Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sepasang mata coklat yang muram menatap cermin tua di kamar itu, seolah mencari jawaban yang tersembunyi di balik pantulan wajahnya sendiri. Camille menghela nafas panjang, merapikan rambutnya yang berantakan. Paris di luar begitu tenang, hampir tidak selaras dengan kekacauan batinnya.
“Hari ini kau terlihat lebih tenang,” suara itu datang dari belakangnya. Camille berbalik. Di sana, berdiri Isabelle—atau lebih tepatnya, bagian lain dari dirinya. Isabelle selalu datang tiba-tiba, tanpa permisi. Dia adalah sosok yang lebih berani, lebih dingin, dan lebih tajam dalam bertindak.
“Jangan ikut campur, Isabelle. Aku harus pergi kerja,” Camille berbisik, suaranya serak.
Isabelle menyeringai, “Kerja? Aku tahu kau tidak menginginkannya. Yang kau inginkan hanyalah lari dari ini semua.”
Camille menunduk, berusaha mengabaikan desakan Isabelle. Namun, dia tahu, lari dari Isabelle hampir mustahil. Mereka berbagi tubuh, berbagi pikiran. Tapi mereka bukan satu orang.
—-
Di jalan menuju kantor, Camille tak bisa berhenti berpikir. Kehidupannya di Paris yang seharusnya sederhana, kini menjadi teka-teki yang memusingkan. Semuanya dimulai dua tahun lalu, ketika dia mulai merasa kehilangan kendali atas hidupnya. Awalnya hanya berupa lubang-lubang dalam ingatannya. Lalu Isabelle muncul, memperkenalkan diri sebagai bagian dari Camille yang "lain". Semakin hari, Camille merasa dirinya semakin tenggelam dalam bayangan Isabelle.
Di tempat kerja, dia menyapa rekan-rekannya dengan senyum palsu. Tetapi mereka tahu ada yang salah.
“Camille, kau baik-baik saja?” Tanya Antoine, rekan kerjanya yang sering memperhatikan. Dia tahu Camille sering melamun, sering lupa hal-hal kecil, tapi Camille belum pernah memberitahukan rahasianya.
“Baik, Antoine. Hanya sedikit kelelahan.”
Antoine menatapnya dengan penuh perhatian, tapi memilih tidak menekan lebih jauh. Dia selalu mengkhawatirkan Camille, apalagi sejak dia mulai memperhatikan perubahan perilaku yang aneh beberapa bulan terakhir.
“Kalau ada yang bisa kubantu, kau tahu kan, aku selalu ada,” ujar Antoine dengan nada hangat. Camille mengangguk singkat dan berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun pikirannya selalu terpecah.
—-
Malam itu, Camille terbangun mendadak di kamar apartemennya. Nafasnya tersengal-sengal, seolah baru saja bangun dari mimpi buruk. Telinganya menangkap bunyi langkah yang aneh—terdengar samar, seperti seseorang sedang bergerak di apartemen kecilnya.
“Isabelle?!” Camille berteriak dalam gelap.
Tak ada jawaban. Namun dia merasakan kehadiran seseorang di sudut ruangan. Jantungnya berdegup kencang.
“Kau pikir bisa bersembunyi dariku?” Suara Isabelle tiba-tiba terdengar tepat di belakangnya.
Camille terlonjak dan berbalik, namun ruangan itu kosong. Keringat dingin mengalir di dahinya. Isabelle bukanlah seseorang yang bisa dia lihat, tapi Camille selalu bisa merasakan kehadirannya, “Aku tidak bisa terus hidup seperti ini,” Camille berbisik.
“Kenapa tidak menyerahkan segalanya padaku saja?” Isabelle berbisik kembali di kepalanya, kali ini terdengar jauh lebih lembut, hampir seperti godaan, “Aku bisa mengatasi semua masalahmu. Kau hanya perlu... Melepaskan.”
Camille menutup matanya erat-erat. Dia tidak akan menyerah. Dia harus bertahan, meskipun itu berarti melawan dirinya sendiri.
—-
Seminggu kemudian, Camille duduk di kantor terapisnya, Dr. Dupont. Pria paruh baya dengan janggut kelabu itu menatap Camille dengan penuh perhatian.
“Bagaimana perasaanmu hari ini, Camille?” Tanyanya lembut.
“Isabelle semakin sering muncul,” jawab Camille singkat. Tangannya gemetar saat dia berbicara, “Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan.”
Dr. Dupont mencatat sesuatu di buku kecilnya, “Kau sudah membuat kemajuan, Camille. Ingat, Isabelle adalah bagian dari dirimu. Kau harus berdamai dengannya.”
“Berdamai?” Camille tertawa pahit, “Dia ingin mengambil alih hidupku.”
“Dia tidak bisa mengambil alih kecuali kau menyerahkannya,” Dr. Dupont memperingatkan, “Ini semua tentang kontrol, Camille.”
Camille menggeleng, “Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa mempertahankan kontrol itu.”
Di sesi itu, mereka banyak berbicara tentang strategi untuk menghadapi Isabelle, tetapi Camille merasa semakin terpojok. Setelah terapi, Camille berjalan keluar dari gedung dengan kepala penuh pikiran. Di jalan pulang, dia merasa seperti diawasi, namun tidak ada siapa-siapa.
—-
Malam itu, Isabelle muncul lagi, tetapi kali ini berbeda. Dia tidak hanya berbisik, dia mengambil alih sepenuhnya. Camille merasa tubuhnya bergerak tanpa kendalinya.
“Isabelle, hentikan!” Camille mencoba berteriak, tapi suaranya terkunci. Ini pertama kalinya Isabelle benar-benar mengendalikan segalanya.
“Kau sudah cukup lemah, Camille. Sekarang giliranku,” Isabelle berkata melalui bibir Camille, senyumnya merenggut. Isabelle pergi ke luar, mengambil taksi menuju bar kecil di sudut Paris. Ini bukan tempat yang biasanya dikunjungi Camille, tapi Isabelle tahu tempat ini.
Saat memasuki bar, Isabelle dengan mudah menarik perhatian pria yang sedang duduk di sudut. Antoine.
“Camille?” Antoine terkejut melihatnya, “Kau baik-baik saja?”
“Oh, aku lebih baik dari yang kau kira,” jawab Isabelle, sambil menyeringai lebar. Antoine tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi dia merasa ada yang aneh. Camille berbeda malam ini.
—-
Keesokan harinya, Camille terbangun di apartemennya dengan rasa sakit yang menyengat di kepalanya. Ingatannya kabur, tapi saat dia melihat teleponnya, ada pesan dari Antoine.
“Kita perlu bicara. Ada yang tidak beres kemarin malam.”
Camille terdiam. Isabelle telah mengambil alih lagi. Apa yang telah dia lakukan?
Saat dia melihat bayangannya di cermin, sesuatu yang aneh terjadi. Refleksi di cermin tidak lagi menatapnya dengan ketakutan. Itu Isabelle, dan dia sedang tersenyum licik.
“Kau ingat, kan? Kau yang mengundangku ke dalam hidupmu. Kau yang lelah melawan dunia ini sendirian,” kata Isabelle dengan suara Camille, “Sekarang, kau tidak bisa lari dariku.”
Camille merasa dunia berputar. Semua ingatan, semua rasa takut yang dia tahan selama ini, tiba-tiba menyeruak. Apakah benar Isabelle hanyalah bagian dari dirinya? Ataukah Isabelle adalah manifestasi dari luka dan trauma yang selama ini dia sembunyikan?
Camille menggenggam erat tepi meja, tubuhnya bergetar hebat. Tapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa ini bukan hanya soal Isabelle. Ini tentang bagaimana dia selalu mencoba menghindar dari masalah, menyerahkannya pada bagian dirinya yang lebih kuat, lebih tidak peduli. Tapi setiap kali Isabelle mengambil alih, dia semakin kehilangan dirinya sendiri.
“Isabelle...” Camille bergumam, menatap cermin dengan penuh amarah, “Kau bukan diriku. Aku akan mengakhiri ini.”
Isabelle hanya tertawa, “Kau tidak bisa mengakhiri aku, Camille. Aku adalah kau.”
Camille menarik napas dalam-dalam, lalu dengan satu gerakan cepat, dia meraih vas bunga di meja sampingnya dan menghantamkannya ke cermin. Cermin itu pecah berkeping-keping, pantulan Isabelle menghilang dalam sekejap.
Tetapi Camille tahu ini belum selesai. Justru inilah awal dari pertarungan yang sesungguhnya.
—-
Epilog
Beberapa bulan kemudian, Camille duduk di bangku taman di Paris, menatap bunga-bunga yang bermekaran di sekelilingnya. Dia masih sering mendengar Isabelle, tetapi sekarang dia tahu bagaimana menghadapinya. Setiap kali Isabelle mencoba muncul, Camille mengingatkan dirinya bahwa dia adalah penguasa hidupnya sendiri.
“Ini belum berakhir, Camille,” suara Isabelle berbisik di kejauhan.
Camille tersenyum kecil, “Mungkin belum. Tapi kali ini, aku yang memegang kendali.”
–TAMAT–