Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di antara sunyi jari dan beku layar, sebuah geseran ke kanan mengukir takdir yang tak terduga. Kini, dalam relung terdalam diriku, segerombolan kepompong mulai bergelayut, bukan hanya sekadar ilusi, melainkan denyutan aneh yang menjanjikan sebuah musim.
Beberapa minggu lalu, aku memberanikan diri untuk mencoba sebuah aplikasi kencan. Pertama kali membuka aplikasi itu, aku melihat ada sederetan potret bergaya maskulin memenuhi beranda aplikasi. Jari-jariku menari gelisah di atas layar, menelusuri setiap gambar dengan wajah-wajah asing yang menawan. Setiap kali menemukan foto laki-laki dengan senyum ramah, aku berhenti sejenak, menahan napas, lalu menggeser ke kanan.
Ibu jariku terus sibuk menggeser profil-profil yang ada, sampai aku berhenti di salah satu profil yang membuatku merasa tertarik dan langsung menggeser profilnya ke kanan. Sosoknya memancarkan citra seperti api, tapi dengan senyum yang mengundang hangat bak sinar matahari yang memecah kabut pagi. Tak lama setelah itu, notifikasi pesan muncul di layar ponselku,
“Halo, di tempatmu jam berapa?”
Biasanya, pesan pertama dari seseorang yang baru dikenal berisi pertanyaan tentang nama atau asal. Tapi dia terkesan unik dan berbeda. Pesan itu datang dari dia, laki-laki dengan citra seperti api yang baru saja kugeser profilnya ke kanan.
Jari-jariku mengetik pelan, “Sudah pukul satu dini hari di sini.”
Sebait pesan muncul lagi setelah aku mengirim balasan,
“Kalau jamnya sama, berarti asal kita juga sama kan?”
Saat pesan itu muncul di layar beranda aplikasi. Aku mengerutkan dahi, mataku menelusuri setiap kata-katanya dengan bingung. Tanpa pikir panjang, aku membuka profilnya lagi untuk memastikan lokasinya. Perlahan, sudut bibirku yang tadi kaku mulai terangkat, membentuk senyum kecil yang terselip di pipi. Ternyata memang benar, jarak kami hanya terpaut satu kilomter saja. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengetik pesan baru,
“Boleh tahu namamu siapa?”
Jantungku berdetak lebih cepat saat menunggu balasannya. Tak lama, layar ponsel menyala lagi, tandanya dia membalas. Sejak saat itu, pesan-pesan kami mengalir tanpa henti, seperti sungai yang tenang, mengalir di antara bebatuan.
Suatu malam, dia mengirim foto dirinya di atas panggung, wajahnya penuh ekspresi di bawah sorotan lampu. Sedangkan, aku hanya membalasnya dengan foto buku yang sedang kubaca, dan jendela kamarku yang terbingkai dengan rintik hujan. Kadang, aku juga membalas dengan kalimat singkat, sementara dia mengirim cerita panjang tentang dunia teater yang penuh gemuruh dan sorak penonton.
Aku lebih suka diam dan menikmati kesunyian kamar, sementara dia tampak hidup di tengah keramaian. Saat dia bercerita tentang panggung dan sorotan lampu, aku membayangkan diriku yang lebih nyaman menyendiri, jauh dari riuhnya dunia. Beberapa hari berlalu, pesan dari dia tiba-tiba muncul,
“Aku ingin kita bertemu.”
Jantungku langsung berdetak kencang. Setelah lama tak merasakan sebuah getaran didada, tiba-tiba ada sosok yang kukenal lewat aplikasi mengajakku bertemu tatap muka. Aku tentu saja langsung membalas dengan cepat,
“Aku tidak ingin bertemu sebelum kita saling mengenal selama dua minggu.”
“Kenapa harus menunggu selama dua minggu?”
“Supaya aku bisa melihat seberapa lama kamu mampu bertahan di ruang obrolan ini.”
“Baiklah, aku akan menunggu hari itu.”
Dari situlah aku merasa kupu-kupu betina mulai berani meletakkan telurnya di sela-sela rongga hatiku. Rongga hati yang selama dua tahun membeku dari sentuhan kupu-kupu, kini kembali mengundang metamorfosis baru.
Hari demi hari berlalu, dan kini waktunya hampir tiba. Dua minggu menunggu terasa seperti serangkaian pagi yang sama. Pagi ini aku terbangun lebih awal dari biasanya, menatap layar ponsel sebelum mataku benar-benar terbuka.
Tatkala waktu kian dekat dengan pertemuan, aku menatap ke luar jendela kamar, di mana kepala matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit dengan semburat jingga yang hendak memudar. Aku terus mondar-mandir di dalam kamar. Setiap langkahku meninggalkan jejak resah di lantai. Di depan cermin, jemariku sibuk menata rambut, lalu tanpa sadar mengacak-acaknya lagi. Keringat dingin membasahi telapak tanganku, begitu juga dengan napasku yang terasa sesak dan cepat.
Bunyi notifikasi ponsel memecah keheningan. Jantungku melonjak, tanganku refleks mengambil ponsel yang ada di atas meja rias. Namun notifikasi itu bukan pesan darinya, itu hanya promosi aplikasi. Aku menghela napas, menahan senyum masam.
Aku kembali menatap ke dalam cermin. Di sana, pantulan seorang perempuan dengan blouse merah tua dan celana putih tulang menatap balik. Kali ini, ia berdiri sedikit lebih tegak. Bibirnya melengkung, matanya berbinar, seolah ingin memastikan, dirinya benar-benar siap untuk kencan malam ini.
Suara notifikasi terdengar lagi, mataku langsung tertuju pada layar ponsel yang menampilkan pesan singkat,
“Aku sudah di depan.”
Jantungku berdetak lebih cepat, tanganku tiba-tiba dingin dan gemetar. Kencan pertama ini bukan tentang penampilan atau sifatnya yang mungkin asing bagiku, tapi ketakutan yang menyelimuti jiwaku. Apakah aku bisa memenuhi bayangan yang dia lukis tentang diriku? Bagaimana kalau aku terlihat begitu buruk dimatanya. Kekhawatiran akan hal itu membuatku merasa tak pantas untuk sebuah kencan dengan seseorang yang pertama kali aku kenal hanya lewat aplikasi kencan.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aku melihat sosoknya yang tengah duduk tegak di atas motor, dengan tangan kanannya yang menggenggam erat setang. Matanya tak berkedip, terpaku pada pintu gang, kilauan lampu jalan menari di bola matanya. Saat aku melangkah mendekat, senyum tipis melengkung di bibirnya. Tatapannya bertemu dengan bola mataku, dan seketika aku merasa beku di bawah sorot lampu yang terang, hingga pipiku memanas tanpa bisa kuelak. Langkahku terus maju, satu demi satu, sampai akhirnya aku berdiri tepat di hadapannya.
“Hai!”
Gelombang bunyi yang dihasilkannya saat menyapaku, terampil dalam mengetuk membran tempani milikku. Suaranya menggema di tengah angin malam, seperti guntur yang menggelegar hingga telingaku terkena kilatannya. Aku hanya membalas dengan anggukan kecil, bibirku berusaha tersenyum meski terasa kaku.
Ia menunjuk jok belakang motor dengan ibu jarinya, seringai tipis menghiasi bibirnya.
"Silakan naik, tuan putri." Ada kerlingan nakal di matanya, menantang sekaligus mengundang.
"Kita jelajahi sebagian sudut kota malam ini," lanjutnya, pandangannya menerawang ke arah jalanan kota yang berkelap-kelip, seolah ia sudah memetakan petualangan yang akan kita lalui malam ini.
Ia menoleh padaku lagi, senyumnya kini melengkung lebih lembut,
"Dan sebagiannya lagi, kita jelajahi di lain hari."
Desir hangat menjalari dadaku, seperti menyambut bisikan harapan dari kalimat terakhirnya itu. Lelaki memang ahli merangkai kata, pikirku, dan perempuan seperti diriku adalah mangsa paling mudahnya. Padahal hanya untaian janji, namun kalimat yang ia ucapkan sukses meruntuhkan bentengku.
Aku hanya membalas dengan anggukan kecil, bibirku berusaha tersenyum meski terasa kaku. Pipiku panas, langkahku ragu-ragu. Ia mulai melajukan motornya, menerjang angin malam transparan yang dinginnya begitu menyengat hingga ke tulang-tulang.
Di dalam rongga hatiku, metamorfosis tengah berlangsung, dan aku menjadi saksi bisunya, di mana telur yang diletakkan kupu-kupu betina mulai menetas menjadi larva yang berkeliaran dan menjelajahi setiap sudut sukma ku.
Suara klakson bergaung di kejauhan, mereka bersahutan satu sama lain, sementara lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh di jalanan basah. Angin malam menyapu wajah kami saat motor melaju pelan. Di belakangku, tubuhnya sedikit condong, matanya sesekali menangkap bayanganku di kaca spion, lalu menoleh dengan senyum samar.
“Tujuan kita ke mana ini?” tanyaku
Dia menoleh ke arahku,“Kamu maunya ke mana?”
Aku mengangkat bahu, "Terserah kamu, aku ikut aja."
Dia menarik napas panjang, lalu berkata, "Kalau pantai?"
Kutatap bayangannya lebih lama kali ini di kaca spion, “Boleh, tapi pantai yang sepi atau yang gak banyak orang di sana!”
“Kenapa gitu?” Tanyanya penasaran
“Aku benci tempat ramai.”
Pantulan di kaca spion menangkap senyumannya, melengkung sempurna seperti bulan sabit di wajahnya yang menawan. Jantungku berdegup lebih cepat, tapi aku segera berkedip, memalingkan pandanganku ke deretan pedagang kaki lima yang sibuk menata dagangan. Lampu warna-warni dan aroma jajanan memenuhi udara, aku berusaha menarik pikiranku untuk menjauh dari pesona yang hampir membuatku terperosok ke tepi jurang.
Setelah berkelana dalam perjalanan panjang, kami akhirnya tiba di sebuah pantai yang belum pernah aku jejak sebelumnya, dan dia adalah orang pertama yang memperkenalkan aku dengan keindahan pantai itu.
Kami berdua duduk di tepi pantai, suara gemuruh ombak bergantian seperti irama yang tak pernah berhenti. Angin malam menyusup ke dalam tulang, membawa aroma asin yang segar dan bisikan lembut yang menggetarkan hati. Di sana, di bawah langit yang luas, aku merasakan ketenangan.
“Indah sekali,” gumamku, merasa terhanyut oleh hamparan laut hitam pekat
“Iya, seperti kamu.”
Sial, ucapannya kembali membuatku tersihir. Di dalam hatiku, larva yang tengah berkembang tampaknya semakin kuat, menggerogoti setiap kata yang diucapkan seperti hewan yang lapar.
“Bisa aja kamu” ucapku spontan
Untuk menghilangkan kecanggungan, sontak mulutku beraksi lagi, menanyakan tentang pengalamannya bermain karakter di atas panggung. Tak disangka, dia dengan antusias bersedia membagikan ceritanya, dan aku mendengarkan dengan saksama setiap kata yang keluar dari mulutnya. Dia bercerita tentang gemuruh tepuk tangan penonton yang menggelegar, tentang silau sorot lampu panggung yang membakar semangatnya menjadi kobaran api tak padam.
Aku hanya mendengarkan, dan dalam benakku, suasana riuh itu terasa begitu asing, begitu jauh, seolah aku hanya bisa membayangkan diriku meringkuk di sudut, jauh dari keramaian itu. Mendengarkan antusiasmenya, jurang perbedaan antara kami terasa semakin nyata, sebuah celah yang tak bisa dijembatani oleh kesamaan minat apa pun. Ia bercerita dengan tangan yang tak pernah diam, matanya menari mengikuti kisah. Aku hanya tersenyum, menatap pasir di bawah kaki, membiarkan ombak menjadi saksi cerita kami.
Setelah hampir dua jam duduk di tepi pantai, kami saling bertukar pandang, tahu saatnya untuk pulang. Di tengah perjalanan, dia tiba-tiba menekan rem, motor melambat dan berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan.
“Mau pesen apa?” Dia bertanya padaku, sambil menyodorkan menu makanan di atas meja kasir
“Terserah, samain aja sama punya kamu,” kataku.
Ia mengangkat alis, tersenyum.
Setelah itu, kami diarahkan pelayan menuju tempat duduk. Sambil menunggu, batinku bertanya-tanya, bagaimana mungkin ayam geprek yang biasa kubeli seharga sepuluh ribu bisa menjadi dua puluh lima ribu?
“Mahal banget” celetukku, tak terima dengan harganya
“Apanya yang mahal?” Tanyanya santai, sambil melipat lengan kemejanya
“Ayamnya. Biasanya aku cuma bayar sepuluh ribu untuk harga ayam geprek,” jawabku, dengan suara penuh keberatan
“Jangan pelit sama diri sendiri.”
Sederhana, namun kata-kata itu menjadi pemicu tak kasat mata. Di dalam rongga hatiku, larva yang tadinya hanya berkeliaran kini perlahan menggulirkan tubuhnya, membentuk kepompong yang menempel erat, seolah bersiap untuk sebuah perubahan besar.
Kami menghabiskan sisa malam dengan obrolan ringan, melahap habis ayam geprek di pinggir jalan, diiringi sayup-sayup suara kendaraan. Dinginnya malam semakin menusuk, membuat kami sepakat untuk segera pulang.
Dia mengantarku sampai depan gang,
“Nanti kita ketemu lagi ya,” ucapnya, senyumnya menjadi penutup yang hangat di tengah gelapnya malam
Aku hanya mengangguk ragu, merasa tidak percaya akan pertemuan untuk yang kedua kalinya. Ia pun pergi, meninggalkan jejak bayangannya di dasar jalan raya. Begitupun aku, aku berbalik membelakangi jejaknya, dan melangkahkan kakiku untuk pulang.
Begitu pintu kamar tertutup di belakangku, senyum di bibirku perlahan luntur. Aku duduk di tepi ranjang, merenungi setiap kata dan pandangannya malam ini. Dia adalah api, panggung, dan riuh ramai. Sementara aku? Aku adalah keheningan, sudut kamar, dan rasa sungkan yang tak berkesudahan.
Rasa minder terus merayap seperti kabut dingin, mencengkeram erat. Jantungku berdegup tak menentu, membayangkan dunia cerahnya yang mungkin terlalu jauh untukku yang lebih suka bersembunyi. Kepompong di hatiku mengembang, menekan dari dalam dengan desakan yang tak tertahankan. Tentu saja ada pergolakan, antara keinginan untuk terbang dan ketakutan akan jatuh dan patah.
Dalam keheningan kamar, aku menatap pantulan diriku di cermin dengan mata yang penuh tanda tanya, kepompong yang bergelayut di sana, diam dan rapuh. Pertanyaan sesungguhnya bukan apakah ia akan berubah, tapi apakah aku berani membiarkannya. Malam itu, jawabannya masih samar, seperti benang kusut yang tertarik antara takut dan harap. Aku menahan napas, menahan kepompong itu tetap terbungkus, takut jika kupu-kupu itu terbang terlalu tinggi lalu jatuh terpental. Maka, aku memilih membiarkannya diam, bergelayut selamanya, tak berani terbang ke langit