Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Gelembung Sabun
0
Suka
400
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Gelembung Sabun

Oleh: Suryawan W.P.

Kedai kopi ini tak pernah berubah. Kursi kayunya masih terasa keras di pantatku. Sandarannya yang membentuk sudut hampir sembilan puluh derajat memaksaku untuk duduk dengan tegak. Sebenarnya ada banyak alternatif kedai kopi yang lain, yang sofanya lebih besar dan empuk, yang daftar lagunya selalu baru, atau yang pilihan minumannya lebih beragam. Tapi aku memilih untuk tetap di sini. 

Aku heran bagaimana bisa kedai kopi ini terus bertahan. Hanya segilintir orang saja yang sering datang. Wajah yang itu-itu saja. Seorang laki-laki muda berkaca mata yang selalu sibuk di depan laptopnya. Di sela-sela aktivitas mengetiknya, dia sering diam memandang kosong ke luar jendela kaca. Mungkin dia seorang penulis yang sedang berusaha menyelesaikan novel pertama. Ada juga seorang wanita berambut sebahu dengan buku sketsa dan seperangkat alat gambar. Wanita cantik yang pintar menggambar bagiku terdengar menarik. Dua orang itu yang sering kulihat. 

“Coklat panas?” Seorang barista menghampiriku.

Aku menggeleng pelan sambil tersenyum. “Espresso.” Lanjutku.

Barista itu meninggalkanku dengan dahi berkerut dan tatapan penuh pertanyaan. Bukan salahnya, jika dia mengira aku akan memesan coklat panas. Seperti halnya pengunjung yang itu-itu saja, pesananku pun selalu itu-itu saja. Coklat panas dan bukan yang lain.

Bagiku coklat panas seperti hidup. Ada manis dan sedikit pahit. Ada juga hambar pada buih di atas permukaannya. Tapi satu hal yang aku suka, pada tiap sesapannya selalu berakhir dengan sebuah senyuman. Coklat panas mampu menghadirkan kebahagiaan. Sebuah penerimaan.

Tak ada coklat panas hari ini karena aku sedang sangat rindu. Dan betapa rindu bisa membuat seseorang melakukan hal yang nekat dan tidak masuk akal. Contohnya adalah aku yang jelas-jelas punya masalah dengan asam lambung tetapi malah memesan espresso. 

Tiga tahun yang lalu, di kedai kopi ini, dua orang teman lama bertemu karena sebuah kebetulan. Sepertinya kamu lupa bahwa Jogja selalu penuh tiap kali musim liburan akhir tahun. Dengan sebatang rokok terselip di bibirmu dan segelas espresso di atas mejamu, kudapati wajah lelahmu tersenyum lebar menyambutku. Masih ada bulir keringat menggantung di dahimu dan noda basah keringat tercetak di polo shirtmu. Kau menghubungiku setelah seharian berjuang mencari hotel dan gagal. Sejak kepindahanmu empat tahun sebelumnya ke Jakarta, kita tak pernah berkabar. Kalau saja namaku sudah terhapus dari daftar phonebook-mu, atau kalau saja aku berganti nomer handphone, mungkin ceritanya akan berbeda.

Jangan kautanyakan mengapa, karena aku pun tak tahu jawabannya. Mengapa setelah kedatanganmu itu, semua menjadi berbeda? Aku selalu memikirkanmu, selalu ingin menghubungimu, dan selalu menunggu-nunggu kedatanganmu. Aku sering bertanya-tanya, kapan kamu ke Jogja lagi?

Tapi aku tahu diri. Aku bukanlah pilihan utama. Bukankah kamu menghubungiku karena gagal mendapatkan hotel saat berlibur di Jogja? Seperti juga kedatangan-kedatanganmu selanjutnya, aku tetap bukanlah pilihan utama. Dan sepertinya tak akan pernah menjadi pilihan utama.

Kusesap espressoku pelan. Pahit. Inilah ketidakmasukakalan yang aku maksudkan. Aku memesan espresso, semata-mata hanya ingin tahu seperti apa rasa yang sering dikecap oleh lidahmu. Pernah juga aku mengisap rokok, hanya untuk tahu apa yang dirasakan oleh bibirmu. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk mengatasi rindunya. 

Kadang aku iri pada benda-benda mati yang lebih beruntung dariku. Aku iri pada pinggiran cangkir kopi yang tiap pagi menyentuh bibirmu. Aku iri pada ujung batang rokok yang sering kauisap. Aku iri pada bantal guling yang tiap malam selalu kaupeluk dalam tidurmu. Seandainya aku bisa menjadi seperti cangkir, rokok, atau guling yang bisa memberikan apa yang kaubutuhkan tanpa mengharap kembali apa-apa darimu tentu semua tak akan serumit ini. Sayangnya aku tidak bisa. Aku punya hati. Aku terlanjur punya harapan padamu.

“Imelda apa kabar?” Aku berusaha mengucapkannya sebiasa mungkin. Dan usaha untuk menjadi biasa itu justru membuat semuanya semakin terasa tidak biasa. 

“Baik. Imel lagi belajar masak. Kemarin sempat bikin macaroni schotel, pizza teflon, dan pie susu. Bentuknya berantakan. Aneh banget. Tapi rasanya enak kok. Aku suka..”

Mata cekungmu selalu berbinar ketika menceritakan tentang Imelda. Diam-diam sering kucuri-curi pandang pada sepasang matamu itu. Suaramu terdengar bersemangat tiap kali menyebut namanya. Terlihat jelas kalau kau bahagia karena telah memilikinya. Tetapi apakah kau benar-benar bahagia? Kalau memang Imelda telah melengkapi hidupmu, lantas kenapa kau masih mencari diriku?

Kutahu kalau kau memiliki pacar bernama Imelda setelah beberapa kali kau datang ke Jogja. Sebuah pertanyaan yang tak pernah terucapkan. Aku tak pernah menanyakan tentang statusmu karena takut mendengar jawabannya. Tapi pada akhirnya kau sendiri yang bilang kalau tengah menjalin hubungan bersama seorang wanita bernama Imelda. Bahkan belakangan di tiap kedatanganmu, nama wanita itu tak pernah luput terucap oleh bibirmu. Wanita itu selalu ada di antara cerita-ceritamu tentang keluarga, pekerjaan, dan juga impianmu.

 Tak ada urusan keluarga atau pekerjaan yang mendesak untuk kauselesaikan di kota ini. Yang aku tahu, hampir sebulan sekali kau berkunjung ke Jogja dan menyempatkan bertemu denganku. Barangkali kau memang datang hanya untukku. Barangkali. Begitulah harapan yang terbangun dalam hatiku. Aku tak pernah meminta. Aku juga tak pernah bilang kalau aku rindu. Tapi sepertinya kau bisa membaca isi hatiku. “Maaf, aku belum bisa ke Jogja. Nanti aku kabari lagi kalau mau ke sana..” begitu yang kaukatakan di telepon ketika telah terlalu lama aku menunggu.

Tempat yang paling jauh adalah masa lalu. Bagaimanapun caraku untuk kembali, aku tak akan pernah bisa mengulang hari bersamamu. Yang bisa kulakukan hanyalah mengenang hari-hari itu. Sering kali tanpa sadar kususuri jalanan Jogja, dan berakhir di tempat-tempat yang pernah kita datangi. Kita pernah menghabiskan sore di Alun-alun Kidul. Menikmati jagung bakar dan wedang ronde sambil memandangi mobil-mobil kayuh dengan lampu warna-warni yang hilir mudik di sekeliling lapangan. Gelembung sabun transparan berterbangan dari tangan penjual mainan sabun. Di tengah alun-alun, anak-anak kecil berlarian sambil bersorak histeris mengejar gelembung sabun itu.

“Wanita memang susah dimengerti ya?” Kau membuka percakapan dengan suara tertahan.

Aku langsung tahu ke mana arah pembicaraanmu. Sudah pasti wanita yang kaumaksudkan adalah Imelda. Aku hanya diam menatap matamu. Menunggu kata-kata itu keluar lebih banyak dari mulutmu.

“Kadang aku merasa tidak bisa memahaminya, seperti juga dia tidak mengerti apa yang kumau. Setiap hari ada saja yang membuat kami bertengkar. Aku jadi ragu. Apakah hubungan kami berdua bisa dilanjutkan?”

Maafkan aku. Perasaanku mendua. Di satu sisi, aku berempati padamu. Aku tak tahan melihatmu bersedih. Tapi di sisi yang lain, aku seperti melihat tunas harapan yang tumbuh. Bagaimanapun juga, yang kaurasakan pada Imelda, aku pun menginginkannya. Aku ingin mengambil alihmu darinya. Seutuhnya.

Sebentuk gelembung sabun transparan dengan bias warna pelangi terbang ke arahku. Berbentuk bola sempurna yang penuh tapi terlihat rapuh. Belum sempat aku menyentuhnya, bola sabun itu pecah dan tak menyisakan apa-apa. Hanya udara. Mungkin seperti itu jugalah harapanku padamu. Terlihat ada, terlihat penuh, tetapi kosong.

Kutepuk-tepuk pelan pundakmu. “Semua akan baik-baik saja. Kadang untuk mencintai, kita tidak perlu benar-benar harus mengerti.” kataku sambil tersenyum.

 “Makasih ya.” Kau membalas senyumku tulus.

Apakah hubungan dua manusia itu memang ada batas waktunya? Apakah ada kadaluarsanya? Sudah hampir empat bulan kau tak datang juga tak ada kabar. 

Banyak kutipan-kutipan kalimat bijak yang bilang, kalau memiliki perasaan pada seseorang, jangan hanya disimpan, tapi disampaikan. Kalau tidak kau akan menyesal. Dan bodohnya aku percaya. Aku mengikutinya. Menyampaikan perasaanku padamu. Dan sekarang, justru aku lebih menyesal. Kau tak membalas pesanku. Kau tak mengangkat teleponku. Kau menghindariku.

“Kenapa aku?” tanyamu. 

Aku hanya bisa menggeleng. Aku pun tak tahu jawabannya. Bukankah manusia tak pernah meminta untuk jatuh cinta pada siapa? Bukankah manusia tak pernah memilih perasaannya akan tumbuh pada siapa?

“Maaf. Bahkan kalaupun tidak ada Imel, aku tetap tidak bisa menerima perasaaanmu itu. Kamu memang paling mengerti aku. Aku pun membutuhkanmu tapi bukan dalam urusan cinta..” kalimat terakhir yang kauucapkan padaku hari itu.

Dan sampailah aku di titik ini. Duduk di kedai kopi sambil menyesap espresso, semata-mata hanya untuk mengatasi rasa rinduku padamu seorang diri. Tak ada ucapan “selamat tinggal” untuk mengakhiri, karena dari awal hubungan kita memang tak pernah dimulai. Sampai kapanpun kamu hanya akan menjadi gelembung sabunku. Harapan yang menggelembung dengan bias warna pelangi. Terlihat ada, indah, penuh, tetapi kosong. 

Andai saja aku masih diberi kesempatan untuk bertemu denganmu, mungkin untuk yang terakhir kali, aku ingin memelukmu. Iya, izinkan aku memelukmu untuk pertama dan terakhir kalinya bukan sebagai teman biasa.

Telepon gengggamku berbunyi. Ada nama seseorang di layarnya. Dua baris pesan darimu.

Lagi di mana?

Aku lagi di Jogja. Bisa kita ketemu?

 

Yogyakarta, Januari 2016

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Gelembung Sabun
Suryawan W.P
Novel
Bronze
Dan Eden
Mashdar Zainal
Novel
Gold
Escape Plan
Bentang Pustaka
Novel
Reflection Of Regret
Aldaaldifa
Novel
Gold
Lelaki yang Membunuh Kenangan
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
DUA LAMARAN
C R KHAN
Novel
Rhea and Handsome Followers
Dewi yuliana
Novel
Gold
The Other Side
Mizan Publishing
Novel
Gold
Marriagephobia
Noura Publishing
Novel
Bronze
Tetangga Manisku
Aspasya
Novel
GERA
disasalma
Novel
Bronze
Kita yang Dipaksa Mati Berkali-kali
Adel Yuhendra
Novel
Kepompong
penulis kacangan
Novel
Bronze
Mei
Sitikamilapdmanagara
Novel
Bronze
Stone Tower
Ananda Putri Safitri
Rekomendasi
Cerpen
Gelembung Sabun
Suryawan W.P
Cerpen
Lelaki Jambu Air
Suryawan W.P
Cerpen
Restu Majene
Suryawan W.P
Cerpen
Ratri Menari
Suryawan W.P
Cerpen
Kejutan
Suryawan W.P
Cerpen
Tentang Burung dan Pohon Kersen
Suryawan W.P
Cerpen
Apakah di Luar Hujan Sudah Reda?
Suryawan W.P
Cerpen
Akhir Bahagia
Suryawan W.P
Cerpen
Kemboja Kelopak Empat
Suryawan W.P
Cerpen
Kenangan Akan Selalu Sama
Suryawan W.P
Cerpen
Sampai Bertemu di Garis Finis
Suryawan W.P
Cerpen
Bronze
Yang Fana Adalah Kamu
Suryawan W.P