Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Fragmen Dialisa
1
Suka
98
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Fragmen Dialisa

 

Langit pagi masih diselimuti kabut tipis, sementara kota mulai terjaga dalam irama hiruk-pikuknya. Dunia kerja, tempat ambisi dan kewajiban bertemu, adalah panggung bagi manusia yang tiada henti bergerak. Rel kereta bergetar, menciptakan desiran angin yang memecah sunyi. Pintu gerbong terbuka, gelombang manusia menyerbu masuk, bergerak dalam irama mekanis—berdesakan, berlari, saling dorong, seolah waktu adalah segalanya. Yah, itulah pagi yang mengawali mereka sebelum bekerja. Dunia yang ia alami setiap hari tanpa henti. Di tengah desakan, Anna berdiri, pikirannya melayang, hal apa yang akan terjadi padanya hari ini? Bagaimana bisa dulu ia yakin bahwa tempat itu adalah panggung yang tepat untuknya.

Hari ini, dinas pagi pertamanya di ruang Hemodialisa—atau lebih akrab disebut ruang cuci darah. Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, ia akhirnya berdiri di depan pintu ruang kerja barunya. Di pintu itu, ukiran berbentuk ginjal dengan sebuah hati kecil di tengahnya tampak mencolok, seolah menjadi penanda khas ruangan ini. Melihatnya, Anna menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir gugup yang tak mau sepenuhnya hilang. Dalam hati ia berkata, semoga kali ini ia bisa tetap bertahan disini.

Bagi Anna, ruangan ini lebih dari sekadar tempat kerja baru. Ini adalah persimpangan—apakah ia bisa kembali menemukan alasan untuk bertahan, atau justru tempat pemberhentian terakhirnya sebagai seorang perawat.

“Selamat pagi,” sapanya dengan suara ramah ketika ia tiba di ners stasion.

Dua perawat menghentikan percakapan mereka, menoleh hampir bersamaan. Salah satunya, wanita dengan rambut sebahu dan senyum hangat, menyapa dengan anggukan ringan.

“Pagi…” jawab mereka hampir bersamaan, nada suara mereka ramah meski sedikit ragu.

Perawat pria di sebelah wanita itu memiringkan kepala, ekspresinya seolah berusaha mengingat sesuatu. “Ah! Perawat baru, ya? Kemarin Bu Elsye bilang akan ada perawat baru hari ini,” katanya.

Anna tersenyum tipis, mengangguk. “Benar. Saya Anna. Mohon kerja samanya,” jawabnya sambil menatap mereka satu per satu, berharap bisa segera akrab dengan rekan-rekan barunya.

“Aku Desi, dan ini Yoga,” wanita itu memperkenalkan diri sambil menunjuk rekan prianya yang berdiri di sebelahnya. “Semoga kau betah di sini.”

“Bu Elsye belum datang, kamu bisa siap-siap dulu sebelum operan,” tambah Yoga, suaranya tenang tapi penuh perhatian.

“Terima kasih,” jawab Anna.

“Ruang gantinya ada di belakang. Mari, aku tunjukkan,” kata Desi sambil melambaikan tangan untuk mengisyaratkan Anna agar mengikutinya. Saat mereka berjalan, Desi melontarkan pertanyaan dengan nada penasaran, “Aku dengar kau pindahan dari ruangan lain. Dari ruang apa?”

“Ruang Mawar,” jawab Anna.

“Ah, ruang khusus paru,” balas Desi sambil mengangguk pelan. “Kurasa kamu pasti sudah ikut pelatihan sebelum ke sini. Aku hanya akan menjelaskan singkat tentang ruangannya dan lebih detailnya biar Bu Elsye yang menjelaskan.” Anna mengangguk pelan sebagai tanda respon.

“Baiklah,” lanjut Desi saat mereka berhenti di depan sebuah pintu dengan papan kecil bertuliskan Ruang Ganti Perawat. “Ini ruang gantinya, di sebelahnya ruang istirahat. Operan dimulai jam tujuh. Setelah itu, pasien rawat jalan datang sekitar pukul setengah delapan.”

Lalu Desi menunjuk ke arah ruangan yang tadi sempat mereka lewati. “Bilik di depan ners station tadi untuk pasien rawat jalan, sebelahnya rawat inap, dan yang tertutup dengan jendela besar itu khusus untuk pasien dengan penyakit menular pernapasan,” lanjutnya dengan suara ramah.

Ia melanjutkan kembali sambil menoleh ke Anna, “Biasanya aku yang menangani pasien di rawat inap, sedangkan Yoga lebih sering mengurus rawat jalan, tapi kadang aku membantunya bila pasien rawat inap sedang tidak banyak.”

Desi menatap Anna sejenak, memastikan ucapannya dimengerti. “Kalau ada yang ingin kamu tanyakan atau butuh bantuan, jangan ragu untuk bertanya, ya,” tambahnya dengan senyum hangat.

Anna mendengarkan dengan saksama, memastikan ia mencatat informasi itu dalam pikirannya. “Baik. Terima kasih banyak, Desi,” ucapnya dengan nada penuh rasa terima kasih.

Desi tersenyum ramah. “Kami di sini sudah seperti keluarga, bahkan dengan pasien. Jadi santai saja, ya.” Dengan senyuman yang hangat, Desi mengisyaratkan agar Anna merasa nyaman di hari pertamanya.

Waktu berlalu dengan cepat. Setelah operan selesai, Anna berjumpa dengan Bu Elsye, kepala ruangan yang tampak tegas, namun memiliki keramahan yang menenangkan. Saat mengikuti Bu Elsye, Anna menyaksikan langsung proses pemasangan selang hemodialisa. Sesekali, Bu Elsye berbincang dengan pasien, menciptakan suasana hangat di tengah tindakan medis yang kompleks.

Kini, giliran Anna mencoba. Dengan konsentrasi penuh, ia mulai menangani pasien pertamanya. Wajah-wajah baru menyambutnya, menatap dengan ramah dan penuh rasa ingin tahu, beberapa bahkan melontarkan pertanyaan ringan tentang dirinya.

“Perawat baru, ya?” tanya seorang pasien, wanita paruh baya dengan senyum tipis.

Anna hanya tersenyum kecil. “Iya Bu. Salam kenal. Saya Anna, bisa dipanggil Sus Anna.” Ibu itu pun membalas dengan senyuman.

“Permisi ya, Bu. Ibu boleh bantu tarik napas dalam,” ucap Anna dengan nada tenang sambil mempersiapkan jarum yang akan ditusukkan ke cimino—area yang menjadi akses hemodialisa di lengan atas. Tangannya bergerak terampil, namun tetap penuh kehati-hatian, seperti yang telah dia latih selama bertahun-tahun.

Ibu itu mengikuti instruksi, menarik napas panjang dan menahannya sejenak. Dengan gerakan yang presisi, Anna menyelesaikan prosedur tanpa ragu sedikit pun. “Sudah selesai, Bu,” katanya sambil tersenyum.

“Terima kasih ya, Sus,” jawab pasien itu dengan nada lega.

“Dengan senang hati,” balas Anna sambil tersenyum, merapikan kembali alat-alat yang ia gunakan dan membuang bungkus sampah sisa dengan cekatan. Ia menarik napas ringan, merasa lega karena prosedur pertamanya di ruangan ini berjalan lancar.

Ketika ia berjalan melewati ners station, suara Desi terdengar memanggilnya. Anna segera menoleh.

“Anna, Bisa tolong bantu pasien di sebelah? Ada pasien rawat inap dari Lily yang baru datang. Maaf karena aku harus segera menyelesaikan laporan yang diminta Bu Elsye,” ujar Desi dengan nada penuh harapan.

“Oke,” jawab Anna sigap. Ia segera mengambil peralatan yang diperlukan, memastikan semuanya lengkap sebelum berpindah ke bilik sebelah. Di sana, seorang pria duduk di atas bed menunggu dengan tatapan tenang. Usianya mungkin baru menginjak awal 30-an.

“Permisi, Bapak Andi, ya?” tanyanya sopan.

“Iya,” jawab pria itu sambil tersenyum kecil. “Perawat baru ya? Biasanya sama Sus Desi atau Mas Yoga kalau pagi.”

Anna tersenyum seraya membalas, “Benar. Sus Desi dan Sus Yoga sedang sibuk jadi saya yang menggantikannya sebentar. Salam kenal, saya Suster Anna.”

“Oh, Sus Anna,” gumam pria itu sambil mengangguk.

Anna ikut mengangguk sambil menyiapkan mesin hemodialisa yang akan digunakan. “Saya tensi dulu ya, Pak.”

Pasien bernama Andi itu mengangguk dan mempersilahkan lengannya.

“Sudah berapa lama Sus jadi perawat?” tanyanya kemudian, memecah keheningan.

“Hm... sekitar tujuh tahun, sepertinya,” jawab Anna sambil mencatat hasil tensi. “Hasilnya 124/70, normal ya, Pak.”

Andi mengangguk dan melanjutkan pertanyaanya, “Pindah dari rumah sakit mana?” ia tampak seolah tertarik atau hanya sekedar untuk mengisi keheningan.

“Bukan pindah rumah sakit, hanya pindah ruangan saja,” jawab Anna, tersenyum kecil.

“Sebelumnya di ruang apa?”

“Di Mawar,” jawab Anna sambil menyiapkan jarum dan peralatan lainnya. Ia melirik ke arah Andi. “Pak, saya tusuk dulu jarumnya, ya. Bapak bisa bantu tarik napas dalam.”

Andi menarik napas dalam-dalam, lalu, dengan suara santai namun tetap berusaha menahan rasa sakit, ia berkata, "Andi. Panggil Andi saja, jangan pakai 'Pak'. Saya belum sampai ke tahap itu."

Anna tersenyum ringan. “Oh? Kalau begitu, saya panggil Kak Andi saja ya?”

“Mas juga gak apa apa,” jawab Andi sambil terkekeh pelan.

Obrolan berlanjut saat Anna menyelesaikan prosedur dengan tenang. Andi, dengan nada penasaran, terus melontarkan pertanyaan tentang pekerjaan Anna sebagai perawat—dari ruangan seperti apa saja yang pernah ia tangani, hingga alasannya memilih profesi ini.

“Awalnya, jadi perawat bukan rencana saya,” ujar Anna tersenyum. “Saat itu, yang penting kuliah dekat rumah agar bisa menjaga keluarga. Lalu ternyata, takdir membawa saya ke jalan ini.”

“Tapi kalau sudah tujuh tahun, bukankah itu tandanya Sus Anna suka bekerja sebagai perawat?” tanya Andi, menatap Anna dengan penuh arti.

Anna tertawa pelan, menyelesaikan prosedurnya dengan hati-hati dan mengatur mesin hemodialisa. “Tidak juga.”

“Lalu, kenapa tetap melanjutkannya kalau bukan karena suka?” tanya Andi lagi, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang lebih dalam.

Anna terdiam sejenak sebelum menjawab, “Kalau alasan realistis, ya untuk mencari uang. Tapi soal passion... sebenarnya saya masih bingung, jadi anggap saja agar bisa menolong orang lain.”

Andi mengangguk pelan, lalu, dengan nada lebih lembut berkata, “Tunangan saya dulu juga perawat. Cita-citanya ingin buat panti sosial untuk anak-anak.”

“Wah! Sekarang bagaimana?” tanya Anna, terlihat antusias, penasaran akan kelanjutan cerita Andi.

Pria itu tersenyum tipis, pandangannya melayang ke luar jendela, “Mungkin masih jadi perawat juga…,” jawabnya dengan nada yang lebih dalam, “…tapi di surga.”

Seketika ucapannya hening seolah menggantung di udara. Anna bingung harus berkata apa, hanya diam sambil menyelesaikan prosedur. Aneh, padahal ia sudah sering mendengar kisah kehilangan dari banyak orang—bahkan menyampaikannya, namun itu masih menjadi hal yang tidak nyaman baginya.

“Maaf,” kata Anna akhirnya, “saya turut berduka dan tidak bermaksud—”

“Santai saja, Sus. Saya yang membahasnya terlebih dahulu,” potong Andi dengan senyum tipis. Ia menarik napas pelan lalu melanjutkan, “Yasudah, Sus Anna mau ke pasien lain, kan?”

Anna mengangguk ringan, suaranya lembut ketika menjawab, “Hm, iya. Ini sudah selesai.”

“Maaf ya, kalau saya banyak bertanya. Makasih ya, Sus,” ucap Andi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus.

“Dengan senang hati,” balas Anna. Ia mengemas peralatannya, lalu melangkah keluar bilik.

Setelah merapikan peralatan, Anna duduk di meja ners station untuk mendokumentasikan tindakan yang baru saja ia lakukan. Matanya sesekali melirik barisan pasien yang bercengkerama hangat. Tak ada raut kesakitan yang mendominasi, hanya tawa ringan dan obrolan akrab—antara pasien, perawat, keluarga, bahkan dokter jaga yang bergabung sejenak di sela pemeriksaannya. Di sudut lain, beberapa asyik membahas adegan sinetron di layar televisi, seolah ruang ini lebih mirip ruang tamu daripada ruang medis. Setiap interaksinya terasa begitu manusiawi, penuh empati, dan membuatnya merasa semakin dekat dengan mereka bahkan jika itu adalah pertemuan pertama.

Meski banyak dari mereka berada di stadium akhir atau menghadapi komplikasi berat, jadwal cuci darah menjadi semacam pelarian untuk menghilangkan cemas. Di sini, mereka menemukan kehangatan, berbagi cerita, dan ada yang sekadar menikmati ketenangan sejenak. Tempat ini tidak hanya menyembuhkan fisik, tapi juga menenangkan psikologis. Tak ada percakapan tentang akhir yang bisa datang kapan saja, hanya ada kehidupan yang terasa lebih ringan, lebih hangat dan lebih bermakna.

Seketika, ia teringat percakapannya dengan Desi, apakah ini awal dari perasaan ‘seperti keluarga’ yang dimaksudnya?

—0—

Hari-hari berlalu sejak Anna mulai bertugas di ruang HD—singkatan dari hemodialisa. Tempat ini, yang awalnya terasa asing, kini perlahan mulai menjadi bagian dari kesehariannya. Setiap hari, ia menjawab pertanyaan dari pasien-pasien yang penasaran akan keberadaannya. Mereka bertanya tentang ruangan tempat ia bekerja sebelumnya, bagaimana ia akhirnya dipindahkan, atau hanya sekadar menanyakan kabar. Anehnya, Anna tak pernah merasa bosan atau terganggu dengan perhatian semacam itu.

Seperti biasa, pagi itu dimulai dengan operan. Para perawat berkumpul untuk membahas daftar pasien yang akan datang hari ini, termasuk kondisi terbaru dan tindakan tambahan yang perlu dilakukan.

Setelah itu, beberapa pasien mulai berdatangan, dan kesibukan pagi pun perlahan mengalir. Hari ini Kamis, pola pasiennya tidak jauh berbeda dengan hari Senin—hari pertama saat Anna mulai bekerja di ruang HD. Beberapa di antara mereka ada yang sudah sempat berbincang dengan Anna sebelumnya, sehingga suasana terasa lebih akrab.

Waktu berlalu dengan cepat. Dua jam sudah terlewat, dan dokumentasi laporan hampir usai. Yang tersisa hanyalah mencatat tekanan darah pasien di lembar monitor pada fase intradialisis—tahap selama hemodialisa berlangsung.

“Anna, bisa tolong bantu aku tensi pasien rawat inap? Yogi yang akan melakukannya di rawat jalan, lalu setelah laporan ini selesai aku akan datang menyusul,” ujar Desi sambil menunjuk area ruang rawat inap.

"Oke," jawab Anna, mengambil lembar monitor dan pena di tangannya. Ia melangkah perlahan, mendekati pasien satu per satu, dimulai dari yang terdekat.

“Permisi, Bu Ina, ya? Saya tensi dulu, Bu.”

“Silakan, Sus,” jawab Bu Ina ramah.

Anna melilitkan manset tekanan darah dan mencatat hasilnya. “Baik, tensinya 121/78 ya, Bu.”

“Terima kasih, Sus Anna.”

“Dengan senang hati,” balasnya sebelum beralih ke bed berikutnya. Proses itu terus berulang, Anna membantu setiap pasien dengan telaten.

Hingga akhirnya, ia sampai di bilik terakhir. “Pak Andi, saya tensi dulu, ya….”

Andi menoleh dan tersenyum. “Iya, Sus,” balasnya lalu menatap wajah perawat yang membantunya. “Eh, Sus Anna?”

Anna tersenyum kecil. “Pak Andi, eh, maksud saya Kak Andi. Saya tensi dulu, ya.”

Andi terkekeh pelan. “Mas Andi saja, lebih santai kedengarannya.”

Sambil menatap, Anna tersenyum geli. “Tapi menurut saya, lebih cocok Kak Andi.”

“Kalau begitu Andi saja,” balas Andi, senyumnya semakin lebar, seolah ingin menegaskan pilihannya.

Keduanya tertawa ringan. Setelah memasang manset dan mencatat hasil, Anna berkata, “Tensinya 125/77, normal ya.”

Andi mengangguk, lalu bertanya dengan nada santai, “Dari tadi saya tidak lihat Sus Anna. Saya kira shift sore.”

“Oh, tadi saya di bilik sebelah. Seperti biasa,” jawab Anna singkat.

Andi mengangguk lama dengan masih menatap seolah ia masih ingin berbincang. Hening itu pecah saat Desi mendekat sambil membawa lembar monitor pasien lainnya yang sudah diisi oleh Yogi.

“Andi, istirahat dulu. Jangan godain Anna terus,” ucap Desi sambil tertawa kecil.

Andi mengernyit bingung, lalu tertawa. “Godain? Saya hanya ngobrol, kok.”

Desi melirik Anna dengan senyum nakal. “Anna, sudah selesai? Kalau sudah, jangan lama-lama di sini. Andi ini kalau ada perawat baru pasti sok akrab.”

Anna tertawa pelan, hanya tersenyum dan tidak mau ikut menambah keramaian.

“Bukan sok akrab, hanya ingin kenal lebih baik,” balas Andi santai sambil tersenyum.

“Iya, iya. Istirahat dulu sana. Kalau ada keluhan, langsung bilang, ya,” ucap Desi sambil merapihkan selang hemodialisa yang tampak agak tertindih di bawah lengan Andi.

“Siap, Bos!” jawab Andi dengan nada main-main, lalu menoleh pada Anna. “Terima kasih, Sus Anna.”

Anna membalasnya dengan tersenyum dan menunduk ringan, melangkah keluar bilik sambil membawa kembali lembar monitor pasien. Sesampainya di ners station, ia duduk di depan komputer untuk memasukkan berbagai data hasil pemeriksaan. Di sebelahnya, Desi sudah terlebih dahulu duduk santai di kursinya, tampak sedang memeriksa dokumen lain.

“Sudah dengar cerita apa saja dari Andi? Dia akhir-akhir ini kelihatan tenang, tapi tiba-tiba sifatnya kembali seperti bapak-bapak cerewet,” tanya Desi, menoleh sejenak ke arah Anna lalu kembali menulis laporan, suaranya diselimuti nada geli.

Anna yang sedang serius memasukkan data ke komputer bertanya, “Memangnya ada apa?”

Desi meletakkan pena sejenak, tubuhnya sedikit bersandar ke kursi. “Biasanya, kalau sudah mulai cerita, dia itu nggak tahu waktu. Bisa berjam-jam. Untung tadi aku panggil kamu. Kalau tidak, mungkin kamu masih di sana, mendengarkan ceritanya yang diulang-ulang.”

Anna mengerutkan dahi sambil tersenyum samar. “Cerita apa?”

Desi tertawa kecil, matanya menerawang seolah sedang mengingat-ingat. “Hm, pokoknya cerita itu-itu lagi. Tentang tunangannya yang katanya perawat hebat. Lulusan UGM, dapat beasiswa, langsung diterima kerja di ruangan begitu lulus, dan dalam waktu singkat jadi perawat OK setelah pelatihan. Lalu katanya mau buat panti untuk anak-anak. Ah! Rasanya aku sampai hafal alur ceritanya, bahkan sampai bisa ku tebak kapan dia berhenti untuk ambil napas.”

Desi tertawa pelan, menutup kalimatnya dengan nada bercanda dan Anna tak bisa menahan tawa kecilnya.

“Jadi begitu ya,” gumam Anna, mencoba mencerna. “Kurasa tidak masalah. Mungkin jauh lebih baik daripada pasien yang terus-menerus menanyakan jadwal visit dokter yang tak bisa diprediksi meski sudah kuhubungi, atau pelimpahan tugas yang membuatku hampir tak punya waktu untuk berdiri lama di samping pasien.”

Desi memutar kursinya, menatap Anna. “Kalau itu aku juga setuju. Tapi ini beda cerita kalau kamu sudah sering bertemu Andi. Kamu akan merasa ceritanya seperti rekaman kaset yang diputar berulang setiap minggu.”

Anna terkekeh kecil, tapi belum sempat menanggapi, suara alarm mesin dialisis berbunyi, menandakan ada sesuatu yang perlu dicek .

“Ah, mesinnya berbunyi. Aku lihat dulu, ya,” kata Anna sambil bergegas meninggalkan meja lalu dibalas anggukan oleh Desi.

Dua jam kembali berlalu, beberapa mesin dialisis mulai mengeluarkan suara khasnya, menandakan waktunya terminasi—tahap akhir dari hemodialisa. Dengan cekatan, para perawat melepaskan alat dan selang dari tangan pasien, lalu mereset mesin-mesin tersebut. Sambil bekerja, mereka sesekali berbincang ringan, mengingatkan pasien tentang perawatan di rumah, termasuk pentingnya pembatasan cairan.

“Nah, sudah selesai. Tensinya 137/78 ya, Pak. Sudah menurun dari sebelumnya. Nanti sebelum pulang, jangan lupa timbang berat badan dulu di ners station dengan Bu Elsye,” Jelas Desi.

“Baik, terima kasih, Sus.”

Desi mengangguk sambil tersenyum, ia merapikan sampah medis, melepas apron plastik dan sarung tangannya, lalu mengambil yang baru di ruang alat sebelum kembali bekerja. Suara mesin di ujung ruangan berbunyi, menandakan giliran berikutnya. Ia segera menghampiri bed tersebut.

“Andi, sudah selesai?” tanya Desi sambil mendekat ke tempat tidur Andi, bersiap memakai apron baru dan sarung tangan di tangannya.

“Iya, Mbak Des,” jawab Andi dengan senyum lebar. Namun, sebelum Desi sempat mengenakan perlengkapan tersebut, Andi menyela dengan cengiran khasnya. “Mbak Desi, boleh tidak saya terminasi dengan Sus Anna saja?” tanyanya, matanya berbinar jahil.

“Andi…” Desi menatapnya dengan tatapan menyipit, mencoba menggoda balik.

“Kenapa? Tadi saya sudah katakan, hanya ingin kenal lebih baik dengan Sus Anna,” ucap Andi sambil terkekeh, namun Desi hanya membalasnya dengan senyuman penuh arti. Tak menyerah, Andi melanjutkan, “Lagi pula saya bosan setiap kemari selalu bertemu dengan Mbak Desi. Sus Gina dan Sus Andre hanya bertemu kalau saya datang sore.”

“Kan ada Mas Yogi,” jawab Desi.

Andi menatap langit-langit sejenak, pura-pura berpikir keras. “Mas Yogi juga sudah sering ketemu.”

Desi akhirnya menyerah menghadapi kelakar Andi yang tak henti-henti. Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Ya sudah, tapi nanti. Sus Anna masih sibuk di sebelah, lagi banyak pasien yang terminasi.”

“Tidak apa-apa, saya tunggu,” balas Andi dengan santai, seolah sangat yakin.

“Baiklah. Saya ke pasien lain dulu ya,” ucap Desi sembari beranjak menuju tempat lain.

“Oh iya, Mbak Des!” panggil Andi sebelum Desi benar-benar pergi. “Jangan telepon ruang Lily dulu ya. Saya masih lama di sini.”

“Iya, iya, Andi,” balas Desi, mengangkat jempolnya tanpa menoleh.

Desi kemudian menghampiri Anna yang masih sibuk menyelesaikan tindakannya pada pasien lain. “Anna?” panggil Desi sambil mendekat.

“Sebentar ya, Bu,” ucap Anna kepada pasiennya sebelum menoleh ke Desi. “Ada apa?” tanyanya dengan nada penasaran.

Desi mencondongkan tubuh sedikit, menurunkan suaranya agar tak terdengar oleh pasien lain. “Nanti kalau sudah selesai di sini, kamu ke Andi ya. Katanya dia bosan kalau terminasi sama aku terus.”

Anna mengangguk ringan sambil tersenyum kecil. “Oke, nanti aku ke sana,” jawabnya santai sebelum kembali fokus pada tugasnya.

Selang beberapa menit kemudian, setelah Anna selesai melakukan terminasi pada pasien sebelumnya, ia segera merapikan alat-alat, mengganti sarung tangan, dan mengenakan apron baru sebelum melangkah menuju bed Andi.

"Permisi," sapa Anna dengan suara lembut.

"Ah, Sus Anna," sambut Andi dengan senyum lebar.

"Kenapa tidak mau dengan Suster Desi?" tanya Anna sambil mengenakan perlengkapan APDnya—sarung tangan dan apron plastik.

"Hm… anggap saja bosan," jawab Andi santai, diiringi senyum yang tak lepas dari wajahnya.

"Baiklah, saya matikan mesinnya dulu, ya," ucap Anna sambil memeriksa tombol-tombol di mesin dialisis.

Andi mengangguk, lalu bertanya dengan nada yang tiba-tiba berubah serius. "Sus Anna, setelah dari ruangan ini, Suster mau berhenti jadi perawat?"

Anna terhenti sejenak, heran dengan pertanyaan itu. Ia menatap Andi dengan alis sedikit terangkat. "Kata siapa?"

Andi mengangkat bahu ringan. "Bukan kata siapa-siapa. Hanya menebak dari percakapan kita sebelumnya. Bukankah sangat tidak nyaman kalau kita kurang menyukai pekerjaan yang kita lakukan setiap hari?"

Anna tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Tapi tidak mungkin saya berhenti tiba-tiba, kan? Apalagi saya belum satu minggu bekerja di ruang ini."

Anna menghela napas kecil sambil tersenyum, lalu mengambil kasa dan plester. "Andi, tarik napas dalam dulu ya. Saya akan lepas jarumnya."

Andi mengangguk dan mengikuti instruksi. Setelah jarum berhasil dilepaskan, Anna menekan area cimino di lengan Andi dengan kassa untuk menghentikan aliran darah.

"Kalau begitu, kenapa dilanjut?" tanya Andi lagi, nadanya terdengar seperti menguji.

Anna menatapnya, bingung. Ia menarik kursi lebih dekat dengan kakinya, karena proses menghentikan aliran darah membutuhkan waktu yang lama.

"Maksudnya, kenapa bisa bertahan sampai tujuh tahun kalau selama ini merasa kurang suka? Selain alasan yang kemarin?" lanjut Andi, menghentikan pertanyaannya seolah memberi ruang untuk Anna menjawab.

Anna terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Saya punya keluarga untuk dibiayai, jadi bagaimana bisa saya berhenti?”

"Oh, sudah menikah?" tanya Andi, penasaran.

Anna menggeleng. "Belum. Maksudnya Ibu saya."

"Ibumu?"

"Ya. Saya anak tunggal. Sudah lama ibu saya sakit. Selama ini, beliau adalah alasan saya tetap bertahan. Setidaknya harus ada satu orang yang menjadi tulang punggung dalam keluarga, atau anggap saja alasan tersiratnya untuk melindungi keluarga," jelas Anna, suaranya terdengar lembut namun tegas.

Andi mengangguk pelan, memperhatikan setiap kata yang Anna ucapkan.

"Tapi… beberapa bulan lalu, ibu saya sudah wafat," lanjut Anna, senyumnya tipis namun terasa berat. "Jadi, mungkin saya akan memikirkan kembali apa yang Andi katakan sebelumnya."

Andi terdiam, seolah mencoba merangkai kata-kata. "Ah, maaf. Saya tidak bermaksud menyinggung. Saya turut berduka atas kehilangan ibu Suster Anna."

Anna menggeleng kecil, tersenyum tipis. "Tenang saja, kurasa kita impas," ujarnya ringan. Ia merasa Deja vu itu muncul, membawa ingatan pada obrolan pertama mereka tentang tunangan Andi, mengubah suasana menjadi lebih hangat meski seharusnya berat.

Masih dengan senyumannya, Anna melirik kasa di lengan Andi, ia memastikan aliran darahnya sudah berhenti. “Baik, ini sudah selesai. Sebentar, saya plester dulu, ya.”

Andi mengangguk kecil, lalu bertanya tiba-tiba, “Sus Anna, suka baca novel?”

“Hm… tidak terlalu,” jawab Anna sambil meneruskan pekerjaannya.

“Tunangan saya dulu suka baca novel.” Anna tersenyum kecil mendengar balasan Andi. Benar kata Desi, Andi pasti akan membicarakan soal tunangannya lagi. Setelah selesai memplester, Anna bersiap melakukan tensi untuk memeriksa kondisi terbaru Andi.

“Maaf, saya tensi dulu ya,” sahut Anna sambil melingkarkan alat tensi ke lengan Andi.

Andi mengangguk, tetapi jelas lebih tertarik melanjutkan ceritanya. “Oh iya! Namanya Hana— hampir mirip dengan nama Suster, hanya saja ada huruf H-nya.”

“Namanya bagus. Jangan bilang itu alasanmu tidak mau terminasi dengan Suster Desi?” goda Anna dengan nada ringan. “Tensinya 121/75, ya,” lanjutnya sambil mencatat hasil pemeriksaan.

Andi tersenyum lebar, menampilkan cengirannya. “Mungkin?” balasnya. Lalu ia melanjutkan kisahnya dengan nada penuh nostalgia, “Dulu, tunangan saya pernah bilang ada kalimat indah di salah satu novel favoritnya. Kalau tidak salah judulnya Fated. Dia bilang begini: ‘Pertemuan pertama adalah kebetulan, pertemuan kedua adalah kepastian, dan pertemuan ketiga adalah takdir.’ Itu kalimat yang paling dia suka, dan sampai sekarang saya masih mengingatnya dengan jelas.”

 “Kalimat yang indah, seperti menyimpan harapan di setiap pertemuan,” balas Anna pelan.

“Benar. Lalu Suster tahu? Pada pertemuan ketiga kami, setelah dia bilang begitu, saya melamarnya,” lanjutnya dengan mata berbinar. “Lalu ia menerimanya.”

Anna tersenyum tipis mendengarnya, hingga senyumannya memudar mendengar lanjutan dari kisah Andi.

“Walau pada akhirnya dia terlalu baik, hingga pergi lebih cepat dari yang saya duga,” ucap Andi, suaranya mulai merendah seolah tenggelam dalam kenangan. Lalu mengubah ke posisi duduk.

Setelah sejenak terdiam, Andi menatap Anna dengan senyum usil. “Ngomong-ngomong, ini pertemuan kedua kita. Kalau Senin nanti kita bertemu lagi, itu yang ketiga. Mungkin… itu takdir?”

Anna terkekeh kecil, merasa aneh tapi terhibur. “Memangnya takdir apa?”

“Tenang saja. Takdir itu bukan hanya soal pasangan. Bisa juga soal pertemanan,” jelas Andi santai.

“Kalau Senin saya shift sore, bagaimana?” tanya Anna, setengah bercanda.

Andi mengangguk pelan, terdiam seperti berpikir. “Hm… kalau begitu, maka tunangan saya yang tetap menjadi takdir saya.”

“Kali ini takdir pertemanan atau takdir pasangan?” Anna balas menggoda.

“Keduanya,” jawab Andi mantap. “Teman sekaligus pasangan yang menunggu saya di dunia abadi.”

Anna tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan tawa. “Lalu kalau kita bertemu di hari Senin, bagaimana? Apakah tunanganmu akan tetap menjadi teman sekaligus pasangan?”

Andi terdiam, lalu tersenyum tipis sebelum menjawab, “Hm, kalau itu saya belum tau kelanjutannya.”

“Mungkin biarlah Tuhan yang mengarang kisah selanjutnya,” tambahnya, menatap Anna.

Anna menggeleng sambil tertawa kecil. “Sudahlah, jangan aneh-aneh. Saya panggil Perawat Lily dulu.” Ia melirik ke arah Desi dan perawat dari Lily di ners station, memberi isyarat agar mereka mendekat.

Sebelum beranjak, Anna menatap Andi sejenak. “Senin nanti kita lanjut cerita, ya.”

Andi tersenyum lebar. “Syukurlah kita akan bertemu lagi,” balasnya, matanya berbinar seolah menyimpan semangat baru. “Terima kasih banyak, Suster Anna.”

“Terima kasih kembali, Andi,” jawab Anna sambil membalas senyum hangat dan melambaikan tangan. Tak lama, Perawat dari Lily mulai membawa Andi untuk kembali ke ruangannya.

—0—

Senin pun tiba.

“Maaf, saya terlambat,” ujar Anna sambil terengah, setibanya di ruang ners station.

“Tenang saja,” sahut Desi tanpa menoleh, jemarinya sibuk mengetik. “Tidak perlu khawatir, di berita tadi katanya ada perbaikan mendadak di rel Stasiun Pasar Sabtu. Bu Elsye sedang menghadiri rapat mingguan, tapi beliau sudah tahu karena banyak pegawai lain yang mengalami hal serupa. Kamu bisa langsung ganti pakaian terlebih dahulu.”

“Terima kasih,” Anna mengangguk cepat, tapi langkahnya terhenti ketika Desi berseru.

“Oh, astaga!” seru paniknya. “Anna, setelah ganti baju nanti bisa tolong aku? Kurasa aku kehilangan catatan tensi terbaru pasien. Bisa tolong cek ulang di mesin dialisis mereka? Maafkan kecerobohanku.”

“Oke, tidak masalah,” jawab Anna.

Setelah berganti pakaian, ia menyusuri ruangan, mencatat hasil tekanan darah dari mesin dialisis satu per satu, memastikan setiap data tercatat dengan rapi. Pekerjaan itu selesai dengan cepat, dan ia kembali ke ners station. Kini, ia telah kembali duduk di samping Desi, yang masih sibuk dengan tugasnya.

“Sudah selesai,” katanya seraya menyerahkan catatan tekanan darah pasien.

“Terima kasih banyak, Anna. Kalau Yogi tahu, aku pasti habis dimarahi,” ucap Desi lirih, wajahnya sedikit cemas.

Anna tersenyum tipis. “Terima kasih kembali, senang bisa membantu.”

Hening sejenak melingkupi keduanya, hingga Anna tiba-tiba bertanya, “Andi… belum datang, ya? Aku tidak melihatnya tadi.”

Desi yang tadinya tampak fokus, mengalihkan perhatiannya kepada Anna dan diam sesaat. “Hm, Andi…” suaranya terdengar berat.

“Andi sudah plus.”

Kata itu menghantam Anna pelan. Plus—istilah yang digunakan oleh tenaga medis untuk merujuk pada pasien yang telah meninggal dunia. Lebih tepatnya, mereka yang telah berpulang ke tempat abadi.

“Pagi tadi, perawat dari ruang Lily memberi kabar. Tidak ada jadwal cuci darah untuk pasien dari sana hari ini,” lanjut Desi dengan nada lembut.

“Ah…” gumam Anna dengan suara lirih. “Aku… tidak tahu. Aku turut berduka,” lanjutnya dengan ekspresi sendu.

“Kata temanku di ruang OK, Andi meninggal sesaat setelah dipindahkan ke ICU. Operasinya berjalan lancar, tetapi mendadak kondisinya memburuk. Itu terjadi Jumat lalu, sehari setelah ia datang ke sini. Padahal Bu Elsye sempat mengingatkan saat operan bahwa Andi akan operasi. Tapi aku lupa memberikan semangat di hari itu,” Desi menghela napas, matanya merunduk penuh sesal.

Tanpa sadar, Anna pun mengingat dirinya yang juga luput memberi dukungan kala itu.

“Baiklah,” Desi memecah keheningan dengan suara datar. “Aku mau ke bank darah sebentar. Bisa bantu memasukkan data tekanan darah tadi?”

Anna mengangguk, berusaha menyembunyikan perasaan berat yang sempat timbul. “Tentu.”

“Terima kasih,” ucap Desi sebelum berlalu.

Anna tersenyum samar, lalu beralih ke komputer di hadapannya. Ia mulai memasukkan data tekanan darah pasien ke dalam sistem. Tangannya bergerak cekatan, tetapi pikirannya terusik. Tanpa sadar, ia membuka riwayat medis pasien bernama ‘Andi Ardiansyah’.

Andi Ardiansyah

Usia: 33 tahun, 5 bulan, 14 hari

Ruangan: Lily, 304.A

Diagnosis Medis: Chronic Kidney Disease Stage 5, Coronary Artery Disease

Rencana Tindakan: Tidak ada. Pasien henti jantung Jum’at, 21 Maret 20XX, jam 12.38.

Itulah pembaruan terakhir di rekam medis. Anna menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ini bukan kali pertama ia kehilangan pasien, tetapi kepergian Andi terasa berbeda. Pertemuan dan harapan, dua kata itu terngiang di benaknya. Sebuah kenangan sederhana dari percakapan terakhir mereka, seolah menjadi salam perpisahan yang tak terucap dan jawaban tentang takdir yang sempat Andi katakan—takdir teman, sekaligus pasangan, dengan sang tunangan.

Anna tersadar, bahwa kehilangan tak terbatas pada mereka yang kita sebut keluarga. Kehangatan bisa tumbuh bahkan dalam hubungan yang singkat, sebuah hubungan yang tak terlihat tapi tak sadar telah mengakar. Tuhan seolah mengingatkan bahwa di tengah kesendiriannya, ada ruang bagi keluarga lain di luar darah dan nama—keluarga yang ia temukan di ruang penuh harapan.

Kali ini, Anna menghela napas lebih dalam, membiarkan emosi mengalir tanpa perlawanan. Selama tujuh tahun, ia menjalani profesi ini dengan keyakinan yang kadang goyah. Namun kini, ia mengerti bahwa mereka, pasien itu—wajah-wajah yang ia temui setiap hari—tanpa ia sadari, telah menjadi keluarga baru baginya sejak pertama kali ia melangkah ke setiap rumah sakit.

Lantas, jika mereka adalah keluarga, bukankah itu berarti ia juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi mereka?

Andi mungkin bukan tokoh penting dalam hidupnya, tapi kepergiannya meninggalkan pelajaran yang mendalam. Di balik setiap tindakan medis, ada makna yang lebih besar—keluarga, harapan, dan kehidupan yang coba ia jaga setiap hari. Dialisa bukanlah sebatas proses medis, melainkan sebuah penyaringan jiwa, untuk mengungkapkan apa yang benar-benar berharga di dalamnya. Dan dengan caranya yang sederhana, Andi telah menjadi fragmen yang melengkapi cerita Anna—menuntunnya kembali pada makna sejati dari profesinya.

TAMAT.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Chika Si Budak Cinta
Jessy Margaret
Novel
Bronze
Secangkir Rasa Cukup
Martha Melank
Novel
Bronze
BUKAN CINTA BIASA
Onet Adithia Rizlan
Novel
Bronze
Pohon Imajinasi
Janeeta Mz
Novel
Kizo Fernia
Langka Pangaribuan
Novel
Gold
The Age of Innocence
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Tarupala
Lita Soerjadinata
Flash
Distance
M. Luthfiadi Setiapratama
Cerpen
Bronze
POLIGAMI ; WANITA WANITA YANG TERLUKA
Iman Siputra
Cerpen
MENCARI ARTI KEBAHAGIAAN
Grimmer
Cerpen
Bronze
Sembunyi dibalikata Baik-baik Saja
Lilis Alfina Suryaningsih
Cerpen
Fragmen Dialisa
The Glory Day
Novel
Renjana
Mardhatillah
Novel
Bronze
Untuk Ratusan Hari Aku Menanti
Joannes Rhino
Novel
Bronze
Balada Kacung: The Frontline Warrior
Gie Salindri
Rekomendasi
Cerpen
Fragmen Dialisa
The Glory Day