Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Sistem Divisi Doa katanya rusak. Mereka panik di sana," ucap seorang rekan kerjaku, Leo, tanpa mengalihkan pandangan dari monitor.
"Memang kenapa? Bumi jadi kacau?" tanyaku, suaraku datar. Aku tidak benar-benar peduli.
"Iya, sangat kacau. Sepertinya ada satu doa anomali yang menghambat saluran mereka."
Aku tidak bergeming. Bagiku, kekacauan di Bumi hanyalah suara bising di latar belakang. Tugas kami di Divisi Takdir hanyalah menuliskan nasib. Sebuah proses yang dingin, tanpa emosi, layaknya seorang juru tulis yang mencatat data. Di balik mejaku, puluhan layar berkedip menampilkan deretan takdir yang sudah kami tulis hari ini: seorang ilmuwan yang takdirnya berakhir dalam ledakan, seorang jenderal yang harus kalah dalam perang, atau seorang anak yang takdirnya menjadi yatim piatu.
Tak lama kemudian, sebuah notifikasi panggilan masuk muncul di monitor utama. Logo Divisi Doa berkedip-kedip, seolah-olah memohon. Ketua kami, yang duduk di ujung meja menghela napas panjang sebelum menjawabnya.
"Ada apa menghubungi kami?" tanya Ketua Takdir, suaranya sedingin es.
Di layar, seorang pria dengan mata cemas, yang aku kenali sebagai ketua tim Divisi Doa, langsung ke inti masalah. "Kami butuh persetujuanmu. Ada doa yang begitu kuat, merusak sistem kami. Doa itu tidak sesuai takdir, tapi juga sulit ditolak. Bisakah kita mengubah takdirnya?"
Suara yang penuh harapan itu terasa asing di ruangan kami yang hampa. Rekan-rekanku, termasuk Leo, menatap layar dengan ekspresi kosong.
"Apa maksudmu?" ujar Leo dengan nada tajam. "Kau tahu kita tidak boleh mengubah takdir secara asal-asalan!"
"Tapi doa ini merusak sistem kami!" balas anggota Divisi Doa lainnya, frustrasi.
Ketua kami tidak menanggapi. Ia berbalik, menatap kami satu per satu. "Bagaimana menurut kalian?"
"Bagaimana apanya? Sudah jelas kita tidak bisa membantunya," kata Leo.
"Apa kau mau divisi kita diberi hukuman oleh Pusat?" timpal rekanku yang lain, mempertegas aturan yang tidak boleh dilanggar.
Aku mengabaikan mereka. Jari-jariku bergerak lincah di atas tablet, mengetik nama yang disebutkan oleh Divisi Doa. Seketika, layar di depanku menampilkan seorang anak kecil. Wajahnya sangat sedih, dan kondisi rumahnya tampak berantakan.
"Apakah kita tidak bisa mengajukan revisi ke Pusat?" tanya Ketua, suaranya kini sedikit melunak.
Kami tahu itu adalah kalimat yang paling berbahaya di Divisi ini.
Kami menunggu dengan tegang saat Ketua kami berbicara dengan Pusat. Ada keheningan panjang yang mencekam, hanya diselingi suara klik dari tombol-tombol yang kami tekan. Akhirnya, Ketua kami kembali menatap layar Divisi Doa, ekspresinya lebih suram dari sebelumnya.
"Pusat setuju," katanya, suaranya pelan dan berat. "Takdir orang tua itu bisa diubah."
Kami melihat wajah-wajah di Divisi Doa menghela napas lega, tapi kami tahu itu terlalu cepat.
"Tapi ada konsekuensi," lanjut Ketua kami. "Pusat tidak akan mengubah takdir tanpa ganti rugi."
Aku menelan ludah, meski tidak merasakan apa-apa. "Ganti rugi apa?"
Ketua kami menunjuk layar, dan gambar anak kecil itu kembali muncul. "Jika orang tuanya tidak bercerai, anak itu yang akan menanggung konsekuensinya." Ia berhenti sejenak, suaranya hampir tak terdengar. "Konsekuensinya... sangat besar. Ini akan berkaitan dengan kesehatan anak itu."
Di layar, gambar si anak kecil terlihat semakin kabur, seperti energi harapan dalam dirinya sedang terkikis. Divisi Doa terdiam. Kami juga terdiam, tapi bukan karena terkejut, kami sudah tahu ini akan terjadi.
Suara dari layar Divisi Doa akhirnya berhenti. Kami terdiam dalam keheningan yang mencekam. Hanya suara klik dari sistem yang memproses takdir lain yang terdengar. Kami semua tahu, keputusan sudah dibuat.
Tiba-tiba, layar di depanku berkedip-kedip liar. Kode-kode yang tadinya stabil berubah menjadi garis-garis acak. Garis data kehidupan anak itu, yang sebelumnya normal, kini bergejolak seperti grafik gempa bumi.
Aku tidak bisa mengendalikannya. Aku mencoba menekan tombol REVERT, tapi sistem hanya menampilkan pesan error.
Kemudian, kode-kode itu perlahan stabil kembali. Tapi, aku tahu ada yang berbeda. Sebuah baris kode baru muncul di samping nama anak itu. Kode yang tidak pernah kami tulis. Kode itu mengindikasikan sebuah penyakit mematikan.
Aku melihat ke arah Ketua. Ia hanya bisa menghela napas berat, matanya tertuju pada layar yang memancarkan cahaya dingin.
Di balik keputusan yang telah dibuat, kami tahu Divisi Doa akan mencoba berbagai cara untuk menyelamatkan situasi. Tapi bagi kami di Divisi Takdir, semua upaya itu sia-sia. Kami sudah tahu bahwa sistem tidak pernah memungkinkan keajaiban tanpa harga. Penderitaan adalah mata uang satu-satunya yang diterima di sini.
Menjadi petugas Divisi Takdir tidaklah mudah. Setiap petugas di sini mengalami proses panjang yang membuat perasaan kami mati rasa.
Dulu, kami masih merasakan emosi. Aku ingat betul saat pertama kali menulis takdir seorang anak yang akan menjadi penari balet. Aku memberikan takdir itu dengan detail yang sempurna: keluarga yang mendukung, guru yang sabar, dan panggung yang megah. Tapi, takdir yang kubuat tidak diterima oleh Pusat. Layar di depanku berkedip, menampilkan revisi yang mengerikan. Kaki anak itu cedera parah dalam kecelakaan, membuatnya tidak bisa menari lagi. Aku merasakan perih yang sama seperti yang anak itu rasakan. Aku membenci Pusat, aku membenci pekerjaanku.
Tapi, setelah ribuan tahun dan jutaan takdir yang kami tulis, kami akhirnya mengerti. Pusat tidak peduli dengan takdir yang sempurna. Mereka hanya menerima takdir yang tidak sempurna, takdir yang penuh luka. Jika kami menuliskan takdir orang kaya, maka orang itu harus sakit. Jika kami menulis takdir orang sakit, maka orang itu harus kaya. Penderitaan adalah mata uang yang diterima di sini.
Seiring berjalannya waktu, kami berhenti melawan. Kami berhenti bertanya. Kami mulai beradaptasi. Kami menyusun takdir yang penuh luka, membuat takdir yang menyengsarakan, dan melihat takdir-takdir itu langsung disetujui oleh Pusat. Kami tertawa saat melihat grafik kehidupan yang melengkung tajam ke bawah. Kami menikmati setiap derita yang kami tulis, karena hanya itulah cara agar pekerjaan kami diterima. Perasaan yang kami miliki sudah mati rasa. Kami hanya bisa tersenyum ketika Pusat menerima takdir yang kami tulis.
Pusat tidak pernah menjelaskan mengapa mereka melakukannya. Kami hanya tahu, takdir yang menyakitkan adalah takdir yang sempurna bagi mereka. Dan kami, para penulis takdir, adalah alat yang mereka gunakan untuk mencapai kesempurnaan itu.
Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul di layar kami. Divisi Doa berhasil menyelesaikan krisis mereka. Sistem kembali normal. Doa anak itu telah dikabulkan, orang tuanya memutuskan untuk tidak bercerai.
Leo menatap notifikasi itu dan tersenyum tipis. "Mereka pikir mereka menang."
Aku membuka file takdir anak itu. Status berubah: orang tua bersatu kembali. Tapi tepat di bawahnya, sebuah baris baru telah muncul: leukemia stadium lanjut. Prognosis: enam bulan.
"Pusat selalu menyeimbangkan persamaan," kataku tanpa emosi. "Tidak ada keajaiban gratis."
"Total penderitaan harus tetap konstan," sahut Leo. "Atau bertambah."
Kami kembali bekerja, mengetik takdir-takdir baru dengan efisiensi mesin. Di suatu tempat di Bumi, seorang anak kecil sedang bahagia karena keluarganya utuh kembali. Dia tidak tahu bahwa kebahagiaan itu telah dibeli dengan nyawanya sendiri.
Tapi itu bukan masalah kami. Kami hanya menulis takdir. Apakah takdir itu adil atau tidak, bukan urusan kami.
Sistem berjalan dengan sempurna. Seperti biasa.