Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin bulan Maret masih membawa sedikit sisa sejuk. Di bawah jajaran pohon pinang yang menjulang di pelataran Universitas Brawijaya, Ameera tertawa renyah. Suara tawanya, lepas dan tanpa beban, selalu menjadi melodi favorit Devan. Mereka duduk di bangku beton yang memutari salah satu batang pinang, menyeruput es teh lezat dari kantin fakultas Ekonomi yang tak jauh dari sana. Devan menyandarkan punggungnya, menikmati semilir angin yang mengembuskan aroma tanah basah dan dedaunan.
“Ayo dong, Van, sekali lagi!” seru Ameera, menepuk lengan Devan. “Tadi lho, lucu banget waktu Arya kepeleset pas lari di trek.”
Devan menggelengkan kepala, menyeringai. “Ah, jahat banget lo ngetawain orang jatuh. Tapi emang iya sih, dia jatuhnya elegan banget, kayak penari balet.”
Tawa Ameera kembali pecah. Rambut pendek sebahu yang biasa dia kuncir kuda itu berayun-ayun. Ameera adalah atlet lari lintas alam, dan tubuhnya yang ramping berotot adalah bukti dedikasinya. Devan selalu mengagumi semangat pantang menyerah sahabatnya. Mereka sudah berteman sejak ospek, terikat oleh obrolan tak berujung, sesi belajar dadakan di perpus, dan dukungan tanpa syarat. Namun, bagi Ameera, Devan bukan hanya sahabat. Devan adalah napas. Devan adalah detak jantung yang bergetar setiap kali dia mendekat. Devan adalah impian yang ia rajut diam-diam.
“Lho, kok bengong?” tegur Ameera, menyentuh pipi Devan. Sentuhan lembut itu mengirimkan sengatan listrik ke seluruh tubuh Ameera. Ia buru-buru menarik tangannya, menyembunyikan pipinya yang memerah di balik botol es tehnya.
Devan tersenyum tipis. “Enggak, cuma mikir… lo emang paling beda dari yang lain, Mira. Lo itu kayak angin sejuk di tengah panasnya deadline. Selalu bisa bikin gua ketawa.”
Pujian Devan adalah racun manis bagi Ameera. Ia tahu setiap kata itu keluar dari mulut sahabatnya tanpa pretensi romantis, hanya tulus sebagai seorang teman. Dan hal tersebutlah yang selalu menjadi kerentanan terbesarnya. Ia ingin Devan melihat dirinya bukan hanya sebagai teman, bukan hanya sebagai pelari cepat yang bisa diandalkan, tapi sebagai seorang gadis yang hatinya berdebar hanya untuk dia.
Beberapa hari kemudian, di bawah rindangnya pohon pinang, Devan menceritakan mimpinya ingin jadi pengusaha sukses. Matanya berbinar, penuh ambisi. Ameera mendengarkan dengan saksama, sesekali menyela dengan ide-ide brilian yang kadang tak terpikirkan oleh Devan. Mereka adalah kombinasi sempurna. Devan punya visi, Ameera punya detail dan logistik.
“Gila, Mira, lo emang the best!” seru Devan, memukul pelan bahu Ameera. “Tanpa lo, gua cuma bisa mimpi doang.”
Hati Ameera berdesir. Ia mendambakan pengakuan yang lebih, pengakuan yang melebihi sekadar "teman terbaik". Ia ingin jadi alasan di balik mimpi Devan, dan bukan hanya sekadar pendukung. Senyumnya samar, menyembunyikan harapan yang tak berani ia ucapkan.
Devan tak menyadari getar di hati Ameera. Baginya, Ameera adalah fondasi yang kokoh, tempatnya bersandar tanpa beban. Mereka seperti dua batang pinang yang tumbuh berdampingan, saling menyokong, namun tak pernah tahu bahwa salah satu dari mereka ingin lebih dari sekadar "sampingan". Devan merasa aman dalam persahabatan tersebut, nyaman dengan Ameera yang selalu ada. Ia tak pernah berpikir untuk mencari hal lain, karena Ameera adalah dunianya. Sampai saat itu.
Auditorium kampus malam itu riuh oleh sorak-sorai mahasiswa baru. Acara penyambutan mahasiswa baru sedang berlangsung, dan puncaknya adalah pentas seni. Devan dan Ameera duduk berdampingan di barisan tengah, sama-sama menantikan penampilan bintang tamu yang kabarnya sangat spesial.
“Katanya anak seni, Van. Cantik banget lho,” bisik Ameera, berusaha terdengar biasa saja, padahal jantungnya berdebar. Ia selalu khawatir jika Devan tertarik pada gadis lain.
Devan mengangguk-angguk, matanya sudah terpaku pada panggung yang masih remang. “Iya, gua denger juga. Mahasiswi baru, angkatan bawah kita.”
Lampu sorot menembak ke tengah panggung. Seorang gadis muncul, mengenakan kebaya modern berwarna biru muda yang menjuntai anggun. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya dipoles tipis, menonjolkan kecantikan alami yang memukau. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Sebuah intro musik tradisional berpadu sentuhan modern mengalun, dan gadis itu mulai menari. Gerakannya luwes, gemulai, namun kuat. Setiap ayunan tangan, setiap lekuk tubuhnya, seperti puisi yang tak terucapkan.
Nama gadis itu Niken. Ia bukan hanya seorang penari. Ketika tarian usai, tepuk tangan membahana. Namun kejutan belum berakhir. Dengan suara lembut dan merdu, Niken mulai menyanyikan lagu daerah yang diaransemen ulang. Suaranya mengisi setiap sudut auditorium, membius semua orang yang mendengarkannya. Devan, di samping Ameera, terpaku. Matanya tak berkedip, terpesona oleh aura dan talenta Niken.
“Gila, Mir,” bisik Devan, suaranya tercekat kagum. “Dia itu… sempurna banget.”
Ameera mengangguk pelan, tapi hatinya mencelos. Ia bisa merasakan pergeseran. Tatapan Devan yang penuh kekaguman pada Niken adalah tatapan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya saat menatap dirinya. Itu adalah tatapan seorang pria yang baru saja menemukan sesuatu yang "berkilau".
Beberapa hari setelah acara itu, Devan seperti keranjingan. Ia selalu membicarakan Niken. “Niken latihan nari di Pendopo Budaya, Mir. Suaranya bagus banget lho kalau lagi nyanyi di kafe kampus.” Ameera hanya menanggapi dengan senyum pahit, menyembunyikan hatinya yang mulai berdenyut sakit.
Minggu-minggu berikutnya, kehadiran Niken semakin menggeser posisi Ameera. Dulu, mereka selalu makan siang bersama di kantin fakultas, berbagi cerita dan tawa di bawah pinang. Sekarang, Devan lebih sering menghilang, entah itu menemani Niken latihan, atau sekadar berbincang di kafe Phoenix tempat Niken kadang tampil.
“Maaf ya, Mir, gua gak bisa nemenin lo lari sore,” ucap Devan suatu hari lewat telepon. Suaranya terdengar canggung. “Gua udah janji mau bantuin Niken persiapan pementasan tari.”
Ameera menelan ludah. “Oh, gitu. Oke deh, santai aja.” Ia berusaha terdengar tidak peduli, meskipun hatinya seperti dihantam benda tumpul. Dulu, Devan selalu menjadi suporter setianya, bahkan menemaninya berlari meski ia sendiri bukan pelari. Kini, prioritas Devan berubah.
Kursi di samping Ameera yang dulunya selalu terisi oleh Devan kini terasa dingin dan kosong. Ameera kadang melihat Devan dan Niken tertawa bersama di taman kampus, atau berjalan bergandengan tangan melewati koridor. Niken, dengan pesonanya yang anggun dan bakatnya yang memukau, berhasil mencuri seluruh perhatian Devan. Devan tampak bahagia, matanya selalu berbinar setiap kali bersama Niken.
Bagi Devan, Niken adalah hal baru yang menarik, tantangan yang memikat. Ia merasakan sensasi euforia yang berbeda, semacam kebanggaan bisa dekat dengan sosok yang dipuja banyak orang. Niken memberinya validasi yang selama ini tanpa ia sadari, ia cari. Ia merasa lebih berarti saat berjalan di samping Niken, sosok yang ‘berkilau’ dan menarik perhatian. Sementara Ameera, ia sudah seperti udara. Ada, tapi tidak terasa spesial.
Sore itu, Ameera kembali duduk sendirian di bawah rindangnya pohon pinang, memandangi jalur lari yang dulunya menjadi saksi bisu kebersamaan dirinya dan Devan. Kenangan manis itu kini terasa seperti pisau yang mengiris-iris hatinya. Ia merindukan Devan yang dulu, Devan yang tulus tanpa perlu mencari validasi dari orang lain, Devan yang dunianya adalah Ameera. Tapi Devan itu, kini sudah milik Niken.
Musim perkuliahan bergulir, dan dengan itu, pula hubungan Devan dan Niken. Mereka menjadi pasangan yang populer di kampus. Devan kerap terlihat menemani Niken berlatih vokal di ruang musik, atau sekadar berbagi tawa di kafe Phoenix yang selalu ramai. Semua orang tahu tentang mereka. Semua orang kecuali Ameera, yang kini hanya bisa melihat dari kejauhan.
Pohon pinang yang dulunya tempat mereka berbagi rahasia, kini terasa hampa. Ameera masih sering duduk di sana, berharap Devan akan datang seperti dulu, membahas kuliah atau sekadar bertukar canda. Namun, Devan tak pernah datang. Ia selalu punya Niken, selalu punya agenda baru.
Ameera mencoba mengalihkan perhatiannya. Ia fokus pada latihan lari lintas alam. Pagi, siang, sore, ia berlari. Ia memaksa tubuhnya melampaui batas, berharap rasa lelah fisik bisa menutupi luka di hatinya. Tapi setiap kali ia melangkah di trek lari yang sunyi, kenangan Devan kembali menyerbu. Tawa Devan yang menggodanya saat ia kelelahan, sorakan semangat Devan di garis finis, handuk dingin yang Devan sodorkan setelah latihan panjang. Itu semua hanya menyisakan kerinduan yang merajam.
“Mir, kok lo sendirian terus?” tanya Ayu, teman satu kos Ameera, suatu sore di kantin. Ayu tahu betul bagaimana dekatnya Ameera dengan Devan dulu.
Ameera tersenyum tipis. “Sibuk latihan, Yu. Banyak lomba bentar lagi.”
“Bukan cuma itu kan?” Ayu memegang tangan Ameera, tatapannya penuh pengertian. “Devan… dia sama Niken terus. Lo gapapa?”
Ameera menggelengkan kepala, mencoba menahan air mata yang mendesak. “Gue harus apa? Mereka cocok. Niken cantik, berbakat.”
“Tapi lo juga cantik, Mir. Lo itu kuat, mandiri. Dan lo punya hati yang tulus, jauh lebih tulus dari kebanyakan orang yang gua kenal.”
Kata-kata Ayu, alih-alih menghibur, malah semakin menusuk hati Ameera. Ia tahu itu, ia sadar akan ketulusannya. Namun, apa artinya ketulusan jika tak pernah dilihat? Apa gunanya hati yang mencintai jika cintanya tak pernah terucap dan kini telah berlabuh ke hati lain?
Di sisi lain, Devan menikmati hari-harinya bersama Niken. Niken memang memukau. Ia selalu menjadi pusat perhatian, dan Devan merasa bangga menjadi bagian dari lingkaran itu. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan ada yang hampa. Niken selalu dikelilingi banyak pengagum. Jadwalnya padat. Kadang, Devan merasa seperti salah satu dari banyak pengagumnya, bukan kekasih yang spesial.
Niken seringkali sibuk dengan dunianya, dengan pertunjukannya, dengan fans-nya. Obrolan mereka, yang awalnya terasa begitu seru, kini kadang terasa dangkal. Devan mulai merindukan obrolan mendalamnya dengan Ameera, tentang mimpi, tentang ketakutan, tentang hal-hal sepele yang bisa mereka tertawakan berdua tanpa beban. Ia merindukan Ameera yang selalu ada, yang tidak menuntut apa-apa selain kebersamaan.
Suatu malam, Devan pulang dari kencan yang terasa hambar dengan Niken. Niken asyik dengan ponselnya, membalas pesan dari penggemar. Devan merasa diabaikan. Ia berjalan melewati taman kampus yang temaram, pandangannya tertuju pada pohon pinang di kejauhan. Sebuah bayangan Ameera melintas dalam benaknya, duduk di sana, menunggunya. Perasaan bersalah menyeruak. Ia sadar, ia telah mengabaikan seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya. Namun, ia terlalu jauh melangkah, terlalu enggan untuk mengakui kebingungannya.
Ia merindukan kehangatan Ameera, kenyamanan yang tak perlu dipertanyakan. Ia merindukan tatapan Ameera yang penuh makna setiap kali mereka berbicara. Ia merindukan Ameera yang selalu menertawakan lelucon garingnya. Devan masih mengejar kilauan. Ia masih percaya bahwa Niken adalah jawaban, meskipun hatinya mulai membisikkan pertanyaan lain: *Apakah kebahagiaan sejati memang sekadar tentang pesona yang terang benderang, ataukah ada hal yang lebih dalam, yang selama ini telah ia abaikan?
Malam keakraban fakultas adalah acara tahunan yang selalu dinanti. Kali ini, Devan menjadi ketua panitia. Ia sibuk mengawasi segala persiapan di auditorium, yang dipenuhi dekorasi meriah. Di sisi lain, Ameera, sebagai anggota divisi dekorasi, sibuk menata balon dan pita di bagian panggung yang lebih tinggi. Tangga yang ia pijak, entah kenapa, terasa sedikit goyang.
“Hati-hati, Mir, jangan sampai jatuh!” teriak seseorang dari bawah, tapi suaranya samar tertelan hiruk-pikuk.
Ameera tertawa. “Santai aja, gua udah biasa panjat tebing!”
Namun, seolah semesta punya skenario sendiri. Ketika ia hendak meraih salah satu pita, kakinya terpeleset. Tangga itu bergeser, dan tubuh Ameera oleng. Kotak peralatan yang ia pegang terlepas, isinya berhamburan. Semua mata tertuju padanya. Beberapa orang berteriak kaget.
“Mira!”
Devan yang sedang berdiskusi dengan salah satu panitia, mendengar teriakan itu. Ia menoleh, jantungnya serasa berhenti berdetak saat melihat Ameera terhuyung di puncak tangga yang tinggi. Tanpa pikir panjang, ia melangkah, ingin menghampiri, tapi jaraknya terlalu jauh.
Namun, sebelum Devan sempat bergerak lebih jauh, sesosok tubuh sigap melesat. Arya, mahasiswa karateka dari fakultas teknik, yang juga panitia, dengan cepat bergerak. Ia melompat, menangkap Ameera yang hampir terjatuh. Lengan Arya melingkar erat di pinggang Ameera, menopang tubuhnya agar tidak terhempas ke lantai. Wajah Ameera pucat pasi, matanya terpejam. Arya memapahnya perlahan, membimbing Ameera turun dari tangga yang kini tergeletak miring.
“Lo gapapa, Mir?” tanya Arya, suaranya tenang tapi penuh kekhawatiran.
Ameera membuka mata, melihat wajah Arya yang begitu dekat. “A-aku… aku gapapa, Ar. Makasih banyak ya.”
Devan menyaksikan adegan itu dari kejauhan. Sebuah sengatan aneh menjalar di dadanya. Cemas. Kesal. Tidak rela. Mengapa bukan dirinya yang ada di sana? Mengapa Arya? Ia mengepalkan tangan. Pemandangan Arya memegang Ameera, memapahnya dengan perhatian, menusuk batinnya. Ini bukan sekadar rasa cemburu biasa seorang teman. Ini adalah pengakuan dari dalam dirinya bahwa ia tidak ingin orang lain sedekat itu dengan Ameera.
Malam itu, setelah semua urusan panitia selesai, Devan tidak langsung pulang. Ia berjalan ke taman kampus, mencari bangku kosong di bawah remangnya lampu. Pikirannya kalut. Hubungannya dengan Niken mulai merenggang. Niken semakin sibuk, dan perhatiannya terpecah antara kuliah, latihan, dan penggemar. Kadang, Devan merasa hanya menjadi bayangan di samping gadis yang selalu bersinar terang.
“Van, aku sibuk banget besok. Kayaknya kita gak bisa ketemu dulu,” ucap Niken beberapa waktu lalu, nadanya terdengar letih. Devan merasa dirinya tak lagi penting baginya.
Ia memejamkan mata, membiarkan angin malam membelai wajahnya. Ia teringat Ameera. Ameera yang selalu mendukungnya tanpa pamrih. Ameera yang tawanya selalu membuatnya merasa ringan. Ameera yang tulus, tidak pernah menuntut apa-apa selain kehadirannya. Ia teringat bagaimana dulu Ameera akan menunggunya berjam-jam di kantin hanya untuk menemaninya makan. Ia teringat bagaimana Ameera akan mendengarkan setiap keluh kesahnya dengan mata berbinar.
Beda jauh dengan Niken yang memukau tapi seringkali terasa jauh. Niken itu seperti bunga yang indah, tapi sulit digapai. Ameera, ia seperti rumput liar di tepi jalan, yang selalu setia menemaninya di mana pun ia berpijak, selalu hadir dengan kesederhanaan dan ketulusan.
Ciuman Devan dengan Niken beberapa waktu lalu terasa hampa, hanya formalitas. Berbeda dengan sentuhan singkat Ameera di pipinya, atau tepukan di bahunya, yang selalu meninggalkan kesan mendalam di hatinya.
Hatinya bergejolak. Ia sadar, ia telah mengejar ilusi. Ia telah mengabaikan permata yang selalu ada di dekatnya, hanya karena ia terlalu silau dengan kilauan sesaat. Insiden Ameera jatuh dari tangga, dan kehadiran Arya, adalah tamparan keras baginya. Itu adalah sebuah alarm.
*Apa yang gua lakuin selama ini?* batin Devan, suaranya parau. *Kenapa gua baru sadar sekarang?*
Ia merenung panjang di bangku taman, di bawah hembusan angin yang seolah membisikkan penyesalan. Setiap kenangan manis dengan Ameera berkelebat, memutar ulang di benaknya. Tawa Ameera, semangatnya, kesetiannya. Semua yang ia ambil begitu saja. Semua yang kini terancam oleh orang lain.
Sebuah rasa takut mulai mencengkeram. Takut kehilangan Ameera selamanya. Bukan hanya sebagai sahabat, tapi sebagai bagian vital dari dirinya yang selama ini ia abaikan. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Mentari pagi menembus celah dedaunan pinang, menciptakan pola-pola cahaya di rumput yang basah oleh embun. Devan masih di taman kampus, matanya yang semalam begadang kini menatap kosong ke depan. Lalu ia melihat sepasang kekasih muda yang sedang jogging. Mereka berlari beriringan, tangan saling bertautan, sesekali mereka tertawa, tawa yang lepas dan penuh kasih sayang.
Devan menyaksikan adegan itu, dan sebuah kesadaran menyentaknya, sekuat sambaran petir. Itu adalah kasih tulus tanpa topeng, tanpa kepura-puraan, tanpa perlu validasi dari siapa pun. Cinta yang sederhana, murni, dan nyata. Dan ia tahu, kasih seperti itu, persis seperti itu, telah lama ia miliki untuk Ameera. Bukan sekadar sayang sebagai sahabat, tapi sayang yang lebih dalam, sayang yang ia pendam karena kebodohannya, karena terlalu sibuk mengejar fatamorgana.
Tanpa membuang waktu, Devan bangkit. Ia tahu di mana ia harus mencari Ameera. Di bawah rindangnya pohon pinang, tempat mereka selalu menemukan kedamaian, tempat semua cerita mereka bermula.
Ameera duduk di bangku beton di bawah salah satu pohon pinang, membaca buku. Ia mengira ia sendirian, seperti biasanya akhir-akhir ini. Tiba-tiba, bayangan seseorang jatuh di atas halamannya. Ameera mendongak, matanya membulat saat melihat Devan berdiri di depannya.
“Van? Lo ngapain di sini?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Hatinya berdegup kencang, antara takut dan harap.
Devan tidak menjawab. Ia berlutut di hadapan Ameera, membuat Ameera terkejut. Matanya menatap Ameera dalam-dalam, penuh penyesalan, dan sesuatu yang Ameera damba-dambakan selama ini.
“Mira…” ucap Devan, suaranya parau, serak. “Maafin gua. Maafin gua yang bego selama ini. Maafin gua yang buta.”
Ameera tak sanggup berkata-kata. Ia hanya menatap Devan, menunggu.
Devan menarik napas panjang. “Gua sadar, Mir. Gua sadar gua udah nyia-nyiain lo. Gua udah ngejar yang berkilau, yang cuma indah di permukaan. Tapi gua lupa, kalau berlian sejati itu ada di dekat gua selama ini.” Ia menyentuh tangan Ameera, jemarinya terasa hangat dan sedikit bergetar. “Gua rindu sama lo, Mir. Rindu tawa lo, rindu cerita lo, rindu dukungan lo yang gak pernah habis.”
Air mata mulai menggenang di mata Ameera. Ini adalah momen yang ia impikan, yang ia takutkan, yang ia dambakan.
“Itu semua… karena gua sayang sama lo, Mira. Sayang yang lebih dari sekadar teman. Sayang yang bikin gua gak rela lihat lo jatuh, gak rela lihat lo dekat sama Arya… atau siapa pun itu.” Devan menunduk, lalu kembali menatap Ameera, sorot matanya penuh ketulusan. “Gua salah. Gua bener-bener salah.”
Ameera terdiam, hatinya berdegup tak karuan. Ia tak pernah menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut Devan. Ia pikir ia sudah terlambat. Ia pikir hatinya sudah hancur tak berbentuk.
“Gua pengen, Mira,” lanjut Devan, mengenggam tangan Ameera erat. “Gua pengen mulai semuanya dari awal lagi. Gua pengen lo ada di sisi gua, bukan cuma sebagai teman, tapi sebagai… cewek gua. Gua pengen ngenalin lo ke orang tua gua, sebagai cewek yang gua sayang, yang bakal jadi pendamping gua.”
Sebuah gelombang kelegaan membanjiri hati Ameera. Semua rasa sakit, kesepian, dan patah hati yang ia rasakan selama ini, kini terangkat, digantikan oleh kebahagiaan yang membuncah. Air mata Ameera akhirnya tumpah, namun air mata kebahagiaan.
Dengan tangis haru, Ameera mengangguk pelan. Ia tak bisa berkata apa-apa, tapi anggukannya adalah jawaban paling jujur dari hatinya. Devan tersenyum lega. Ia bangkit, lalu menarik Ameera dalam pelukannya. Aroma khas Devan yang ia rindukan, kehangatan tubuhnya yang selama ini hanya bisa ia impikan, kini nyata.
Di bawah bayang pinang yang rindang, tempat persahabatan mereka bersemi, dan cinta mereka tersembunyi, sebuah babak baru dimulai. Matahari semakin tinggi, menyinari kedua insan yang akhirnya menemukan jalan kembali pada hati masing-masing. Devan membelai rambut Ameera, tatapan matanya penuh janji.
“Jadi, gimana?” bisik Devan di telinga Ameera, setelah pelukan mereka merenggang. “Siap bikin orang tua gua kaget?”
Ameera tertawa lepas, tawa yang sudah lama tidak Devan dengar. “Siap, Van! Tapi lo harus janji, gak bakal ninggalin gua lagi.”
Devan menggelengkan kepala, mencubit pipi Ameera gemas. “Enggak akan. Enggak akan pernah lagi.”
Namun, di antara kebahagiaan yang meluap, terbesit sebuah pertanyaan di benak Ameera. Akankah cinta yang baru bersemi di bawah bayang pinang ini mampu bertahan menghadapi badai dunia, ataukah akan ada ujian lain yang menanti mereka di setiap belokan jalan yang belum terjamah? Mereka saling menatap, di bawah saksi bisu pohon pinang yang berdiri tegak. Babak baru telah dimulai, namun kisah mereka, sejauh mana akan berlanjut?