Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Gara-Gara Pak Camat
0
Suka
29
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ardi hampir saja menyabetkan arit yang masih dalam genggaman usai mencari rumput di dekat kuburan utara desa kearah bapaknya, saat bapaknya ngeyel ingin membangun taman bermain ala dufan ditanah wakaf desa yang digarap warga.

“Bapak ki mbok nek mutusne ki dipikir dhisik. Arep kanggo opo koyo ngono kuwi nang ndeso ki.”ucap Ardi dengan dengan nada bicara meninggi

“Nah iki kowe ki cah enom ora visioner kok le. Bapak ki kepengin desone awake dewe maju.”balas sang bapak dengan nada suara tak kalah tinggi

“Halah, maju opo. Mbelgedes.”Ardi akhirnya memilih pergi memberi makan sapi jantan miliknya dengan rumput yang baru saja dicari dari tanah perkuburan daripada harus berdebat dengan bapak yang tidak akan pernah mau mendengarnya.

Entah sejak kapan bapak menjadi orang yang ngeyel seperti ini. Padahal ketika menjadi ketua RT dua periode dikampung, bapak dikenal dengan sosok ramah, santun, agamis, dan bijaksana. Sedangkan kini saat terpilih menjadi lurah, Ardi kesal sebab bapaknya tak lagi berakhlak sama seperti saat menjadi ketua RT. Kekesalan Ardi bukan tanpa alasan sebab sebagai manusia yang masih memiliki perasaan, Ardi dapat merasakan kesedihan yang dirasakan oleh seorang pemuda usia 18 tahun yang baru ditinggal meninggal bapaknya satu bulan yang lalu duduk bersimpuh berlinang air mata diatas kubur sang bapak sebab dia tidak tahu harus mencari penghidupan dimana jika tanah desa yang digarapnya akan diambil alih dan berubah menjadi taman bermain ala dufan yang tidak ada manfaatnya bagi warga desa.

“Saya ndak tahu harus cari penghidupan dimana lagi mas kalau tanah itu diambil. Kalau saya merantau siapa yang akan jaga dan merawat ibu saya yang sudah tua. Kakak-kakak saya semua sudah menikah dan tinggal jauh, tinggal saya yang harus jaga ibu apalagi bapak juga sudah tidak ada, ndak ada yang nemenin ibu.”Ardi teringat percakapannya dengan pemuda 18 tahun itu saat sedang istirahat dibawah pohon duwet diarea perkuburan. Dengan air mata yang terus menetes pemuda itu meminta Ardi agar bisa membujuk bapaknya supaya tidak jadi membangun taman bermain ala dufan ditanah wakaf desa dan tetap mengizinkan warga menggarap tanah tersebut untuk mencari penghidupan.

Secangkir teh manis hangat dihidangkan Ardi diatas meja, sosok diseberang meja  menyibakkan koran yang sedari tadi menutupi wajahnya.

Dengan seringai senyum. “Tumben kamu, tidak kamu racunkan. Bapak minum. Aaaah... terimakasih.”seteguk air teh manis berhasil membasahi tenggorokannya yang kering, kemudian sosok itu kembali menutupi wajahnya dengan koran, sementara Ardi menatap serius sosok yang ada didepannya itu sambil menyeruput kopi ditangan.

Lima menit berlalu tanpa percakapan. Ardi masih tidak mengalihkan pandangan dari sosok didepannya, sementara yang dipandang tidak peduli jika Ardi masih duduk disana. Terdengar suara adzan berkumandang dari masjid yang berjarak sekitar 50 meter saja dari rumah Ardi. Bapak baru akan beranjak dari duduknya saat deru mobil terdengar berhenti didepan rumah.

“Assalamu’alaikum..”

“Wa’alaikumussalam..”jawab bapak dengan sumringah menyambut tamu yang baru saja datang. Setelah berjabat tangan dan berpelukan bapak mengajak tamu tersebut pergi kemasjid untuk sholat maghrib berjamaah terlebih dahulu. Ardi heran kok ada tamu tidak tahu diri bertamu disaat waktu maghrib datang, seperti setan yang senang keluar diwaktu maghrib saja. Tamu bapak berjumlah lima orang, Ardi tidak mengenal semuanya hanya tiga orang yang dia tahu. Pertama, sosok tinggi kurus dengan jidat lebar banyak kerutan diwajah mengenakan kemeja putih panjang dilipat beberapa senti dibawah siku beserta celana hitam bahan, dia adalah Pak Camat. Kedua, dua orang berbadan kekar dengan kaos ketat membentuk payudara dan dada yang bidang, mereka adalah Togog dan Prapto ajudan Pak Camat. Dan ketiga adalah dua orang berkemeja putih, berdasi, bercelana jeans hitam dan bersepatu mengkilap, kalau yang ini Ardi tidak tahu.

Usai sholat maghrib di masjid bapak mengajak tamu tersebut bercengkrama diruang tamu, terdengar samar-samar obrolan bapak dengan tamu tersebut diselingi dengan tawa yang timbul sesekali. Dari ibu Ardi tahu, memang sedari tadi bapak menunggu kedatangan tamu tersebut dan menyuruh ibu untuk masak yang spesial ada ayam goreng, sop daging sapi, sambal goreng kentang, tahu, tempe, lengkap pokoknya.

Karena ingin tahu dengan pembicaraan mereka, Ardi pun menempelkan kupingnya ke papan yang menyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga sambil jongkok. Ibu yang melihat Ardi melakukan itu hanya cuek saja, dan memilih untuk melanjutkan aktivitas memasaknya.

“Bu. Ibu.”Ardi yang mendengar suara bapak memanggil ibu terperanjat dan cepat mengambil posisi sembunyi dibawah kolong meja agar bapak tidak tahu kalau dia sedari tadi menguping pembicaraan bapak dan tamunya.

“Iya pak ?”jawab ibu saat bapak menyamperi ibu didapur

“Tolong makanannya dikeluarkan, biar Pak Camat dan yang lain makan.”ucap bapak memberi perintah. Ibu mengangguk sambil tersenyum.

“Bantu ibumu mengeluarkan makanan untuk tamu bapak itu Di.”ucap bapak saat berpapasan dengan Ardi yang sengaja menyusul kedapur. Ardi hanya diam dan membiarkan bapaknya berlalu.

Dari obrolan yang Ardi dengar ternyata Pak Camat datang bertamu dengan maksud dan tujuan ingin meminta bapaknya Ardi untuk mempercepat rencana pembangunan taman bermain ala dufan ditanah wakaf desa yang terletak ditimur desa. Selain itu pak camat juga mengompori bapak agar tidak perlu ragu dengan keputusannya membangun taman bermain ala dufan walaupun banyak warga desa yang menolak. “Anda tidak perlu takut pak, sebagai pemimpin kita harus berani mengambil keputusan walaupun banyak yang tidak setuju. Kita harus punya pandangan kedepan, jika ada taman bermain didesa ini pasti desa akan ramai, matapencaharian warga bisa beragam yang tadinya hanya menggarap sawah nanti mereka juga bisa berdagang disana, ekonomi warga akan membaik. Dan anda sebagai lurah akan mencatatkan sejarah sebagai lurah pertama yang berjasa membangkitkan ekonomi warga desa. Nama anda akan dikenang.”begitu kira-kira ucapan Pak Camat yang Ardi ingat.

Pak Camat, sosok tinggi kurus dengan banyak kerutan diwajah itu ternyata pikirannya sangat picik. Saat dilihat dari penampilannya Ardi pikir orangtua itu tidak akan banyak berulah, selama lima tahun menjabat, Pak Camat telah berhasil membangun citra sebagai sosok yang rendah hati dan mementingkan kesejahteraan warga. Namun dilima tahun kedua masa jabatannya, dia mulai berulah dengan kebijakan yang aneh. Kebijakan aneh tersebut adalah penebangan pohon dihutan utara desa dengan tujuan pembebasan lahan katanya untuk dijadikan kolam perikanan bagi warga, padahal tujuannya adalah mengambil pohon untuk dijual ke pengusaha kroninya itu. Terakhir yang Ardi ketahui, Pak Camat telah berhasil membangun sebuah apartemen setinggi limabelas lantai diatas lahan yang biasa digunakan oleh warga sebagai pasar. Ada lebih dari limapuluh pedagang yang berjualan disana, banyak pula warga yang menggantungkan hidupnya dari sana seperti berbelanja, menjadi kuli panggul, tukang bersih-bersih, penjaga toilet dan lain-lain. Saat didemo didepan kantor camat, Pak Camat hanya mengutus bawahannya untuk menyampaikan kewarga bahwa nanti akan disediakan lahan baru untuk pasar, namun sampai sekarang janji itu tak kunjung dipenuhi. Warga harus rela pergi jauh kekota untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga, atau mengandalkan tukang sayur keliling yang biasa melewati desa. Sungguh kebijakan yang gila, pasar yang awalnya sangat bermanfaat untuk warga, malah berubah menjadi apartemen yang digunakan oleh Pak Camat untuk mencari keuntungan bersama dengan kroninya saja.

Saat menata makanan diatas meja didepan tamu, Ardi melihat salah seorang tamu yang berdasi meraih sebuah tas hitam berisi tumpukan uang dan menyodorkannya ke bapak. “Silahkan, ini bisa bapak gunakan untuk membuat taman bermain ala dufan itu didesa ini.”ucap orang tersebut dan diterima bapak dengan ucapan terimakasih. Ardi menyaksikan itu langsung didepan matanya, rahangnya mengeras, tangannya mengepal, kemarahan rasanya ingin ia luapkan namun ditahannya. Ardi kemudian masuk kedalam kamar, ia ingat siang tadi sempat membeli racun tikus diwarung. “Daripada aku bunuh tikus beneran, lebih baik aku bunuh saja tikus berdasi itu.”ucap Ardi lirih sambil menggenggam racun tikus yang akan dia masukkan kedalam minuman yang disuguhkan untuk tamu-tamu itu.

“Wedhus, asuu, woii koruptor keluar kau.”ada sekitar tiga puluhan warga desa mendatangi rumah Ardi. Bawaannya pun beragam ada yang bawa arit, golok, pentungan, bahkan pisau dapur.

“Keluar kau Camat gila.”terdengar suara keras warga menantang Pak Camat. Ardi memutuskan keluar kamar dan melihat apa yang sebenarnya terjadi di depan rumahnya.

Togog dan Prapto siap pasang badan melindungi Pak Camat. Pak Camat, bapak, dan dua orang berdasi itu berdiri dibelakang Togog dan Prapto menemui warga. Walaupun berbadan besar dan terkenal jago bela diri Ardi merasa ragu Togog dan Prapto akan menang melawan warga yang banyak ini apalagi kalau warga sudah kalut.

“Woii Camat ndladuk, berani-beraninya anda datang kesini. Kami tidak takut dengan anda, anda cari mati disini. Anda pikir anda bisa merubah tanah yang kami garap itu menjadi taman bermain yang ga ada gunanya, sama seperti apartemenmu yang juga tidak berguna itu.”rutuk bapak-bapak berbadan tinggi besar, berkulit hitam dan berkepala plontos kepada Pak Camat. Raut kemarahan tergambar jelas diwajahnya, di tangan kanannya tergenggam sebilah pisau dapur yang siap dihunus entah kepada siapa.

Togog dan Prapto mendaratkan pukulan keras kearah wajah bapak kepala plontos itu yang mengakibatkan warga murka dan menyerang Togog dan Prapto. Sementara warga menyerang Togog dan Prapto, bapak kepala plontos itu berjalan kearah Pak Camat dengan tatapan penuh kemarahan. Pak camat mundur perlahan dan berniat untuk melarikan diri, namun bapak kepala plontos berhasil meraih bajunya dan menghunuskan sebilah pisau dapur yang digenggamnya keperut Pak Camat yang seketika itu tergeletak berlumuran darah. “Anda harus membayar kematian istriku.”bapak kepala plontos itu berbisik lirih ditelinga pak camat yang masih memiliki kesadaran.

Setelah menusuk Pak Camat, bapak kepala plontos itu menatap tajam kearah bapak dan dua orang berdasi yang berdiri dibelakang bapak. Ardi dapat melihat dada bapak naik turun menahan takut, Ardi juga takut jika tiba-tiba pisau itu juga dihunuskan pada bapak, sementara ibu memeluk erat lengan Ardi dengan menangis tersedu khawatir kalau suaminya bernasib sama dengan Pak Camat. Namun saat saling berhadapan bapak kepala plontos itu menghentikan langkahnya. “Anda orang baik pak Ramli, jangan pernah anda menodai kebaikan anda dengan menjadi kroni dari koruptor macam camat sialan itu. Dan anda bapak berdua setelah ini tinggalkan daerah ini, atau anda berdua pulang tinggal nama.”ucap bapak kepala plontos itu sambil menunjukkan tangan kearah pak camat yang sudah tidak bergerak.

Sepersekian detik tatapan bapak kepala plontos beralih kepada Ardi dan ibunya yang berdiri mematung didekat kursi ruang tamu. “Mas Ardi terimaksih sudah menyelamatkan anak saya.”ucap bapak kepala plontos pada Ardi sebelum akhirnya dia pergi diikuti oleh rombongan warga yang sudah berhasil merobohkan Togog dan Prapto.

Ardi terdiam, dia ingat satu tahun yang lalu dengan tergopoh dia menggendong seorang anak laki-laki usia lima tahun kerumah sakit. Anak laki-laki itu dibonceng oleh ibunya pulang dari pasar, namun sayang sepeda yang mereka tumpangi ditabrak oleh sebuah mobil Panther warna hitam dari arah berlawanan, mobil itu terus melaju dengan kecepatan tinggi padahal sudah diteriaki oleh warga. Ardi menyaksikan kejadian itu langsung saat dia hendak pergi bekerja, ibu dan anak itu terpental keluar dari jalan, kepala sang ibu terbentur pohon dipinggir jalan dengan keras. Seketika Ardi menghentikan motornya, mengecek kondisi sang ibu, denyut nadinya sudah tidak ada, sementara sang anak terus menangis keras dipinggir jalan. Ardi meminta warga lain untuk menghubungi keluarga dan membawa jasad sang ibu kerumahnya, sementara Ardi akan membawa sang anak kerumah sakit.

Kejadian satu tahun yang lalu masih diingat jelas oleh Ardi. Kini dihadapannya, ternyata sang suami menuntut balas atas kematian istrinya dari sikap pengecut Pak Camat yang tidak mau bertanggungjawab atas kesalahannya. Berminggu-minggu sang suami mencari tahu siapa orang yang telah merenggut istrinya, akhirnya dia mengetahui bahwa mobil Panther hitam itu milik pak camat yang baru pulang dari hotel dalam kondisi masih mengantuk, tidak ada orang lain didalam mobil tersebut. Hanya Pak Camat, Togog dan Prapto pun tidak turut serta.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Fool's Gold
Syafa Amelia
Novel
Portal-Portal Menuju Patah
Firdhaniaty Rachmania
Cerpen
Gara-Gara Pak Camat
W.Setyowati
Novel
Gold
KKPK Yummy Donuts
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Elang yang Terbang
Marniati
Flash
Bronze
Girl Talk
Silvarani
Flash
SHIKI -Halaman Pertama-
Kosong/Satu
Novel
Bronze
Never Same
Sabelia
Flash
Bronze
Kedai Masa Lalu
Afri Meldam
Novel
Panah Rasa
Nida Rafa Ar
Novel
Sejak 1965
Seto Yuma
Novel
Gold
PCPK Dream Catcher
Noura Publishing
Cerpen
Doa Diujung Waktu
W.Setyowati
Flash
TAK BERANI BICARA
Almasarym
Novel
Pada Serimbun Pohon
Aozora Rosyidi
Rekomendasi
Cerpen
Gara-Gara Pak Camat
W.Setyowati
Cerpen
Doa Diujung Waktu
W.Setyowati