Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Panggilan telepon itu datang pada hari Selasa, di sela-sela deru mesin kopi dan dengung pendingin ruangan di kantor Arga yang sibuk. Di layar ponselnya, tertera nama "Pakde Bimo". Sebuah nama yang sudah belasan tahun tidak pernah muncul di sana. Arga tahu, hanya ada satu alasan mengapa kerabat dari kampung halamannya itu akan menelepon. Bukan untuk menanyakan kabar, bukan pula untuk mengucapkan selamat atas proyek terbarunya yang diliput majalah arsitektur ibu kota.
"Halo, Arga?" Suara di seberang terdengar ragu, bercampur kresek sinyal yang buruk, seolah datang dari dunia lain.
"Iya, Pakde. Ada apa?" Arga bertanya, nadanya sengaja dibuat datar, sebuah perisai yang telah ia asah selama bertahun--tahun.
Hening sejenak, hanya terdengar embusan napas berat. "Bapakmu, Ga. Bapakmu sudah tidak ada. Tadi pagi."
Arga tidak menjawab. Ia hanya menatap ke luar jendela kacanya, ke belantara beton Jakarta yang menjulang angkuh. Gedung-gedung itu adalah mahakaryanya, pelariannya. Di lantai 27 ini, ia merasa aman dari masa lalu. Namun, hanya dengan satu kalimat, jarak ribuan kilometer dan belasan tahun seolah lebur menjadi nol. Berita itu tidak menghantamnya seperti ombak. Ia lebih terasa seperti rembesan air dingin yang pelan-pelan membasahi kaus kakinya, mengganggu dan tak terhindarkan.
"Ga? Kamu masih di sana?"
"Iya, Pakde. Makasih kabarnya," jawab Arga, suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. "Besok pagi saya usahakan sampai di sana."
"Hati-hati di jalan. Rumah dikunci, kuncinya Pakde pegang."
"Iya."
Panggilan bera...