Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah kontrakan berukuran sedang, lima orang anak muda sedang berkumpul dengan dua botol anggur merah di hadapannya. Malam itu adalah malam di mana mereka baru kembali bertemu setelah satu tahun lamanya tidak berjumpa.
Kelima orang tersebut merupakan kawan lama di sebuah kampus di Bandung. Dua orang di antara mereka datang kembali karena lusa akan diselenggarakan wisuda. Sebagaimana kebiasaan mereka dahulu, minum alkohol adalah perayaan sederhana yang paling istimewa.
Aldo, seorang anak Jakarta yang dahulunya merupakan mantan santri dari pesantren terkenal, kini baru diterima kerja di sebuah instansi dalam negeri. Awal pertama kali kuliah, dia menjadi sosok yang paling alim di antara mereka berlima. Akan tetapi, Aldo terjerumus dalam pergaulan malam yang membuat dirinya dicap sebagai santri gagal. Bahkan kenakalannya membuat ia sangat membenci agamanya, karena semakin banyak cacian yang ia terima dari teman-temannya yang alim. Tak ada lagi yang menerimanya sebagai teman selain orang-orang yang dicap nakal tersebut.
Sedangkan Rega adalah anak yang tinggal di ujung paling selatan Kota Bandung. Ia bertemu dengan Aldo saat acara gigs musik rock lokal. Rega juga merupakan anak band yang sekarang masih berkutat dengan perkuliahannya di semester tiga belas. Tunggakan SPP yang belum dibayar membuat dirinya harus bekerja sebagai barista di salah satu coffee shop. Meskipun tidak seberapa, gajinya kerap dipakai untuk membeli obat terlarang ataupun minuman beralkohol. Badannya kecil, perawakannya tengil, dipenuhi tato kecil di lengan, dan sangat fashionable.
Pun demikian dengan Hengki, anak orang kaya dari Bekasi yang ayahnya seorang politisi. Namun, saat ini ia tinggal sendiri di Bandung karena kedua orang tuanya bercerai saat usianya masih lima belas tahun. Meskipun keluarganya kaya, Hengki hidup dengan penuh kebencian terhadap kedua orang tuanya. Karena itu, alkohol adalah jalan terbaik baginya untuk melampiaskan semua keluh kesahnya.
Sedangkan Akmal merupakan warga lokal yang tinggal dekat kampus. Bahkan, saking dekatnya dengan para pegawai di dalam kampus, ia juga mampu berkuliah lewat jalur keluarganya alias orang dalam. Saat pertama kali Aldo, Rega, dan Hengki berkuliah, Akmal-lah yang menyambut mereka dan memperkenalkan Kota Bandung serta kultur masyarakat yang ada. Hobinya, jika tidak bermain motor, ya ribut atau mabuk-mabukan.
Terakhir adalah Timo. Sebagai anak yang aktif dalam organisasi, Timo tumbuh menjadi pribadi yang sangat mudah berbaur dengan siapa pun. Bahkan hingga kini, kosannya sering dijadikan basecamp oleh teman-temannya. Timo dikenal sangat setia kawan karena setiap kali ada masalah, dialah yang pertama maju membela. Meskipun di sisi lain, kecakapannya dalam public speaking dan ketampanan fisiknya membuatnya dikenal juga sebagai fuckboy kelas kakap. Terlebih, kegemarannya mabuk-mabukan membuatnya menjadi sosok abang-abangan nakal seperti di film-film sinetron.
Aldo membuka botol pertama. “Untuk manusia-manusia yang selalu dicap buruk,” katanya.
Hengki tertawa. “Untuk anak-anak yang tak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tua.”
Rega menyambung, “Untuk dunia yang tak pernah adil.”
Akmal menyambut, “Untuk orang-orang yang selalu diremehkan.”
“Untuk lelaki yang hatinya selalu disakiti oleh wanita pujaannya!” teriak Timo.
Mereka tertawa sambil mengangkat gelas dan bersulang. Saling memukul pundak, menyalakan rokok, dan merasakan air kebahagiaan yang larut di tenggorokan.
Kelima sahabat itu kemudian saling bertukar cerita tentang kesibukan dan keseharian mereka selama satu tahun terakhir.
“Bapak gue tai banget, anjing. Gayanya kayak nabi banget di hadapan warga, padahal mah di depan gue kayak setan,” keluh Hengki membuka obrolan lebih dalam. Tak mau kalah, Aldo pun ikut nimbrung, “Gue stres banget, cok. Keluarga gue bener-bener posesif. Gue udah kayak bocah, anjir, jam sepuluh disuruh pulang.”
Gelak tawa menghiasi obrolan mereka. “Eh, eh, lu pada tahu kagak? Si Angel akhirnya kepincut sama gue,” celetuk Timo sambil tertawa.
“Anjir, GG lu,” timpal Aldo.
“Yang seleb model itu, Mo?” tanya Akmal.
Timo melanjutkan, “Yoi! Dan lu pada tahu nggak, kalo doi goyangannya, beh, enak banget…”
“Yah, bocah sange najis,” balas Rega.
Timo hanya tertawa tanpa dosa. “Ye… lu pada nggak percaya sih. Udah gue bilang bakal gue embat, malah nggak percaya.”
“Males gue dengerinnya juga. Lihat aja, bentar lagi juga udah ganti cewek nih anak,” jawab Rega.
“Yang penting udah gue pake. Wlee!” sahut Timo. Dalam sepersekian detik, kepala Timo sudah digeplak oleh Aldo.
Obrolan pun berlanjut, sementara malam semakin larut.
Gelas ketiga pun diputar.
“Urang kudu kumaha, nya? Kuliah can beres-beres, euy. Semester depan mun urang can mayar, bisi di-DO, anjir,” keluh Rega.
Aldo, Hengki, Akmal, dan Timo menatap Rega dengan penuh seksama.
“Kalem weh, Ga. Urang juga belum bayar UKT, da,” balas Akmal menenangkan.
“Lain kalem-kalem, euy. Ieu mah kudu gancang, soalnya nasib kuliah urang geus di ujung,” Rega membalas dengan nada cukup tinggi.
Aldo mencoba menenangkan sambil bertanya, “Ari maneh kumaha gawean, Ga?”
“Tah eta, Do. Karek kamari pisan urang di-PHK,” balas Rega sambil menenggak gelas ketiga.
“Urang aya loker, edek?” tawar Aldo.
“Hayang pisan atuh, Do.”
“Geus kalem, isuk urang tanyakeun ka atasan urang. Sugan diterima, perbanyak doa weh, nya,” balas Aldo sambil menepuk pundak Rega.
Timo yang sedang asyik bermain ponsel kemudian ikut nimbrung dalam obrolan. “Kalian punya cita-cita nggak sih?”
“Kenapa emang, Mo?” tanya Hengki.
“Gue stuck banget, cuy. Perasaan gue aktif di mana-mana, dah. Loker juga banyak tawaran. Tapi kayak hidup gue ngambang, nggak jelas mau ke mana,” sahut Timo mendalam.
“Ya, gue mah ngalir aja, sih. Gimana besok lah,” timpal Hengki.
“Ya lu mah kaya, Ki,” balas Timo.
“Yang kaya mah bokap gue, Mo. Gue mah tetep aja hidup susah gini. Kalo enak juga, udah nggak pusing mikir karier, kali,” ucap Hengki.
Akmal ikut menyambut obrolan, “Aing oge asa ripuh, sih. Da dijalanin mah dijalanin, tapi kayak nggak ada habisnya, anjir.”
“Kayaknya emang lagi fasenya aja, nggak sih?” tanya Aldo tiba-tiba.
“Hah, maksudnya, Do?” jawab Rega.
Aldo kemudian menjelaskan, “Kalo gue lihat, emang fase dua puluhan tuh lagi bener-bener ngerasa hilang arah aja. Kayak bingung harus ke mana, gitu.”
“Ada benernya juga, sih,” sahut Rega. “Tapi kapan ya kita bisa enak kayak orang-orang gitu.”
“Huuh, euy. Hayang, aing mah, hirup téh teu kudu loba pikiran. Da tapi teu bisa oge, sih,” jawab Akmal bimbang.
“Gue doang nggak sih yang ngerasa kayaknya hidup ini nggak adil banget deh buat orang-orang kayak kita?” timpal Rega.
“Gue juga, Ga,” balas Hengki dan Timo bersamaan.
“Kadang emang nggak adil, sih. Cuma kalo bersyukur mulu, da manusia juga punya batas sabarnya, nggak sih?” balas Aldo yang ikut bimbang.
“Ya udahlah, gimana lagi,” ucap Hengki dengan pesimis.
Jam menunjukkan pukul setengah tiga malam. Suara pentungan dan mic masjid terdengar sangat kencang. Sedari tadi, gelas keempat, kelima, keenam hingga dua botol sudah habis terminum.
Akmal sudah terlelap duluan di lantai. Timo masih meracau dengan gawainya sambil mengirim pesan ke Angel. Hengki pun masih bengong menatap langit-langit kosan dalam posisi berbaring. Hanya Aldo dan Akmal yang masih duduk tegap sambil membicarakan soal nasib, masalah hidup, kecemasan masa depan, hingga permasalahan keluarga.
“Da urang gé bingung, euy. Kolot geus makin berumur. Kalakuan urang kieu-kieu kénéh. Nya mabok, nya maén lulumpatan ka motor, nya kurilingan néangan gawe,” keluh Akmal.
“Sarua, Mal. Babaturan urang geus loba nu nikah. Aya nu lanjut S2, aya ogé nu geus gawe. Urang asa katinggalan pisan, siah,” balas Aldo.
“Tapi maneh mah mending, sih, Do,” jawab Akmal. “Urang kuliah can beres. Gawe gé gaji leutik pisan, sedangkan tanggungan loba pisan.”
Aldo menarik napas panjang. “Nya kumahanya, Mal. Hayang teu dipikiran, oge da kepikiran wae, teu sih?”
“Tah kitu, Do,” sahut Akmal.
Sampai akhirnya azan subuh berkumandang. Hengki, Rega, dan Timo sudah terlelap, diikuti oleh Akmal. Tidak demikian dengan Aldo.
Saat teman-temannya sudah asyik dalam mimpi, Aldo masih menyulut rokok dan menyeruput kopi hitam. Di balik obrolannya sedari awal, banyak hal yang bergumul di kepalanya. Entah soal masa depan, keluarga, cinta, karier, hingga cita-citanya yang entah kapan akan terwujud. Di balik semua pikirannya yang kalut, hanya ada tarikan napas panjang dan suara ayam berkokok yang menemaninya.
***
Subuh datang tanpa permisi. Udara dingin menembus celah dinding kontrakan yang mulai rapuh dimakan usia. Aroma alkohol masih pekat, menyatu dengan bau rokok dan kopi hitam yang tinggal setengah di atas meja. Dari balik jendela, cahaya tipis mentari menyusup pelan, menyingkap sisa malam yang kusut dan penuh keluh kesah.
Aldo masih terjaga. Ia menatap puntung rokok di tangannya yang sudah habis terbakar setengah, seperti hidupnya—menyala tapi perlahan padam. Ia tidak mabuk, hanya terlalu sadar. Sadar bahwa hidupnya tak seperti yang dulu ia bayangkan ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bandung.
Dulu, ia ingin menjadi insinyur. Sekarang, ia hanya seorang pegawai baru yang masih mencari arah. Mungkin, pikirnya, hidup memang tak perlu terlalu idealis. Tapi ketika ia menatap teman-temannya yang terkapar di lantai, hatinya nyeri.
“Kenapa kita harus tumbuh, ya, Mal?” gumamnya lirih, meski Akmal sudah terlelap.
Pertanyaan itu menggantung di udara, tak butuh jawaban.
Pagi menjelang. Satu per satu di antara mereka mulai terbangun. Rega yang pertama, dengan kepala berat dan mata merah. Ia langsung meraih botol kosong di lantai, memastikan isinya benar-benar habis.
“Anjir… dua botol juga kurang, ya?” katanya sambil tertawa getir.
Aldo hanya menggeleng. “Lu harusnya berhenti, Ga. Muka lu udah kayak ikan pindang.”
Rega tersenyum hambar. “Mabuk doang yang bisa bikin gue lupa kalo hidup gue nggak seindah orang lain.”
Timo yang baru bangun ikut menimpali. “Lu terlalu banyak mikir, Ga. Hidup tuh dijalanin aja.”
“Dijalanin kayak lu?” Rega membalas cepat. “Gonta-ganti cewek tiap minggu, mabuk tiap malam, tapi tiap pagi ngeluh gak punya arah. Emang bedanya apa?”
Timo terdiam. Untuk sesaat, tak ada yang bersuara. Suara ayam tetangga terdengar lebih keras dari biasanya.
Aldo menatap mereka satu per satu. Di matanya, mereka bukan lagi anak-anak muda yang penuh rencana seperti dulu. Mereka hanyalah sekumpulan jiwa yang kelelahan menunggu sesuatu yang bahkan tak tahu apa.
Menjelang siang, mereka duduk di depan kontrakan sambil menyeruput kopi sachet. Bau gorengan dari warung depan menggoda, tapi kantong mereka sedang tipis.
Hengki memecah keheningan, “Gue kadang iri sama bokap gue.”
“Lah, bukannya lu benci dia?” tanya Akmal.
“Iya, tapi… setidaknya dia punya arah. Punya tujuan, punya panggung. Sedangkan gue? Anak politisi tapi nggak punya prinsip. Gue hidup cuma buat benci.”
Tak ada yang menanggapi. Karena mereka tahu, di balik semua tawa dan umpatan, masing-masing menyimpan luka yang tak pernah selesai.
Rega menatap ke langit. “Gue pengin keluar dari Bandung, cuy. Pengin mulai dari nol, jauh dari semua ini.”
Aldo menatapnya, “Keluar boleh, tapi masalah nggak bakal ikut lu pergi.”
“Ya mungkin, tapi di sana gue bisa pura-pura jadi orang lain,” jawab Rega lirih.
Sore hari, langit Bandung mulai redup. Mereka bersiap berpisah setelah hampir seharian bersama. Seperti biasa, tak ada perpisahan resmi. Tak ada pelukan hangat atau ucapan “hati-hati di jalan”. Mereka hanya saling menepuk pundak, menyalakan rokok, dan berjalan ke arah yang berbeda.
Sebelum meninggalkan kontrakan, Aldo menatap kembali ke dalam ruangan yang kini sunyi. Dua gelas kosong masih di meja, abu rokok berserakan di lantai, dan bau alkohol samar menempel di udara.
Di dalam kekacauan itu, entah kenapa ia merasa damai. Mungkin karena untuk sesaat, mereka bisa jujur. Tak perlu berpura-pura sukses, tak perlu menutupi luka, tak perlu bersandiwara bahwa semuanya baik-baik saja.
Ia menyalakan rokok terakhirnya, menatap langit jingga yang perlahan berubah ungu.
“Hidup memang nggak adil,” bisiknya. “Tapi mungkin, ini satu-satunya cara kita belajar.”
Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan kontrakan yang menjadi saksi tentang persahabatan, kehilangan, dan mimpi yang tertunda.
Di luar sana, Bandung mulai menyalakan lampunya. Dunia terus berjalan, seolah tak peduli pada hati-hati muda yang masih mencari tempat pulang.