Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gadis & Rongsokan
"Hei tunggu, 'yaaahhhhhh' !!!" teriak Nina. "Kalau telat gini terus, Bu Sri pasti nyanyi lagi deh." pekik Nina sambil berjalan. Semenjak SD dan bahkan sampai SMA, bukan hal baru baginya untuk berjalan sejauh 8 kilometer menuju tempatnya bersekolah. "Tin tin tin", Nina pun tersentak sambil menoleh ke belakang. Ternyata itu adalah bunyi klakson sebuah mobil pribadi dan berhenti di bahu kiri jalan, tepat di sisinya. "Halo Nina." sapa supir tersebut. "Halo, Pak Aris, Halo Bu Dina." balas Nina. "Bapak dan Ibu mau ke kota. Kebetulan ke arah yang sama dengan sekolahmu. Kalau mau menumpang, kamu boleh di belakang ya." tawar Pak Aris dan Bu Dina sembari tersenyum. "Beneran nih Pak, makasih banyak ya Bapak Ibu." Nina seraya tersipu malu.
Pak Aris dan Bu Dina, keduanya adalah suami-istri sekaligus pengusaha kaya raya yang cukup terpandang di seluruh kecamatan di daerahnya. Mereka memiliki usaha di berbagai bidang. Salah satunya menyediakan material untuk urusan pembangunan. Pak Aris bertubuh tinggi dan tegap. Semua orang yang pernah bertemu dengannya, sangat segan dengan kepribadiannya. Sedangkan Bu Dina, memiliki paras cantik dan semampai dengan bentuk wajah lancip. Karakternya terlihat lembut juga pendiam. Dia terkesan seperti Duchess, bak wanita bangsawan terhormat. Selama 26 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, mereka tampak tak terpisahkan satu sama lain. Sekalipun, belum dikaruniai seorang buah hati.
"Anak yang malang." gumam hati Pak Aris sambil menyetir. Sedari dulu dia tahu, bahwa anak itu istimewa. Ada sesuatu dalam diri anak itu. Tatapan polos nan dalam. Ada penderitaan dan luka dalam di hatinya. Sayang, nasib baik tak berpihak. Ibunya meninggal dunia sewaktu melahirkannya. Tak cukup sampai disitu. Ayahnya menitipkan ia sejak bayi pada kakek dan neneknya. Tak lama kemudian, beristrikan baru dan pergi meninggalkan dirinya. Selang beberapa tahun kemudian, ketika ia duduk di bangku kelas 1 SMA. Ia kembali berduka atas kepergian neneknya.
Pak Aris seringkali memandangi Nina di kejauhan. Melihat langkahnya yang begitu kokoh. Seolah langkahnya berkata, "Kalian tidak bisa membenamkanku. Aku akan mengalahkan kalian."
Pada suatu waktu, Pak Aris mampir bertamu menemui kakek Nina untuk sekadar mengobrol, sewaktu Nina sedang bersekolah. "Nina bersikeras ingin menjadi ilmuwan mesin." celetuk kakeknya. "Dia selalu terjebak dengan tumpukan mesin elektronik bekas yang dibawanya dari pasar loak. Entah apa yang ada di pikiran anak itu." Ungkap kakek Nina sambil menggelengkan kepala. Kakek Nina pun berdiri dan berkata pada Pak Aris, "Mari, saya mau menunjukan sesuatu." Pak Aris pun mengikuti langkahnya dan sampai pada sebuah ruangan yang tak lain adalah kamar Nina. Ketika masuk, pandangannya segera menyapu seluruh ruangan. Kamar itu berukuran 3×3 minimalis, ranjang tepat berada di tengah menghadap pintu dan latar dinding berwarna hijau muda. Di dalamnya penuh dengan tetek bengek gulungan kabel, beberapa perangkat mesin bekas, dan sebuah komponen mesin aneh yang bersambung tidak keruan dengan bentuk miniatur di atas kasur. "Sepertinya anak ini punya masalah serius dengan kerapihan." pikir Pak Aris. Tepat di sebelah kiri ranjang, ada sebuah laci kayu kecil berbahan jati. Di atasnya terpajang potret hitam putih wajah wanita muda yang terasa familiar bagi dirinya dengan mode rambut blonde beserta bingkai photo terbuat dari lempengan besi nan halus. "Masalah selera seni juga termasuk." gumamnya lagi.
Ketika Pak Aris menoleh ke belakang, sesuatu pada dinding sebelah kanan pintu mengalihkan perhatiannya. Sebuah poster gedung bak istana khas eropa dengan kubah menjulang tinggi yang diapit dua gedung bertingkat. Tepat di pintu masuk gedung, terdapat kolam panjang dengan pancuran air. Tepat di bawah poster tertulis, "Paris Sorbonne University."
Tak lama kemudian terdengar langkah kaki seperti berlari kecil seseorang masuk dari pintu depan. "Kakek aku pulang 'Braaaaaakkk' kakek dimana nih." panggil Nina."Kakek di kamarmu nak." sahut kakek Nina.
Nina pun segera beranjak ke kamar dengan bunyi gemerincing disertai kegaduhan lain yang tengah dibawanya.
Sontak Nina tak menduga kehadiran Pak Aris di kamarnya yang sekaligus tempat eksperimen pentingnya. Walau semuanya cenderung terlihat seperti ledakan kapal barang. Dengan segera Pak Aris mengeluarkan beberapa kata demi menghilangkan kecanggungan dan berusaha menjelaskan bahwa kehadirannya di kamar tersebut, serta merta atas ajakan kakeknya. Bukan atas kemauannya.
"Duhhhh kakek, ada yang dipindahin gak?" tanya Nina sembari memastikan letak posisi barang apakah sama persis seperti saat dia tinggalkan. "Gak ada yang kakek pindahin nak. Kakek sama Pak Aris cuma mau lihat-lihat." pungkas kakeknya. Nina pun menoleh pada Pak Aris seraya tersenyum, disertai tatapan yang sekaligus memastikan bahwa kedua tangannya melakukan hal bijak selama kunjungan ini. "
"Nina, bagaimana dengan kegiatanmu hari ini?" tanya Pak Aris berusaha mencairkan suasana. "Semuanya selalu berantakan setiap hari. Seseorang memanggilku dengan 'Gadis rongsokan' sepanjang jalan. Ini semua karena aku terlalu banyak bermimpi tentang seperti 'Curie'." ucapnya bernada sedikit ketus. "Tidak pernah ada 'Gadis rongsokan' yang berada disini." sahut Pak Aris seraya menunjuk sebuah poster gedung yang berada dekat pintu kamar. Nina pun menoleh dan tertuju pada poster tersebut. Terlihat binar-binar, bak kilau nirwana dari pandangan matanya.
"Makasih ya Pak Bu." Ucap Nina berterima kasih karena sudah diantarkan sampai ke sekolah." Hati-hati ya nak!" Ucap Pak Aris dan Bu Dina seraya tersenyum.
"Tunggu!!!!!!" panggil Bu Dina. Ia pun menghampiri Nina sebelum memasuki gerbang dan tanpa sebab mengelus wajah Nina seraya menatap matanya. "Kenapa nih, mungkin wajahku aneh kah." gumam Nina. Bu Dina pun segera berbalik dan meninggalkan Nina dengan segudang tanda tanya. Sekali lagi, sekilas Nina melihat Pak Aris nampak tersenyum ke arahnya.
Biasanya Nina pulang ke rumah dari sekolah pukul tiga sore. Tampaknya ia akan sedikit terlambat pulang dan selalu begitu. Kebiasaannya sepulang sekolah, ia selalu mampir ke gudang mesin elektronik bekas milik Koh Rudi dan mengobrak-abrik segala sesuatu yang menjadi pusat perhatiannya. Koh Rudi mengenal Nina, sejak ia masih kecil. Jadi hal tersebut sama sekali tak mengganggunya. Terlebih, beberapa barang tersebut memang sudah tak layak pakai. Bahkan seharusnya dibuang. Tampaknya dengan Nina mem-preteli barang-barang tersebut dan memanfaatkan dengan membawa pulang ke rumahnya. Walhasil kamarnya menjadi gudang rongsok kedua. Sesekali Nina membantu Koh Rudi dalam menyortir sekumpulan TV dan barang elektronik yang sekiranya masih layak pakai untuk perbaikan ulang. "Anak ini punya mata yang cukup jeli." Pikir Koh Rudi. Bukan tanpa sebab, bahwa beberapa kali Koh Rudi keliru dalam perbaikan dan terselamatkan oleh Nina.
Di sisi lain, sesekali ia memandang dengan wajah prihatin pada anak tersebut.
Waktu itu minggu pagi. Nina bangun lebih awal dari biasanya. Walaupun kebiasaan ini hanya berlaku pada hari minggu. Semalaman ia begadang melakukan beberapa eksperimen yang terlihat menurutnya agak masuk akal dalam "Ketidak masuk akalan." Konon menurutnya, beberapa hal dengan mudah dapat tuntas hanya bermodalkan selotip dan gunting. Ternyata kali ini, semua di luar perkiraannya.
"Nina, sini nak. Ada tamu." Panggil kakek.
"Aku lagi sibuk kek, sebentaaar…." Sahut nina.
Panggil kakek lagi, "Ini ada Bu Dina." Nina pun tersentak.
Sebelum beranjak, benaknya sempat bertanya-tanya tentang kedatangan Bu Dina ke rumah. "Mungkin karena wajah anehku kah. Apa aku punya salah kali ya." Renung Nina. Jika itu alasannya, sepertinya ia berniat untuk meminta maaf dan berjanji takkan merepotkan lagi seperti menumpang ke sekolah.
Terlihat Bu Dina datang bersama seorang pria paruh baya yang tak lain adalah supirnya.
"Selamat pagi bu, apa saya punya salah ya Bu. Saya minta maaf sudah merepotkan kemarin." ucap Nina terburu-buru dan cemas.
"Kamu gak merepotkan nak. Sini duduk sama Ibu." Ucap Bu Dina seraya mengajak Nina dan menggenggam tangannya. "Bagaimana dengan sekolahmu nak?" Tanya Bu Dina. "Semuanya baik-baik saja Bu. Sebentar lagi lulus" Jawab Dina.
"Apa rencanamu nanti?" Tanya Bu Dina. "Saya akan mencari kerja dan mengumpulkan uang untuk kuliah." Jawab Nina. "Ibu bertanya-tanya, bagaimana kamu bisa kuat pergi sekolah dengan berjalan kaki sejak dulu?" Tanya Bu Dina. "Kakek pernah bilang, semua orang harus punya mimpi. Kamu harus melawan dan berani." pungkas Nina.
Tak lama kemudian, Nina mengajak Bu Dina menyambangi kamar tercintanya yang bak kapal pecah tersebut. Tampak raut wajah syok pada diri Bu Dina. Seumur hidupnya baru kali ini melihat seorang gadis yang berkutat dalam dunia seperti ini. Gadis seusianya biasanya melakukan hal-hal centil pada masa pubertas. Tapi anak ini berbeda. Anak ini punya semangat dalam dirinya. Dia tak menyerah dengan keadaan. Pandangan mata Bu Dina pun tertuju pada sebuah poster yang menarik perhatiannya. Ia pun segera merogoh tasnya mengambil selembar kertas dan berusaha menyamakan poster tersebut bersama lembaran kertas di tangannya.
Seketika Bu Dina menoleh pada Nina. "Inikah mimpi kamu?" Ucapnya seraya tersenyum. Butuh waktu beberapa menit untuk Nina sadar dari rasa tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Dengan segera ia mendekap Bu Dina. Tanpa terasa, derai air mata, membasahi pipi Bu Dina. Kasih sayang, cinta. Kian hanyut berpadu dalam sebuah pelukan.