Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Garis Takdir Semesta
5
Suka
238
Dibaca

Polesan lipstik menjadi akhir dari sesi merias diri yang dilakukan Dara sejak satu jam yang lalu. Make-up tipis dengan pilihan baju yang pas membuat perempuan itu nampak cantik.

Siang tadi, Miko membuat janji, mengatakan ingin pergi berkencan dan mengobrol banyak hal berdua. Jelas Dara mengiyakan. Menurutnya, ini hal yang langka. Kekasihnya itu jarang sekali mengajaknya pergi berdua. Bahkan, di hari peringatan anniversary mereka, pria yang kerap juga dipanggil Daffa itu tak mengajaknya pergi ke mana-mana.

Notifikasi pesan dari Miko membuat Dara tersenyum tipis. Ada banyak sumber kebahagiaan dalam hidupnya, salah satunya adalah kehadiran Miko sebagai kekasihnya.

"Aku sudah di depan," tulis Miko dalam pesan yang dikirimkannya.

Perempuan berusia dua puluh empat tahun itu beranjak dari kursi rias, bergegas menemui sang kekasih. Senyum di bibir manis itu tak pudar barang satu detik pun.

Pria dengan balutan jaket kulit bertengger manis di atas motornya. Miko tersenyum di balik helm yang menutupi kepalanya. Tangannya terangkat, melambai meminta sang kekasih mendekat.

"Cantik, pacar aku," ujar pria itu membuat wajah Dara bersemu merah.

Miko memakaikan helm. Setelahnya, perempuan itu naik ke atas boncengan motor. Kuda besi itu melesat pergi dengan dua orang yang menungganginya.

Jalanan yang ramai menjadi saksi betapa bahagianya Dara. Tangannya memeluk pinggang Miko dengan erat, bersandar di pundak kekar pria kesayangannya. Matanya terpejam menikmati embusan angin yang menerpa wajahnya dengan senyum merekah indah.

"Miko, begini setiap hari kayaknya seru!" teriak Dara. Yang menjadi lawan bicara hanya tersenyum di balik helm.

Kendaraan yang dikendarai pria berusia dua puluh lima tahun itu berhenti di parkiran sebuah rumah makan sederhana. Keduanya turun, melangkah berdampingan memasuki bangunan itu sembari bergandengan tangan.

Miko memesan makanan, sementara Dara menunggu di meja seorang diri. Tak lama, pria itu kembali, duduk di depan Dara. Matanya tak lepas menatap kekasihnya, senyum yang semula lebar menyusut dan perlahan menghilang.

"Dar, aku mau ngomong sesuatu," ucapnya berhasil mengambil fokus sang kekasih.

"Ngomong apa?" tanya Dara. Masih dengan senyumnya yang menenangkan.

"Ada yang mau aku tunjukin." Miko merogoh tas yang dibawanya, mengeluarkan selembar kertas. Dara mengerutkan keningnya merasa bingung. Kertas itu diletakkan di atas meja, di antara Dara dan Miko.

Pria itu mendongakkan pandangannya, menatap mata teduh milik kekasihnya kemudian berucap, "Aku mau nikah."

Dara diam, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut pria kesayangannya itu. Tangannya bergerak, menggapai kertas undangan di atas meja, membukanya, dan membaca setiap kata perlahan-lahan.

Daffa Kamiko dan Pricillia, nama yang tetulis di sana. Dara menggeleng, berusaha mengusir pikiran buruk yang entah datang dari mana.

"Jangan bercanda, Mi. Ini juga, Pricillia siapa?" kata perempuan itu. Tangannya meletakkan kembali kertas undangan di atas meja.

"Kamu mau nunjukkin sesuatu, kan? Apa?" Dara berusaha mengalihkan pembicaraan. Entah benar atau tidaknya yang dikatakan Miko, ia ingin berusaha tetap tenang.

"Oh iya, katanya kamu mau beli mobil baru, kapan?" Miko menggapai tangan perempuan pemilik senyum indah itu.

"Aku serius, Dar." Kata-kata yang keluar dari mulut Miko berhasil membuat Dara diam. Tidak ada kebohongan, Miko benar-benar serius dengan ucapannya sekarang.

Dara menggeleng kecil, matanya berkaca-kaca menatap pria yang menjadi sumber kebahagiaannya itu. "Bercandanya lucu deh."

"Dara, aku nggak bercanda, aku serius. Maaf, aku nggak bisa nolak keinginan Mama." Bulir air mata mulai turun membasahi pipi perempuan cantik di hadapannya.

Tangan Miko bergerak menghapus air mata Dara. Namun, perempuan itu menghindar, menghapus air matanya sendiri dengan kasar.

Jika benar apa yang dikatakan Miko, ia akan kehilangan cintanya. Prianya, sumber kebahagiaannya sebentar lagi akan menjadi milik wanita lain.

Suasana hati Dara dengan cepat berubah. Awalnya ia sangat bahagia bisa pergi berdua dengan kekasihnya. Namun, ternyata ada maksud lain di balik keinginan Miko mengajaknya pergi

"Enam tahun kita sia-sia, Mi?" Suara Dara bergetar. Air mata tak henti mengalir. Ia berharap apa yang dikatakan Miko semuanya bohong, ia ingin Daffa Kamiko tetap menjadi miliknya, menjadi salah satu alasan dirinya masih ada di sini.

"Aku minta maaf, Dar. Aku nggak bisa pertahanin hubungan kita. Aku cinta kamu, aku sayang kamu. Tapi keluarga aku nggak setuju." Miko menggenggam erat tangan Dara, seolah tak mau melepaskan perempuan itu.

Berat, sangat berat. Enam tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi mereka. Miko menyayangi Dara melebihi Dara menyayangi Miko. Namun, semesta tak memberikan mereka kesempatan untuk bersama.

Mereka, hanyalah dua anak manusia dengan raga yang lemah. Hanya cinta yang bisa menguatkan. Namun, cinta tidak bisa mempersatukan mereka.

"Lucu, Mi. Lucu." Dara terkekeh hambar. Mata sembapnya menjadi tanda rasa sakit yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

"Enam tahun aku, enam tahun kita terbuang sia-sia! Kamu nggak mau memperjuangkan aku? Kamu mau pasrah ngikutin mau Mama kamu? Kamu mau nikah sama perempuan selain aku?" Tangis Dara semakin keras terdengar. Beberapa pengunjung rumah makan menjadikan mereka sebagai bahan tontonan.

Sekali lagi Dara mengusap air matanya dengan kasar. Perempuan itu seolah tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitar. Fokusnya sekarang adalah membuktikan ucapan Miko hanyalah kebohongan. Tetapi lagi-lagi ia tidak bisa membuktikannya.

"Mana janji kamu ... janji kamu, yang katanya kamu nggak mau nikah kalau perempuannya bukan aku. Mana!" teriak Dara frustrasi.

"Kamu nggak tahu gimana aku memperjuangkan kamu! Aku mau, mau menempati janji aku ke kamu. Tapi nggak segampang itu, Dara ...." Keduanya sama-sama terluka.

Tidak ada yang bisa disalahkan, tidak ada yang bisa dimintai pertanggungjawaban atas rasa sakit yang mereka rasakan.

"Ikhlas ya, kamu bisa dapat laki-laki yang jauh lebih baik dari aku."

Mendengar ucapan Miko, Dara hanya terdiam. Semudah itu Miko meminta Dara mengikhlaskannya? Lalu, ke mana perginya waktu enam tahun yang mereka lewati bersama?

"Semudah itu?" tanya Dara lirih.

"Aku tahu, nggak mudah buat kamu lupain aku. Aku juga nggak mudah lupain kamu, Dar. Tapi nyatanya kita nggak bisa bersama."

Dara melepaskan tautan tangan mereka. Perempuan itu berdiri, menatap Miko yang juga ikut berdiri.

"Ok, kamu mau aku ikhlas, kan? Nggak bisa Miko, nggak bisa!"

Sekeras apapun suara tangisnya, tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain pasrah. Daffa Kamiko dan Dara Karina ditakdirkan tak bersama. Namun, takdir membawa mereka menuju pembelajaran hidup yang sangat berarti. Tentang mengikhlaskan, merelakan separuh jiwanya untuk dimiliki orang lain.

"Pelan-pelan, Dar. Aku yakin kamu bisa. Kamu bisa lupain aku, kamu bisa cari laki-laki lain. Terima kasih, enam tahun yang berharga," lirih Miko dengan setetes air mata yang akhisnya lolos juga.

"Enam tahun kita berakhir di sini?" cicit Dara. Ia tak kuat menahan rasa sesak di dada.

Miko mengangguk.

Respons itu Dara anggap sebagai final dari hubungan mereka. Di hari ini, di tempat ini, Daffa Kamiko dan Dara Karina bukan lagi sepasang kekasih.

Dara memilih pergi. Sesak di dadanya tak bisa ia bendung lagi. Rasanya sakit, sakit sekali.

~~~

Tok … tok … tok…. Suara ketukan pintu membuat perempuan yang fokus terduduk di depan laptop mengalihkan pandangannya. Hanundya Praseta, perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berdiri dari duduknya, berjalan mendekati pintu dan membukanya.

Dara Karina, berdiri dengan wajah lusuh dan mata sembapnya. Tubuhnya bergetar saat matanya menangkap Hanun membukakan pintu untuknya.

“Dara? Are you okay?” ucap Hanun.

Dara menggeleng. Perempuan itu maju beberapa langkah kemudian langsung memeluk sahabatnya.

“Hanun ….” lirih Dara masih dengan posisi memeluk Hanun.

“Masuk dulu yuk, cerita sama aku.” Perempuan berambut pendek itu menuntun Dara masuk ke dalam kamar kos nya.

Dara duduk di bibir kasur, masih dengan tangisannya yang belum reda. Keputusannya putus dengan Miko ia ceritakan kepada Hanun, satu-satunya sahabatnya, tempat ia berkeluh kesah, dan meminta pertolongan.

Hanun layaknya ibu bagi Dara. Sentuhan hangat di pundak selalu ia nantikan saat dirinya mulai bercerita. Seperti saat ini. Tangan perempuan itu tak henti mengelus punggung Dara yang bergetar, menenangkannya yang masih menangis.

"Tenang dulu, ya. Setelah ini kita cari solusi," ujar Hanun.

"Nggak bisa, Hanun ... nggak ada lagi solusi buat hubungan aku sama Miko. Kita selesai."

Hanun tak bisa berbuat banyak. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menenangkan Dara. Meski dirinya pun tak rela jika hubungan kedua anak manusia itu berakhir.

Menghabiskan puluhan menit untuk menangis ternyata melelahkan. Dara masih terduduk di bibir ranjang kamar kos Hanun. Tatapannya kosong, menerawang jauh ke masa-masa di mana ia dan Miko berharap akan terus bersama.

"Dara, jangan ngelamun," pringat Hanun berhasil membangunkan Dara dari lamunannya. Perempuan itu bergeming menatap Hanun yang datang membawa nampan berisi sepiring makanan dan segelas air minum.

"Makan dulu, aku pesan makanan tadi," kata perempuan itu.

"Makasih, Nun," ujar Dara.

Hanun mengangguk dengan tenang. Perempuan itu menyaksikan sahabatnya memakan makanan yang ia bawa dengan lahap.

"Dar, kamu ikhlas lepasin Miko buat nikah sama perempuan lain?" Dara membisu, beberapa saat ia diam. Pertanyaan Hanun bagaikan pisau yang kembali menyayat hatinya.

"Harus," jawab Dara singkat. Perempuan itu meletakkan piring makanan di atas meja. Selera makannya hilang.

"Nggak sayang?" tanya Hanun.

"Sayang, aku sayang sama Miko. Kamu tahu itu kan?" Mendengar jawaban Dara, Hanun terseyum tipis.

"Nggak sayang enam tahun yang kamu sama Miko lalui?" Pertanyaan kali ini tak mendapat respons dari perempuan itu.

"Enam tahun bukan waktu yang sebentar, Dara. Aku tahu kamu susah lepasin Miko. Dan, rasanya nggak adil kalau kamu kalah sama perempuan yang aku yakin belum lama dikenali Miko."

"Susah, Hanun. Saingan aku bukan perempuan itu, tapi orang tua Miko," jelas Dara.

Hanun memalingkan wajahnya. Menurutnya, sebagai saksi dari berjalannya hubungan dua orang itu, Dara tidak bisa pasrah begitu saja.

"Jangan pasrah, Dara! Semua akan berjalan normal kalau kamu nggak pasrah."

"Nggak ada yang bisa aku lakukan selain pasrah, Hanun! Kamu pikir aku nggak mau hubungan ini berlanjut? Aku mau!" Tangis Dara kembali terdengar. Air mata kembali membanjiri wajahnya. Kenapa dunia nggak berpihak ke aku? Aku ingin bahagia, Tuhan.

"Kamu tahu, kan, kalau impian aku itu nikah sama Miko. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sama Miko memang nggak berjodoh," ujar perempuan berkulit putih dengan mata berkaca-kaca.

Agaknya Hanun menyesal menanyakan hal yang seharusnya memang tidak usah dipertanyakan. Perempuan itu menggerutu dalam hati. Andai ia tak bertanya, suasana hati Dara pasti lebih baik.

"Jangan bahas itu lagi ya, Nun. Aku sama Miko sudah selesai." Kepalanya tertunduk lesu. Setetes air mata berhasil lolos, mengalir turun membasahi tangannya yang bergetar.

Hanun mengangguk, menggapai punggung tangan Dara. "Maaf ya. Kamu lanjut makan, aku tinggal ke belakang sebentar."

"Aku pulang saja, Nun. Makasih, maaf sudah berepotkan," ucap perempuan dengan rambut panjang sebahu sebelum beranjak pergi.

Punggungnya menghilang di balik pintu. Perempuan itu terus berjalan hingga kakinya menapaki aspal jalan raya. Tak ada niat untuk menghentikan taksi atau memesan ojek online. Orang-orang melihatnya dengan tatapan iba. Namun, yang ditatap tak peduli dengan sekitarnya.

Hari itu menjadi awal yang baru untuk Dara. Hidup tanpa notifikasi pesan selamat pagi dari Miko saat dirinya bangun dari tidur, tidak ada riwayat panggilan dengan durasi berjam-jam, dan tidak ada lagi kata semangat dari pria yang dicintainya itu.

Setiap harinya yang Dara lakukan hanyalah pergi bekerja, setelahnya pulang ke rumah dan berdiam diri di dalam kamar sampai fajar terbit keesokan harinya.

Tidak ada yang istimewa semenjak separuh jiwanya pergi. Tidak ada yang membuatnya kembali bersemangat. Bahkan, ia seolah tak mempunyai alasan lagi untuk hidup.

"Dara, mau pulang bareng?" tawar sekrang pria tampan dari kaca jendela mobilnya yang terbuka. Dara menggeleng, menolak dengan halus tawaran teman kantornya itu.

Hari ini, masih seperti biasa. Pulang ke rumah dan berdiam diri di kamar menjadi tujuannya. Namun, ada yang berbeda. Seharian ini pikirannya terus tertuju pada Miko. Bagaimana kabar pria itu? Setelah satu Minggu tak bertemu.

Dengan kesadaran penuh, Dara memutuskan menghampiri Miko ke rumahnya. Entah mendapat keberanian dari mana, mengingat statusnya dan Miko yang sekarang hanya sekedar 'mantan kekasih'. Namun, sayangnya keputusan itu menjadi yang paling disesali.

Saat kakinya menginjakkan kaki di pekarangan rumah mantan kekasihnya, Dara hanya terdiam menatap deretan mobil yang terparkir rapi di sana. Suara tawa terdengar dari dalam bangunan sederhana di depannya. Sepertinya, ini bukan waktu yang pas untuk berkunjung.

Tubuhnya berbalik, memilih untuk meninggalkan tempat itu segera.

"Dara!" Suara itu menggema, membuat pergerakannya terhenti sesaat.

Daffa Kamiko, pria dengan setelan kemeja berlari mendekati Dara. Langkahnya terhenti tepat di belakang punggung perempuan itu. Jantungnya berdetak kencang. Benarkah yang di depannya sekarang adalah pujaan hatinya, separuh jiwanya?

"Dara?" panggilnya sekali lagi, memastikan sosok berambut panjang didepannya benar-benar sang kekasih.

Dengan pergerakan pelan Dara memutar tubuhnya kembali. Kini, posisinya berhadapan dengan Miko.

"Hai," sapanya. Ujung bibirnya terangkat membentuk senyum yang indah. Namun, tidak selaras dengan setetes air mata yang seolah mengutarakan rasa sakit.

Hening mengudara, tidak ada yang bersuara. Angin berembus menerpa rambut panjang Dara. Perempuan itu menunduk, menghapus air matanya. Ia tak mau terlihat lemah di depan Miko.

"Kamu benar-benar nggak mau memperjuangkan aku, Mi?" Suaranya bergetar. Sampai saat ini Dara masih berpikir ucapan Miko tempo hari hanyalah kebohongan semata. Tetapi, hari ini membuktikan semua bukanlah omong kosong.

"Bukan begitu—"

"Mas, Mama nunggu loh di dalam, ayo masuk."

Cantik, satu kata yang terlintas di benak Dara saat melihat perempuan itu. Perempuan yang tiba-tiba datang, menggandeng tangan Miko mengajaknya masuk. Dia, Pricillia. Perempuan yang menjadi alasan karamnya hubungan Dara dan Miko.

"Sebentar." Miko mendorong tangan Pricillia menjauh. Pria itu melangkahkan kakinya semakin mendekat dengan Dara. Berbeda dengannya, sang pujaan hati justru meringsut mundur.

"Kita ... benar-benar selesai, ya?" Pupus sudah harapan Dara untuk kembali bersama. Ia pikir semuanya masih bisa dibicarakan baik-baik. Tetapi melihat keberadaan Pricilia di sini membuatnya sadar. Dia bukan siapa-siapa, tidak sepadan dengan perempuan cantik yang menjadi pilihan orang tua Miko.

"Dara ...."

"Kapan acara pernikahan kalian?" tanya Dara.

"Tiga minggu lagi, Mba," jawab Pricillia. Ia tersenyum hangat. Dara pikir, perempuan itu merasa menang karena Miko sebentar lagi akan menjadi miliknya.

"Selamat, aku usahakan datang. Permisi." Dara berbalik, berlari meninggalkan sepasang calon pengantin yang masih berdiri, memandanginya yang mulai menjauh termakan jarak pandang. Dengan rasa sakit yang hanya bisa diutarakan dengan tangis, Dara harap masih ada keajaiban yang dapat mempersatukannya dengan Miko.

~~~

Lantunan musik terdengar merdu. Di antara banyaknya manusia, Dara duduk sendiri di pojok ruangan dengan laptop dan segelas minuman dingin di atas meja. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, perempuan itu belum juga mau bernajak dari sana.

Suara notifikasi ponsel terdengar. Dara menoleh, mendapati benda pipih itu menyala.

"Dara, besok kamu datang, kan?" Pesan yang muncul di layar kunci membuat Dara mematung.

Ah, tiga minggu terasa singkat. Padahal, baru kemarin ia bertemu Miko dan Pricillia, baru kemarin juga ia menangisi Miko berhari-hari. Ternyata waktu cepat sekali berlalu.

Aku bingung, Miko. Antara mengikhlaskan dan memperjuangkan. Tetapi, kalau aku memperjuangkan kamu, apakah kamu akan melakukan hal yang sama?

Kepalanya menunduk dalam. Tak terhitung berapa banyak air mata yang digunakan Dara untuk menangisi hubungannya dengan Miko. Entah sudah berapa lama waktu yang ia gunakan untuk memutar ulang memori yang tersimpan di ingatan.

Sepertinya, melupakan kamu akan sangat sulit.

Dara mengambil ponselnya. Menghubungi Hanun adalah tujuannya. Ia mendekatkan ponsel ke telinga. Telepon tersambung, suara Hanun di seberang sana membuat Dara sedikit tenang.

"Nun, besok Miko nikah. Aku gimana? ...." lirih perempuan itu. Tangannya meremas ujung kemeja.

Dari balik telepon, Hanun memberikan nasihat terbaiknya. Sebagai teman, sebagai sahabat, dan sebagai satu-satunya orang yang menjadi tempat Dara berkeluh kesah.

Perempuan itu menawarkan diri untuk menamai Dara pergi ke acara perniakahan Miko esok hari. Dara tidak menjawab saat itu. Ia perlu menyiapkan mental untuk melihat pria yang dicintainya resmi menjadi milik orang lain.

Waktu terus berjalan. Mentari timbul, berdiri gagah menggantikan bulan yang berjaga semalaman. Perempuan cantik dengan balutan dres putih berdiri di depan rumahnya.

Dara menerima tawaran Hanun untuk datang bersama ke pernikahan Miko. Perempuan itu tampil dengan penampilan terbaiknya. Rambut yang tergerai indah dan polesan make-up tipis ikut mempercantik penampilannya hari ini.

Dari ujung jalan, Dara sudah bisa melihat Hanun dan motornya mendekat. Perempuan dengan ciri khas rambut pendeknya itu menghentikan kendarannya tepat di depan Dara. Ia melepas helm, meletakkannya di kaca spion kemudian bergerak turun.

"Nun, serius kita mau datang?" tanya Dara.

"Iya dong, kan semalam aku sudah bilang," jawab Hanun, "ayo, keburu telat."

"Nanti saja ya? Lebih baik setelah akad niakah selesai," ujar Dara.

"Dara ...."

"Aku nggak sanggup liat akad nikahnya, Nun. Aku merasa belum benar-benar mengikhlaskan Miko."

Sepasang tangan mendarat di kedua bahu Dara. Usapan lembut terasa menenangkan. Dara mendongakkan kepalanya, menghalau air mata turun dari kelopak matanya.

"Aku sudah bilang, kamu masih punya kesempatan." Hanun mendekatkan dirinya. Perempuan itu menangkup pipi Dara dengan kedua tangannya.

"Sebelum akad nikah dibalas sah, kamu masih punya kesempatan kembali bersama Miko," ujar perempuan itu.

Dara membantu. Mendengar perkataan Hanun membuatnya semakin enggan melepaskan Miko untuk Pricillia. Pikirannya berkelana, memutar kenangan indah yang dirinya dan Miko lalui bersama.

"Aku mau nikah," ujar Miko.

"Sama siapa?" tanya Dara.

"Sama kamu, tapi nanti." Pria tampan itu mengalihkan pandangannya menatap lurus ke depan.

"Kapan?"

"Nggak tahu kapan. Tapi aku maunya sama kamu."

"Nun, ayo datang ke sana!" Tekadnya kuat. Ia ingin merebut Miko-nya kembali.

Kendaraan roda dua membawa dua orang itu pergi. Dara mengemudikan motor Hanun dengan kecepatan tinggi. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktu. Rambutnya berkibar indah, matanya berbinar membayangkan dirinya dan Miko akan kembali bersama.

Tak sabar sampai di tempat tujuan, Dara menambah kecepatan. Hanun di belakang memejamkan matanya, berpegangan erat pada behel motor takut-takut Dara kehilangan kendali.

"Dara! Pelan-pelan!" peringat Hanun. Namun, tak mendapat jawaban dari si pengemudi.

Melewati jalan raya yang ramai. Dara bagaikan seorang profesional. Membelokkan stir ke kanan dan ke kiri, menyalip puluhan mobil yang terjebak kemacetan.

Aku harus sampai tepat waktu, sebelum akad nikah selesai.

"Dara!" Teriakan Hanun berhasil membuat Dara terbangun dari lamunannya. Perempuan itu tak sadar kendaraan yang dikendarainya memasuki jalur yang berlawanan.

Di depan sana, sebuah mobil truk besar membunyikan klaksonnya berkali-kali. Dengan cekatan ia belokkan stir ke kiri, menghindari kecelakaan dengan truk yang melaju kencang. Telat sedikit saja ia dan Hanun mungkin tidak akan selamat.

"Pelan-pelan saja, Dar!" teriak Hanun.

"Aku nggak mau kehilangan kesempatan, Hanun!" balas Dara tak kalah lantang.

Hanun memilih diam. Di dalam hatinya ia terus melafalkan doa, meminta keselamatan kepada Tuhan.

Sepanjang perjalanan keduanya saling diam. Dara fokus dengan kendaraan yang dibawanya sementara Hanun harap-harap cemas.

"Ya Tuhan ...." lirihnya sembari terus memejamkan mata.

Dara menghentikan motornya, tepat di depan tempat acara berlangsung. Perempuan itu begergas turun, berlari masuk ke dalam dan dengan lantang ia berseru, "Miko!"

Seluruh mata tertuju padanya, tak terkecuali dua mempelai yang tampak serasi. Napasnya memburu, peluh bercucuran menandakan bagaimana letihnya ia.

"Dara ...." Pria dengan tuxedo rapi berjalan mendekat. Perlahan tetapi pasti, ia berhasil sampai, berdiri di depan mantan kekasihnya dengan gagah.

"Miko, kita masih bisa balikan? Aku tersiksa hidup tanpa kamu. Kamu cinta aku, kan? Kamu sayang sama aku, kan? Miko, ayo sama-sama lagi ...." Dara menggapai kedua tangan pria yang dicintainya itu. Ia berharap dengan ini Miko mau berubah pikiran dan mau memperjuangkannya sekali lagi.

Bisik-bisik mulai terdengar. Ketegangan dengan cepat menyebar ke seluruh ruangan. Seluruh tamu undangan, keluarga, dan mempelai itu sendiri masih tak melepaskan pandangannya dari perempuan cantik di tengah ruangan.

"Miko, kembali ke tempat," pinta seorang wanita dengan balutan dres cantik.

"Ma!" Miko menoleh, menggeleng seolah berkata ia tak mau melanjutkan acara. Hatinya bimbang, antara kembali bersama Dara atau melanjutkan hidup bersama pilihan orang tuanya.

Mama Miko melangkahkan kakinya mendekati sang putra. Tangannya menarik lengan Miko, berusaha memisahkannya dari Data.

"Kamu jangan buat kekuarga kita malu!"

"Ma, aku ...." Miko terdiam. Matanya melirik ke arah dua perempuan yang salah satunya harus ia pilih.

Dara menarik ujung jas yang dikenakan Miko, ia berharap pria itu akan memilihnya, memperjuangkannya, dan kembali bersamanya. Dengan keadaan sadar Miko menarik tangan Dara, membawa perempuan itu ke dalam dekapannya kemudian berkata, "Aku cinta sama Dara, Ma. Mama nggak bisa paksa aku nikah sama Lia."

"Mama sudah pilihkan kamu perempuan terbaik! Perempuan yang pantas bersanding dengan kamu, Miko!" Wanita itu menggeleng, "kembali ke tempat, kamu harus menikah hari ini!"

"Aku nggak mau, Ma! Kalau aku harus menikah, itu dengan Dara, bukan Lia!" Pria itu tetap dengan keinginannya. Ia sudah cukup bodoh tak mempertahankan Dara. Sekarang, ia mempunyai kesempatan untuk bersama dengan perempuan itu lagi.

"Mas ...." Pricillia memanggil dengan lirih. Wajahnya dipenuhi dengan air mata.

"Maaf, Lia. Perniakahn ini aku batalkan," ujar pria bernama lengkap Daffa Kamiko.

Pricillia menangis, meraung enggan untuk membatalkan pernikahan ini. Perempuan itu sampai berani bersujud di kaki Miko meminta pria itu tak membatalkan pernikahan mereka. Namun, Miko masih tetap sama dengan pendiriannya. Ia tak mau hidup bersama, selamanya dengan perempuan yang tak ia cintai.

"Dara, kita pergi, ya?" ajak Miko. Melihat suasana yang kacau ia pikir pergi dari sini adalah pilihan yang baik. Tanpa mendengar persetujuan Dara, pria tampan itu menarik paksa tangan kekasihnya pergi. Ia bahkan tak memedulikan suara sang ibu memanggil-manggil namanya.

Tak punya tujuan yang pasti, keduanya terus berjalan hingga Dara merasa kelelahan. Mereka melimpir, duduk di tepi jalan dengan napas yang hampir habis.

"Acaranya gimana?" tanya perempuan itu.

"Itu urusan aku, yang terpenting sekarang aku sama kamu." Miko menyandarkan kepalanya di pundak Dara. Pria yang kini sudah melepas jas nya itu mengembuskan napas perlahan. Dirinya jauh lebih tenang sekarang.

"Aku tenang bisa sama-sama sama kamu lagi." Miko tersenyum, membuat perempuan cantik di sebelahnya ikut memgembangkan senyumnya.

Hari itu, sepasang kekasih menghabiskan waktunya. Pergi ke berbagai tempat menarik, mengobrol banyak hal, dan mengulang momen yang sempat mereka rasakan.

Hingga, tak terasa petang tiba menyambangi bumi. Matahari mulai tenggelam, menampakkan cahaya oranye di arah barat.

Dua anak manusia itu tertawa di bawah gelap malam. Cinta yang menguatkan mereka kembi hadir. Dara bahagia, begitu pun dengan Miko.

"Sudah malam, aku antar kamu pulang ya?" ujar pria yang penampilannya jauh dari kata rapi.

"Aku masih mau sama kamu. Mi, kita hampir satu bulan nggak ketemu. Kamu nggak kangen sama aku?" cecar Dara. Air mukanya berubah murung.

"Besok kita masih bisa ketemu lagi. Sudah semakin malam, aku antar pulang, ya?" Mendengar pertanyaan itu kembali terlontar, Dara mengangguk. Meski dengan perasaan terpaksa, ia tak bisa menolak. Toh benar apa yang dikatakan Miko, hari udah semakin malam.

Dengan menaiki taksi Miko mengantarkan Dara hingga perempuan itu pulang dengan selamat. Sebelum kendaraan roda empat itu benar-benar membawa kekasihnya pergi, Dara melambaikan tangan.

"Hari yang indah."

Malam itu Dara tertidur nyenyak. Ia mendapatkan kembali kebahagiaannya setelah pasrah dengan keadaan.

~~~

Sayup-sayup suara mulai terdengar. Dara membuka matanya perlahan. Sinar lampu menyorot tajam, membuatnya berkali-kali memejamkan matanya kembali.

"Dara, kamu sudah sadar?" suara dari ujung ruangan berhasil mengambil fokus perempuan yang kini terbaring di atas kasur.

Dara mengedarkan pandangannya. Di mana dia sekarang? Ruangan itu terasa asing baginya.

"Hanun," ucap perempuan itu saat matanya menangkap sosok Hanun berjalan mendekat ke arahnya.

"Iya, ini aku. Kamu baik-baik saja? Bagian mana yang sakit? Aku panggilnan dokter, sebentar!" Sosok Hanun perlahan menghilang dari pandangan. Pusing mendera, tubuhnya kaku. Dara seperti berada di tengah ombak lautan.

Aku ... aku di mana?

Hanun kembali dengan orang dokter. Wajahnya berbinar, perempuan itu menggenggam erat tangan Dara. Sementara sang empunya tangan masih terdiam, berusaha mencerna apa yang terjadi padanya.

Dokter dan Hanun mengobrol cukup intens, Dara tak bisa mendengar dengan jelas apa yang menjadi topik pembicaraan dua manusia itu. Setelahnya, Hanun kembali mendekat, sementara dokter pergi dari ruangan itu.

"Aku senang kamu sadar." Tangannya mendarat di atas kepala Dara, membelainya lembut.

"Miko mana?" Ingatannya perlahan kembali. Yang ia ingat, sebelum tertidur dirinya dan Miko menghabiskan waktu berdua seharian penuh.

Senyum di bibir Hanun luntur perlahan. Usapan lembut di kepala sudah tak terasa lagi.

"Kamu kenapa nyari Miko, Dara? Yang ada di sini aku." Hanun menggeram kesal. Perempuan itu melepaskan sentuhan tangannya, berjalan mundur dengan wajah memerah.

"Yang kecelakaan sama kamu itu aku, kenapa yang kamu cari Miko!" Di detik itu, Hanundya Praseta tidak bisa membendung amarahnya. Ia merasa tidak dihargai saat Dara dengan lantang menyebut nama Miko, mencari pria yang secara tak langsung menjadi penyebabnya dan Dara berada di sini.

"Kecelakaan? Maksud kamu?" Dara nampaknya masih belum menangkap apa yang terjadi.

"Hanun, aku kemarin jalan loh sama Miko. Kamu kan yang temanin aku, kamu juga lihat 'kan Miko sama Pricillia nggak jadi nikah? T-terus kenapa aku di sini?" ucapnya panjang lebar.

"Kita kecelakaan Dara, kamu sama aku bahkan belum sempat datang ke acara pernikahan Miko." Mendengar ucapan Hanun, jantung Dara serasa berhenti sejenak.

Perempuan itu melamun, berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum dirinya terbaring di sini.

"Dara!" Teriakan Hanun berhasil membuat kesadaran Dara kembali. Perempuan itu tak sadar kendaraan yang dikendarainya memasuki jalur yang berlawanan akibat melamun.

Mobil besar itu membunyikan klakson cukup kencang. Tin ... tin ... tin ....

Dara tak sempat membanting stir ke kiri. Kendaraan besar itu menambak motor yang dikendarainya. Tubuhnya terpental jauh, jatuh terseret aspal. Ia dan Hanun terkapar.

Darah tak henti mengalir dari pelipisnya. Seluruh tubuhnya remuk, matanya tak bisa menangkap wajah orang-orang yang mengerumuninya. Sayup-sayup tangis Hanun terdengar. Setelahnya, Dara benar-benar kehilangan kesadaran.

Kenyataannya, momen manis antara Dara dan Miko hari itu tidak benar-benar ada. Dara tertunduk, lagi-lagi air matanya menetes.

"Jadi aku cuma mimpi? A-aku nggak bisa jadi pacar Miko lagi?" Hanun mengangguk. Meski tak kuat melihat sahabatnya terpuruk, ia tetap harus memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Hanun, kamu bohong, kan! Aku cuma tidur semalaman! Aku yakin kamu bohong. Di mana Miko? Dia pasti di sini juga, kan?" Hanun kembali mendekat. Perempuan itu memeluk tubuh lemah sahabatnya.

"Kamu di sini bukan semalam, Dara. Tiga bulan. Tiga bulan aku temani kamu di sini, tiga bulan aku terus berdoa supaya kamu sadar. Perniakahan Miko sudah terlewat, jauh. Mulai sekarang pelan-pelan ikhlas, ya? Aku yakin Tuhan sudah mempersiapkan yang terbaik buat kamu."

"Dari dulu kamu selalu bilang begitu! Kenapa Tuhan enggan mempersatukan aku sama Miko! Kenapa? Aku sudah kehilangan Ayah sama Ibu, Nun ... aku kehilangan kasih sayang orang tua. Setelah aku dapat kasih sayang Miko, kenapa Miko justru jadi milik orang lain. Sekarang aku gimana? Aku sendirian, Hanun ...." Hati Hanun teriris mendengarnya. Ia dan Dara berteman lebih dair sepuluh tahun lamanya. Bahkan, sebelum hadirnya Miko di kehidupan perempuan itu. Dara bukan lagi sekedar teman atau sahabat. Ia menganggap Dara adalah adik kecilnya. Sosok gadis kecil yang perlu ia jaga.

"Dara, kamu masih punya aku. Anggap aku keluarga kamu." Hanun melepas pelukannya. Tangan halusnya menghapus air mata di pipi Dara.

"Takdir Tuhan nggak pernag salah. Kamu sama Miko masih bisa berteman. Hidup lebih baik, ya? Dengan ada atau nggak adanya Miko. Waktu kamu berharga, kamu jauh lebih berharga. Sedihnya jangan lama-lama," ucap Hanun. Dikecupnya kening Dara beberapa detik.

Perjalanan hidup yang berharga baru saja Dara lalui. Tentang mengikhlaskan, merelakan, dan hidup dengan lembaran baru tanpa bayang-bayang masa lalu. Kini, Dara sudah jauh lebih baik. Ia fokus memperbaiki diri, karier, dan mengejar mimpi yang sempat tertunda.

Air mata tak pernah lagi terlihat membasahi wajah cantiknya. Justru, senyum indah yang terus muncul.

Bertahun-tahun yang lalu hidupnya bergantung pada Miko. Sosok yang menurutnya adalah sumber kebahagiaannya. Namun, perlahan Dara menyadari bahwa dirinya tidak bisa menggantungkan hidup pada manusia. Hidupnya, adalah miliknya. Bahagianya tidak perlu dengan bantuan orang lain.

Hidupnya sudah jauh lenih baik.

Secangkir teh hangat di tangan kiri menemani pagi yang dingin. Matanya berpusat pada deretan kata di setiap lembar buku yang ia baca. Saking fokusnya, ia sampai tak menyadari seorang pria berdiri di belakang kursi yang didudukinya.

Kecupan di pipi berhasil membuat konsentrasinya buyar.

"Selamat pagi, Sayang," ucap pria itu. Tak tertinggal senyum jahil menghiasi wajahnya.

Tamat ....

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Found You
Kaa
Cerpen
Garis Takdir Semesta
LN Azizah
Skrip Film
PARALLEL of Arian and Diasrisa
citaaak
Skrip Film
SOULMATE
Cassandra Reina
Cerpen
Bronze
Sembunyi dibalikata Baik-baik Saja
Lilis Alfina Suryaningsih
Novel
Bronze
Jejak Perempuan yang Pergi pada Suatu Masa
Alfian N. Budiarto
Novel
MELEPAS BAYANG
Wardjito Soeharso
Novel
Rania & Renjana
katalinial
Novel
Pulsa Nyawa
Herumawan Prasetyo Adhie
Novel
The Journey of My Life | Dimension
Anisatul Wafiroh
Novel
Penata Hati
Fani Fujisaki
Novel
Lady Lavender and Lord Fire
Inzati Istaniyah
Novel
Gold
KKPK Yummy Donuts
Mizan Publishing
Novel
MOHM PATH : gadis kecil yang tidak bisa menangis
DENI WIJAYA
Novel
Bronze
Kattok Mencari Dalang
Gusty Ayu Puspagathy
Rekomendasi
Cerpen
Garis Takdir Semesta
LN Azizah