Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Adzan magrib berkumandang di celah antar gedung yang menjulang. Sore menjelang malam, jalanan kota dipadati oleh ribuan pengendara dengan berbagai macam perasaan. Ada yang senang karena bisa bertemu keluarga, ada yang marah karena habis dimarahi oleh atasan, ada yang bermuka letih karena belum mendapatkan orderan, ada yang dihantui perasaan takut karena masih mengadu kerasnya nasib di Ibu Kota.
Pun demikian dengan Bagas, remaja berusia 17 tahun yang baru sebulan merayakan wisuda pelepasan SMA di sekolahnya. Kini juga dihadapi perasaan dilema, antara melanjutkan ke jenjang perkuliahan atau memilih untuk melamar pekerjaan.
Mungkin Bagas adalah satu di antara sekian ribu warga yang digolongkan oleh BPS sebagai usia produktif. Keputusan memilih salah satunya menjadi pertimbangan matang yang akan menentukan masa depan Bagas. Di satu sisi, ia ingin melanjutkan ke perguruan tinggi favoritnya, UI. Di sisi lain, finansial keluarganya belum mencukupi untuk membayar biaya perkuliahan, juga biaya hidup selama berkuliah. Jika ia memilih untuk bekerja, ia juga belum tahu apakah bisa langsung diterima oleh perusahaan atau tidak. Sedangkan, sedikitnya lowongan pekerjaan mengharuskan dirinya untuk bersaing dengan ratusan ribu warga yang membutuhkan pekerjaan.
Kecemasan itu membuatnya pusing dan lebih memilih untuk mencurahkannya bersama teman-temannya di tongkrongan. Dengan sisa uang lima puluh ribu yang ia punya, lima belas ribu ia belikan untuk setengah rokok Garpit, dan lima ribu untuk membeli minuman kemasan.
“Gampang, uang mah ntar juga ada lagi,” ucapnya.
Edo, Hendri, Akmal, dan Agung telah menunggunya di warkop dekat sekolahnya, basecamp tongkrongannya.
“Set dah, bingung gua, Cok,” keluh Bagas sambil menjatuhkan diri ke kursi.
“Buset, buset, kalem, Coy,” sahut Agung.
“Etdah, ada apa si kawan?” tanya Akmal sambil tertawa kecil.
“Lu pada jadinya gimana, Cok? Mau lanjut kuliah atau langsung gawe?”
Hendri menjawab cepat, “Gue ikut bokap gue gawe, Gas.”
“Gue kuliah sih, ini lagi nyiapin SNBT. Cuma ya doain gue, Bre, soalnya gue daftar UPN,” ujar Akmal.
“Amin, Mal,” sahut mereka kompak. “Kalo lu, Do?”
“Hmm... gatau nih gue. Pengennya sih gawe di Jepang, tapi bokap-nyokap nyuruh gue kuliah di Indo.”
“Gile ye kalian udah pada ada tujuan,” balas Bagas.
“Lu sendiri gimana, Gas?” tanya Edo.
“Gua bingung, Cok... gue pengen kuliah, tapi gue terbatas, kan, finansial keluarga. Bokap dah pensiun, nyokap juga cuma jualan.”
Edo menimpali, “Gue ada link beasiswa nih, Gas. Kali aja lu mau kuliah.”
“Wah, serius lu, Do?”
“Beneran lah, masa borongan,” timpal Edo sambil bercanda, diikuti tawaan mereka.
Hendri pun ikut menawarkan, “Gue juga ada link buat gawe nih dari bokap. Kali aja lu mau, Gas.”
“Buset, jadi bingung gua,” jawab Bagas sambil menggaruk kepala.
Agung tertawa, “Nah, gak perlu mumet deh pala lu. Tinggal pilih aja. Mau kuliah, bisa ke Edo. Mau gawe, bisa ke Hendri.”
“Kalo mau se-M gimana, Gung?” celetuk Bagas.
“Jadi Rafathar aja lu.”
Mereka pun kemudian tertawa, dilanjut dengan obrolan ringan. Mulai dari nostalgia momen-momen sekolah, gosip perempuan, obrolin negara, Tuhan, agama, masalah hidup — pokoknya sampai tak terasa jam menunjukkan pukul dua belas malam.
***
Beberapa bulan setelahnya
Setelah berdiskusi panjang bersama kedua orang tua, Bagas akhirnya memutuskan untuk memilih lanjut bekerja. Meskipun ada penyesalan di lubuk hatinya, terlebih rasa iri melihat teman-temannya mengunggah foto memakai almamater kampus, memposting twibbon ospek kampus, berfoto ria bersama teman baru, dan kegembiraan lainnya.
Tapi apa boleh buat, hidup harus terus dijalankan dan hasil keputusannya adalah yang terbaik. Kali ini, ia tidak memilih bekerja bersama Hendri. Alasan utamanya, tawaran dari orang tua Hendri mengharuskan ia bekerja di luar pulau. Sedangkan Bagas memiliki kedua orang tua yang sudah menua dan sakit-sakitan. Alhasil, ia lebih memilih untuk mencari pekerjaan yang tidak jauh dari rumahnya.
Tetangganya mengabarkan ada lowongan kerja di pabrik manufaktur otomotif besar. Akan tetapi, seperti yang sudah-sudah, ia harus membayar uang “pelicin” sebesar 7 juta rupiah sebagai biaya masuk. Saran itu terpaksa harus ia terima, dikarenakan tetangganya berkata bahwa sudah hampir 5 tahun ia menganggur dan mengikuti tes di berbagai perusahaan. Ujung-ujungnya pasti orang dalam lah pemenangnya.
Meskipun ada kekecewaan besar terhadap sistem lowongan pekerjaan di negaranya yang tidak bersih, akan tetapi kebutuhan hidupnya lebih memprihatinkan lagi. Alhasil, dengan uang 7 juta yang diperoleh dari pinjaman online, Bagas pun mendapatkan posisi baru sebagai staf operator produksi di salah satu pabrik manufaktur.
“Kamu yakin bisa balikin modal segitu, Nak?” tanya Ibu pelan.
“Aku sangat yakin, Bu. Mungkin 3 bulan pertama aku akan banyak kewalahan untuk membayar pinjamanku. Tapi, 3 bulan setelahnya pasti hidupku sudah stabil lagi kok,” jawab Bagas sambil tersenyum, meyakinkan Ibu.
“Bapak sama Ibu gak bisa bantu apa-apa loh, Nak. Yang penting kerjaan kamu halal ya,” timpal Bapak.
“Gapapa kok, Pak. Lagian yang aku butuhin dari Bapak sama Ibu kan doanya. Supaya aku bisa kuat dan tabah,” balas Bagas sambil tersenyum.
***
Babak Baru
Hari pertama kerja, Bagas mengenakan seragam abu-abu pudar dengan logo perusahaan bordir di dada. Ia ditempatkan di bagian pengepakan akhir, berdiri selama delapan jam, mengecek dan membungkus suku cadang mobil.
Gaji awalnya 5 juta per bulan. Terlihat besar, tapi setelah dipotong cicilan pinjol, uang makan, transportasi, dan membantu sedikit untuk keluarga di rumah, dompetnya selalu kempes di pertengahan bulan. Bulan keempat, ia mulai ambil lembur siang-malam. Kini, ada banyak perubahan dalam fisiknya. Badannya kurus, wajahnya pucat. Kadang, selepas pulang kerja, ibunya memberinya jahe hangat untuk meredakan pusing di kepalanya. Meskipun begitu, ada perasaan bangga di hatinya. Sebab, kini sudah mulai bisa menabung Rp500 ribu sebulan. Dalam hitungannya yang polos,
“Nih duit, kalau gue tabung tiap bulan, gue bakal punya duit satu milyar nih.”
Sampai di saat libur panjang, Bagas kembali bertemu dengan Edo di warung kopi dekat sekolahnya dulu.
“Gimana kabar lu, Gas?” tanya Edo.
Bagas tertawa kecil. “Baik, Do. Lu gimana?”
“Alhamdulillah, aman,” jawab Edo sambil mengacungkan jempol. “Kerjaan lancar, Gas?”
Bagas tersenyum. “Alhamdulillah, Cok. Pinjaman udah gue bayar. Keuangan udah stabil. Dah bisa nabung juga gue. Bentar lagi juga se-milyar nih gue. Hahahaha.”
“Anjay, serem ah,” balas Edo sambil tertawa.
“Ah, lu kali yang serem,” tepok Bagas ke pundak Edo.
“Ngomong-ngomong, gue liat di SG lu, kemarin habis juara 1 lomba ekonomi tingkat nasional ya?” tanya Bagas.
“Yoi. Kebetulan aja itu mah,” sahut Edo merendah.
“Bjirrrrr, gokil-gokil. Ajarin gue dong, Do,” pinta Bagas.
“Ajarin apaan, Cok?” balas Edo.
“Apa ya... Hahahaha,” jawab Bagas gugup.
“Nih, gue tuh punya cita-cita buat dapetin satu milyar pertama gue. Gue harus gimana ya, Do?”
“Anjrit, langsung di-ulti gue,” tawa Edo.
“Etdah, serius ini sumpah gue. Plis ini mah ajarin gue, Do,” pinta Bagas.
Bagas menegakkan badan dan menggeser posisi duduknya.
“Jadi gini, sebelum gue jelasin, gue mau nanya sama elu, Gas. Hal apa yang udah lu lakuin buat dapet satu milyar pertama lu?”
Bagas menjawab, “Kerja. Nabung. Hmm... udah sih itu aja.”
“Nah, gak bakal nyampe tuh, Gas,” balas Edo.
Bagas memicingkan mata. “Hah? Maksud lo gimana, Do?”
“Gini, Gas. Uang itu kayak pohon. Dia bakal bisa gede kalau lu rawat, lu siram, lu jaga.
Dia bakal bisa berbuah kalau lu tahu ilmunya. Nah, sama kayak uang,” jelas Edo.
“Kalau uang lu cuma lu tabung dan dibiarin aja, lama-lama dia gak bakal tumbuh tuh. Apalagi kondisinya, tiap tahun uang tuh mengalami inflasi sebesar 4%.”
Bagas terkejut, “Wah, asli lu, Do?”
“Nih ya, dulu lu dengan uang seribu bisa beli permen 10 kan? Sekarang? Paling cuma dua.”
“Oh iya, anjir, baru engeh gue,” balas Bagas. “Terus gue harus gimana dong?”
“Jawabannya tuh di sini,” balas Edo sambil menunjuk kepalanya.
“Hah? Otak?”
“Yups. Otak. Ilmu. Jawabannya, lu harus punya ilmu sebagai pondasi diri lu,” balas Edo.
Bagas terdiam. “Tapi gue kan gak kuliah kayak elu, Do.”
“Ilmu tuh gak didapet di kuliahan doang, Gas. Lu buka Google. Buka ChatGPT. Nonton YouTube. Baca buku. Banyak banget sekarang sumbernya. Gue yakin lu bisa kok.”
Bagas benar-benar menyimak ucapan Edo. “Tapi, dengan ilmu tuh maksudnya gimana, Do? Sori, gue masih belum paham.”
“Nice. Suka gue nih pertanyaannya,” balas Edo sambil tertawa kecil.
“Uang itu benda mati, Gas. Dan semakin lu mengejar itu uang, yang capek malah elu-nya, Gas. Ibaratnya, lu pagi, siang, malam kerja. Pas gajian, belum ada sebulan itu udah habis lagi aja. Bener, gak?”
“Buset, iya lagi,” jawab Bagas cengengesan.
“Nah, yang harus lu lakuin itu menej uangnya dulu. Udah, pokoknya simpen dulu tuh uang sampai kekumpul 10 juta. Pastiin lu pakai konsep 50:30:20. 50% buat biaya hidup, 30% itu bebas — mau buat beli barang, mau ngasih ke keluarga, mau foya-foya, pokoknya batasin sebulan 30% aja. Nah, 20%-nya baru tuh lu invest. Entah mau ke reksa dana, saham, obligasi, crypto, forex, bitcoin — pokoknya sisihin 20%,” jelas Edo.
Bagas menyimak sambil memperhatikan dengan saksama.
“Nah, tapi 20% itu lupain dulu selagi lu punya utang,” jelas Edo.
“Kalau masih ada, fokus lunasin dulu aja. Soalnya, utang itu nantinya yang bakal ngerepotin jalan lu buat punya satu milyar pertama di hidup lu.”
“Baru, kalau utang lunas, pastiin lu punya dana darurat, Gas.”
“Nah, bedanya dana darurat sama nabung yang 10 juta di awal itu apa ya, Do?” tanya Bagas.
Edo mengangguk. “10 juta tuh anggap dana awal lah, kayak modal. Sedangkan dana darurat itu dana yang lu gak bakal tahu ke depan bakal gimana. Mengingat banyak perubahan, bisa aja ada hal-hal yang gak terduga. Nah, di saat lu terdesak sama situasi itu, dana darurat itulah yang akan lu pakai.”
“Oh, paham gue. Nah, cara gue nyiapin dana darurat tuh gimana, Do?” tanya Bagas.
“Simplenya gini, Gas. Gaji lu selama sebulan itu dikali selama setahun. Misal sebulan lu digaji 5 juta, berarti setahun gaji lu kurang lebih 60 juta, kan? Nah, dana darurat itu, gaji setahun dikali 6. Berarti dana darurat untuk satu tahun lu sekitar 360 juta.”
Bagas tercengang. “Buset, lama juga ya berarti.”
“Nah, itu tergantung lu-nya, Gas. Kalau buat nyampe di titik financial freedom itu, kalau lu udah nyisihin 20% buat invest, terus dana pensiun, dana pendidikan anak, lunasin KPR — barulah lu di titik, harta lu udah tinggal dibagi-bagiin aja, sih.”
“Tapi buat nyampe satu milyar pertama itu gimana, Do?”
“Kan tadi gue udah jelasin ke elu, Gas,” jawab Edo sambil tertawa kecil.
“Bukan, maksud gue, yang lu jelasin tuh kayak lebih dari satu milyar, anjrit. Lama banget,” balas Bagas sambil tertawa.
“Lah, lu kira dapet satu milyar pertama itu gampang, Gas? Kalau instan mah gue juga mau lah,” balas Edo sambil tertawa.
“Eh, iya juga ya,” jawab Bagas sambil menggaruk kepala.
“Tapi, kelihatannya banyak kok influencer yang suka ngomong cara cepat dapet satu milyar pertama gitu, Do?”
Edo tertawa ngakak. “Yeeee... elu... itu mah marketing aja biar rame.”
“Hah? Boong, kah, mereka?” tanya Bagas polos.
“Itu tuh trik marketing aja, Gas. Dibilang bohong, sebenarnya mereka pasti ngelewatin fase susahnya dulu sih, gue yakin. Tapi yang ditunjukin itu pasti yang bagus-bagusnya.”
“Ohhh... gitu ya.”
“Intinya gini, Gas. Sebelum lu mencapai satu milyar pertama, pondasi utamanya itu ilmu. Ilmu itu aset paling mahal. Udah, itu kesimpulan dari gue,” balas Edo.
“Oke, oke, gue kebuka banget nih, Cok. Makasih ya, Do. Sori banget nih gue ngerepotin elu. Banyak ngebacot, hehehehe,” balas Bagas cengengesan.
***
Penutup
Sehabis obrolan bersama Edo, Bagas mulai giat membuka YouTube dan belajar soal keuangan. Ia mulai membaca beberapa buku seperti Rich Dad Poor Dad, The Psychology of Money, The Intelligent Investor, Think and Grow Rich, dan masih banyak buku lainnya. Ia juga mulai suka mengikuti kelas finansial di sela-sela kesibukannya dalam bekerja. Selain itu, beberapa uangnya ia putar untuk bisnis yang ia rintis bersama adiknya.
Kini, ia paham. Meskipun Bagas belum mendapatkan satu milyar pertamanya, tapi setidaknya ia mulai mengerti bahwa uang itu semakin dikejar akan semakin menjauh. Makanya, hal terpenting adalah ilmu — karena ilmu itulah merupakan investasi terbaik yang tidak bisa tergantikan, meskipun lebih dari satu milyar.