Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jika ada hal yang paling Neo benci di bulan Juni, itu pasti hujan.
Lagipula ... bayangkan saja! Sudah sekitar dua jam lelaki berseragam putih abu dibalut hoodie hitam itu duduk sendirian di halte bus jalan Sandubaya. Ia memasukkan kedua tangan di saku guna menghalau dingin, sembari memandang suntuk rintik hujan yang jatuh dari ujung atap halte.
"Ini kapan bisa pulangnya dah?!" Neo menggumam sebal.
Sejenak, fokusnya terpecah pada sosok gadis dari seberang jalan. Gadis dengan rambut lepek terkuncir satu itu tampak bergegas menyeberang begitu mendapati jalanan yang sepi. Neo pun mengernyit bingung begitu mendapati payung biru muda di tangan kanan gadis asing tersebut.
Kenapa dia berteduh padahal punya payung?
Neo pun melengos berpura-pura tidak terlalu peduli. Dari ekor matanya, Neo mendapati gadis dengan dress hitam selutut itu duduk di bangku besi halte sambil merogoh tas selempang.
Apa yang tengah ia cari?
"Loh, kok enggak ada?" gumam gadis itu tampak panik sekaligus bingung.
Beberapa saat kemudian, gadis berambut sebahu itu menoleh pada Neo. Lagi-lagi, Neo meluruskan pandangan ke depan---berpura-pura tidak menyadari kesibukan gadis yang kini bahkan menatapnya ragu.
"Kak!" panggilnya sedikit keras, berusaha menghalau suara hujan yang semakin menderas.
Neo menoleh sedikit terkejut. "Iya?"
"Boleh pinjam hp? Saya mau telepon seseorang," pinta gadis itu sedikit kikuk namun dengan tatapan penuh harap.
"Saya enggak bawa hp," jawab Neo jujur.
Neo dari sekolah dan terjebak hujan dari siang tadi. Pemuda itu bahkan tidak ingat sudah berapa lama dia terjebak di sini.
"Aduh ... gimana ya ini?" Gadis itu semakin menggumam panik begitu mendengar jawaban Neo.
Neo tentu saja penasaran dia ingin menelepon siapa. Beruntungnya, dia cukup sadar untuk tidak merecoki gadis yang terlihat luar biasa kelimpungan itu.
"Kak!" Tiba-tiba, ia memanggil lagi.
Neo sedikit terlonjak begitu menemukan presensi gadis itu yang kini tiba-tiba berdiri tepat di hadapannya. Dia tampak luar biasa buru-buru seolah tengah dikejar sesuatu.
Demi Tuhan, mulut Neo benar-benar gatal untuk bertanya ada apa. Namun, yang bisa ditunjukkannya hanya kernyitan bingung yang semakin membuat gadis di depannya terlihat menunduk canggung.
"Kakak punya uang? Saya mau pinjam! Saya beneran butuh sekarang juga." Susah payah, gadis itu akhirnya mengatakan hal tersebut.
Neo berpikir sejenak. Sebenarnya, dia punya, tetapi hanya duapuluh ribu rupiah. Itu pun untuk ongkos bus atau ojek online agar dia bisa pulang.
"Cuma duapuluh ribu. Mau?" Anehnya, Neo menawarkan semua sisa uangnya tanpa ragu.
Entah karena Neo merasa kasihan, atau pada dasarnya dia memang bodoh. Karena jika gadis itu mengambil uangnya sekarang, maka Neo harus pulang jalan kaki di saat perutnya bahkan sudah keroncongan.
"Sebenarnya masih kurang ...," lirih gadis itu sedikit kecewa.
"Jam tangannya ... boleh dipinjam juga, nggak?" sambung gadis itu begitu melirik benda di pergelangan kirinya.
Neo mendelik terkejut dengan pertanyaan gadis itu. Bagaimana bisa orang asing tiba-tiba menawar untuk meminjam jam tangan kesayangannya? Apa gadis di depannya ini orang gila atau sejenis penipu?
"Kayaknya enggak boleh, ya? Maaf ...," ujar gadis itu murung.
"Uangnya masih mau?" tanya Neo lagi menyadari kesungkanan gadis itu setelah mendapat penolakan tidak langsung darinya.
"Boleh deh. Nanti saya cari tambahannya."
Neo pun segera mengeluarkan uang duapuluh ribuan kusut dari saku celana abunya. Kemudian, pemuda itu menyerahkan satu-satunya sisa uang yang ia punya meski sedikit tidak rela.
Gadis itu pun menerima dengan mata berbinar cerah. Begitu mendapatkan uang tersebut, ia segera merogoh tas selempangnya lagi kemudian mengeluarkan satu botol kecil ukuran 30 mili.
"Kak, simpen ini, ya? Buat jaminan semisal kita enggak ketemu lagi. Itu parfum kesukaan saya, baru dibeli dan belum dipake." Gadis itu menjelaskan sambil menyodorkan Neo botol kaca kecil yang katanya sebuah parfum.
"Enggak perlu. Saya masih punya parfum lain." Neo menolak halus.
"Tolong terima aja, biar saya tenang dan enggak ngerasa punya utang," pinta gadis itu cepat.
"Makasih ya, Kak? Semoga kita ketemu lagi!" sambungnya sebelum kemudian berlari pergi menerobos hujan.
Neo memandangi kepergian gadis itu hingga punggung sempitnya menghilang dari pandangan. Sambil memandangi botol kecil itu lamat-lamat, Neo mencoba membuka kemudian menghidu aroma dari barang jaminan yang didapatnya.
"Wangi apel ...," gumam Neo sedikit senang, karena dia memang suka wangi buah tersebut.
Setelah dipikir-pikir, gadis tadi memang beraroma parfum ini juga. Aroma apelnya bahkan menyengat jelas saat ia berdiri di depan Neo tadi. Namun, ia tidak terlalu memperhatikan karena terkejut gadis itu tiba-tiba malah meminjam uang.
"Lah, payungnya ketinggalan." Neo mengerjap terkejut begitu mendapati payung biru muda yang tadi dibawa gadis itu masih tergeletak di bangku besi halte.
Sambil menebak-nebak urusan apa yang membuat gadis tadi sepanik itu, tanpa sadar hujan mulai mereda. Neo pun memilih pulang, lebih tepatnya TERPAKSA pulang berjalan kaki.
Uang untuk ongkos bus atau ojeknya sudah tidak ada. Tetapi setidaknya, ia pulang membawa parfum serta berlindung payung hari ini. Anggap saja tadi Neo telah melakukan barter.
Hari itu, Neo sampai rumah dengan kaki luar biasa pegal. Selesai membersihkan diri kemudian istirahat, ingatannya malah kembali pada gadis di halte tadi.
Jika situasinya memungkinkan, Neo ingin menanyakan apa yang terjadi hingga gadis itu terlihat begitu panik tadi. Neo juga ingin mengembalikan payung dan parfum miliknya.
Katanya, itu parfum kesukaannya. Dia bahkan belum memakainya sama sekali tetapi merelakannya untuk Neo sebagai jaminan. Neo jadi merasa bersalah karena menerimanya.
Esok paginya, Neo berangkat sekolah sambil membawa parfum dan payung itu. Kemudian sesuai dugaannya, hujan turun deras begitu jam pulang. Neo kembali duduk di halte berharap gadis itu datang dan mengambil kembali barangnya.
Sayangnya, hingga hujan reda bahkan langit mulai jingga, gadis itu tidak datang juga. Neo juga bingung kenapa ia malah menunggu begitu lama.
Anehnya, hari berikutnya, Neo malah melakukan hal yang sama; terjebak di halte karena hujan saat pulang sekolah, membawa payung dan parfum milik gadis waktu itu, bahkan menunggunya datang hingga hujan reda.
Namun, tidak ada.
Bahkan sampai Juni berganti bilangan, dan musim hujan tidak lagi menyambangi kota Mataram, Neo tetap menunggu di tempat yang sama.
Namun, tetap tidak ada.
Gadis itu tidak pernah muncul lagi.
Padahal, Neo tetap membawa payung ke sekolah meski sudah memasuki musim kemarau---sampai beberapa teman mengatainya aneh. Padahal, Neo yang awalnya membenci hujan, diam-diam mulai menunggu waktu itu tiba. Padahal, gadis itu belum mengambil parfum dan payung biru muda miliknya. Padahal, Neo belum bertanya apa yang terjadi padanya sore itu.
Padahal, mereka belum sempat berkenalan.
__TAMAT__