Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Gaun Putih
0
Suka
21
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sepertinya, setiap ada lelaki berusia muda yang menyukai band rock atau metal dan memiliki hobi mengoprek motor kustom akan selalu dicap sebagai anak berandalan. Pun demikian dengan Reva, seorang mahasiswa teknik yang baru menginjak semester tiga. Di usianya yang sedang menggebu-gebu, agaknya menjadi nakal adalah hal terkeren dalam hidupnya. Bagaimana tidak, “Masa anak metal nggak mabuk, sih?” ucap temannya suatu ketika.

Dengan rambut acak-acakan, celana jins robek, sepatu Docmart, dan jaket jins adalah gaya yang sangat melekat dalam hidupnya saat ini. Ditambah titel anak fakboy, doyan mabuk, dan jagoan kampus yang menemani namanya di mana pun ia berada. Bahkan seantero kampus mengenal Reva sebagai lelaki nakal. Akan tetapi, di balik kenakalannya, Reva adalah anak yang sangat peduli dengan teman-temannya. Jargon solidaritas bukan hanya omongan belaka. Meskipun omongannya kasar, jika ada teman-temannya yang sedang kesusahan atau mengalami masalah, Reva menjadi orang pertama yang maju.

Hal tersebutlah yang membuatnya memiliki banyak teman. Energi kebandelannya membuat ia sangat aktif dalam banyak kumpulan, sehingga titel ketua geng pun didapatkan oleh dirinya.

Meskipun orang tuanya sudah sangat lelah menasihatinya, pun demikian dengan dosen-dosennya yang sering memarahinya karena nilainya yang anjlok. Namun ketampanan dan persona fakboy-nya justru menarik banyak perempuan di kampusnya. Bahkan, ia dikenal sebagai lelaki “buaya” yang sering gonta-ganti pasangan.

Terakhir, ia baru saja memutuskan pacarnya yang juga seorang seleb terkenal di Bandung. Saat teman-temannya berkata, “Maneh, eta awewe geulis padahal. Naha, sih, sagala diputuskeun?”

Ia justru menjawab, “Aing teu resep ah jeung kalakuanana oge. Rudet.”

Karena alasan tersebutlah Reva kemudian mencari “mangsa” baru. Berkali-kali mencari perempuan yang ingin ia pacari, justru hatinya malah tertaut pada satu nama, yaitu Dewi.

Selain dikenal sebagai model cantik, pintar secara akademis, dan memiliki latar belakang keluarga yang kaya, Dewi adalah sosok yang sangat cuek saat didekati banyak pria—atau dikenal dengan sebutan cewek yang “jual mahal”. Tantangan itulah yang justru memicu Reva untuk bisa mendapatkan hatinya.

“Cik ningali, kadeung deui Dewi ge bakal jadi kabogoh aing,” ucap Reva pada teman-temannya.

Berkali-kali percobaan ia lakukan, mulai dari mereaksi story Instagram, mengajaknya bermain, hingga ikut bergabung bersama circle-nya di kampus. Namun semua itu tidak meluluhkan hati Dewi.

Justru di saat banyak wanita mendekati Reva, Dewi adalah sosok perempuan yang merasa jijik dengan perlakuannya. Penolakan itu tidak menggentarkan hati Reva. Sebagai pentolan kampus, ditolak oleh perempuan adalah hal yang sangat memalukan.

Sampai akhirnya, ia dipertemukan dalam sebuah acara kampus. Saat itu, kampus mereka sedang mengadakan event ulang tahun. Reva dipercaya oleh teman-temannya menjadi MC karena tingkah lakunya yang interaktif dan pembawaannya yang menyenangkan. Dewi dipercaya kampus sebagai pengisi acara karena parasnya yang cantik dan kepintarannya dalam public speaking. Meskipun dengan perasaan terpaksa, Dewi pun akhirnya berduet dengan Reva di atas panggung.

Penampilan keduanya justru membuat banyak mata takjub. Reva dengan pembawaannya yang tengil dan asyik mampu memecah suasana, pun demikian dengan Dewi yang anggun membuat semua hadirin puas dengan performa mereka. Setelahnya, keduanya malah dijodoh-jodohkan sebagai pasangan yang serasi. Bahkan ada brand yang sempat menawarkan kerja sama untuk mereka berdua.

Sampai akhirnya, Dewi luluh juga dengan apa yang dilakukan Reva. Ternyata di balik keberandalan Reva, ia sangat pandai memperlakukan seseorang. Sikap itulah yang membuat mata dan hatinya terbuka. Meskipun kini status mereka tidak jelas—semacam HTS atau hubungan tanpa status—keduanya menjalani hari layaknya manusia biasa. Reva dengan kesibukannya bersama teman-temannya, dan Dewi dengan kesibukannya menjadi model sekaligus akademisi. Kadang di sela-sela waktu mereka bertemu untuk saling bertukar cerita, kadang juga berperilaku seolah teman biasa saja.

Delapan bulan berlalu. Tepat di ulang tahun Dewi yang ke-24, ia mengundang Reva ke rumahnya untuk merayakannya bersama teman-temannya. Anehnya, hanya ada beberapa lelaki saja yang ia undang—mungkin hanya pacar dari sahabat-sahabatnya dan anggota keluarganya.

“Oh, ini pacar lo yang sekarang, Dew?”

“Cowok lo boleh juga, Dew.”

“Dew, cowok yang waktu itu lo ceritain, ini dia, kah?”

Dan beberapa pertanyaan lainnya sempat didengar oleh Reva. Di satu sisi, perjuangannya selama ini membuahkan hasil. Tapi di sisi lain, ia tidak boleh terlalu kegeeran karena status mereka belum jelas.

Setelah perayaan digelar, cukup lama Reva duduk sendiri di kursi taman sambil merokok dan melihat sekitar. Sampai akhirnya seorang lelaki paruh baya menghampirinya.

“Kamu Reva, ya?” ucap lelaki itu memecah suasana.

“Eh, iya, Om. Bener,” balasnya sambil bersalaman dan tertawa kecil.

“Kamu kok nggak masuk ke dalam?” tanyanya lagi.

“Oh, nggak, Om. Aku suka aja lihat motor klasik Om. Kebetulan aku juga emang suka ngerakit.”

“Wah, kamu anak motor juga, toh?”

Reva membalas dengan tawa, “Hehehe, suka aja sih, Om.”

Tak terasa, keduanya berbincang cukup panjang. Dimulai dari percakapan soal motor, hobi, kesibukan, hingga bertukar cerita. Sampai akhirnya Dewi datang.

“Eh, Papa lagi di sini ternyata.”

“Ada apa, sayang?” balas lelaki yang ternyata bapaknya Dewi.

“Oh, nggak kok, Pah. Cuma nyariin aja,” jawab Dewi sambil memperhatikan keduanya. “Papa lagi ngobrolin apa sama Reva, emang?”

Pak Sus, panggilan bapaknya Dewi, menjawab, “Wah, panjang, sayang. Intinya Papa suka sama Reva. Dia anak yang banyak pengalaman, juga cerdas kok.”

Reva yang namanya dibanggakan langsung menyeletuk, “Eh, Om, enggak kok. Lebih cerdas juga Dewi kok. Aku kebetulan cuma senang main aja.”

Singkat cerita, dari sanalah kemudian hati Dewi mulai terbuka pada Reva. Bahkan di tahun keduanya bersama Dewi, Reva akhirnya menjalin hubungan asmara dengannya.

***

Tiga bulan pertama adalah fase paling indah bagi keduanya. Masa butterfly in the stomach, seperti yang sering mereka sebut sambil bercanda. Reva berubah drastis. Reva yang terbiasa nongkrong di warkop atau sekre, kini mulai sering hangout di coffee shop atau mal. Omongan yang biasanya kasar, kini mulai terdengar lembut. Meskipun masih ada celetukan kasar, Reva mulai mengurangi kebandelannya saat bersama Dewi. Gayanya pun berubah drastis. Rambutnya yang urakan kini lebih sering klimis. Bajunya yang lecek sudah mulai sering disetrika dan disemprot parfum. Bahkan, waktu bersama teman-temannya mulai berkurang. Teman-temannya sering menyindir, “Wih, bang jagoan yang lagi bucin datang lagi, nih.”

Dewi juga mulai dipanggil “beruntung” oleh circle-nya. Meskipun pada awalnya teman-temannya menolak, ada perasaan senang karena Dewi sudah tidak galau karena menjomblo.

Namun waktu terus berjalan. Setahun berlalu, semuanya tak lagi semanis awal.

Dewi mulai mengeluarkan sisi posesifnya: cek lokasi, minta bukti foto, marah jika Reva tidak cepat membalas pesan. Sementara Reva mulai sibuk dengan proyek freelance-nya, band-nya yang sering manggung, hingga mulai nongkrong kembali.

Sampai celetukan amarah sering menghiasi mereka berdua. Kesalahpahaman kecil berubah menjadi pertengkaran besar. “Kamu mulai berubah.” “Kamu udah nggak sayang sama aku.” Dan kalimat pamungkas dari Dewi, “Udah deh, kita putus aja.”

Namun Reva tak pernah benar-benar pergi. Ia bertahan. Minta maaf. Mengirim makanan. Mengirim voice note panjang. Mengirim kabar di sela-sela kesibukannya. Bahkan suatu malam, ia berdiri di depan rumah Dewi, basah kuyup diguyur hujan, hanya untuk berkata, “Aku cuma pengen kamu ngerti kalau aku masih pengen sama kamu.”

Tahun ketiga, tekanan malah datang dari luar. Ibunya Dewi mulai bertanya, “Revanya kapan datang lagi?” Ayahnya mulai berdehem tiap kali nama Reva disebut. Usia Dewi sudah 27. Di keluarga mereka, itu usia yang dianggap “siap untuk menikah.”

Tapi Reva masih sangat bimbang.

Bukan karena dia tak cinta, tapi karena hidup bukan cuma soal hati. Ia ingin lebih dulu membanggakan orang tuanya—menyekolahkan adiknya, membantu orang tuanya, dan mengejar cita-citanya. Menikah baginya bukan sekadar pesta dan gaun indah, tapi kesiapan jiwa, mental, dan finansial yang sungguh-sungguh.

“Kita belum terlalu matang, sayang,” ucapnya suatu ketika.

“Tapi kita bisa tumbuh bersama, Reva.”

“Tumbuh juga butuh tanah yang kuat, sayang.”

Dewi hanya terdiam. Ia paham. Tapi hatinya juga lelah. Di satu sisi ia percaya, di sisi lain ia juga butuh kepastian.

Sampai pada suatu sore, saat mereka berjalan di pusat perbelanjaan, Dewi berhenti di depan sebuah butik pernikahan. Di balik kaca, tergantung sebuah gaun putih sederhana dengan renda lembut dan ekor menjuntai.

“Kalau nanti nikah, aku pengen pakai yang kayak gitu.”

Reva hanya menatapnya lama, lalu tersenyum.

“Sebentar lagi ya, sayang. Saat waktunya datang. Aku janji.”

Dewi tahu, janji tak selalu bisa ditepati. Tapi hari itu, di hadapan sepotong gaun putih di balik kaca, ia memilih percaya. Bukan pada janji itu semata, tapi pada seseorang yang sudah bertahan, bahkan ketika ia sendiri ingin menyerah.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Tapak Kecil Gayatri
Rinmunchhhii
Skrip Film
My Name is Mey
Indah lestari
Cerpen
Bronze
Dongeng Pulau Merah dan Pengarangnya
Muram Batu
Cerpen
Gaun Putih
Rizki Mubarok
Novel
Ruang Kelabu
Fey Hanindya
Skrip Film
Bahagiamu Luka bagiku
yuntari ifti
Skrip Film
FREKUENSI
Tira Riani
Flash
Bronze
UTANG
Aizawa
Flash
Wherever You Are, I'll Find You
Syafira Muna
Cerpen
Bronze
Bukannya Ibu Tak Sayang
Leni Juliany
Cerpen
Bronze
Jangan Sentuh, Nanti Pecah
Renaldy wiratama
Novel
(Bukan ) Aku Menolakmu
Monica Melinda
Komik
Florilegium
Galdev
Skrip Film
Script Film : Al Kahfi Land - Delusi
indra wibawa
Skrip Film
Selembar Harapan
Windi Liesandrianni
Rekomendasi
Cerpen
Gaun Putih
Rizki Mubarok
Cerpen
Jatuh dalam Pelukan
Rizki Mubarok
Cerpen
Semua Butuh Waktu
Rizki Mubarok
Cerpen
Ya, Namanya Juga Hidup
Rizki Mubarok
Flash
Senjata Terakhir
Rizki Mubarok
Flash
Selanjutnya, Kemana?
Rizki Mubarok
Flash
Matahari Terbit di Kelopak Mata Ibu
Rizki Mubarok
Cerpen
Catatan si Anak Emas
Rizki Mubarok
Cerpen
When Nation Falls
Rizki Mubarok
Cerpen
ARUNIKA
Rizki Mubarok
Cerpen
Cerita yang Tak Pernah Selesai
Rizki Mubarok
Cerpen
Katanya sih Cinta
Rizki Mubarok
Cerpen
Siapa Peduli
Rizki Mubarok
Cerpen
Sketsa Mulia Di Langit Jakarta
Rizki Mubarok
Cerpen
Tak Ada Lampu Merah di Bandung
Rizki Mubarok