Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kegigihan terkalahkan oleh rendah diri. Padahal, dia putra dari donatur nomor satu di sekolah, juga tampan, cerdas, dan siswa teladan. Mengapa tak ucapkan saja perasaanmu padanya? Sudah berapa lama kau simpan? Mau menyaingi tuanya Codex Hamurabi yang telah ada sejak peradaban mesopotamia?
Tunggu hingga aku menemukan daun semanggi berkelopak empat.
"Hanya bersembunyi.
"Sekadar melihatmu dari belakang.
"Demi semanggi berkelopak empat kunanti."
Seo Eunwoo dan Choi Keul Rin—nama diambil dari kata 클로버 (keullobeo) yang berarti semanggi, di Kota Seoul.
For Clover, cerpen pertama dari seri 8 Spring Session, kisah-kisah bertema musim semi dengan latar tempat berbagai destinasi wisata di Korea Selatan.
Bunga-bunga pink sepanjang jalan tak lagi menarik perhatian Eunwoo. Langkah gontai beriringan dengan seorang pemuda lain di sebelahnya. Berbeda, dia nyaris tanpa henti memandang atas. Melewati deretan sakura bermekaran sepanjang Yeouido Road.
“Ngomong-ngomong, Eunwoo,” Felix mengalihkan mata ke pemuda di sebelahnya, sedikit menunduk karena perbedaan tinggi badan mereka. “Kau bilang punya gadis istimewa di hatimu?”
Eunwoo terdiam. Membenahi tas ransel yang agak melorot. Blazer di atas kemeja putih bergoyang sesekali oleh terpaan angin. Sudah menduga Felix sebentar lagi akan mengoceh panjang lebar. Dia telah mempersiapkan mental untuk tahan, perjalanan pulang dari sekolah sekitar sepuluh menit, setidaknya bisa segera mendinginkan telinga setelah sampai di rumah.
“Apa yang kau khawatirkan? Ayahmu menjadi donatur nomor satu di sekolah. Kau sendiri chaebol, tampan, cerdas, murid teladan. Cepat katakan saja padanya! Mau sampai kapan kau pendam? Mau mengalahkan tuanya Codex Hamurabi yang telah ada ada sejak peradaban mesopotamia?” Felix berlari meraih setangkai sakura. Memegangnya di depan wajah. Mengamati lekat. Senyumnya belum luntur sejak tadi. “Waktumu tidak banyak, ‘kan?”
Decakan kesal terdengar. Eunwoo melirik selembar kertas di tangannya. “Tidak … aku masih punya banyak waktu, kok.” Dia mendengus, kemudian merobeknya. “Tunggu sampai aku menemukan daun semanggi berkelopak empat! Janji akan kunyatakan padanya!”
Felix bergumam. Mengiyakan, tetapi seolah meremehkan. Daun semanggi berkelopak empat sangat langka. Banyak yang menganggap akan mendapat keberuntungan jika menemukannya.
“Lagipula … kenapa kau bahagia sekali dari tadi?”
Lekuk bibir Felix kian tinggi terangkat. “Bunga sakura membuatku bersemangat! Hanya itu!”
Kota Seoul kian ramai ketika musim semi. Banyak orang curi-curi waktu dari rutinitas harian demi menikmati angin sejuk, bunga sakura di beberapa titik, terkadang ada juga festival seru yang diselenggarakan.
Agenda sekolah yang dinanti-nanti siswa ketika musim indah ini datang, yaitu praktikum sains di luar kelas. Guru pengajar, Bu Na, mengajak ke Taman Samcheong.
Udara segar memenuhi sekitar oleh pohon-pohon sakura dan bunga forsythia bermekaran, serta tanaman hijau lain membentang seluas mata memandang. Ada area lebar berbentuk persegi berisi banyak kursi-kursi panjang dari kayu, dikelilingi pagar putih. Bu Na meminta anak-anak berhenti, lalu menjelaskan apa yang perlu mereka lakukan dalam praktikum kali ini.
Semua bersemangat. Aroma khas musim semi dan semburat merah muda bunga sakura selalu berhasil mengembalikan kesegaran mata.
Praktikum belum sepenuhnya usai, beberapa siswa sudah meminta izin hendak pergi ke restoran atau pusat-pusat budaya yang berada tak jauh dari Taman Samcheong. Sayang, Bu Na tak mengizinkan.
Eunwoo tertawa kecil. Cara mereka sungguh naif. Lebih baik menikmati taman daripada kembali ke kota—bertemu padat dan hiruk piruknya. Kelompok Eunwoo telah usai, dia punya tambahan waktu istirahat.
Tak sengaja menoleh, Eunwoo tiba-tiba terbelalak. “Ini ….” Perlahan tangan menggapai satu yang berbeda diantara tumbuhan hijau kecil lain. Dia memetik, memandang tak percaya. Daun semanggi berkelopak empat. “Aku sungguh menemukannya.”
Suara langkah sepatu samar-samar mengalihkan perhatian Eunwoo. Gadis berbalut seragam sekolah sepertinya, berjalan di atas jembatan, agak jauh dari tempat siswa-siswi mengerjakan praktikum.
Eunwoo bergegas mengejar. “Rin!”
Keduanya berteman sejak sekolah dasar. Kedekatan mereka bukan main, Eunwoo bahkan tak sadar selama enam tahun itu, entah mulai kapan dia menaruh perasaan pada Rin. Sayang, ketika SMP harus berpisah, kemudian bertemu lagi di SMA.
“Eunwoo ….” Dia menoleh. Tanda nama bertulis Choi Keul Rin silau sesaat oleh cahaya matahari. “Kau kemari? Sungguh? Biasanya saja selalu menghindar dariku.”
Eunwoo menggeser pandangan sambil memegang leher. Semenjak hari pertama masuk SMA dan mengetahui Rin ada di sekolah yang sama, gejolak rasa kian tak karuan. Eunwoo merasa pipinya panas dan tahu nanti pasti akan salah tingkah sehingga enggan bertahan lama di dekat Rin.
“Kelompokmu sudah selesai?”
Eunwoo mengangguk. Dia ragu-ragu menatap Rin, kemudian bertanya pelan, “Kau juga?” Entah berapa lama sejak terakhir kali melontar pertanyaan basa-basi pada Rin.
“Iya.” Rin meletakkan tangan di atas pinggiran jembatan. Memandang pepohonan berjajar, ranting-ranting mencuat ke segala arah, membagi lembutnya sakura pada tiap pengunjung.
Eunwoo menggenggam erat daun semanggi berkelopak empat. Melawan takut, mencoba masa bodoh pada wajahnya yang sedikit memerah dan jantung berdetak bagai pacuan kuda, dia sepenuhnya menatap gadis itu. “Rin—”
“Aku tak sabar menunggu pertunanganku minggu depan yang dilakukan di tengah sakura.”
Hampir saja Eunwoo menjatuhkan semanggi di tangannya, sebelum buru-buru menyadarkan diri dan justru meremas hingga hancur. Daun semanggi berkelopak empat membawa keberuntungan? Apanya, sial! “Kau … hendak bertunangan?”
Rin mengangguk.
Senyum berseri-seri gadis itu menciptakan rantai berduri dalam dada Eunwoo. Kian lama memandang, semakin kekeh mengikat. Namun, Eunwoo tak peduli. Dia tetap berdiri di sebelah gadis itu.
Eunwoo terlanjur membuat janji. Suasana bungah di hati Rin bisa hancur jika dia tidak berkhianat pada semanggi. Sebaliknya, bila Eunwoo berpura-pura lupa soal janji, perasaan terpendam pemuda itu mungkin benar-benar akan mengalahkan tuanya Codex Hamurabi.
Tanpa sadar, Eunwoo menahan napas sebentar. Kemudian dia mendengus, tak tahan membiarkan tusukan panah pada sanubari terus mengusiknya. “Padahal aku ingin mengatakan ….” Tatapan Eunwoo berangsur miris. “Aku ingin mengatakan jika aku suka padamu, Rin!”
Gejolak menggebu tiap kali Rin hadir di hadapan, berbenturan dengan sensasi mencekik jauh di dalam. Lupakan soal semu merah muda yang mungkin hadir di pipi Eunwoo, sorot sayu dan sudut bibir mengarah ke bawah lebih mendominasi kali ini.
Eunwoo lega, akhirnya tak benar-benar terpajang di museum sebagai peninggalan tertua. Bodohnya, dia membuat mereka berdua tak akan bisa bertemu dan menyapa dengan cara yang sama lagi.
Satu langkah berbalik badan, pemuda itu berat hati meninggalkan Rin. Kembali menuju Felix dan teman-temannya di dekat tempat praktikum. Felix melambai, dibalas lambaian pula oleh Eunwoo seakan tak terjadi apapun.
Rin mematung. Tak lekang dari si pemuda yang telah jauh darinya. “Kalau begitu, kenapa kau selalu menghindar sebelumnya? Kau juga bilang memiliki gadis istimewa, kupikir itu orang lain karena hubungan kita seolah merenggang.” Rin masih enggan mengalihkan pandangan. “Kenapa Eunwoo ….”
Harapan tersebar Eunwoo saat ini adalah ‘minggu depan’ dihapus dari dunia. Namun, masih ada kata ‘tujuh hari lagi’, jadi percuma saja meskipun harapannya terwujud.
Eunwoo uring-uringan. Ayahnya setiap hari mengingatkan sampai menggertak agar nilai Eunwoo tak jatuh. Dia memang masih bisa mempertahankan prestasi, tetapi sikapnya sungguh berubah. Selalu menyibukkan diri dengan urusan sendiri.
Keadaan semakin kacau ketika Felix mampir ke rumah Eunwoo, memberi kertas undangan. Sekali membaca nama tertera, dia langsung meninggalkannya di ruang tamu, pergi ke kamar dan menutup pintu dengan kasar.
Eunwoo mengabaikan pesan dan panggilan suara dari Felix. Dia juga izin tak menghadiri kelas sehingga mereka tak pernah bertemu. Felix sempat beberapa kali berkunjung ke rumah lagi, tetapi Eunwoo pernah membuka pintu.
Selembar undangan tergeletak di atas meja belajar. Eunwoo menggerutu tiap kali melihatnya. Bahkan dia diberi bangku VIP dalam acara tersebut.
Eunwoo melirik kalender. Acara itu, pertunangan Rin, akan diselenggarakan besok. Dia beralih memandang dua kertas di sebelah undangan, yang satu utuh dan lainnya telah sobek. “Apa Ayah tahu aku mungkin akan merusak tiket?”
“Eunwoo! Kau sudah bersiap?” Suara pria terdengar dari luar.
Si pemuda melirik koper oranye besar di dekat ranjang. “Iya!”
“Tak perlu memikirkan apapun. Ayah sudah mengurus semua, termasuk tentang sekolah barumu,” seru pria itu lagi.
Esok hari, Eunwoo bersiap lebih awal dari jam terbang. Dia berkata pada ayahnya ingin mengunjungi suatu tempat.
Festival Cherry Blossom Yeouido diselenggarakan hari ini. Ribuan bunga sakura bermekaran memenuhi jalanan sekitar Sungai Han. Pedagang kaki lima, berbagai parade, dan acara-acara menarik selalu hadir tiap tahun.
Eunwoo melangkah di sepanjang jalan. Dia mengambil setangkai sakura dari pohon-pohon di sini, masih ingat saat Felix melakukan hal yang sama. “Sekarang aku tahu kenapa kau sangat bahagia hari itu.”
Satu yang berbeda di festival kali ini, tanah lapang di taman biasanya digunakan sebagai tempat piknik beberapa orang, sekarang berdiri sebuah panggung yang menghadap searah aliran Sungai Han.
Sekeliling dijaga oleh orang-orang berkemeja sama—pihak pengurus acara pertunangan. Beberapa tamu yang datang langsung diberi arahan untuk duduk di tempat masing-masing.
Pembawa acara telah siap, sedangkan keluarga calon mempelai menunggu waktu yang tepat untuk ikut naik ke atas panggung.
Gaun putih sedikit melebihi panjang kaki Rin. Sebagian rambut diikat dan sisanya dibiarkan terurai. Hiasan rambut bak tiara silver mempercantik balutan make up sederhana.
Felix masih sibuk dengan penata rias, dia yang lebih gugup dan meminta beberapa kali merapikan ulang penampilannya. Rin tak masalah, lagipula ada cukup jeda sebelum acara utama dimulai.
Tak sengaja Rin mendapati seseorang berdiri beberapa meter dari pintu masuk area acara pertunangan. Rin tertegun saat tatapan keduanya bertemu. Pemuda itu mendapat undangan, seharusnya dia segera menuju kursi, tetapi justru berbalik dan melangkah pergi.
Mendadak jantung Rin berdetak kencang. Acara ini, si pemuda yang semakin menjauh, dua hal itu membuatnya sesak. Apakah ada alasan untuk melakukan ini? Setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa aku masih perlu menutup mata tentang kemana sesungguhnya batin ini menoleh?
“Rin—”
“Ayah!” seru Rin setengah memelas. “Batalkan pertunangannya!”
Pria paruh baya mengenakan setelan jas itu mengernyit. “Apa?”
Rin kain meninggikan suara, “Batalkan!”
Sang ayah bingung. Acara pembuka telah dimulai. Panggung, makanan, semuanya siap. Tamu berkumpul. Namun, sekarang putrinya meminta seperti itu. “Ayah harus berkata apa pada ayahnya Felix—”
“Pokoknya batalkan!” Rin tak akan goyah. “Aku benci pertunangan ini!”
Rin keluar dari sisi belakang panggung, lantas mengambil jalan memutar guna menyusul pemuda yang pergi barusan. Sepatu tinggi membuat kakinya sakit, gaun repot-repot agak diangkat.
“Eunwoo!” Menguras banyak tenaga, gadis itu tak berhenti hingga akhirnya berada cukup dekat dengan si pemuda.
“Acara pertunanganmu sudah dimulai, kenapa malah kemari?” Eunwoo perlahan berbalik agar bisa menatap si gadis.
“Aku juga menyukaimu … Eunwoo.”
Seketika Eunwoo terbelalak. Namun, dia segera menguasai raut wajahnya kembali. “Kalau begitu, bagaimana bisa kau sampai bertunangan ….” Eunwoo mengangkat salah satu sudut bibir, tertawa miris. “Bahkan dengan sahabatku sendiri, Felix.”
“Itu keinginan orang tua kami berdua,” ujar Rin lirih. “Lagipula kau selalu menjauh dan bilang memiliki gadis lain! Aku tak ingin terjebak dalam cinta sebelah tangan, jadi aku memilih pertunangan ini!” Rin berteriak campur memelas. “Kau seharusnya bilang dari awal ….”
Samar-samar Rin dapat mendengar pembawa acara gelagapan menjelaskan keadaan kepada para tamu. Sepertinya Ayah Rin sungguh membatalkan pertunangan atau setidaknya mengulur waktu. Rin merasa tenang, sekarang ada Eunwoo di hadapannya.
“Maaf, aku harus pergi ke luar negeri.” Eunwoo menggenggam erat. Jika keadaan tak seperti ini, dia pasti melompat gembira setelah mendengar pengakuan Rin barusan. Miris rasanya, cinta terpendam itu ternyata terbalas, tapi sia-sia. “Untuk sepuluh tahun.”
Rin terbelalak.
“Ayah yang mengatur, aku tak bisa berbuat apa pun.” Eunwoo menghela mengetahui gadis itu tak sanggup berkata-kata. “Aku heran pada dunia. Mempertemukan kita di saat semua rumyam dan memisah ketika kenyataan telah jelas.”
Eunwoo memandang sakura di atas dan sepanjang jalan, kemudian tersenyum.
“Aku masih menyukaimu, Rin. Tapi musim semi sepertinya tak menginginkan kita bersama.” Eunwoo memandang setangkai bunga sakura di tangannya. “Belum tentu ketika dua hal benar disatukan, tetap menjadi benar.”
Di seberang jalan. Mobil hitam tak asing baru saja berhenti, sang ayah menjemput putranya.
“Eunwoo ….” Rin menahan si pemuda yang hendak beranjak.
Eunwoo kembali memandang gadis itu setelah sempat melangkah. Senyumnya lagi-lagi mengembang lebar, berpadu dengan paras tenang yang justru terlihat menyedihkan. “Aku tahu kau ingin mengatakan kalimat terakhir, tapi aku tak mau mendengarnya.” Eunwoo menghela lirih. “Sama seperti tiga tahun lalu, kita harus berpisah. Kuharap nanti aku bisa mendengar sesuatu yang lebih menyenangkan darimu.”
“Eunwoo—” Rin tak bisa menahan pemuda itu lagi.
Eunwoo melangkah menuju mobil hitam. Roda perlahan berputar. Melaju melewati jajaran sakura mekar membentang.
Kian menjauh seiring jarum jam berputar. Rin sama sekali tak mengalihkan pandangan hingga mobil hitam benar-benar menghilang. Pertunangan resmi dibatalkan dan Eunwoo meninggalkannya.
Tak tersisa siapa pun, Rin sekarang sendirian.
Alunan musik terdengar lirih dari dalam mobil. Sapuan merah muda khas sakura memenuhi jendela kaca. Eunwoo mengangkat setangkai sakura di tangannya. Satu daun terbawa oleh ranting kecil, mengingatkannya pada si kelopak empat. “Bagaimana pun aku tetap berterima kasih pada semanggi itu … meski pahit, lebih baik daripada tak tahu apapun.”
Eunwoo meletakkan sakura ke dalam cup holder. Dia menghela napas.
“Selanjutnya janji apa yang kubuat demi daun semanggi berkelopak empat?”