Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore itu mendung. Tersaji lembayung sendu seperti langit akan menitikkan tirta kepedihan, sementara angin dari segala arah berkejaran penuh riang, dan siapa pun yang melihat Gani penuh keringat akan mengira dia habis berada dalam naungan terik matahari di pukul dua belas. Oh, bisa jadi habis membakar daging ayam yang aromanya tercium dari pedagang sate ujung jalan.
Benar, sih. Gani memang habis bakar daging, tapi bukan di tenda tukang sate. Gubuk reyot sisi hutan menjadi tempat favorit Gani memakan hasil bakarannya secara lahap. Iya, Gani habis keluar gubuk, membawa senyum puas lantaran perut terisi penuh.
Sampai dalam rumah, Gani menarik buka kaus oblongnya yang sudah basah keringat. Niat istirahat, pasang telinga malah merekam keributan tetangga sebelah.
Lagi?
Gani terkadang tidak paham, mengapa mereka begitu berisik—ah, lebih tepat, mengapa anak dan ibu itu tidak pernah akur? Acapkali menjelang malam, anak remaja penghuni sebelah terdengar memaki, barang pecah, dan tangis ibunya.
"Heish ...." Gani mendesis, kala pekik sang ibu memecut hatinya.
Permohonan ampun dari perempuan separuh umur mengalun berulang kali kepada anak yang memaki. Tidak tahan, Gani menyalakan radio, volume naik, berharap bisa lebih gaduh dari pertengkaran itu.
Andaikan rumahnya tidak satu tembok dengan rumah sebelah … astaga, Gani tidak sudi mengorbankan telinganya untuk suara-suara nirfaedah.
Ketika cakrawala sudah ditinggal mentari beberapa jam lalu, gelapnya kian pekat, Gani keluar rumah usai melongok dari jendela bambu. Amar, anak tetangga sebelah, sudah bersiap menunggangi motor bebeknya. Tidak ada satu orang pun tahu kehadiran Gani di tempat, termasuk Amar yang kini sudah tidak sadarkan diri akibat hantaman kepal tangan Gani di tengkuk.
Selanjutnya, Gani menyeret remaja itu ke sisi hutan. Lingkungan kampung sepi, ramai suara warga berganti oleh ingar kidung hewan malam.
Setibanya di gubuk ternyaman bagi Gani, laki-laki itu cepat melakukan persiapan.
Sejalan Amar buka mata, kuduk terasa nyeri, pandangan agak kabur kala ingin menetapkan fokus kepada Gani bersama kapak tajam dalam genggaman.
Gani memang menunggu momen Amar bangun. Sehabis selesai persiapan, dia sengaja duduk di hadapan remaja yang sudah terikat ketat, memblokir geraknya.
"Hai," sapa Gani. Ish, Gani paling benci menyapa makanannya, tapi, yah ... Gani hanya ingin beracah-acah sebentar. Dia sudah amat gemas kepada remaja yang kencing saja belum lurus benar ini.
"Bang Gani?" Amar bergerak sedikit, tangannya berdenyut ngilu. Ikatan Gani tidak main-main. "Ini maksudnya apa, Bang? Bentar, yang mukul aku sampe pingsan itu ... Abang?"
"Jangan sok lugu kamu." Gani tidak suka sama orang sok polos, sok lugu, padahal kelakuan bejat.
Oke, oke. Gani juga bukan orang suci yang rajin beribadah, taat kepada Tuhan, kelakuannya tak lebih buruk dari Amar. Namun, karena kuping miliknya ini bukan aksesori yang cuma jadi pajangan, dia sebal hampir tiap hari mendengar Amar menciptakan kerusuhan di rumah sebelah. Amar begitu menggiurkan untuk dimakan jadinya. Darah kotor manusia, hati hitam, dengan tabiat jelek memang sangat enak.
"Kamu pernah kepo nggak, tentang prinsipku?" Terkikik, Gani menggosokkan kapak pada paha Amar sehingga anak itu memekik pedih. Darah kental tumpah seketika, membasahi tanah yang menjadi alas duduk Amar.
"Prinsipku itu; gelombang kekesalan, hanya harus terbalaskan oleh pembunuhan."
"Sialan! Apa yang Abang mau lakukan?!"
"Main."
"Bangsat!" Amar memberontak di tengah rasa sakit. Ia gusar.
Semakin remaja itu bergerak, kencang ikatannya justru berlipat ganda. Amar bukan hanya tidak paham mengapa dirinya berada sini bersama iblis seperti Gani, ia juga tidak paham pada tali serabut kelapa yang mengikat. Seharusnya mudah untuk lepas.
Sekali lagi, Gani menoreh lukisan getir di paha kanan Amar. Pekikan kembali tercetus. Padahal tidak terlalu dalam. Dasar lebay! Gani mencerca dalam hati.
"Siapa yang bangsat? Aku ngebangsat apa darimu, heh? Kamu juga menggunakan kata bangsat sama ibumu, 'kan?" Tawa mengejek terdengar. Rasanya amat puas membuat anak ini meringis kesakitan.
"Lepasin! Kalo warga tahu kelakuan lo Bang, gue yakin, lo bakal diarak, dibakar!"
"Um!" Gani menjentik jari, memasang wajah mengesalkan dalam pandangan Amar. "Tapi sebelum itu, kamu dulu yang aku bakar. Ow, aku potong-potong paling utama. Kaki, tangan, kepala, pinggang. Amar, kamu nggak habis konsumsi makanan busuk, 'kan? Nanti isi perutmu bau saat kusayat tipis-tipis."
"GILA!"
"KAMU YANG GILA!" Kali ini Gani balas teriak. Wajah mengeras, emosi mendidih dalam dirinya. Jika butuh narasi hiperbol, maka pasang netra itu lebih merah dari darah Amar.
"Masih makan dari orang tua saja sudah belagu. Menyakiti hati ibumu, kamu pikir kamu hebat? Merusak barang di rumah, kamu kira barang-barang yang kamu rusak itu nggak beli pakai uang? Mikir!" Gani mengontrol emosi sesudahnya, merendahkan suara. "Makanya, hatimu membusuk. Tubuhmu juga kurus kering kayak nggak dikasih makan, padahal porsi makanmu kayak kuli bangunan."
"Denger ya Bang, gue sama sekali nggak ngerti apa yang lo omongin, lepasin gue sekarang!"
"Sabar dong." Gani menguliti paha Amar. Luka sebelumnya melebar, aroma besi karat tercium memabukkan. "Aku belum selesai bicara. Kamu mau tahu alasan mengapa kamu di sini?"
Amar antap, sakit yang terderita membuatnya pening.
"Kamu telah melukai hati ibumu. Membangkang pada ibumu, membuat ibumu sedih."
"Terus ..." Amar hampir tersedak ludah sendiri, menahan tangis ketakutan. "Apa urusan lo? Gue nyakitin ibu gue, bukan ibu lo."
"Semakin kamu kurang ajar, memang semakin enak. Teruskan saja." Gani menggeleng-geleng, mengisap jari telunjuknya yang penuh darah Amar—dia mencolek darah bak saus sambal. "Jelas, itu jadi urusanku. Selain bikin berisik, aku suka anak pembangkang, lezat sih."
Gani berdiri. Tanpa ada aba-aba, dia langsung mengeksekusi makanan di hadapan. Bahkan saat napas Amar terpaksa putus akibat kapaknya menancap dalam-dalam di leher anak itu, Gani sama sekali tidak menyesal.
Kepala Amar dipisahkan dari tubuhnya. Perut diretas dari atas hingga bawah setelah Gani menanggalkan seluruh pakaian Amar—termasuk celana pendek yang dipakai.
Daging Amar memang tipis, tapi tetap tidak mengurangi rasa nikmat, sampai ke tulang malah. Kalau ada panci presto, bisa bikin sop tulang tangan dan tungkai. Sedap pasti. Gani bisa tahan tanpa makanan selama dua hari setelah ini.
"Kenapa pula ibunya melahirkan anak begini. Salah didik?" Gani mencabut jantung yang sudah tidak berdetak dalam kerangka tubuh Amar. "Memang tabiat, susah. Ibunya bakal seneng kok anaknya udah nggak ada. Yap, aku meringankan beban perasaannya. Aku orang baik."
Gani bangga akan hal itu. Bulan separuh mengintip jengah di balik awan, menerima tarian halus asap-asap yang meninggi seperti alunan nada merdu.
Manusia bakar memang tiada tandingannya!