Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku baru saja menghabiskan kebanyakan uangku di mesin slot. Aku kalah telak! Padahal gajian dari kerja sambilanku masih lama.
Aku tidak begitu sering memainkan mesin penelan uang orang ini, akan tetapi sebagai anak muda yang berusaha bertahan hidup di kota besar sendirian aku berpikir jika aku bisa mendapatkan banyak uang aku bisa sedikit menikmati kehidupanku yang membosankan ini dan mungkin aku bisa menabung sisanya untuk investasi di kemudian hari. Dan hasilnya, berharap pulang dengan dompetku mengalami obesitas aku malah pulang dengan dompet anoreksia! Sejujurnya aku tidak merasa kesal atau semacamnya. Di lubuk hatiku aku tahu betul bahwa salahku sendiri mencoba mendapatkan uang secara instan seperti ini. “Keajaiban tidak akan muncul begitu saja kecuali kau berusaha mencarinya”, begitulah yang pernah dikatakan oleh ayahku. Aku tahu itu, tapi setidaknya jika sedikit saja cahaya keajaiban memang ada, maka aku ingin percaya pada keajaiban itu. Lagipula, sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba didepanmu, bukankah itu yang disebut ajaib? Dengan dipenuhi rasa penyesalan aku mengambil tasku dan memutuskan untuk pulang.
Saat sliding door membuka dirinya untukku, aku disambut dengan hujan deras yang seakan memberikan hinaan yang sangat pedas. Sungguh bagus pikirku, sepertinya tuhan sedang membenciku hari ini. Padahal sebelumnya cuaca cerah tanpa ada tanda-tanda hujan sedikitpun. Aku berpikir untuk kembali masuk kedalam sambil menunggu hujan reda, tapi aku teringat kalau ada sebuah acara tv yang menampilkan aktris favoritku yang ingin kutonton dan aku tidak berniat untuk melewatkannya. Maka, layaknya petir yang menyambar, aku berlari menerobos derasnya hujan sambil melindungi kepalaku dengan tas lempangku tanpa berpikir panjang.
Aku merasa telah berlari cukup lama padahal aku tahu betul kalau jarak yang kutempuh tidak sejauh itu. Untungnya tasku waterproof yang membuat kepalaku tetap kering meski diterpa hujan, sayangnya ukuran tasku tidak bisa menutupi seluruh badanku dan hasilnya seluruh badan selain kepala dan wajahku basah kuyup oleh hujan. Aku melihat halte bus di pinggir jalan dan karena hujan tidak menandakan akan segera berhenti aku memutuskan untuk berteduh disana sampai hujan reda. Sungguh sial, kalau sudah begini aku tidak akan sempat menyaksikan acara tv itu. Seharusnya aku sadar dari awal betapa mepetnya waktu dan berteduh di tempat mesin slot sambil pasrah karena melewatkan acara itu. Tetapi sifatku yang suka betindak tanpa pikir panjang membuatku berlari begitu saja tanpa pikir panjang.
Ketika aku sudah sedikit tenang aku melihat sesosok figur yang berdiri di seberang jalan sambil memakai payung. Seakan-akan waktu berhenti begitu saja. Disana tampak seorang gadis, dia memakai gaun berwarna hitam seperti wanita Eropa di jaman Victorian lengkap dengan kaus kaki hitam panjang dan flat shoes berwarna hitam, kalau tidak salah gaya berpakaian itu disebut gaya Lolita. Dia memiliki rambut hitam lurus nan indah yang menjulur sampai dadanya dan dia memakai tas lempang yang tergantung di lehernya sampai ke pinggangnya. Sungguh pemandangan yang tidak biasa. Tapi disaat itu aku merasa seakan gadis itu menarik seluruh jiwa ragaku kepadanya.
Pemandangan dirinya yang berdiri disitu layaknya sebuah puisi indah yang akan menyejukkan hati siapapun yang mendengarnya. Tersirat di pikiranku untuk membuat sebuah puisi sekarang juga, tapi aku menyerah karena aku teringat kalau aku tidak pernah sekalipun membuat sebuah puisi dalam hidupku dan mencoba membuatnya sekarang tampaknya bukan hal yang masuk akal untuk dilakukan. Akan tetapi jika aku memang bisa membuat puisi saat ini, aku yakin aku bisa menciptakan karya seni yang akan mengguncang dunia.
Deru hujan yang semakin deras menyadarkanku dari lamunanku dan hiruk pikuk jalanan kembali normal. Aku bertanya-tanya apa yang dilakukannya? Dia hanya berdiri menatap jalanan tanpa bergerak sama sekali. Mungkin saja itu bukan orang melainkan hanya sebuah patung yang berdiri di pinggir jalan. Tapi aku menyingkirkan pikiran anehku itu dan berpikir sungguh tidak mungkin itu sebuah patung. Kenapa penampilannya sangat mencolok seperti itu? Apa dia cosplayer? Jika iya, ini pertama kalinya aku melihat seseorang memakai cosplay dalam hidupku. Itu tidak bisa disebut sebagai sebuah pencapaian besar, atau sebuah pencapaian sama sekali.
Muncul niatku untuk menghampirinya dan berbicara dengannya tetapi di hujan lebat seperti ini bakalan aneh kalau aku membasahi diriku dan berlari ke seberang jalan untuk mengajaknya bicara. Aku bakalan tampak seperti seorang penguntit menyeramkan yang mencoba mendekatinya. Sadar kalau itu mustahil untuk dilakukan akupun berpasrah diri dan mengalihkan pandanganku dari gadis itu.
Beberapa menit telah berlalu, dan aku tenggelam didalam kepalaku sendiri tanpa punya sesuatu untuk dilakukan. Suara hujan deras terdengar seperti suara makian yang ditujukan kepadaku. Entah kenapa aku cuma bisa memikirkan acara tv itu dan merasa membenci diriku akan kecerobohan yang kubuat sendiri. Aku mendesah dalam ketidakmampuanku untuk mengubah takdir dan berpikir betapa berbeda keadaan jadinya jika saja aku tidak memutuskan untuk menghabiskan uangku di mesin slot dan tetap diam dirumah. Pikiranku tiba-tiba menjelajah ke masa laluku, betapa banyaknya kejadian-kejadian yang kusesali berkat keputusan bodoh yang kuambil di masa lalu. Jika aku mengambil keputusan yang berbeda dari semua keputusanku dulu bakal jadi apa hidupku sekarang ini? Akankah aku akan terjebak di hujan ini? Akankah aku jadi orang yang berbeda? Akankah aku menjalani kehidupan yang menarik dan dipenuhi canda tawa? Akankah aku menemukan tujuan dalam hidupku? Jika saja aku bisa memutar balik waktu maka aku sangat ingin untuk memperbaiki semuanya.
Lamunanku tiba-tiba terpecah oleh sebuah suara lembut yang memasuki gendang telinga sebelah kiriku. “Permisi” suaranya begitu lembut. Aku menoleh kearah suara itu, tampaklah sosok si gadis cosplay diseberang jalan sedang mencoba berbicara kepadaku. Sejak kapan dia ada disini, aku berpikir begitu. Sekilas, aku menoleh ke seberang jalan untuk meyakinkan diriku dan benar saja gadis itu tidak ada diseberang jalan, yang artinya yang ada didepanku ini adalah asli dan bukan khayalan.
“Ya?” jawabku. Sebelumnya aku tidak begitu memperhatikan wajahnya karena jarak diantara kami dan wajahnya agak tertutup oleh rambut panjangnya. Aku baru menyadari betapa cantiknya wajahnya. Wajah seputih susu, bentuk tulang wajahnya membuatnya tampak sedikit kebayian, matanya dingin dan tajam layaknya mata elang yang mengincar mangsanya namun entah kenapa memberikan kesan yang hangat dan santai meskipun dia tidak memberikan ekspresi apapun diwajahnya. Gestur tubuhnya menandakan kalau dia gadis yang bermartabat layaknya seorang tuan putri. Gadis itu membuka tasnya merogoh sesuatu dan mengeluarkan sebungkus roti dari dalam tasnya. Dia menawaarkan rotinya kepadaku, yang membuatku merasa sedikit heran.
“Kamu tampak agak kedinginan karena basah kuyup jadi saya pikir kamu bisa memakan roti ini. Mungkin ini tidak begitu membantu tapi kurasa ini bisa membuat badanmu sedikit lebih bertenaga lagi.”
Memang aku sedikit kedinginan tapi sebelumnya aku tidak pernah bakalan ada orang asing yang baru kutemui di halte bus menawarkan sebungkus roti kepadaku. Namun, tampaknya dia tidak punya maksud buruk menawarkan roti itu. Mungkin dia mempedulikan aku, orang asing yang baru ditemuinya hari ini, atau mungkin dia hanya sekedar bersikap baik kepadaku yang tampak kedinginan ini. Yang manapun itu, aku tidak punya alasan untuk menolak pemberiannya. Lagipula bukan berarti sebungkus roti bakalan membunuhku kan? Akupun menerima roti itu dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
“Sama-sama.” Balasnya dengan anggun. “Apakah boleh kalau saya berteduh disini bersamamu?”
“Tentu saja, silahkan. Tidak ada larangan untuk berteduh disini.” Jawabku. Gadis itu memberikan senyuman dingin kepadaku.
Aku membuka bungkus roti itu dan menyobek ujung roti. Setelah menelan roti itu aku mencoba untuk memulai percakapan dengan gadis disampingku “Apa kamu selalu membawa roti kemana-mana?” begitulah yang kukatakan yang kemudian membuatku menyesal karena itu terdengar sangat bodoh.
Gadis itu melihat kearahku dengan mata elangnya. “Tidak juga, saya hanya kebetulan membeli beberapa bungkus roti untuk berjaga-jaga jika merasa lapar.”
“Kalau begitu kenapa kamu tidak makan roti juga? Kamu pasti juga kedinginan berdiri dibawah payung dari tadi.” Kataku terbata-bata. Berbicara dengan seorang gadis memang bukan keahlianku sejak dulu dan saat remaja dulu aku selalu mengeluarkan keringat dingin tiap kali aku berbicara dengan seorang gadis. Dan demi tuhan, kali inipun aku mengulangi hal yang sama lagi. Meskipun kurasa kali ini tidak terlalu parah, mungkin karena aku sudah bukan lagi anak puber yang haus akan perhatian dari lawan jenis. Tapi tetap saja aku mengutuk diriku yang seperti ini.
Gadis itu diam sebentar dan kemudian tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangannya. Aku bertanya apakah aku mengatakan sesuatu yang salah.
“Tidak, tidak ada yang salah. Hanya saja ternyata benar kalau dari tadi kamu terus memperhatikan saya di seberang jalan.” Aku merasa malu. Aku tidak menyangka kalau dia menyadari tatapanku. Dengan panik aku berusaha mencari alasan untuk menyangkal klaim dia tapi tampaknya tidak berhasil.
“Tidak apa-apa, saya tidak keberatan. Lagipula manusia memang suka memperhatikan hal-hal yang menurut mereka tidak lazim.” Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya tapi aku merasa sedikit lega karena dia cukup pengertian jadi aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Pelajaran hari ini, menatap orang lain dari kejauhan itu tidak sopan.
“Itu roti terakhir yang saya miliki.” Katanya mengembalikan topik pembicaraan. “Saya sudah memakan beberapa milik saya sebelumnya jadi saya baik-baik saja.” Mendengar itu aku membelah roti yang kupegang jadi dua dan memberikan bagian yang belum tersentuh kepadanya. Tampaknya dia tidak melihat ini bakalan terjadi tampak dari alis matanya yang menungkik, tapi dia langsung mengganti ekspresinya dengan senyuman hangat dan menerima roti pemberianku.
“Jadi apa yang membuat kamu sampai basah kuyup begitu?” tanya gadis itu setelah menelan potongan roti yang disobeknya. Akupun menjelaskan alasannya dengan singkat tanpa menyebutkan acara tv dan mesin slot.
“Hmm… apa kamu ada urusan penting sampai kamu harus cepat-cepat pulang?”
“Yah… bisa dibilang begitu.” Kataku menghindari jawaban yang sebenarnya.
“Kalau begitu bagaimana kalau saya mengantar kamu pulang dengan payung saya?”
Aku sedikit tercengang mendengar itu.
“Terima kasih tapi tidak perlu. Aku tidak mau merepotkanmu. Lagipula tempat tinggalku agak jauh dari sini.”
“Saya tidak merasa keberatan. Jika kamu ingin cepat pulang adalah ide yang buruk untuk terus berada disini kan?” Logikanya tidak salah. Tetapi tetap saja aku tidak bisa membuat gadis yang baru kutemui untuk mengantarkanku pulang. Aku memang sedang kesulitan sekarang tapi aku punya harga diri. Dan lagipula jika aku pulang sekarang, aku tidak yakin bisa menonton acara itu.
Aku memperhatikan payung hitam yang ada digenggamannya dan bertanya “Apakah dua orang muat di payung itu?”
“Tidak, kita hanya harus saling merapatkan diri saat kita berjalan.” Katanya santai. Aku masih merasa tidak enak hati menerima bantuan darinya, tapi karena tampaknya dia tulus menawarkan untuk menolongku akupun merasa lebih tidak enak untuk menolaknya. Namun aku menemukan solusi yang lebih bagus.
“Begini saja. Kamu boleh mengantarku tapi hanya sampai kita melewati tempat yang menjual payung setelah itu aku akan membeli payung dan berjalan pulang sendiri. Apa itu cukup bagus untukmu?”
“Baiklah setuju.” Gadis itu berjalan ke depan dan membentangkan payungnya. “Silahkan.” Dia berdiri disitu menawarkan tempat untukku dibawah payung dengan senyuman ramahnya. Sekali lagi, waktu terasa berhenti seketika. Pemandangan dirinya berdiri dibawah payung tampak seperti sebuah drama fantasi yang sangat indah. Jika aku adalah Cinderella, maka dia adalah Ibu Peri dan payungnya adalah kereta labu. Seakan kehilangan kekuatan, aku terserap kepadanya. Aku seperti memasuki dunianya. Dan tanpa sadar aku telah berada dibawah payung.
Kami berbelok di perempatan jalan dan memasuki daerah pemukiman. Deru hujan tidak hentinya menyerang kami. Jika ini adalah sebuah perang di abad pertengahan Eropa, maka kami adalah prajurit yang dihujani oleh anak panah yang tanpa akhir dan kami hanya berlindung dibawah satu perisai saja. Dalam situasi seperti itu sudah semaklumnya jika salah satu dari kami tidak kebagian cukup ruang dibawah perisai sehingga sebagian dari tubuhnya terkena tusukan panah. Orang itu adalah aku. Kami berjalan tanpa mengatakan apapun, yang membuatku merasa amat canggung. Aku menjalankan tugas mulia dengan memegang perisai bernama payung karena badanku lebih tinggi darinya. Tentu saja, aku bukanlah orang tidak tahu diri yang mengambil semua kemewahan untuk melindungi diriku sementara aku tahu betul kalau payung ini bukanlah milikku. Karena itu, aku mengorbankan bahu sebelah kananku untuk memberikan ruang kepada gadis itu. Secara realistis, jika hujan ini benar-benar hujan panah maka aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada bahu kananku.
Aku berpikir, aku tidak tahu dimana tempat untuk bisa membeli payung. Aku memang sering melewati jalan ini untuk pulang, tapi aku punya kebiasaan buruk untuk tidak memperhatikan wilayah disekitarku. Alangkah baiknya jika aku tidak punya kebiasaan buruk itu. Tiba-tiba memecah keheningan, gadis itu berkata.
“Kamu boleh lebih mendekat lagi.” Aku menoleh kepadanya dan menanyakan maksud perkataan dia.
“Jika kamu terlalu jauh dari saya bahu kamu akan kebasahan dan tidak ada gunanya memakai payung jika kamu malah kebasahan.” Aku menyangkal perkataannya dan berkata kalau aku tidak ingin dia sampai kebasahan maka aku memberikan ruang yang cukup untuknya untuk terhindar dari hujan.
“Kamu sungguh baik.” Katanya dengan senyuman dingin. “Tapi kamu tidak perlu mengkhawatirkan saya. Lagipula sayalah yang menawarkan untuk mengantar kamu pulang dengan payung saya. Saya tidak bisa membiarkan kamu sampai kebasahan.” Dikatakan seperti itu akupun menyingkir dari sisi yang kena hujan dan mendekatkan diriku kepadanya. Bahu kami sempat bersentuhan, aku meminta maaf karena telah menyentuhnya namun dibalas tanpa direspon sama sekali.
Aku melihat kearahnya berniat menanyakan alasannya membantuku yang sedang kesulitan. Namun aku bingung bagaimana cara mengutarakan pertanyaanku. Kejadian ini terjadi sangat mendadak smpai aku masih kesulitan memahami apa yang terjadi.
“Ada apa?” tanya gadis itu menyadari pandanganku kepadanya.
“Ah, tidak. Tidak ada apa-apa.”
“Kamu ingin menanyakan sesuatu kan? Silahkan tanya saja.”
Hebat dia bisa menebak pikiranku. Mungkin dia adalah ahli telepati. Kalau menilai dari penampilannya yang tidak normal mungkin saja itu benar. Gadis ini menampilkan aura misterius yang membuat penasaran. Seakan dia punya suatu kekuatan tersembunyi yang menunggu untuk dilepaskan. Tapi hal itu terlalu aneh untuk jadi kenyataan. Mana mungkin ada yang namanya telepati di dunia ini. Jika itu memang ada maka tidak akan ada privasi di dunia ini. Semua orang akan saling telanjang dan menunjukkan bagian pribadi mereka satu sama lain. Kalau begitu apa gunanya pakaian, jika kita bisa melihat bagian pribadi orang lain dengan jelas. Dan jika itu terjadi aku akan menghabiskan waktuku di dalam kamar sendirian untuk mencegah orang lain melihat diriku yang telanjang.
“Apa kau sering menawarkan payungmu untuk orang asing atau ini adalah hal yang kau lakukan untuk menghabiskan waktumu?”
Gadis itu tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan kepalan tangannya, gaya kebangsawanan tuan putri. “Mana ada orang yang akan begitu saja menawarkan payung untuk orang asing.”
“Kalau begitu karena kau bosan dan ingin menghabiskan waktu?”
“Jika saya merasa bosan saya bisa pergi menonton film atau semacamnya, atau pergi berbelanja pakaian, atau pergi ke kafe kesukaan saya dan meminum secangkir kopi panas sambil menikmati hujan.”
“Kalau begitu kenapa kau menolongku?”
“Hmm… bisa dibilang… dorongan alam?”
“Alam?”
“Benar, dorongan alam. Saya menyadari sebuah tatapan dari seorang pria diseberang jalan. Saya mengira pria itu adalah pria cabul yang menguntit saya dan berniat melakukan hal buruk jadi saya menghampiri pria itu untuk memastikannya.”
“Bukannya dalam situasi normal orang akan berusaha kabur jika merasa dikuntit? Selain itu aku bukan orang cabul.”
“Benarkah? Menurut saya itu hal yang logis untuk dilakukan.”
“Tidak, itu sama sekali tidak logis.”
“Haha, benarkah? Pokoknya setelah saya perhatikan, kamu tidak tampak seperti orang jahat. Namun itu saja tidak bisa meyakinkan saya. Jadi saya menghampiri kamu diseberang jalan untuk memastikannya dengan lebih dekat.”
“Dan apa yang kau lihat saat kau datang menghampiriku?”
Gadis itu terdiam sejenak memikirkan apa yang harus dikatakannya. Kesunyian yang tidak nyaman. Memikirkan kemungkinan dia melihat hal yang tidak mengenakkan dari diriku membuat perutku mual. Dia memang berkata kalau aku bukan orang jahat, tapi bukan berarti dia tidak akan menganggapku sebagai orang yang “tidak mengenakkan” kan? Aku merasa kalau aku menginjak sebuah ranjau yang berbahaya, jadi secepat mungkin aku ingin mengganti topik obrolan agar dia tidak perlu menjawabnya. Namun sebelum aku sempat mengatakan sesuatu gadis itu sudah menjawab pertanyaan itu.
“Saya tidak melihat apa-apa. Hanya pria biasa yang menjalani kehidupan biasa. Memakai pakaian biasa. Dan memiliki ekspresi wajah yang biasa.”
Aku tidak menyangka jawaban itu sama sekali. Aku tidak yakin kenapa tapi disaat itu seakan ada seseorang yang menembakkan peluru ke jantungku. Maksudku, itu bukanlah sebuah pujian maupun sebuah sindiran. Itu hanya ulasan sederhana yang tidak bermakna. Setidaknya begitulah yang kupikirkan. Namun, entah kenapa kalimat itu seakan menusuk hatiku.
“Haha, aku akan menganggap itu sebagai pujian.” Kataku sambil mencoba menyembunyikan kerisauanku dan berlagak sok keren.
“Kamu benar, kamu bisa menganggapnya begitu.” Katanya sambil tersenyum.
“Tapi alasan itu tidak cukup untuk membuatmu ingin membantuku pulang kan?”
“Benarkah? Saya pikir itu alasan yang cukup bagus.”
“Tidak mungkin. Mana mungkin seorang gadis sepertimu akan menolong seorang pria tak dikenal hanya karena dia tampak “biasa” bagimu.”
“Hmm… mungkin ibaratkan seperti nenek-nenek kesepian yang suka memberi makan kucing liar, kamu mengerti?”
“Sama sekali tidak.” Kataku berkata apa adanya yang kemudian disambut dengan tawa gadis itu. Suara hujan yang menghantam payung semakin terdengar keras. Dan jalanan didepan semakin sulit terlihat untukku.
“Tapi syukurlah.”
“Hm? Apanya?
“Awalnya saya mengira kamu merasa gugup saat berbicara dengan saya. Dan saya khawatir kalau saya membuat kamu tidak nyaman. Tapi jika menilai dari responmu, tampaknya itu tidak benar sama sekali.”
“Itu tidak benar, kau sama sekali tidak membuatku tidak nyaman. Hanya saja awalnya aku sedikit terkejut dengan kau yang tiba-tiba menawarkan bantuan kepadaku. Itu terjadi terlalu tiba-tiba dan membuatku sedikit terkejut, itu saja.”
“Benarkah? Saya kira kamu tipe laki-laki yang tidak pernah mengobrol dengan perempuan sebelumnya, dan keringat dingin saat ada perempuan yang berbicara denganmu.”
“Itu tidak benar, aku tidak pernah keringat dingin saat berbicara dengan perempuan.” Aku berbohong semudah aku bernafas.
“Hmm… kalau begitu aku minta maaf karena dengan lancang membuat kesimpulan.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.”
Ini mungkin gila. Tapi aku semakin meyakini kalau dia adalah ahli telepati. Sekali lagi dia tepat sasaran! Jika kupikir lagi memang aneh kenapa aku tidak sekalipun gelagapan saat bicara dengan dia. Obrolan kami barusan terasa sangat natural, layaknya bunga matahari yang selalu menghadap matahari. Anehnya lagi, kurasa aku tidak pernah memiliki obrolan yang selancar itu dengan seseorang sebelumnya, apalagi kepada seorang gadis yang baru kutemui. Entah kenapa, aku merasa sangat santai saat ini.
“Ngomong-ngomong kamu belum memberi tahukan namamu. Boleh saya mengetahuinya?” tanyanya kepadaku memecah keheningan.
“Namaku Rendi. Bagaimana denganmu?”
DIsaat dia membuka mulutnya angin kencang bertiup kearah kami yang membuat rintikan hujan didepan membasahi kami. Aku memperhatikan tanganku yang memegang payung dan mensyukuri genggamanku yang kuat sehingga tidak menyebabkan payungnya terbang terbawa angin. Aku mengembalikan perhatianku kepada gadis itu namun tampaknya dia sudah selesai memperkenalkan diri. Aku malu mengakui kalau aku tidak mendengar namanya dan aku merasa segan untuk bertanya lagi jadi aku berpura-pura mengetahui namanya.
“Jadi Rendi, bagaimana kehidupanmu?”
“Tidak ada yang istimewa, aku hanya seorang mahasiswa tahun kedua yang berusaha bertahan hidup di kota ini.”
“Kehidupan biasa?”
“Kehidupan biasa.”
“Hmm…” jawabnya sambil mengangkat alis yang seakan mengatakan “sudah kuduga”. Mungkin inilah kenapa aku merasa perkataannya menusuk sebelumnya.
“Memang biasa, tapi aku selalu berharap untuk mengubah hal-hal “biasa” dalam hidupku ini. Aku hanya kuliah karena itulah yang dilakukan orang-orang disekitarku. Sejujurnya aku tidak punya cita-cita ataupun ambisi apapun dalam hidup. Lakukan hal-hal yang harus dilakukan, dan jika aku tidak harus melakukannya maka aku tidak akan melakukannya, itulah motto yang kumiliki.”
“Singkatnya kamu hanya mengikuti kemana arus membawamu?”
“Ya, bisa dibilang begitu.”
“Dan kamu membenci kehidupanmu yang seperti itu?”
Aku diam sebentar. “Aku tidak tahu apakah aku bisa menyebutnya sebagai benci. Hanya saja, kurasa bakalan menyenangkan kalau hidupku sedikit lebih “berwarna”, kau tahu? Namun, hidupku malah seperti awan hujan ini. Misalnya, orang-orang seumuranku biasanya menikmati kehidupan kampusnya dengan berpesta, bergabung dengan sebuah klub dan menenggelamkan dirinya kedalam kegiatan klub, atau mereka mempunyai pacar yang mereka sayangi dan sudah membicarakan tentang pernikahan. Bagiku, semua itu tidak ada artinya. Itu bukan hal-hal yang wajib dilakukan dan melakukannya cuma akan membuang-buang waktu dan tenaga. Tapi, sebagian dari diriku berpikir, alangkah menyenangkannya jika aku bisa melakukan hal-hal seperti yang dilakukan orang lain. Hanya saja, aku tidak punya motivasi untuk melakukan semua itu.”
Gadis itu hanya diam. Kemudian berkata, “Kalau begitu kenapa kamu tidak melakukannya?”
“Tidak semudah itu. Aku tidak pernah menemukan kesempatan untuk melakukannya.”
“Saya rasa itu tidak benar. Kamu tahu, hidup itu seperti hujan. Kita tahu kalau saat ini adalah musim hujan namun kita tidak pernah tahu kapan tepatnya hujan akan mengguyur kita. Tunggu beberapa lama dan tanpa kita sadari hujan telah reda. Sama seperti kesempatan dalam hidup kita yang muncul dan hilang begitu saja tanpa kita sadari.”
“Benarkah itu?”
“Tentu saja. Kesempatan itu selalu ada didepan mata kamu dan kamu tidak akan mendapatkannya jika kamu tidak berusaha mendapatkannya.”
“Kalau begitu saat ini sedang hujan apakah menurutmu ini juga sebuah kesempatan?”
“Benar sekali.”
“Kesempatan apa itu sebenarnya?”
“Entahlah, mungkin lebih baik kamu lihat sendiri dan beri tahu saya.”
Aku mencoba untuk melihat kesempatan apa yang ditawarkan hujan ini. Aku melihat jalan didepanku yang tampak buram oleh tetesan hujan. Bahkan disaat aku mencoba melihat sekelilingku aku hanya bisa melihat warna abu-abu yang sulit untuk dijelaskan. Satu-satunya yang tampak jelas di mataku adalah gadis yang berjalan disampingku. Jika dia berkata untuk melihat kesempatan dibalik hujan yang buram ini maka satu-satunya yang tampak jelas dimataku adalah kesempatan itu. Namun aku masih tidak yakin kesempatan apa itu sebenarnya dan aku masih belum berani mengakui kalau ini pertemuanku dengan gadis ini adalah sebuah kesempatan tersirat.
“Meskipun begitu menurut saya tidak salahnya untuk mengikuti arus.” Katanya melanjutkan. “Manusia hidup dengan mengikuti arus, itu sudah sewajarnya. Saat kamu mengikuti arus, kamu tidak perlu mengkhawatirkan betapa rapuhnya dirimu dan kamu bisa hidup dengan perlindungan orang-orang disekitarmu seumur hidupmu. Berpikir bukanlah sebuah kewajiban, dan terkadang berpikir akan membawa masalah bagi orang-orang yang berada didalam arus maka orang-orang yang berada dalam arus menghabiskan sisa hidup mereka tanpa mempertanyakan apapun. Semua orang menginginkan rasa aman bukan? Dan sebaliknya orang-orang yang membangkang dari arus tidak akan memiliki perlindungan dan memiliki kehidupan yang lebih rapuh daripada orang yang mengikuti arus.”
“Tapi hal seperti itu tidak bisa disebut hidup kan?”
“Itu tergantung dari bagaimana kamu melihatnya. Apa yang menurut kita benar bukan berarti orang lain akan menyetujuinya. Jika kamu menginginkan keamanan dalam hidupmu maka hidup seperti itu tidak buruk juga. Namun kerapuhan dari membangkang arus punya kesempatan untuk menjadi kekokohan yang mutlak. Itu semua hanya masalah perspektif. Lagipula manusia bukanlah makhluk yang sesederhana itu.”
Manusia bukanlah makhluk sesederhana itu. Memang benar, kurasa itu adalah sebuah pernyataan terbuka yang bisa diartikan ke dalam banyak hal. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan seakan aku menghisap sebatang rokok, dengan pasrah aku mengakui betapa naifnya diriku yang berpikir apa yang dilakukan seseorang menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Bagaimanapun, aku tidak bisa menahan kekagumanku akan betapa luasnya sudut pandang yang dimilikinya. Tiba-tiba saja aku merasakan diriku mengecil, bukan badanku yang mengecil melainkan jiwaku terasa kecil. Seakan aku tidak pantas berjalan disamping gadis ini. Tapi hal itu tidak bisa mengungkiri fakta bahwa aku memang berjalan disamping gadis ini. Dia nyata, setidaknya itulah yang kupikirkan. Mungkin aku bisa menyebut ini sebagai keberuntungan.
Disela-sela lamunanku aku menyadari kalau pembicaraan kami sudah berjalan cukup berat jadi aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan untuk mencairkan suasana.
“Ngomong-ngomong, apa aku boleh menanyakan sesuatu?”
“Tentu, kamu boleh menanyakan apapun.”
“Apapun?” tanyaku memastikan.
“Iya, selama saya bisa menjawabnya.”
“Ada apa dengan pakaian itu?” kataku setelah cukup lama menahan rasa penasaranku. Gadis itu tertawa dengan anggunnya.
“Apakah ada suatu acara yang mengharuskanmu memakai pakaian seperti itu?” Kataku mencoba memancingnya tentang hobi cosplaynya.
“Tidak, tidak ada acara apapun. Apa yang membuat kamu berpikir begitu?”
“Tidak ada, aku cuma penasaran dengan selera berpakaianmu.”
“Ah, saya mengerti. Kamu pikir kalau pakaian saya terlalu mencolok bukan begitu?”
“Jika aku berbicara dari sisi akal sehat maka iya.”
“Hehe, kamu lucu juga.” Aku sedikit bersyukur dengan sifatku yang acuh tak acuh dan mengatakan sesuatu apa adanya. Tentu, sifatku ini membuatku sedikit kesulitan untuk bersosialisasi. Biasanya orang-orang akan memberikan ekspresi tidak senang saat aku berbicara begini dan mereka menganggapku sebagai orang sombong yang sulit didekati namun tidak dengan gadis ini. Kurasa ini pertama kalinya aku bisa berbicara senatural ini kepada seseorang. “Tidak ada alasan khusus. Saya hanya ingin mengenakannya.”
“Kau sering melakukan ini?”
“Lumayan.”
“Apa menurutmu kau tidak tampak terlalu mencolok?”
Dia tertawa kecil. “Saya setuju, saya memang tampak mencolok mengenakan pakaian ini.”
“Apa kau tidak malu?”
“Tidak juga. Saya hanya berpikir mungkin akan menyenangkan untuk mengenakan sesuatu yang berbeda dari orang lain. Kamu tahu terkadang membosankan untuk mengenakan pakaian yang sama dengan orang lain. Ada sebuah keseruan berpakaian seperti ini didepan orang banyak yang sulit untuk saya jelaskan.
“Aku tidak begitu mengerti apa yang kau bicarakan.”
“Haha, tidak apa kalau kamu tidak mengerti.”
Setelah berjalan beberapa lama, kami menemukan sebuah mini market yang sudah pasti menjual payung. Dan itu artinya perjalanan kami hanya sampai disini dan kami harus berpisah. Untungnya mini market ini memiliki kafe, maka aku memberitahu gadis itu untuk menunggu dikafe yang berletak didepan pintu masuk mini market sementara aku masuk ke mini market dan membeli sebuah payung. Aku celingak celinguk mencari sebuah payung namun aku tidak bisa menemukannya. Aku memutuskan untuk bertanya kepada kasir mini market apakah mereka menjual payung disini. Si kasir memberi tahuku kalau payung terakhir baru saja terjual. Nasib memang membenciku hari ini, yang artinya tidak ada payung untukku pulang.
Aku menatap kearah jendela sambil memikirkan apa rencanaku selanjutnya dan aku bisa melihat gadis itu dari tempatku berdiri. Dia duduk dengan memangku tangannya di dagu sambil memandang kearah jalanan yang diguyur hujan. Aku tidak bisa melihat wajahnya dari tempatku berdiri tapi aku bisa membaca bahasa tubuhnya yang anggun yang menyiratkan suatu kekaguman dari dirinya. Entah apa yang dikaguminya aku tidak begitu mengerti. Entah kenapa aku juga bisa merasakan emosi yang dirasakannya. Itu terasa pahit dan juga manis, dan aku tidak membenci perasaan itu. Aku tersadar dari lamunanku dan menyadari kalau sang kasir terus memanggilku dari tadi. Dia menyarankan aku untuk menunggu di kafe sambil menunggu hujan reda. Aku cukup yakin kalau dia menyarankan itu hanya untuk mengambil kesempatan supaya aku bisa membeli secangkir kopi dan menambah pemasukan mereka hari ini. Tapi karena aku tidak punya rencana apapun untuk dilakukan dan itupun bukan ide yang buruk maka akupun setuju untuk menambah pemasukan mereka.
Aku pergi ke counter kopi dan aku memesan dua cangkir kopi hitam. Si barista sekaligus kasir bertanya kepadaku apakah aku bersama seseorang. Aku mengiyakan dan menunjuk ke luar jendela dan mengatakan kalau aku bersama gadis yang duduk diluar. Si barista sekaligus kasir itu melihat keluar jendela kemudian dia menatapku dengan tatapan yang seakan mengatakan kalau aku adalah orang gila. Aku tidak tahu apa masalah dia dan aku tidak mood untuk meladeni tatapannya apalagi penasaran dengan maksud tatapannya jadi aku tidak menggubrisnya sama sekali.
Aku keluar dari pintu mini market sambil memegang dua cangkir kopi hitam. Aku duduk di kursi diseberang meja gadis itu duduk dan menyerahkan kopi untuknya, dia menyadari keberadaanku dan membetulkan posisi duduknya. Aku memberitahunya situasi yang terjadi dan dia hanya merespon “sayang sekali” dengan datar. Yang membuatku merasa sama sekali tidak ada “sayang sekali” didalam kata-katanya. Aku menghembus kopi milikku dan menyeruputnya dengan pelan-pelan dan mencoba menikmati kopi itu sampai sebuah suara tiba-tiba memasuki gendang telingaku, “saya tidak suka kopi hitam.”
Aku menyemburkan sedikit kopi yang yang kuminum. Dan menumpahkannya sedikit ke baju dan celanaku, alhasil mulutku terasa terbakar bukan main. Aku terlalu terbiasa memesan kopi hitam sampai-sampai aku berpikir kalau semua orang mempunyai selera yang denganku. Betapa bodohnya diriku dan kepolosanku. Seharusnya aku bertanya dulu sebelum aku seenaknya memesan. Dengan panik aku mencari-cari alasan dan meminta maaf kepadanya. Dia hanya tersenyum dan berkata tidak apa-apa. Untuk menebus kesalahanku, aku menawarkan untuk memesan secangkir kopi susu untuknya. Gadis itu berkata tidak perlu sambil tersenyum dan mengatakan kalau dia akan meminum kopinya.
“Ini adalah kopi pemberian kamu. Maka saya akan menikmatinya sebaik mungkin.”
Aku bersyukur dia adalah gadis yang baik hati. Meskipun aku tidak mengerti kenapa dia mau menerima kopi itu kalau dia memang tidak menyukainya namun aku tidak akan mengkomplain.
Gadis itu menyeruput kopi hitam panasnya. Wajahnya berkerut saat minum, tampak dari cara minumnya kalau dia memang tidak terbiasa meminum kopi hitam yang pahit. Aku memberikannya gula untuk mengurangi rasa pahit kopinya dan dia menerimanya tanpa pikir panjang. Sejujurnya aku juga tidak begitu menyukai kopi hitam. Aku hanya mulai minum kopi hitam karena aku ingin tampak keren saat aku pergi nongkrong dengan teman-temanku. Aku ingat membuat ekspresi yang sama dengan gadis itu saat aku meminum kopi hitam dan diam-diam memasukkan banyak gula kedalam kopi saat ada kesempatan. Dan entah bagaimana aku berhasil mengelabui teman-temanku untuk mempercayai kalau aku suka kopi hitam. Semenjak itu aku selalu memesan kopi hitam setiap kali aku pergi keluar. Dan lama kelamaan aku tidak membutuhkan gula sama sekali di dalam kopiku. Bukannya aku jadi suka dengan rasanya. Namun aku sudah terbiasa dengan rasa pahit itu dan tidak pernah mempertanyakan alasannya.
Aku menerawang keadaan disekitar kami. Suara hujan yang mengguyur, pemandangan jalan berwarna abu-abu yang tampak buram dan cahaya yang berasal dari dalam mini market, rasanya seperti surga. Seakan dunia ini berkata kalau tidak ada yang perlu ditakutkan, semua akan baik-baik saja, nikmatilah saat sekarang ini. “Kopinya enak.” Katanya mengomentari kopi miliknya. Bahkan orang bodoh sekalipun mengerti akan kebohongan itu.
“Kau tidak perlu memaksakan diri untuk meminumnya.”
“Tidak, ini enak kok. Sungguh. Saya belum pernah meminum kopi seperti ini.” Sekilas dia kehilangan sikap tenang dan anggun yang selalu ditunjukkannya dan digantikan dengan sikap layaknya anak kecil yang dengan setengah hati memakan sayuran karena dipaksa oleh ibunya. Aku akui, itu cukup menggemaskan. Bukan berarti aku sudah lama mengenalnya, tapi aku merasa hal-hal seperti ini adalah hal yang jarang ditunjukkannya kepada orang lain. Bukan hal yang coba dia tutup-tutupi, namun hanya jarang ditunjukkannya. Mungkin aku termasuk orang yang beruntung bisa melihat kejadian yang langka ini.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah jalan yang diguyur hujan. Ada yang aneh. Aku melihat genangan air di pinggir jalan yang mengalir deras masuk ke selokan menghanyutkan sehelai daun yang jatuh dari pohon di atasnya. Aku melihat versi lain dari diriku yang kecil nan mungil berdiri di atas daun itu. Mengangkat tangannya, melompat dan menyorakkan sesuatu layaknya anak kecil yang kegirangan. Terjebak dan hanyut terbawa arus air, namun tanpa ada rasa khawatir sedikitpun. Diriku yang mungil merebahkan badannya sambil membantali kepalanya dengan kedua tangannya dan menempatkan kakinya dalam posisi menyilang. Sepenuhnya santai. Tanpa beban. Hanya menikmati kemana arus membawa dirinya, seakan-akan dia sepenuhnya bebas. Tanpa kekhawatiran sedikitpun, maupun ketakutan akan kemana arah tujuan arus itu. Sama sekali tak terhentikan. Dia tidak bisa dihentikan. Kebebasan itu adalah hidupnya. Akhirnya daun yang ditungganginya mengalir masuk ke dalam selokan bersamaan dengan diriku yang mungil itu. Dan seperti itu saja, dia menghilang dari pandanganku, melanjutkan petualangannya tanpa sekalipun menoleh kearahku. Tiba-tiba aku diliputi oleh rasa iri yang membendung. Jika aku bisa punya kehidupan seperti itu, maka aku rela membayar seberapapun yang diperlukan. Bahkan aku akan menjual semua harta yang kumiliki demi bisa hanyut oleh arus seperti itu.
“… di… Rendi… kamu bisa mendengarku?”
Suara itu membangunkanku dari lamunanku. Aku menatap wajah gadis itu yang berusaha memanggilku dari tadi. “Maaf, kamu bilang apa?” kataku. Dia menatap wajahku seolah menganalisis raut wajahku.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Tidak ada, bukan hal yang penting.” Gadis itu memberikan gumaman panjang yang tampaknya dia tidak mempercayai apa yang kukatakan. Aku merasa dia bisa menebak lamunanku tapi memutuskan untuk tidak mengatakannya kepadaku. Aku ingin memujinya atas persepsinya yang tajam itu namun aku memutuskan untuk tidak berkata apa-apa.
Gadis itu mendudukkan dagunya di telapak tangannya sambil memandang ke arah jalanan. “Bukankah ini indah?”
“Apanya?”
“Hujan membuatmu merasakan banyak hal. Sering kali hujan akan membuatmu malas dan ngantuk, tetapi disaat yang sama kamu juga bisa merasa senang, sedih, melankolis, dan lain-lain. Hujan juga mampu membangkitkan kenangan masa lalumu. Kenangan-kenangan yang selama ini ingin kamu hapus dari ingatanmu akan kembali menghantuimu disaat hujan. Saya menyukai itu. Hujan memberikan saya banyak perasaan, baik maupun buruk. Dan itu membuat saya sadar kalau saya adalah seorang manusia.”
“Dan apa yang kau rasakan saat ini? Apakah saat ini kau merasa senang? Atau sedih?”
“Entahlah. Ini sebuah perasaan yang baru bagi saya. Maksudnya saya belum pernah menghabiskan waktu hujan dengan duduk dengan pria yang baru saya temui beberapa saat yang lalu. Bisa saja ini hal yang bagus, bisa saja ini hal yang buruk. Saya tidak bisa menentukannya.”
“Mungkin saja ini hal buruk, karena kalau hujan ini tidak terjadi kau tidak akan minum kopi hitam saat ini.”
“Mungkin itu ada benarnya.” Katanya sambil tertawa. “Bagaimana denganmu, Apa kamu menyukai hujan?”
Aku menyeruput kopiku. “Entahlah. Aku tidak pernah terlalu memikirkan itu. Kalau harus memilih mungkin aku tidak begitu menyukainya. Bagiku hujan hanya bagus dinikmati saat kau ingin merenungkan hidupmu. Dan saat aku merenungkan hidupku, aku hanya bisa melihat diriku apa adanya dan menyadari betapa buruknya diriku. Pernah sekali aku menghabiskan waktu dengan melihat pantulan wajahku di genangan air hujan. Wajahku beriak, tentu saja karena hujan sedang turun pada saat itu, aku bahkan hampir tidak bisa melihat wajahku sendiri di genangan itu. Tapi justru riak dari genangan air itu sama sekali tidak menampilkan wajahku. Melainkan sesuatu yang lain yang ada didalam diriku. Aku beriak, persis seperti genangan air itu. Dan pemandangan itu membuatku membenci diriku sendiri. Dan semenjak itu, hujan hanya memberikanku perasaan negatif.”
“Kalau begitu apakah kamu ingin hujan ini segera berhenti?”
“Mungin begitu.” Sejujurnya aku hanya ingin pulang dan bersantai di losmenku namun aku tidak mengatakan itu kepadanya.
“Benarkah? Saya malah berharap hujan ini berlangsung lebih lama lagi.”
“Tentu saja karena kau sangat menyukai hujan kan?”
“Tentu itu salah satu alasannya. Tapi coba pikir, jika hujan tidak turun hari ini maka kita tidak akan bisa bertemu kan?”
Disaat itu aku teringat oleh apa yang dikatakan kakekku saat aku masih kecil. “’Hidup itu seperti sebuah tali. Sebuah tali terbuat oleh susunan benang-benang yang saling berpegangan erat hingga akhirnya membentuk sebuah tali. Semua orang itu berbeda, namun pada akhirnya semua orang itu sama. Dibalik semua perbedaan yang kita miliki, manusia akan mencari sebuah pegangan kepada orang lain dan terus sambung menyambung hingga akhirnya menjadi satu. Dan jika kamu tidak pernah melepaskan peganganmu, suatu saat kamu akan menemukan sebuah benang istimewa yang akan membuatmu menjadi tali yang kokoh. Itulah yang dinamakan takdir.’”
Kemudian aku berpikir, “mungkinkah dia taliku?” Namun, apalah artinya sebuah pertemuan jika itu hanya berlangsung dengan singkat. Di saat ini, aku bahkan tidak yakin apakah pertemuan ini akan berujung lebih jauh lagi. Jika sebuah pertemuan hanya berakhir dengan melepaskan maka aku tidak mau melepaskan pertemuan ini.
“Hei Rendi, jika kamu bisa tidak melakukan apapun dalam hidup apa yang akan kau lakukan?”
“Maka aku tidak akan melakukan apapun.”
“Benarkah?”
“Bagaimana denganmu?”
“Mungkin… saya sama denganmu.”
Kami berjalan lurus di persimpangan. Tidak lama lagi kami akan sampai di losmenku. Dan aku tidak tahan untuk untuk tidak memikirkan aku akan segera berpisah dengan gadis ini. Mengingat belum lama ini kami bertemu dan mengobrol banyak hal, aku merasa langkahku semakin lama semakin bertambah berat.
Angin berhembus dari depan dan membuat wajahku basah terkena cipratan air hujan. Aku mendengar sebuah nyanyian merdu yang terpendam oleh suara hujan.
“Jika kau ingin terbang… ciptakanlah sebuah sayap… jika kau ingin kuat… makanlah sayur mayur…”
Aku tahu betul lagu itu. Itu adalah lagu dari acara tv anak-anak bertema pahlawan yang sangat populer saat aku masih kecil bernama “Superhero” (aku lupa judul lagunya). Karakter utamanya adalah sebuah timun yang memakai jubah dan bisa terbang di langit. Dia bertarung melawan para kotoran dan kuman yang berusaha untuk menyakiti anak-anak (menggelikan, aku tahu). Bagaimana mungkin aku tidak mengenal lagu itu, aku selalu berjoget dan menyanyikan lagu itu keras-keras dengan suara sumbangku setiap kali lagu itu dimainkan di tv sampai-sampai keluargaku memohon kepadaku untuk berhenti bernyanyi.
“Tidak kusangka masih ada yang menyanyikan lagu itu di zaman sekarang.”
“Kamu tahu lagu itu?” Akupun memberitahunya alasan aku mengetahui lagu itu.
“Mengingatnya saja membuatku kangen akan masa kanak-kanak.”
“Ahaha, sepertinya kita sama-sama punya masa kecil yang indah.”
“Aku setuju, menjadi anak kecil tanpa mengetahui lagu itu sama saja seperti tidak punya masa kecil.”
“Benar kan? Saya merasa kasihan terhadap mereka yang tidak mengetahui lagu itu. Saya harap acara itu masih tayang saat ini agar semua orang bisa mengetahui kehebatan lagu itu.”
“Mungkin itu hal yang bagus. Tapi kalau begitu tidak akan ada yang mau bekerja di dunia ini dan semua orang akan mencoba untuk menjadi pahlawan.”
“Hehe, kamu benar. Jika itu terjadi mungkin tidak akan ada orang yang memimpin negara ini.”
“Tidak ada yang mengemudikan taksi…”
“Tidak ada politikus yang rakus…”
“Tidak ada penculikan maupun perampokan…”
“Tidak ada perundingan di internet…”
“Tidak ada perbedaan pendapat…”
“Semua orang akan menjadi pahlawan.”
“Semua orang akan menjadi pahlawan…”
Kami berdua terdiam dalam renungan. Aku membayangkan betapa kacaunya dunia seperti itu. Dunia tanpa ada apa-apa, dimana semua orang mempunyai profesi yang sama sebagai pahlawan dan tidak ada yang berperan sebagai orang jahat. Memikirkannya saja sudah membuatku merinding dan berharap kalau dunia seperti itu tidak akan pernah datang.
“Jadi, kenapa kau tiba-tiba menyanyikan lagu itu?”
“Tidak ada alasan. Saya hanya ingin menyanyikannya.”
“Kau bernyanyi tanpa kekhawatiran sedikitpun. Apa kau tidak malu kalau nyanyianmu didengar oleh orang-orang disekitar?” kataku sambil menunjuk kearah perumahan disekeliling kami.
“Nah, menurut kamu bagaimana?”
“Aku yang bertanya duluan.”
Gadis itu menunjuk keatas. “Hujan memadamkan segala suara. Kamu bisa mengutuk dunia sesukamu, seseorang bisa saja datang membawa pisau untuk membunuhmu, atau kamu bisa bernyanyi sampai tenggorokan kamu serak, tidak ada yang akan memperdulikannya. Di momen senyap namun berisik ini, dimana semua suara yang kamu keluarkan hanya milik kamu seorang diri, akan membawa ketenangan bagi orang-orang yang punya telinga untuk mendengar. Karena itu, tidak ada yang perlu untuk dikhawatirkan.”
Sekali lagi dia membuatku tercengang. Bila tidak ada yang akan mendengar maka tidak masalah untuk mengeluarkan suara sebising apapun. Selama ini, aku selalu hidup didunia yang dipenuhi kebisingan, namun aku tidak pernah berhenti dan mencoba untuk mendengarkan kebisingan itu. Jika kebisingan itu akan memadamkan kebisingan yang kubuat, aku penasaran bagaimana hasilnya.
“Cucilah tangan sebelum makan… gosok gigi sebelum tidur… jika kau anak baik maka mimpimu akan indah…”
“Bangun tidur dan gosok gigi…”
“Sapa orang tuamu, jangan lupa makan sarapanmu… dan jangan lupa makan sayuranmu…”
“Ambil tasmu dan pergi kesekolah…”
Aku meneriakkan lagu itu seperti yang kulakukan saat aku masih kecil dan membuat gadis itu kaget. Aku menatap ke sekeliling berharap tidak ada yang mendengar teriakanku. Namun, setelah kuperhatikan aku tidak melihat sedikitpun perubahan disekelilingku. Satu-satunya yang berubah adalah sesuatu didalam diriku terasa lapang. Perasaan ini mengingatkanku saat pertama kalinya aku memutuskan untuk pindah dari rumah orang tuaku dan mendapatkan sebuah tempat tinggal milikku sendiri. Rasa lapang dan kepuasan yang kurasakan pada saat itu, kembali menghuni hatiku yang padat ini.
“Saya tidak menyangka, tampaknya kamu benar-benar menikmatinya.” Aku hanya membalas komentarnya dengan senyuman.
“Hei, apa yang harus kulakukan agar bisa sepertimu?”
“Apa maksud kamu?”
“Kau tampak sangat menikmati kehidupan. Tampaknya kau punya pandangan positif terhadap segala hal didunia. Bahkan di hujan yang suram ini, kau bisa bilang kalau kau menyukai saat seperti ini. Aku berpikir jika aku bisa sepertimu aku juga akan sedikit menikmati kehidupan juga.”
“Kenapa kamu tidak melakukannya dengan cara kamu sendiri? Semua orang berbeda dan apa yang saya lakukan mungkin tidak akan bekerja untuk kamu.”
“Itu masalahnya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”
Gadis itu memberikan senyuman hangat kepadaku yang tampak agak berbeda dari senyuman-senyuman yang diberikannya sebelumnya.
“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.”
Layaknya disambar petir meskipun tidak ada petir sama sekali yang menyambar. Aku mencoba mencari keberanian untuk menanyakan maksud perkataannya namun aku merasa itu bukan hal yang pantas untuk dilakukan. Karena di lubuk hatiku, aku tahu kalau dia benar.
“Kenapa kau tampak seperti sangat mengenal diriku?”
“Benarkah? Apa kamu yakin itu bukan khayalan kamu?”
“Tidak aku yakin. Entah kenapa kau selalu bisa mengatakan hal-hal yang ingin kudengar. Seakan kau adalah teman masa kecilku yang sudah mengenalku lama sekali. Tapi sejauh yang aku tahu aku baru mengenalmu hari ini. Hanya itu saja.”
“Sejauh yang saya tahu saya juga baru mengenal kamu hari ini.”
“Berhenti mengelak. Aku tahu kau berusaha untuk menyembunyikan sesuatu.” Kataku dengan nada mendesak yang aku tidak bermaksud untuk lakukan.
“Hahaha, baiklah. Kamu tidak perlu emosi seperti itu. Saya hanya bercanda.”
Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan perlahan. Aku sendiri juga tidak menyadari kalau aku menaikkan nada suaraku saat berbicara barusan. Entahlah aku merasa seperti terdesak untuk mendapatkan jawaban. Aku merasa jika aku tidak bisa mendapatkan jawaban untuk kehidupanku aku tidak akan bisa mendapatkannya lagi seumur hidupku.
“Jadi, bagaimana?”
“Hmm… bisa dibilang…” Aku menunggu dia menyelesaikan kalimatnya.
“Saya adalah bayangan, hasrat terdalam, masa depan, juga masa lalu. Bisa dikatakan kalau saya adalah diri kamu sendiri yang bersemayam jauh didalam dirimu.”
Aku mengernyitkan dahi mendengar kata-kata itu. Sekali lagi gadis ini membuatku bingung dengan perkataannya yang misterius.
“Apa maksudmu?”
Gadis itu kembali menatap jalanan sambil tersenyum tidak berniat menjelaskan maksudnya. Seakan dia mengatakan sesuatu yang sudah seharusnya aku mengerti namun tidak kumengerti sama sekali. Disaat aku ingin mengatakan sesuatu gadis itu melihat sebuah genangan besar di depan dan berlari begitu saja. Dia melompat ke genangan itu, mencipratkan air genangan ke sepatu dan roknya, berdiri dan berputar dengan satu kakinya dan menari layaknya anak kecil dan membentangkan tangannya sambil tertawa gembira tanpa peduli perlindungan dari payung.
“Rendi, ini menyenangkan, bagaimana kalau kamu mencobanya juga?” katanya memanggilku.
Betapa bebasnya dia tampak. Melepaskan dirinya dari segala kekangan dunia yang fana ini dan betul-betul bahagia. Kebebasan itu hampir tampak tidak manusiawi. Ada kehangatan yang terpancar dari wajahnya yang dingin dan tidak bereskpresi itu. Aku tidak berniat untuk bergabung dengannya. Aku hanya memandangnya dari tempatku berdiri sambil melindungi diriku dibawah payung. Layaknya sihir yang dilantunkan kepadaku, dirinya yang bermain bebas disitu telah menghapus semua kekhawatiran dalam diriku dan menghapus segala keresahan di hatiku. Layaknya matahari yang menghapus awan hujan. Disitu aku akhirnya yakin kalau momen ini hanya akan terjadi sekali dalam hidupku dan tidak akan pernah kudapatkan lagi. Secara realistis aku bisa saja pergi dan mencoba mencari momen seperti ini lagi, namun nihil yang akan kudapatkan juga akan sama realistisnya. Namun aku tidak peduli akan hal itu. Setidaknya jika aku tidak bisa mengalaminya lagi, aku ingin menikmati sepuasnya, gadis hujan ini. Gadis ini, yang kulihat diseberang jalan kemudian mendatangiku dan menawarkan payungnya kepadaku. Gadis ini, yang punya gaya berpakaian unik. Gadis ini, yang sangat menyukai hujan, telah merubah sesuatu dalam diriku. Sesuatu yang tidak bisa kurubah seorang diri tanpa bantuan orang lain. Gadis penyuka hujan ini entah bagaimana telah memberikan matahari kepada hatiku yang selalu diguyur hujan. Dan untuk itu aku sangat bersyukur kepadanya.
Setelah perjalanan panjang akhirnya kami sampai ke losmen tempat tinggalku. Yang artinya ini adalah akhir dari pertemuan kami.
“Baiklah, kita sudah sampai.”
“Benar, kita sudah sampai.”
“Jadi… terima kasih telah mengantarkanku pulang.”
“Tidak perlu sungkan begitu. Saya senang bisa melakukannya.”
Ditengah tata krama yang canggung itu langit telah memancarkan cahaya dan hujan telah berhenti. Menyadari sang payung telah menunaikan tugasnya dengan baik, gadis itu menutup payung yang dipegangnya dengan lembut dan penuh perhatian.
“Jadi, hujan sudah berhenti.”
“Tampaknya begitu.”
“Apa itu artinya kau akan pergi?”
Gadis itu memberikan senyum yang pahit. “Ya, saya akan segera pergi.”
Aku mencoba mencari kata-kata yang pas untuk situasi ini. Aku tahu kalau ini adalah perpisahan. Aku tahu itu, aku sudah menerima kenyataan itu. Namun disaat seperti ini berat rasanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Situasi ini mengingatkanku dengan kucing peliharaanku yang meninggal saat aku masih kecil. Aku ingat memeluk tubuh lemasnya sambil menangis dengan keras dan menolak untuk menguburkannya. Aku tahu kalau dia tidak akan bernafas lagi tapi aku tetap tidak mau dia meninggalkanku. Bedanya kali ini, tidak ada air mata yang keluar. Kali ini hanya ada perasaan pahit namun juga manis didalam mulutku.
“Baiklah, saya pergi dulu.” Katanya sambil membalikkan badan dan berjalan menjauh dariku.
“Hey.” Panggilku. Gadis itu menoleh kembali kearahku. “Apakah aku bisa bertemu denganmu lagi?” Aku menanyakan hal yang aku sudah tahu jawabannya. Gadis itu memberikan senyum dinginnya kepadaku yang dari jarak ini terasa amat hangat.
“Saya tidak yakin dengan hal itu.” Aku menunduk dengan kecewa namun juga lega disaat bersamaan.
“Kita tidak akan bertemu lagi, akan tetapi saya akan selalu ada bersamamu. Saya akan menemanimu dalam hidupmu dan selalu bersamamu sampai akhir.” Untuk terakhir kalinya dia mengeluarkan kalimat misteriusnya. Namun kali ini aku merasa mengerti apa yang dia katakan. Sebelum dia betul-betul pergi meninggalkanku aku memiliki satu permohonan untuknya.
“Aku mohon. Apapun yang terjadi jangan pernah berubah. Jika suatu saat kau bertemu dengan orang sepertiku tolong bantu dia. Aku yakin orang itu akan sangat menghargainya.
Gadis itu kembali tersenyum. “Baiklah, saya berjanji.”
“Baiklah Rendi, semoga kamu menemukan apa yang ingin kamu lakukan dan menemukan kebahagianmu”.
Gadis itu berbalik dan berjalan meninggalkanku. Aku menatap dirinya yang berjalan semakin jauh dariku sampai akhirnya dia lenyap begitu saja layaknya ditelan bumi meskipun masih didalam jarak pandangku. Aku tidak merasa sedih sedikitpun. Justru aku malah tersenyum melihat kepergian dirinya. Di detik itu, aku merasa seperti bayi yang baru saja lahir dan bersiap untuk menghadapi dunia ini. Seakan aku mampu menghadapi segala tantangan dalam hidup ini. Pertemuan kami memang terasa singkat dan jika mengikuti alur waktu dunia bisa dikatakan kalau pertemuan kami sama sekali tidak memiliki makna apapun. Namun, setidak bermaknanya itu telah memberikan pengalaman berharga untukku. Bukankah itu artinya menjadi manusia? Mencari makna dari tidak adanya makna. Aku mencatat itu dalam hatiku. Mungkin, mungkin saja, aku juga bisa melihat cuaca yang cerah disaat aku membuka jendela kamarku. Aku jadi teringat, pada akhirnya aku tidak tahu siapa nama gadis itu. Ah ya sudahlah, toh itu tidak penting sekarang.
Aku berjalan dan memasuki pagar losmenku. Tiba-tiba saja aku ingin memanjakan diriku. Mungkin aku akan membuat secangkir kopi susu untukku.