Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Gairah Kopi Pak Bos
3
Suka
278
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku skrol daftar lagu di perangkat lunak Spotify. Sederet lagu muncul, dari Alan Walker, Miley Cyrus, sampai Ed Sheeran. Kuputuskan memutar lagu The ScientistColdplay dengan penyuara jemala di gawaiku.

Penatku terasa berkurang sore ini. Aku berkerja diperusahaan software house. Setelah seharian mengerjakan coding, alunan musik itu sudah meningkatkan dopamin di otakku. Aku senang dan bersemangat kembali melanjutkan coding. Akan tetapi tiba-tiba kenikmatanku terganggu.

Plak! Udin Panjul menepak punggungku. Udin Panjul, office boy di kantorku, memang suka bercanda dan iseng.

“Kopi, Mas, oleh-oleh Pak Bos dari Temanggung,” ujar Udin sambil meletakkan secangkir kopi hangat di mejaku.

“Ya, makasih.”

Kulihat Pak Bos di ruangannya menatapku sambil memberikan kode jempol, lalu kode minum. Sementara Udin Panjul mengedarkan beberapa cangkir kopi ke teman-teman sekantor. Tak seberapa lama Pak Bos keluar dari ruangan, menghampiri mejaku.

“Ayo minum. Kopi enak ini. Dari kaki Gunung Sindoro. Biar tambah semangat bikin program,” kata Pak Bos.

Aku menggangguk dan menyeruput kopi pelan-pelan. Sial! Asam sekali! Namun sungkan juga aku kalau menolak kopi dari Pak Bos. Apalagi dia juga menikmati kopi itu.

Gimana progres pekerjaanmu?” tanya Pak Bos.

“Sudah saya lembur, Pak. Tinggal menunggu API1) dari perbankan,“ sahutku.

“Ya sudah, tunggu saja perkembangannya. Hari ini kamu nggak usah lembur. Boleh pulang lebih awal,” kata Pak Bos.

“Baik, Pak, terima kasih.”

“Mas, jangan lupa habiskan kopi itu sebelum pulang. Kopi mahal itu!” timpal Udin.

“Kecut, Din,” kataku.

“Memang rada asam. Ini kopi arabika. Coba kamu habiskan, biar lebih semangat,“ kata Pak Bos.

Pukul 17.00. Aku segera menghabiskan secangkir kopi itu, membereskan laptop dan memasukkan ke dalam ransel, agar bisa segera pulang. Namun aku bosan juga pulang lebih awal. Kuputuskan mampir ke Kedai Kopi Kang Putu. Aku mau ngopi dan makan roti bakar di sana.

Kedai itu berada di dekat kampus, almamaterku dulu. Siapa tahu aku bisa bertemu teman-teman masa kuliah di sana.

***

Kedai bambu di sebidang tanah di samping rumah Kang Putu ini terasa asri, tenang, dan nyaman. Cocok untuk berdiskusi sembari menikmati kopi dan kudapan yang tersedia.

Kedai terbagi menjadi dua bagian. Memasuki bagian pertama kedai ada bangunan bambu beratap rumbia berukuran 3 x 5 meter. Ternyata di kedai sedang ada persiapan untuk diskusi dan pementasan orkes keroncong. Ah, tak apalah menghabiskan waktu di sini. Mumpung masih jomblo, tak ada yang mencari dan menunggu di rumah.

Panitia mempersiapkan dekorasi panggung pertunjukan. Ada yang menutup sebagian dinding ruangan dengan kain hitam. Sebagian lagi menarik kabel listrik, memasang figura-figura foto, dan merapikan kursi. Panggung terbagi menjadi dua bagian. Lima meter dominan untuk panggung musik. Sebagian depan sekitar dua meter untuk moderator dan narasumber diskusi. Panitia juga menyediakan tempat lesehan buat penonton, beralaskan spanduk bekas. Di belakang tempat lesehan, ada ruangan lebih luas sekitar 10 meter persegi yang terbagi menjadi dua balai-balai besar.

Di ruangan itu para pemain keroncong dan kerabat kerja berkumpul. Para musikus keroncong akan berpentas dan berdiskusi di kedai. Ada empat kelompok orkes akan tampil, yakni Orkes Keroncong (OK) Swadesi, OK Gudeg Mbak Tum, OK Sonatiwa, dan OK New Cahaya Hati, pada acara Jampi Jumat Wagen. Entah apa alasan penyelenggara mengadakan acara musik pada malam Jumat.

Selepas magrib acara dimulai. Semua kelompok penampil sudah datang beserta alat-alat musik masing-masing. Para pengunjung juga sudah berdatangan. Penuh dan meriah sekali.

Di tengah keramaian acara, jantungku berdegup lebih kencang. Entah kenapa. Mungkin pengaruh kopi mahal arabika Pak Bos atau penyebab lain. Maka kuputuskan memesan jahe susu dan roti bakar. Lalu, aku duduk di kursi dekat balai-balai. Lumayanlah, bisa melihat keluasan semua area kedai.

Sebagai generasi milineal aku bukan penikmat musik keroncong. Musik ini mungkin cocok buat orang tuaku. Sepertinya aku terjebak dalam acara ini. Namun lambat-laun aku bisa menikmati juga irama keroncong. Kuperhatikan setiap grup memiliki dua personel pamain ukulele. Sepintas ukulele itu sama. Namun ternyata berbeda. Satu ukulele berdawai tiga dan satu lagi berdawai empat. Ada juga semacam gitar besar. Mungkin itu bas betot.

Kuperhatikan juga semua kru musik. Ketika itu pandanganku tertuju pada seorang gadis manis. Dia berkebaya merah dan berparas cantik. Dari mimik mukanya, sepertinya dia lagi resah. Dia duduk dekat sekali denganku. Ingin sekali aku berkenalan dengan dia.

“Dik, tampil habis ini ya?” tanyaku.

“Iya, Mas. Saya sebenarnya sudah sering nyanyi pada banyak acara. Namun entah kenapa, nyanyi di sini grogi juga.”

“Oh, barangkali di sini banyak ahli keroncong. Jadi Adik grogi.”

“Iya mungkin, Mas.”

“Sudah lama Adik ikut grup keroncong?”

“Lumayan sih.”

“Adik kan sudah lama main keroncong. Tahu nggak, kenapa setiap grup punya dua ukulele? Saya lihat jumlah senar ukulele itu juga berbeda,” ujarku.

“Oh, ukulele itu? Yang berdawai tiga itu cuk. Senarnya nilon, iramanya crong, crong. Yang berdawai empat berbahan baja disebut cak.”

“Oh, gitu,” sahutku sok paham.

“Ada juga yang seperti gitar besar itu. Itu cello, biasanya di gesek. Namun di keroncong dawainya dipetik,” imbuh dia tanpa kutanya.

Tak lama kemudian pembawa acara memanggil grup musik berikutnya naik ke panggung.

“Maaf, aku naik dulu ya,” kata gadis manis itu.

“Ya, Dik. Semangat ya. Oh, maaf, Dik. Nama Adik siapa?“ tanyaku sambil mengulurkan tangan.

“Saya Lami, Mas,” jawab dia, menyambut uluran tanganku, bersalaman.

Setelah kusebut namaku, gadis cantik itu naik ke panggung. Merdu sekali suara Lami. Musik keroncong sungguh magis. Apalagi saat Lami yang menyanyi. Mendayu, manja. Bahkan syair sedih pun terdengar sangat romantis.

Para pengunjung sangat menikmati acara. Terkadang mereka bergoyang mengikuti irama, mengiringi suara Lami. Suara dia merdu dan sangat seksi. Seksi sekali, sehingga membuatku sangat bergairah. Gairah pemuda bujang. Ah, jiwaku terbakar! Di tengah keramaian itu, seakan aku dan Dik Lami bercumbu dalam irama keroncong.

Dik Lami turun dari panggung setelah menyelesaikan lagu terakhir. Malam makin larut, tetapi irama keroncong masih mengalun.

Usai pementasan, dia kembali duduk di dekatku. Keringat menetes dari dahi ke pipinya. Bibir gelas es jeruk dingin menyentuh bibir tipisnya. Jiwa mudaku makin bergejolak. Cara dia minum es jeruk terbayang di otakku seperti mencium bibirku.

“Merdu sekali suaramu, Dik. Kamu berbakat sekali.”

“Terima kasih, Mas.”

“Dik Lami, boleh saya minta nomor HP?”

“Iya, sebentar, Mas. Saya ke belakang dulu ya. Toilet di mana ya?” sahut Lami.

“Oh, ke belakang sana, lurus, lalu belok kiri. Rada gelap sih. Mau saya antar?”

Aku antar Lami menuju ke toilet. Memang rada berputar dan remang. Lami mengikuti dari belakang. Langkah kami rada tergesa agar cepat sampai di toilet. Ketika sampai di dekat toilet, aku lupa tanya letak saklar lampu. Refleks aku berbalik, mencari karyawan kedai. Tanpa sengaja aku dan Lami bertabrakan. Tanpa sengaja pula aku mencium keningnya. Dia diam. Akhirnya aku mengecup bibirnya. Sungguh, khilaf yang sempurna.

Seejenak kemudian aku tersadar sedang berada di tempat umum. Ah, saklar lampu ternyata ada di samping pintu toilet.

“Ke toilet dulu ya, Mas.”

“Iya, Dik, saya tunggu di kursi.”

Malam makin larut. Acara pun usai. Aku sudah membayar semua pesanan di kedai. Satu per satu personel grup musik meninggalkan kedai, termasuk grup Lami. Kuhampiri lelaki tua yang sedang mengemasi peralatan musik.

“Pak, maaf, apakah tadi melihat Lami?” tanyaku.

“Lami? Lami siapa, Mas? Nggak ada yang bernama Lami.”

“Tadi nyanyi dan terus ke belakang.”

“Oh, Jeng Leni. Itu dia!” kata lelaki tua itu sambil menunjuk wanita setengah baya yang keluar dari toilet kedai.

“Bukan, Pak. Lami masih muda,“ sahutku kecewa.

“Yang nyanyi tadi ya Jeng Leni,”ujar lelaki itu sambil mengangkat alat musik terakhir, lalu meninggalkan aku.

Ya ampun! Siapa Dik Lami? Pertanyaan itu menghantuiku dalam perjalanan pulang, dini hari itu.

***

Jumat pagi ini aku capek sekali, setelah semalam menonton pementasan orkes keroncong di Kedai Kopi Kang Putu. Aku masih resah atas kejadian di kedai.

Di kantor, kulihat Udin Panjul sedang membawa baki, mengedarkan gelas berisi teh dan kopi. Dia memberikan kopi seperti biasa di mejaku. Paling akhir. Aku seruput kopi itu.

“Ini bukan kopi Pak Bos kan?” tanyaku.

“Bukan, Mas. Gimana, Mas, semalam sehabis minum kopi Pak Bos?” tanya Udin sambil tersenyum. “Pusing nggak?” sambung dia, disambut tawa teman-teman sekantor.

“Kenapa sih?” balasku.

“Ha-ha-ha, tahu nggak, Mas? Kemarin kopimu kucampur obat perangsang! Ha-ha-ha!” ujar dia sambil berlari menjauhi.

“Sialan kau, Panjul!” teriakku seraya mengejar, lalu mengguyurkan kopi ke arah Udin.

Pantas semalam “masa depan-”ku maju terus, sampai aku pusing. Sialan, si Udin Panjul!

***

Lain hari aku kembali ke kedai itu. Kunikmati lukisan-lukisan dan salinan puisi yang terpasang di tepian kedai. Puisi-puisi itu terpasang berjejer seperti jemuran. Bila ada puisi yang pelanggan sukai, boleh diambil dari jemuran.

Lukisan di kedai pun variatif. Ada berbagai aliran, dari realis, surealis, sampai abstrak. Di bangunan yang beberapa hari lalu jadi panggung musik banyak foto terpasang. Aku melihat foto pasar malam pada masa kolonial di kawasan Kota Lama Semarang. Ada pula foto grup musik tempo doeloe. Di sudut kulihat foto seorang wanita. Kubaca keterangan di bawah foto itu. Miss Sulami.2)

Dik Lami?

 

Catatan

1) API adalah mekanisme yang memungkinkan dua komponen perangkat lunak berkomunikasi menggunakan serangkaian definisi dan protokol. (https://aws.amazon.com/id/what-is/api/).

 

2) Miss Sulami adalah jawara penyanyi keroncong dari Semarang. Tercatat, antara tahun 1935 dan 1936 dia merupakan Kampioen Java, pemenang pada Lomba Keroncong Semarang, Concurs Krontjong, yang diadakan di Pasar Malam Semarang. Kota Semarang menjadi kota kelahiran sekaligus membawa dia menjadi zanger atau penyanyi keroncong. Pada 1936, Sulami hijrah ke Surabaya (pusat kesenian kala itu) untuk memperbaiki nasib sebagai seniman. Pada 1936, dia berhasil menjadi juara keroncong pada acara Concurs Krontjong Jaamarkt di Surabaya. Tahun berikutnya, dia menjadi penyanyi tetap OK Natchtegaal pimpinan Hary Lapat. Orkes tersebut sering tampil pada pelbagai acara, termasuk siaran rutin di Radio Nederland Indische Radio Oemroep Maskapij (NIROM) Surabaya. (https://web.facebook.com/keroncong.id/?_rdc=1&_rdr).

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Haisssh apa bang @jaya Brata
haiissshhh....
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Gairah Kopi Pak Bos
Herbayu
Novel
Bronze
Arga My First Love
Nita Fitriana
Novel
Sanubari
Shinta Jolanda Moniaga
Novel
BENANG TAKDIR
Ira A. Margireta
Flash
Ponsel
Rena Miya
Flash
Listrik UGD 24 Jam
Martha Z. ElKutuby
Novel
Bronze
Air Mata yang Telah Mengering
Dewi Hastuti
Cerpen
Tentang Burung dan Pohon Kersen
Suryawan W.P
Novel
Bronze
Aku di Sudut Kota pada 90'
Andhika Fadlil Destiawan
Flash
Payudara Lepuh
Bai Ruindra
Flash
Bronze
Si Kakek Pengangguran dan Pemilu
Nuel Lubis
Cerpen
SEKOLAH NERAKA
Naftalia Sastra
Novel
Gold
PBC Nyanyian Anak Garuda
Mizan Publishing
Novel
KPR (Kapan Pindah Rumah?)
Annisa Diandari Putri
Novel
Bronze
Sinar untuk Genta
Rika Kurnia
Rekomendasi
Cerpen
Gairah Kopi Pak Bos
Herbayu
Cerpen
Monumen Cinta
Herbayu