Pak Ade yang sejak tadi memperhatikannya.
“Pak Erte, Saya mau ngomong sesuatu,” ujar Pak Ade sambil menekan bibirnya dengan jari telunjuknya. Pak RT beranjak dan mematikan selang airnya segera. Mendekati warganya itu yang terlihat ingin mengatakan sesuatu yang penting.
“Kenapa, Pak Ade? Gimana Istri, katanya sedang ngidam ya?” tanya Pak RT.
“Aah, iya Pak, betul. Begini, Pak mengenai itu … sebenarnya ada kaitannya dengan kondisi kehamilan Istri, Saya.” Pak Ade mulai mengucurkan keringat dingin dari tengkuk dan dahinya. Situasi itu seperti sedang menghadap atasannya di kantor ketika harus memberikan laporan yang terlambat dari dateline.
“Saya mau minta tolong, Pak,” ucap Pak Ade sopan.
“Iya, tolong apa, bilang aja,” jawab Pak RT.
“Aah, Istri Saya itu lagi ngidam dan kalau lihat telek ayam di teras mualnya menjadi-jadi, Pak. Minta tolong supaya peliharaan ayamnya itu jangan sampai ke teras Saya. Hampir setiap pagi kaki Saya keinjak telek, Pak. Kasihan Istri sekarang cuma bisa di kamar karena menghindari teras yang tercium bau tahi, minta tolong ya, Pak.”
“Ooh … soal itu, lagi. Ya-ya, Pak.” Pak RT hanya menjawab sesingkat itu. Dari anggukannya terkesan, Pak RT tidak senang ada keluhan soal unggas-unggasnya. Ia merasa tersinggung, sudah pasti dari rautnya.
Situasi menjadi canggung, ekspresi ramah itu hilang dan tenggelam dari wajah Pak RT. Sudah saatnya, warga kontrak itu pergi dari hadapannya. Rasanya, ia sudah menyesalinya sedetik lalu setelah mengutarakan pendapatnya. Kehidupan pernikahan itu sudah banyak lika-likunya, ditambah lagi dengan kehidupan bertetangga yang dibilang mudah juga tidak, sulit juga tidak.
Ia pun masuk ke dalam mobil Agya merah yang masih dalam garasi dengan pagar terbuka lebar. Setelah dikeluarkan, ia harus menutup pagar rumahnya. Dari ekor matanya, ia bisa merasakan sorot geram dari tetangga depannya itu. Perubahan sekejap setelah ia mengungkapkan keluhan yang seharusnya bisa diterima sebagai masukan bukan kritikan.
Ketika di dalam kendaraannya, hanya tarikan napas dalam yang sanggup dikeluarkan. Benar-benar pagi yang merusak mood sebelum berangkat kerja. Mau marah tidak bisa, mau mengeluh pada siapa. Hanya Tuhan yang menyaksikan semuanya dan kembali kepada diri untuk terus berbuat baik. Sabar dan sabar.
***
Beberapa hari berlalu, di waktu subuh ada langkah kaki yang berani, datang dari jalanan yang habis terguyur hujan. Di balik payung kuning, ia membawa sesuatu yang sudah dipersiapkan dari rumahnya yang tak jauh. Sesuatu yang lebih tajam dari pisau, sesuatu yang lebih berani daripada sekadar kata-kata. Perbuatan yang mungkin bisa mengubah ketidakpedulian menjadi kepedulian.
Sesampainya di depan rumah putih dengan warna bata di dinding senada dengan lantainya. Orang misterius itu berdiri di samping tembok sambil bersembunyi dalam payung, menoleh ke kiri dan kanan memperhatikan sekitar. Ia merasa tak ada seorang pun yang berada di sana yang akan menangkap perbuatannya. Ia mengeluarkan sesuatu dan mulai menempelkannya penuh di tembok. Senyumnya timbul dengan hati-hati, ia tak bisa terkekeh keras-keras jika tak ingin ketawan yang punya rumah.
Setelah selesai dengan tindakannya, ia berbalik menjauh dari rumah itu. Dan berjalan seperti biasa. Bersikap biasa agar tak dicurigai sedikit pun. Perasaannya sangat aneh, ia merasakan adrenalinnya terpacu, rasa deg-degan, was-was takut tertangkap dan juga perasaan menyenangkan setelah berhasil melakukannya.
***
Ayam tak terdengar berkokok, mengeram di dalam kandang bersembunyi dari dinginnya kabut. Kebanyakkan para Penghuni bermalasan untuk bangun. Menarik selimut di tengah dinginnya udara sehabis hujan semalaman. Perumahan yang berada di dekat pegunungan itu, jauh dari kota membuat suasana dan udaranya masih sejuk. Jika rumah yang berlantai dua akan bisa langsung melihat puncak pegunungan Ungaran yang megah.
“Pak-pak, bangun sudah pagi,” ucap Ibu RT sambil menggoyangkan tubuh Suaminya yang masih terlelap.
“Iya, Buk. Sebentar lagi,” ucapnya malas.
Ibu RT mengambil keranjang berisi pakaian kotor dan menyeretnya sampai di depan mesin cuci, lalu keran air yang dinyalakan mengisi teko air. Suara ceklek beberapa kali dari tungku kompor gas yang tidak mau menyala. Mendengar aktivitas di dapur membuat telinga Pak RT terganggu.
“Pakai korek, Bu,” pekik Pak RT dari kamar.
“Betulin toh, Pak. Biar Ibu enggak susah begini kalau masak,” keluh Ibu RT.
“Iya-iya, memang harus beli kompor baru, bolak-balik dibetulin, ya begitu lagi,” tambah Pak RT.
Baguslah kalau paham. Gumam Ibu RT senang akan dibelikan kompor baru.
Lalu, Pak RT tak kalah sibuknya memulai pagi, dari mulai memberi makan ayam-ayamnya dan hendak memandikan burung-burungnya. Namun, karena baru selesai hujan sepertinya ia tak akan memandikan peliharaannya itu, takut jatuh sakit. Pak RT ke depan untuk mematikan lampu teras dan membuka gembok pagar. Memanaskan mobil dan motornya yang terparkir.
Ketika ia membuka gembok pagarnya, ia terkejut karena mendapati dinding samping rumahnya penuh dengan poster-poster aneh. “Apa-apaan ini??” tandasnya emosi.
“Bu-buk! Sini, Buk!!” pekiknya lantang.
“Ada apa sih, Pak teriak-teriak, Ibu lagi bikin kopi di belakang,” keluhnya.
“Ini loh, Buk.” Pak RT menunjukkan selembar poster yang dilepasnya dari tembok.
Poster yang berisi sesuatu yang sangat menyinggungnya.
“Siapa pelakunya??” geramnya.
“Sabar, Pak. Mungkin bukan warga sini,” ujar Ibu RT berusaha menenangkan.
“Enggak mungkin, pasti warga sini. Mereka enggak berani saja ngomong langsung, makanya cuma berani tempel-tempel poster.”
“Memangnya, cuma kita saja yang punya unggas, ‘kan banyak juga,” protesnya kesal.
Kemudian, Pak RT melihat tetangga depannya yang sedang siap-siap untuk pergi. Beberapa tas sudah diangkati ke dalam bagasi. Sepertinya, mereka ingin mudik dengan melihat bawaan sebanyak itu. Namun, bukan itu yang ada di pikiran Pak RT. Tetangga depanlah yang paling berpotensi sebagai pelaku penempel poster itu.
“Awas yah!” ancam Pak RT marah.
“Pak, Pak mau apa, Pak!” ucap Ibu RT berusaha mencegah.
Pak RT menyeberang ke depan rumah tetangga depannya dengan emosional. Hujan rintik-rintik yang menetes di pucuk kepalanya tak dihiraukannya. Sambil membawa poster yang sudah remuk dalam genggamannya. Wajah merah padam, tulang rahang yang menonjol dan gigi yang menggemeretak menunjukkan kemarahannya. Ibu RT membawa payung menyusulnya di samping dengan perasaan was-was jikalau Suaminya itu akan segera meledak.
“Pak Ade, sampean (anda) warga baru, jangan begini caranya, bicara yang apik (baik) bukan cara Vandalisme begini,” tuduh Pak RT sambil menunjuk-nunjuk.
Pasangan muda itu terlihat bingung dengan tuduhan yang dilayangkan. Pak Ade sama sekali tidak mengerti dengan perkataan Pak RT pagi-pagi di depan rumahnya. “Ada apa, ya Pak. Saya enggak paham?” tanya Pak Ade bingung.
“Berlagak pilon lagi!” gumam Pak RT. “Sabar Pak,” cegah Ibu RT.
“Benar Pak Ade bukan yang membuat poster ini?” tanya Ibu RT baik-baik.
Pak Ade melihat sekilas poster yang sudah sangat lecak dan memandangi dinding yang penuh dengan poster yang sama. Ia menjawab dengan gelengan, rasanya tak mungkin melakukan hal sekonyol itu. Ia seorang yang beradab dan tahu diri. Tuduhan itu sangat salah jika menyasar pada dirinya.
“Pak-Bu, jangan menuduh sembarangan, bukan Saya yang menempel poster-poster itu. Lagipula, keberatan Saya juga sudah disampaikan tiga hari yang lalu, mana mungkin Saya buat hal sekonyol itu, walaupun apa yang diungkapkan di poster itu hal yang benar,” ungkap Pak Ade santai.
“Benar bagaimana?” protes Pak RT tidak terima.
“Ya, poster itu ‘kan memberikan informasi jika memang di dalam perumahan tidak boleh mendirikan kandang, memelihara unggas, bahkan jika itu dilakukan Pemilik bisa digugat oleh siapa pun yang merasa keberatan,” jelasnya lagi.
“Tapi, kenapa Saya saja yang diprotes, yang melihara unggas ‘kan bukan Saya saja,” dalih Pak RT.
“Pak, Bapak itu ‘kan di sini Ketua RT dan disegani, yah kalau Pak RT aja tidak mengindahkan aturan, bagaimana yang lainnya, Pak. Keluhan Saya saja tidak didengar sama Bapak.”
Pak RT tertunduk setengah malu, emosinya membuatnya gelap mata dan tidak bisa berpikir jernih. Begitu juga dengan Ibu RT yang hanya bisa menemani Suaminya yang perlahan memahami situasi. Memang informasi itu baru saja di dengarnya, atau mungkin juga sudah lama tahu tapi pura-pura tidak tahu. Jika menyangkut dengan kepentingan pribadi dan memiliki kekuasaan maka terkadang peraturan menjadi nomor sekian untuk ditegakkan.
“Kalau begitu, maaf ya Pak Ade, Ibu Ade. Maafin Suami Saya kalau ada salah,” tutur Ibu RT. Sedangkan, Pak RT hanya berbalik badan dengan beban malu di pundaknya. Untuk pertama kalinya, ia merasa sudah mencoreng mukanya dengan arang atas perbuatannya sendiri.
Menjadi seorang Pemimpin itu tidak mudah, apalagi setiap perbuatan akan selalu dicontoh dan ditiru. Ia sadar jika selama ini belum menjadi pemimpin yang baik bagi seluruh warganya. Setiap keluhan sekecil apapun, jika diabaikan maka akan menjadi masalah besar di kemudian hari.
Jika bukan Pak Ade pelaku Vandalisme itu, lalu siapa?
Telolet! Telolet!
Suara klakson mobil sayur datang memanggil warga untuk belanja. Mas Yadi baru saja sampai di perempatan tempat biasa mangkal. Dengan sabar menunggu beberapa saat meski belum ada yang nampak menghampiri, mungkin karena hujan masih gerimis rintik-rintik. Ia mengambil gawai dan mulai meng-chat pribadi beberapa langganannya.
Buk, belanja enggak?
Beberapa isi pesan singkat dari Mas Yadi. Suara pagar mulai membuka, beberapa kepala timbul di depan pagar, tak lama satu per satu bermunculan seperti semut yang mengerubungi gula. Terdengar riuh bersahutan dari sisi-sisi yang berbeda, timur, barat, selatan. Semuanya menanyakan pertanyaan yang hampir sama.
“Masak apa, Bu?”
“Bikin apa ya, enaknya?”
“Ikan asin, sayur lodeh sama sambel, enak kayanya,”
Begitu seterusnya obrolan itu sampai selesai dengan belanjaannya masing-masing. Dari kejauhan seseorang datang membuat semuanya menoleh ke arahnya seperti gerakan lambat dalam filem-filem misteri. Rintikan hujan pun jatuh melambat yang menyertai langkah kakinya yang menyembunyikan wajah di balik payung kuningnya.
Siapakah dia?
Tap! Tap!
Jejak Sandal jepit itu hilang tak menjejak di atas aspal basah. Perawakan sedang dengan bobot sedikit gemoy, masih dalam kategori di batas ambang. Tepat, ia berdiri di depan Ibu-ibu yang penasaran dengan wajah yang bersembunyi. Pelan-pelan, payung berwarna kuning diangkatnya. Membuat semuanya tak … begitu terkejut.
“Oh, Ibu Daria, kirain siapa. Bikin kaget aja.”
TAMAT