Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Cekrek.”
Itulah suara pertama yang aku dengar saat kamera hitam itu ditekan. Bunyi yang berasal dari tombol shutter kamera, menghasilkan suara khas yang kemudian menjadi bagian dari kenangan masa kecilku. Kamera itu, sebuah benda hitam dengan kaca bening yang memantulkan wajah comengku yang dipenuhi bedak putih tak rata. Sebuah hadiah dari ayah, karena aku tanpa sengaja mengganggu seorang kameramen yang sedang mengabadikan momen pernikahan kakakku.
Aku masih ingat jelas bagaimana aku menangis meronta-ronta saat itu. Aku melihat kamera itu, menginginkannya begitu kuat, dan tidak ada alasan lain selain ingin memilikinya. “Aku mau itu,” kataku dengan suara yang tercekat, air mata mengalir deras. Ayah hanya menanggapi dengan jawaban sederhana, “Iya, iya.” Tidak lama kemudian, pada ulang tahun ke-6, aku menerima hadiah itu. Mungkin ayah tidak ingat lagi kenapa aku sampai menangis seperti itu, dan mungkin aku sendiri juga sudah lupa kenapa aku memintanya dengan begitu bersungguh-sungguh. Tetapi yang aku ingat, kamera itu menjadi milikku.
Fotoku pertama adalah foto siluet jari—hanya jari-jari tangan kiriku yang menutupi lensa, dengan tangan kanan memegang kamera yang masih terasa berat dan kaku. Sejak saat itu, aku belum benar-benar menyukai fotografi. Kamera itu, meskipun menjadi hadiah berharga, tidak langsung membuatku jatuh cinta pada dunia ini. Rasanya, kamera itu lebih banyak menghantui daripada memberikan kesenangan. Berat, sulit digunakan, dan hasil fotonya—seperti yang sudah kuduga—tidak jauh berbeda dengan milikku. Bahkan ayah, yang juga ikut-ikutan menggunakan kamera itu, tak mampu menghasilkan foto yang lebih baik dari milikku.
Meski begitu, ayah selalu membawa kamera itu setiap kali kita pergi liburan. Ketika kami menemukan pemandangan yang menarik atau tempat yang dianggapnya unik, ayah akan mengajakku untuk memotret. Aku masih ingat, ayah berkata dengan penuh semangat, “Ayo, coba foto itu, mungkin ada sesuatu yang menarik di sana.” Aku hanya mengangguk, merasa bahwa fotografi adalah sesuatu yang terlalu rumit dan tidak menarik untukku. Namun ayah tidak pernah menyerah, dia selalu memotivasiku, meskipun hasil fotoku seringkali tak jauh dari kegagalan.
Momen-momen seperti ini terus berlanjut, hingga aku mulai merasakan sedikit ketertarikan pada dunia fotografi. Ayah, dengan caranya yang sederhana, mulai menyentuh bagian-bagian penting dari fotografi, memberiku sedikit demi sedikit pengetahuan yang membuatku mulai memahami hal-hal yang sebelumnya asing. Namun, meskipun ada sedikit perubahan dalam pandanganku terhadap fotografi, aku tetap merasa bahwa kamera itu lebih seperti benda berat yang harus aku bawa daripada sesuatu yang dapat memberikan kebahagiaan atau kepuasan.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai semakin terbiasa dengan kamera DSLR yang dulu terasa begitu berat dan canggung. Ketika memasuki masa SMP, tubuhku mulai cukup kuat untuk mengangkat kamera itu dengan stabil, dan aku pun merasa lebih percaya diri. Meski pada awalnya, aku hanya sekadar ikut-ikutan, lama-kelamaan aku mulai melihat perbedaan. Kemampuan fotografiku mulai berkembang, bukan karena tiba-tiba aku menjadi ahli, melainkan karena ayah yang tanpa lelah mengajarkanku.
Ayah tidak hanya sekedar membawa kamera itu setiap liburan, tetapi juga mengambil waktu khusus untuk mengajariku secara langsung. Dia mengikuti kelas fotografi untuk memperdalam pengetahuannya, dan setelah itu, dia dengan sabar mengajarkanku hal-hal yang dia pelajari. Setiap kali kami berangkat hunting foto bersama, ayah selalu memberikan petunjuk dan arahan. “Ingat, segitiga eksposur,” katanya berulang kali, mengingatkanku tentang pengaturan aperture, shutter speed, dan ISO. Itu adalah prinsip dasar yang harus dikuasai oleh setiap fotografer, dan ayah terus menekankan pentingnya pemahaman itu dalam setiap sesi pemotretan.
Aku mulai memahami betapa banyaknya elemen yang perlu diperhatikan dalam sebuah foto, dan bagaimana teknik-teknik itu bisa mengubah hasil jepretan. Ketika aku memotret objek yang sama berulang-ulang, ayah selalu memberi penjelasan yang lebih rinci tentang apa yang perlu diperbaiki untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Dengan arahan dan bimbingan ayah, aku mulai melihat kemajuan yang nyata. Tentu saja, kadang hasilnya masih jauh dari sempurna, tetapi aku merasa semakin percaya diri. Aku juga mulai menikmati prosesnya—perjalanan belajar ini memberi aku kepuasan tersendiri.
Lambat laun, aku tidak hanya menunggu ajakan ayah untuk berburu foto. Aku mulai keluar sendiri, pagi-pagi sekali bersepeda mencari burung atau serangga yang masih diliputi embun di pagi hari. Setiap pagi itu memberi tantangan baru, dan aku berusaha untuk menerapkan teknik-teknik yang telah aku pelajari. Seiring waktu, aku merasa semakin kreatif, mencari perspektif yang berbeda, dan bereksperimen dengan berbagai gaya. Mungkin aku masih belum sebaik ayah dalam menangkap gambar, tetapi aku mulai melihat keindahan dalam hal-hal kecil, yang seringkali terlewatkan oleh orang lain. Fotografi, yang dulu terasa membosankan, kini menjadi cara baru untuk melihat dunia.
Namun, waktu terus berlalu. Ayah yang dulu selalu menemani aku berburu foto kini mulai jarang muncul di setiap perjalanan hunting kami. Ia lebih banyak duduk di rumah, menunggu ceritaku tentang hasil jepretan dan apa yang kutangkap dengan kamera. Tawa ayah yang dulu selalu terdengar riang, kini hanya sesekali, bahkan tidak lagi sebesar dulu. Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa tujuan memotretku telah berubah. Bukan lagi sekadar untuk mengejar teknik yang lebih baik atau hasil foto yang lebih sempurna, tetapi lebih kepada satu hal yang sederhana—aku ingin melihat senyum ayah, senyum yang merekah di wajahnya yang semakin keriput itu. Aku ingin dia melihat betapa jauh aku sudah berkembang, bagaimana aku bisa menangkap keindahan yang selama ini ia ajarkan kepadaku.
Namun, akhirnya, ayah pergi. Kepergiannya datang begitu tiba-tiba, dan aku merasa kehilangan yang dalam. Semua yang kulakukan dengan kamera kini terasa hampa. Aku tidak lagi bisa melihat senyum lebar itu setelah menunjukkan foto-foto yang kutangkap. Tidak ada lagi tawa yang mengiringi cerita-cerita lucu tentang apa yang aku temui di perjalanan berburu foto. Semua itu kini hanya kenangan yang terus menghantui.
Yang paling berat adalah kenyataan bahwa aku tidak bisa memotret momen terakhir bersamanya. Aku tidak bisa mengabadikan wajahnya yang lelah namun penuh kasih sayang, atau merekam detik-detik terakhir ketika dia masih ada di dunia ini. Aku merasa menyesal, tapi aku tahu bahwa terkadang momen terbaik dalam hidup bukan untuk difoto atau direkam, melainkan untuk dirasakan langsung dengan hati. Sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah mengenang. Tanpa kamera, tanpa foto, aku hanya bisa menyimpannya dalam ingatanku—menyimpan gambarnya di dalam mataku, merekam setiap detil yang kini hanya bisa kubawa dalam bentuk kenangan.
Terkadang, aku masih teringat akan kata-kata ayah, "Ingat, setiap foto itu punya cerita." Kini, aku tahu bahwa cerita itu tak hanya ada pada gambar yang tertangkap di dalam lensa, tetapi juga pada setiap detik yang kita habiskan bersama, pada setiap tawa yang kita bagikan, dan pada setiap momen yang kita abadi-kan dalam ingatan.