Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Gandrung dalam diam
1
Suka
242
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Gandrung dalam Diam

Setiap petang, Raneka menjemput Gandrung perasaannya yang agung, rasa rindu yang tak terperi. Seperti mantera yang tak pernah usai, ia mengulanginya di bawah langit jingga yang perlahan beranjak gelap. Cumbana, sungai kecil yang meliuk di antara ladang dan pepohonan tua, menjadi saksi bisu dari langkah-langkahnya yang pelan namun pasti. Di tepiannya, tempat di mana rerumputan tumbuh dengan liar dan angin bertiup membawa harum tanah basah, Raneka duduk menyatu dengan semesta.

Bentala, bumi tempat ia berpijak, seolah mendengarkan. Ranting yang patah, gemerisik daun, desah angin semuanya seperti menyahut lirih kepada gumam hatinya. Jasadnya ringan, seakan ia telah meninggalkan tubuh fana dan hanya menyisakan jiwa yang melayang tinggi, membentuk bayangan kebebasan di langit senja. 

Ia tidak menangis. Ia tidak tertawa. Namun hatinya berbicara dalam diam. Raneka merdesa dalam sepian, merdeka dari penjara pikiran yang selama ini mengikat rasa dan dendam. Ia telah melewati malam-malam yang panjang, di mana Gandrung menjelma bayang yang tak bisa ia sentuh, namun selalu hadir, menyergap di antara tidur dan sadar. 

Ada kelegaan dalam kesunyian itu, namun juga gundah. Sebab Gandrung adalah pengharapan, dan pengharapan adalah candu yang getir. Ia takut pada dirinya sendiri takut pada keinginan yang terlalu besar, takut pada khayal yang terlalu megah. Ia mencintai seseorang yang bahkan belum tentu menyadari kehadirannya.

Anak-anak kampung sering melihat Raneka duduk termenung di tepi Cumbana. Bagi mereka, perempuan muda itu bak bidadari malam. Mereka berkata, ia mungkin tersesat dari kerajaan nirwana, turun ke bumi demi mencari cinta yang hilang. Nama 'Putri Lembayung' kemudian melekat padanya. Lembayung itu indah, namun juga sedih. Dan Raneka ia membawa keduanya. Kadang, para tetua bertanya-tanya. Mengapa seorang perempuan secantik itu tidak menikah? Mengapa ia menghindar dari lamaran demi lamaran, menutup diri dari segala kemungkinan yang membahagiakan? 

Mereka tak tahu, Raneka tidak butuh tubuh lain untuk menemaninya. Ia sudah cukup ditemani bayangan, kenangan, dan harapan. Ia mencintai lelaki yang pernah datang sekali, lalu hilang. Seorang pengelana, seniman yang datang dari seberang laut membawa lukisan, gitar, dan puisi. Lelaki itu tinggal di kampung mereka selama satu musim, lalu pergi, seperti angin yang tidak bisa digenggam.

Namanya Danu. Rambutnya keriting dan matanya gelap seperti malam yang dalam. Ia sering bernyanyi di bawah pohon kelapa, suaranya serak namun penuh makna. Danu berbeda. Ia tidak bertanya soal siapa keluarga Raneka, tidak bicara tentang adat atau jodoh. Ia bicara tentang bintang-bintang, tentang daun yang jatuh dan laut yang memanggil.

Raneka jatuh cinta padanya, dalam diam. Ia menyimpan semuanya di dalam dada. Danu tidak pernah tahu bahwa ada seorang gadis yang setiap malam mencuri pandang dari balik jendela, mendengarkan nyanyian-nyanyiannya dan merekamnya di dalam jiwa. Danu pergi sebelum sempat tahu. Sebelum sempat melihat betapa dalam cinta yang Raneka simpan.

Setelah kepergian Danu, hidup Raneka berubah. Ia tidak lagi sama. Senyumnya tidak hilang, tapi menjadi semacam senyum yang lain senyum yang menyimpan rahasia. Ia bekerja seperti biasa, menenun kain dan membantu ibunya di kebun, namun jiwanya selalu berjalan ke tempat yang jauh. Ke tempat di mana Gandrung bersemayam.

Raneka menulis surat-surat yang tidak pernah dikirimkan. Ia menyimpannya di dalam kotak kayu tua di bawah tempat tidurnya. Surat-surat itu penuh dengan puisi, cerita, dan rindu yang tak pernah selesai. Ia menulis untuk Danu, untuk dirinya sendiri, dan untuk Gandrung yang tumbuh seperti pohon dalam hatinya subur, meski tidak pernah berbuah.

Musim demi musim berlalu. Teman-teman sebayanya telah menikah, memiliki anak, dan menjalani hidup yang biasa. Raneka tetap di sana, di tepi Cumbana, ditemani senja dan bayangan masa lalu. Ia tidak menyesali apa pun. Baginya, mencintai dalam diam adalah bentuk tertinggi dari pengabdian.

Sampai suatu hari, angin membawa kabar.

Ada sebuah lukisan yang dipamerkan di kota. Lukisan tentang seorang perempuan duduk di tepi sungai, dikelilingi lembayung, dengan mata yang memandang ke kejauhan. Lukisan itu berjudul "Gandrung dalam Diam."

Raneka tidak pernah tahu bagaimana Danu bisa melukis dirinya. Tapi ia tahu, ia tidak sendiri dalam kenangan. Bahwa diamnya ternyata bersuara, meski dalam cara yang tak biasa.

Di malam itu, Raneka menangis untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Tapi itu bukan tangis sedih. Itu adalah tangis bahagia. Sebab Gandrungnya telah menemukan ruang dalam kanvas, dalam warna, dan dalam nama.

Ia tetap tidak berniat pergi ke kota. Ia tidak ingin bertemu Danu, tidak ingin mengusik takdir. Ia cukup tahu bahwa cintanya hidup, meski dalam bentuk yang lain. Dalam sunyi, dalam seni, dalam sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

Dan di petang berikutnya, seperti biasa, ia menjemput Gandrung. Duduk di tepi Cumbana, menatap lembayung yang pelan-pelan meluruhkan hari. Ia tersenyum. Dalam hatinya, cinta terus tumbuh, diam-diam, tanpa pamrih.

Raneka tetap 'Putri Lembayung', penjaga rasa yang tidak meminta apa-apa, kecuali keberadaan itu sendiri. Namun, ketika Raneka kembali ke tepian Cumbana, ia mendapati sesuatu yang asing: sehelai kertas yang terselip di antara rerumputan, nyaris tersamarkan oleh embun senja. Kertas itu tampak usang, namun tinta di atasnya masih jelas terbaca.

“Untuk perempuan bermata senja, Yang kukenal hanya dari ketenangan angin dan desir rerumputan. Aku kembali mencari suara yang pernah kudengar, meski tak kuingat dari mana ia berasal. Aku hanya tahu, ada sesuatu yang tertinggal di sini, di antara aliran sungai dan wangi tanah basah.”

Tangan Raneka gemetar. Ia menatap huruf demi huruf seolah takut huruf-huruf itu akan kabur bersama angin. Ia memeluk kertas itu, bukan sebagai benda, tapi sebagai nyawa yang telah lama ia nanti. Hatinya berdegup, dan untuk pertama kalinya setelah sekian musim, Raneka merasa bahwa dunia tidak lagi diam. Semesta, rupanya, masih mencatat doa-doa yang ia bisikkan selama ini.

Hari-hari berikutnya, Raneka mendapati secarik kertas lain. Terkadang terselip di celah batu, atau digantung halus di dahan pohon rendah. Tulisan-tulisan itu puitis, namun semakin hari terasa makin personal.

“Raneka, Nama itu muncul dalam mimpiku, seperti kabut yang pelan-pelan menjelma bentuk.

Aku tak tahu kenapa aku terus kembali ke sini. Mungkin, jawaban dari seluruh perjalananku ada di tempat ini atau mungkin, pada seseorang yang pernah diam bersamaku dalam senja.”

Ia tahu itu Danu. Ia tahu hanya Danu yang bisa menulis dengan luka yang begitu lembut, dengan rindu yang begitu nyaring dalam sunyi. Tapi mengapa ia tak muncul? Mengapa hanya bayangannya yang datang dan pergi lewat surat?

Raneka mulai mencari. Bukan dengan langkah tergesa atau suara nyaring. Ia mencari dengan mata yang tenang dan telinga yang mendengar getar tanah. Ia menelusuri jejak di sekitar Cumbana, mendengar cerita dari anak-anak kampung tentang seorang lelaki asing yang kadang terlihat di ladang jauh, atau di kebun cengkeh yang ditinggalkan.

Namun lelaki itu selalu pergi sebelum siapa pun sempat bertanya.

Sampai suatu hari, senja membawa kejutan lain.

Raneka sedang duduk, seperti biasa, saat ia mendengar suara petikan gitar rapuh, namun akrab. Lagu itu tidak ia kenali, namun nadanya terasa seperti sesuatu yang pernah ia impikan. Ia menoleh.

Danu berdiri di seberang sungai.

Ia tampak lebih tua, lebih kurus, namun matanya masih menyimpan langit malam yang sama. Rambutnya kini sedikit memutih di ujung, namun suaranya masih serak dan sarat cerita. Mereka tidak berkata apa-apa untuk waktu yang lama. Hanya memandang. Seperti dua semesta yang akhirnya menyadari bahwa mereka berasal dari denting waktu yang sama. Danu akhirnya duduk. Menyeberangi sungai kecil dengan hati-hati, lalu duduk di samping Raneka tanpa menyentuh, tanpa memaksa.

"Aku tidak pernah tahu," katanya pelan, "bahwa ada seseorang yang mencintaiku sedalam itu. Sampai aku melukismu, dan rasa itu keluar dari ujung kuasku seperti rahasia yang terbuka dengan sendirinya."

Raneka tidak menjawab. Ia hanya menatap cakrawala. Hari itu, langit lembayung terasa lebih dalam. Angin lebih lambat, seperti memberi ruang bagi waktu untuk berhenti sejenak.

"Aku mencari jejakku sendiri," lanjut Danu. "Dan ternyata, jejakku tersimpan dalam kenanganmu."

Raneka akhirnya menoleh. "Aku tak ingin kau datang untuk menebus sesuatu. Aku mencintaimu tanpa syarat. Sejak dulu."

Danu mengangguk. "Aku tahu. Dan itu sebabnya aku kembali. Bukan untuk memiliki, tapi untuk hadir. Untuk membalas diam dengan diam, rindu dengan rindu."

Hari-hari setelahnya menjadi babak baru dalam hidup Raneka. Ia dan Danu tidak menjadi sepasang kekasih seperti dalam cerita-cerita rakyat yang berakhir di pelaminan. Mereka tidak menikah. Tapi mereka bersama.

Danu membangun sebuah gubuk kecil di dekat Cumbana, di balik belukar tempat cahaya senja jatuh paling indah. Ia melukis, menulis, dan memainkan musik, sementara Raneka tetap menenun dan menulis surat kali ini untuk dibaca, bukan untuk disimpan. Mereka hidup berdampingan, masing-masing dengan ruangnya sendiri, namun saling menyadari keberadaan yang lain. Tidak ada kata 'harus' atau 'milik', hanya 'ada'.

Raneka menjadi inspirasi bagi banyak karya Danu. Pameran-pameran berikutnya dipenuhi dengan sosok perempuan yang duduk dalam senja, dengan mata yang menyimpan ribuan kata. Namun setiap lukisan hanya diberi judul satu kata: Raneka. 

Kabar mereka menyebar, namun mereka tidak peduli. Dunia boleh bicara apa saja. Yang mereka tahu, cinta tidak selalu harus dimiliki dengan tangan. Kadang, cukup dengan duduk bersama dalam diam, dan membiarkan jiwa saling berbicara.

Waktu berjalan. Tahun-tahun berlalu.

Raneka kini beruban, namun matanya tetap menyimpan cahaya lembayung yang sama. Danu semakin jarang melukis, namun musiknya menjadi lebih dalam. Mereka tidak takut pada usia, sebab cinta mereka tidak tumbuh di tubuh melainkan di jiwa.

Suatu malam yang tenang, saat hujan turun perlahan dan Cumbana mengalir dengan suara syahdu, Danu tertidur di samping jendela gubuk kecilnya. Di tangannya masih tergenggam surat dari Raneka, yang berisi hanya satu kalimat:

“Jika suatu saat kau pergi lebih dulu, jangan khawatir. Aku akan tetap menjemput Gandrung, seperti biasa.”

Danu tidak bangun lagi keesokan harinya.

Raneka tidak menangis. Ia hanya menatap langit, lalu menutup jendela perlahan. Di esoknya, ia kembali ke tepian Cumbana. Duduk seperti biasa. Menatap senja. Tapi kini, senja itu menyimpan dua jiwa. Dua bayangan. Dua rindu.

Orang-orang bilang, ada aura berbeda di tempat itu kini. Kadang mereka melihat siluet dua orang di bawah pohon, meski tidak ada siapa-siapa di sana. Kadang, dari kejauhan, terdengar petikan gitar samar-samar di antara desir angin dan gemerisik daun. Anak-anak yang baru tumbuh masih menyebut Raneka sebagai Putri Lembayung. Namun mereka kini menambahkan satu nama lain di belakangnya: dan Pengelana Cinta.

Karena cinta, mereka percaya, bukan soal memiliki.

Cinta adalah kesediaan untuk duduk dalam diam, menunggu, dan tetap setia pada rasa meski tak pernah tahu apakah rasa itu akan kembali. Cinta adalah Gandrung yang tidak perlu dijelaskan, hanya cukup dirasakan.

Dan Raneka? Ia tetap menjemput Gandrung setiap petang, tak lagi sendiri, karena kini cintanya benar-benar tinggal bersamanya. Dalam udara, dalam tanah, dalam senja yang tak pernah padam.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Gamalischa
Andika Iksafa Sania
Cerpen
Gandrung dalam diam
widia
Novel
Tahu Isi Hati
irha yuayank
Flash
I'm a mother
lidia afrianti
Novel
Gold
My Ice Girl
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
ACCEDO
Angela L Maharani
Novel
Forefer With You
Tya Aurellia
Novel
Bronze
Kita yang Dipaksa Mati Berkali-kali
Adel Yuhendra
Novel
Dipuja Setan
Ju Khoyul
Novel
Past Infinity
Enya Rahman
Skrip Film
T(EAR)IMISSU
Atsuka D
Novel
Bronze
PERIH PALING BENING
Marsiti
Novel
Keajaiban di sekolah
fabian
Novel
Bronze
ENDLESS LOVE
Rex Delmora
Novel
Bronze
Andini
AndikaP
Rekomendasi
Cerpen
Gandrung dalam diam
widia