Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gelap Terang
Aku adalah orang awam. Aku hanya menjadi penurut. Ketika aku diminta melakukan sesuatu, aku melakukannya. Begitu juga ketika aku diminta untuk datang ke sini, ke tempat yang rimbun batu-batu yang dipoles, rindang kaca beling yang disusun rapi, dan bising suara besi bermesin. Tapi, tak ada yang lebih hiruk dari kehampaan yang menyelimuti tempat yang mereka sebut dunia ini.
Aku adalah orang awam. Belum mengerti bahasa jalan. Warna-warni yang ada pada tiang-tiang yang menancap di sudut-sudut jalan itu, aku masih tak mengerti artinya, jadi aku hanya berdiam diri. Kulihat sekelilingku, orang-orang tampak semrawut. “Oh, ini yang disebut kemewahan?” aku tertegun, sedang mataku terperangah dan kepalaku melengkungkan tanda tanya besar di dalamnya. Tapi, aku telah sampai di sini, di tempat yang menakutkan sekaligus melenakan, yang mereka sebut dunia.
Aku adalah orang awam. Aku hanya berdiri dari tadi. Takut, jika aku salah langkah. Maka, aku hanya memperhatikan segala apa yang hidup dan bergerak di sini. Nyaris gila jika kucoba memahami semuanya. Tak ada gerak yang beraturan, semuanya berbenturan. Tak ada jalan yang lurus, melainkan sebuah lorong gelap yang banyak dihindari orang. Kulihat satu dua orang melewatinya. Rupanya mereka punya lampu senter di tangannya. Tapi semua juga punya. Jadi, apa yang membuat mereka enggan memasuki lorong gelap yang lurus itu? Oh, kukira ini soal keberanian. Hanya segelintir orang yang punya keberanian. Selebihnya, hanyalah orang-orang yang kebingungan. Rupanya, begini isinya dunia?
Aku adalah orang awam. Aku yang dari tadi hanya berdiri di tepi jalan, akhirnya mengalihkan pandangan pada satu gedung yang memiliki dua sisi: gelap dan terang. Jika kuperhatikan, semua orang berjalan menuju ke sana. Tetapi, kemudian mereka terbagi ke dalam dua bagian: yang masuk ke sisi gelap dan masuk ke sisi terang. Jika kucermati dari sini, kebanyakan orang lebih memilih sisi yang gelap. Bukannya orang di dunia takut kegelapan? Aku tak mengerti, aku kan orang awam. Rupanya begitu tidak mengerti aku dengan cara kerja dunia.
Aku adalah orang awam. Aku tak tahu apa-apa. Maka kemudian aku bertanya. Kulihat seorang bapak tua mendekatiku, sepertinya ia juga akan menuju ke sana. Tapi, kucegah segera. Karena aku ingin bertanya. Dia menggerutu, atau mungkin marah. Tidak sopan? Dia bicara tentang kesopanan? Oh, di dunia kita harus sopan, ya? Aku kan awam, aku tidak tahu apa-apa? Tapi, sopan itu seperti apa? Ah, tidak ada waktu untuk berdebat, aku segera bertanya sebelum bapak ini makin kesal.
“Apa yang harus kulakukan?” tanyaku.
“Karena kamu terlanjur ada di sini, maka kamu harus mengikuti orang-orang itu.”
“Aku harus pergi ke gedung itu juga?”
“Ya, kamu ingin tahu dunia, kan? Ya, itu isinya dunia. Di dalam gedung itu. Kamu tinggal pilih yang gelap atau yang terang.” jelasnya. Telunjuknya menunjuk ke gedung itu. Tapi, kukira dia keliru, kok bilang gelap tapi menunjuk yang terang, bilang terang menunjuk yang gelap.
Kulihat tangannya berlumur darah. Sedang di sekelilingku kutemukan orang-orang yang bolong perutnya, kepalanya dan sebagian isinya hilang. Apakah bapak ini yang membacoknya? Kok, tadi dia bicara tentang kesopanan sementara dia membacok orang-orang sembarangan? Ah, aku tidak mengerti. Tapi, bapak ini berjas rapi, hanya saja mukanya awut-awutan dan tangannya berlumur darah. Sementara orang-orang yang dibacoknya, bajunya compang-camping. Tapi, aku tidak boleh berkata apa-apa, karena aku bisa diseret. Kan ini dunia, yang salah adalah pemenangnya, asal dia kaya. Dan bapak ini memenuhi kriteria itu.
Tapi, mungkin kamu bertanya, kok bisa aku bilang bapak ini yang membacoknya. Tuh, organ-organ tubuh dari orang-orang itu ada di saku jas bapak ini. Ada otak, ada usus, ada ginjal, ada hati, rupa-rupa deh. Sampai-sampai lalat kepayahan mengerubungi tubuh bapak ini.
“Tapi, aku tidak tahu apa-apa, Pak. Jadi, mana yang harus kupilih?” tanyaku setelah sesaat merenungi bapak tua ini. Dan dari perenungan itu aku punya kesimpulan, betapa kemewahan di dunia adalah sekumpulan hal yang menjijikan.
“Di sana ada kesenangan, ikutlah denganku ke sana,” jawabnya, telunjuknya menunjuk pada sisi gelap gedung itu. Seringainya membuatku bergidik.
“Tapi, itu tempat yang gelap,” aku menjauhkan tubuhku darinya.
“Dasar bodoh! Buang-buang waktuku saja!” katanya, marah.
Aku orang yang awam. Aku kembali terdiam, dimarahi bapak tua. Aku kebingungan. Tapi, kulihat lagi bapak itu, telapak tangan yang sebelahnya merah sekali, ada ruam-ruam yang pekat, seperti habis memegang sesuatu yang panas atau habis memukul sesuatu. Pukulan yang keras. Lalu, tak lama kulihat barisan perempuan-perempuan cantik yang telanjang. Dari belia hingga paruh baya. Mereka lebam-lebam kulitnya, sekujur tubuhnya. Aku mendengar tangisan perempuan-perempuan yang belia, sedih rasanya. Kukira, bapak itu tidak hanya suka membacok, tapi juga cabul. Pantas saja matanya sedari tadi gatal, menelanjangiku, menatap payudaraku, selangkanganku, seakan ingin melahapku. Tatapan itu, amat tidak sopan, benar-benar tidak sopan. Lalu, untuk apa dia bicara kesopanan? Tapi, barangkali dia terlanjur marah, atau masih banyak perempuan yang lebih menggoda daripada aku. Atau aku terlalu bodoh untuk dicabuli sehingga aku terlindungi. Ah, ternyata begini yang mereka sebut dunia ini, gila.
Aku orang yang awam. Aku masih kebingungan. Aku mencari jawaban. Lalu kulihat seorang pemuda berjalan ke arahku. Matanya teduh. Tapi dadanya hitam. Ada darah menodai baju putihnya. Kenapa bisa begitu? Ingat, aku harus sopan. Ini dunia. Lalu aku bertanya padanya, sopan sebagaimana kebanyakan manusia di dunia.
“Maaf, aku ingin bertanya. Aku harus pilih sisi yang mana dalam gedung itu?”
“Apa yang kamu pegang sekarang, saudariku?” dia balik bertanya. Tapi terus menunduk. Katanya, tak boleh menatapku.
“Aku tidak memegang apa pun sekarang. Memangnya harus memegang apa untuk masuk ke sana?”
“Rasa percaya dan takut,” katanya pasti.
“Pada siapa?”
Belum juga terjawab pertanyaanku. Tiba-tiba saja pemuda itu merintih, meremas dadanya yang berlumur darah itu. Bolong rupanya, aku terperangah. Menutup mulutku yang menganga. Tak lama, orang-orang mengerubunginya. Lelaki itu berjalan diikuti orang-orang yang memerah matanya, memuji-mujinya. Sedang tangan lelaki itu kini melambai-lambai. Tercipratlah darah pada orang-orang yang mengikutinya. Aku orang yang awam, tidak mengerti mengapa bisa terjadi demikian. Tapi, barangkali inilah dunia, tempat yang begitu tak masuk akal.
Aku orang yang awam. Dan aku masih mencari jawaban. Tapi, setidaknya, aku sudah mendapatkan beberapa hal, pertama gedung itulah yang merupakan isi dunia, lantas kalau itu isinya dunia, aku sedang di mana sekarang? Di luar dunia? Nah, itu akan kutanyakan pada orang yang kutemui berikutnya. Kedua, kalau ingin masuk ke sana aku harus memegang rasa percaya dan rasa takut, tapi pada siapa? Aku benar-benar orang awam. Aku melakukan sesuatu ketika diminta, meski aku tidak tahu untuk apa sebenarnya aku melakukan itu dan untuk siapa. Begitupun ketika aku disuruh datang ke tempat yang aneh ini, aku tidak tahu siapa yang menyuruhku itu, aku hanya mendengar bisikannya di telingaku. Sedang, aku pun tidak tahu untuk apa aku di sini. Aku benar-benar awam.
Aku orang yang awam. Aku masih mencari jawaban. Tapi, aku lelah, aku lapar. Aku ingin menyerah, tapi tidak bisa. Aku hanya bisa terduduk di tepi jalan ini. Rupanya, dunia ini begitu rapuh. Lihat saja, tanah-tanah itu nyaris amblas, padahal baru saja kusentuhkan pantatku, belum duduk sepenuhnya. Ah, benar-benar gila dunia ini.
Saat aku terduduk, aku melihat sekelompok ibu-ibu berjalan mendekatiku. Mereka tampak bersahabat, bergandeng tangan dan saling mengobrol akrab. Kukira, jika aku bertanya pada sesama perempuan mungkin bisa mendapat jawaban yang lebih dimengerti. Tetapi ada yang janggal, ketika mereka makin dekat makin dekat. Tangan mereka tidak saling bergandengan, melainkan saling cabik daging dalam tubuh masing-masing. Jika A mencabik tubuh B, begitupun sebaliknya, lalu B mencabik juga tubuh C, dan sebaliknya dan seterusnya. Aku menjauh, gila, bisa-bisa mereka mencabik tubuhku kemudian. Tak cukup hanya mencabik, rupanya mereka saling memakan daging satu sama lain, langsung. Sumpah, kenapa pula aku harus diminta pergi ke tempat macam ini, apa pula dunia ini?
Aku orang yang awam. Rupa-rupa yang kulihat di sini sungguh membuatku ketakutan. Aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak kenal siapa-siapa. Aku mesti ke mana, meski bertanya pada siapa, aku tak tahu. Aku benar-benar tak tahu. Kan, aku orang yang awam.
Belum habis keterkejutanku dengan hal-hal sebelumnya, rupanya masih banyak lagi yang lebih membuat mulutku menganga. Membelalakkan mataku bahkan hampir tumpah bolanya. Seperti yang kulihat sekarang, sebuah parade yang isinya perempuan-perempuan berlidah ular, lelaki-lelaki tanpa tangan tanpa kaki, anak-anak yang bolong matanya, remaja-remaja putri yang saling menjambak rambutnya hingga rontok, tak sedikit yang sampai mengelupas kulit kepalanya, belum habis di situ, kulihat payudara-payudara mereka melambai menyapu jalan dan lubang kewanitaannya yang terus berlendir hingga dipenuhi lalat. Sedang remaja-remaja putra terus menangis dengan mulut ternganga, bukan air mata yang dikucurkan matanya melainkan darah-darah yang segera lahap disantap lidahnya, karena mulutnya terus tersenyum lebar, lalu tangannya penuh bintik-bintik yang dalam waktu teratur akan pecah dan mengeluarkan nanah dan cairan-cairan beraroma busuk dan yang makin membuatku tak berhenti bergidik ngeri adalah betapa gilanya melihat penis-penis yang terus memuntahkan cairan busuk yang lalu segera dihinggapi lalat-lalat, apa mereka tak sadar? Aku tak mengerti, tapi barangkali inilah dunia, penuh dengan hal-hal yang mungkin tidak kita mengerti.
Hawa sekitarku tiba-tiba menjadi panas dan sesak selama parade mengerikan dan menjijikkan itu berlangsung. Aku tak mengerti, karena aku orang awam. Aku menjadi semakin bingung. Sebenarnya apa yang mereka lakukan di dunia itu? Kulihat mereka begitu menjijikkannya? Adakah mereka makan berbalur lendir dan berbaur dengan darah, nanah, dan kotoran-kotoran itu? Ah, kepalaku pusing rasanya. Bau yang menyengat membuat perutku mual juga. Ragam bau itu berasal dari tubuh-tubuh peserta parade. Rupanya, itulah minyak wangi di dunia, apa pula yang ada dalam pikiran mereka? Aroma-aroma bangkai semacam ini dijadikan minyak wangi? Kubilang sekali lagi, aku ini orang awam, aku tak mengerti apa-apa. Jangan tanya aku kenapa itu semua bisa terjadi.
Lalu aku memejamkan mata. Mencoba mencerna apa yang baru saja kulihat. Setelah cukup, aku kembali membuka mata, namun seketika semuanya berubah. Para peserta parade, ibu-ibu kanibal itu, lelaki yang dadanya berdarah itu, dan bapak tua yang cabul dan suka membacok itu seketika berubah. Dari atas ada hangat yang membakar dan menyengat, oh barangkali ini yang disebut matahari, gerutuku. Seketika aku terkesima, bukankah peserta parade itu adalah pemuda-pemuda yang tampan, pemudi-pemudi yang jelita, anak-anak yang lucu, ibu-ibu yang cantik dan anggun, dan bapak-bapak yang gagah. Sedang ibu-ibu yang tadi saling cabik adalah ibu-ibu yang cantik benar, mereka berkawan, akrab, dan benar mereka saling bergandeng tangan. Lalu lelaki yang berdarah dadanya itu adalah seorang pendakwah, kukira, tapi kenapa muda sekali? Usia tak menjadi ukuran, mungkin. Dia tampan dan digandrungi wanita-wanita, muda hingga tua. Terakhir, yang membuatku tak habis pikir adalah bapak tua itu, bukankah dia seorang pengusaha sekaligus pejabat yang melayani masyarakat, mana mungkin mencuri organ-organ tubuh rakyatnya? Mana mungkin juga mencabuli perempuan-perempuan? Dengan uang melimpah, begitu dermawannya dia melayani sesama. Ah, benar-benar. Barangkali tadi hanya ilusi. Aku lebih mempercayai apa yang kulihat kini, bukan yang tadi. Barangkali benar juga dunia begitu melenakan.
***
Aku orang yang awam. Tapi, bagaimana bisa kemudian aku mengetahui semua itu? Percayalah, aku benar-benar orang yang awam dan aku hanya mendengar apa yang berbisik di telingaku, entah suara dari mana. Kan, aku orang awam, jadi jangan tanya apa-apa karena aku tidak tahu apa-apa.
Lalu kurasa angin sejuk menyusuri tubuhku, datang bersamanya seorang wanita yang berwajah ayu, bermata teduh dan bening. Kutaksir usianya hampir setengah abad, jadi kupanggil dia Ibu. Senyumnya hampir saja membuatku tak berdaya. Tapi tangannya segera merangkulku. Diusapnya kepalaku, gerakan tangannya yang lembut serta jemarinya yang halus seolah menyisir rambutku. Rupanya, dia tengah membungkus kepalaku dengan cahaya yang hangat.
“Di dunia itu banyak debu bertebaran, ada sinar matahari yang panas, dan juga angin. Maka, rambutmu yang indah ini harus ditutupi agar tetap sehat, bebas dari debu, tidak terjemur, dan tidak rontok ditiup angin.” katanya, lembut.
“Sama juga dengan tubuhmu ini. Harus dilindungi. Cantik sekali.”
Ibu yang baik itu lalu membalurkan cahaya tadi ke sekujur tubuhku. Aku menjadi lebih hangat ketimbang tadi. Lalu aku beranjak dari rangkulannya. Kulihat lagi sekeliling. Masih belum berubah. Parade itu, ibu-ibu yang bersahabat itu, lelaki pendakwah itu, dan bapak pejabat itu masih tetap begitu. Tapi, ada yang berbeda, mata mereka begitu kosong. Lalu aku bertanya pada Ibu yang Baik Hati tadi yang kini duduk berdampingan denganku.
“Ibu, kenapa mata mereka begitu kosong?”
“Karena mereka tidak memegang apa pun, mereka hanya memakai mata dunia, mata yang fana, rusak. Sehingga yang gelap jadi terang dan yang terang jadi gelap.”
Aku orang yang awam. Tapi, kukira ingatanku lumayan juga. Mendengar kata ‘memegang’ aku langsung teringat dua hal yang tadi dikatakan pemuda pendakwah.
“Lantas kepada siapa sebenarnya aku mesti percaya dan takut itu, Ibu?”
“Pada pemilik cahaya yang kini melindungi tubuhmu, pada pemilik semuanya.”
“Bukankah Ibu yang memberiku cahaya ini?”
“Ibu hanya perantara”
Ibu yang Baik Hati itu lalu menangkup kedua tanganku dan menempelkannya di atas dadaku. Betapa hangatnya, aku merasakan getaran yang tak pernah kurasa sebelumnya. Aku merasa kecil seketika. Tapi, merasa amat terlindungi.
“Itulah Dia, pemilik kita semua, Dia selalu ada bersama-sama kita. Pada-Nya lah kamu harus percaya dan takut. Sedang mereka itu, yang tadi kamu lihat, sama sekali tidak memiliki keduanya, sehingga mata mereka begitu rusak dan buta, sehingga tidak bisa melihat apa-apa.”
“Lantas bagaimana dengan lelaki pendakwah itu? Bukankah dia pasti tahu?”
“Jangan salah. Dia memang tahu, mungkin dia juga percaya. Tapi dia tidak takut. Dia angkuh, sombong, sehingga akhirnya dia percaya kalau semua ini berkat kemampuannya sendiri, kehebatannya, pengetahuannya. Dia hanya menakut-nakuti orang dan menyerap semua pujian untuk membesarkan kepalanya. Padahal tak ada satupun pujian yang pantas kita terima, semua hanya untuk Yang Memiliki kita. Ingat, jangan tersesat, Nak.”
Aku orang yang awam. Aku hanya manggut-manggut. Aku pun takjub. Tapi, aku tidak lagi keliru. Kuhaturkan pujian bukan pada Ibu yang Baik Hati itu, melainkan pada-Nya, betapa baiknya Engkau dan betapa hebatnya Engkau menciptakan seorang Ibu yang Baik Hati dan menghadirkannya untukku.
“Bu, bukankah mereka takut kegelapan?”
“Betul, tapi mereka tak sadar kalau mereka hidup dalam kegelapan. Betapa menjijikkan bukan yang mereka lakukan itu? Dan hanya dalam gelaplah semua itu tidak nampak. Sedang di sisi yang terang itu, semua akan nampak, kita seketika kosong dan tak ada apa-apa, mereka tidak mau begitu. Lihatlah beberapa orang keluar dari sisi terang itu.” Ibu yang Baik Hati menunjuk ke beberapa orang yang keluar dari sisi terang berpindah ke sisi gelap.
“Kenapa bisa begitu, Bu?”
“Mereka tidak memegang apa pun tapi dengan pongahnya masuk ke sana, sehingga mereka mengeluhkan: ‘silau, silau,’ padahal mata mereka sedang dibutakan pemiliknya, karena mereka bermuka dua.”
Aku merenung sejenak. Lalu Ibu yang Baik Hati itu menggamit tanganku, aku bangun dan mulai berjalan bersamanya. Aku menyusuri jalan-jalan setapak berdebu. Anehnya, di sini jarak setiap langkah ke langkah ada tiga puluh tiga jengkal, meskipun sebenarnya bisa lebih, kata Ibu yang Baik Hati itu. Tak masuk akal, tapi sekarang aku tidak terlalu awam. Jadi, kusebut inilah kuasa-Nya, memungkinkan yang tidak mungkin adalah kuasa-Nya. Bagaimana bisa? Kita tidak berhak bertanya, itu kuasa-Nya. Kita hanya bisa menerima.
Sebelum berjalan, Ibu yang Baik Hati itu membisikan dua kalimat keramat padaku. Aku mengikutinya melantunkan lafaz suci itu. Lalu aku merasa dua hal yang mesti kupegang itu telah benar-benar kupegang, aku tak lagi awam. Aku tahu, kepada siapa percaya dan takut itu kutujukan.
“Untuk memelihara rasa percaya dan ketakutanmu pada-Nya, maka sebutlah nama-Nya, Terus tanpa henti sebanyak jengkal yang kamu lewati dari langkah ke langkah.”
Di tengah langkah, kudengar nama-Nya diserukan dengan indah, menggema. Seperti diteriakan dari tiap penjuru. Aku bertanya, pertanda apa itu?
“Pertanda waktunya kita berserah,” jawab Ibu yang baik hati itu. Lalu ia mengajariku gerakan yang dipadu dengan doa-doa yang begitu menentramkan dan semakin mendekatkan aku pada-Nya.
Setelah itu, kami lanjut berjalan dan kakiku terasa berat oleh debu yang ikut, tersangkut dalam kain bajuku. Aku mengeluh dan bertanya lagi, bagaimana caranya agar langkahku tidak terasa berat?
“Itu berarti sudah saatnya kita membersihkan diri, mengumpulkan apa yang telah kita kumpulkan lalu memberikan pada yang haknya. Taburkan pasir-pasir itu pada tempatnya sesuai porsinya. Lakukan secara rutin, ketika langkahmu mulai terasa berat. Hidup ini, tidak perlu lebih, asal cukup. Dan jangan lupa selalu panjatkan puji syukurmu pada-Nya,” terang Ibu yang Baik Hati itu.
Betapa aku merasakan ketentraman dan keteraturan yang indah. Sampai akhirnya aku tiba di muka gedung. Aku menatap mata Ibu yang Baik Hati itu. Mata yang bening nan teduh. Lalu ia menyebut nama pemiliknya, pemilikku juga. Bibirku spontan mengikuti bibir Ibu yang Baik Hati itu. Berdebar rasanya, aku akan memasuki isi dunia. Lalu aku terganggu oleh pertanyaan yang belum kutemukan juga jawabannya.
“Bu…”
“Sebut dulu nama-Nya”
Terasa hangat dan lembut mengalir dari bibirku dan bibirnya, nama yang agung, nama yang suci, Allah, La Ilaha Illallah…
Pertanyaan itu terus mendesak. Aku menatap air muka Ibu yang Baik Hati itu. Memastikan apakah sudah tepat waktunya jika aku bertanya. Setelah sejenak kuamati air mukanya, aku bertanya.
“Bu… Jika gedung ini dunia, jadi sebenarnya dari tadi kita sedang di mana Bu? Bahkan, kita belum memasuki dunia, kan?”
Ibu yang Baik Hati itu tersenyum dan menoleh kepadaku. Sambil menatap mataku lekat, ia berkata lembut.
“Dalam kepalamu.”
Lalu Ibu yang Baik Hati itu menghilang dan aku masih terpaku, lagi. Di antara sisi gelap dan sisi terang.