Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku paling benci pelajaran Fisika. Selain rumusnya yang seabrek, gurunya, Pak Budiman a.k.a. Pak Badak, juga terkenal sangat galak. Aku sering kena semprot Pak Badak. Itu karena aku tidak pernah bisa menjawab pertanyaan paling sederhana sekali pun. Setiap praktikum aku selalu cemas kalau-kalau ada hal yang salah. Dan memang begitulah jadinya, selalu ada hal yang salah dengan praktikum fisikaku, yang pada akhirnya selalu berujung murka Pak Badak. Sejak saat itu aku benci setengah mati dengan fisika.
Lagipula, apa pentingnya mempelajari kecepatan kelapa jatuh? Begitulah pikirku. Dan dari sanalah alasanku untuk mengambil jurusan IPS di kelas XI nanti.
Namun semuanya berubah sejak aku menemukan sebuah pulpen di laboratorium fisika. Kalau pulpen itu biasa saja mungkin tidak akan menarik minatku. Banyak pulpen, terutama yang kosong, berserakan di sekolah kami. Tapi pulpen itu berbeda. Warnanya keemasan dan kelihatan sangat ekslusif. Anehnya, kenapa tidak ada yang mau mengambilnya? Ternyata setelah aku coba sudah tidak ada isinya. Saat aku mau menaruhnya lagi, aku melihat Pak Badak mengawasiku. Karena itu aku kantongi lagi daripada di sangka buang sampah sembarangan.
Di luar lab suasana sudah sepi. Tinggal anak-anak ekskul baseball yang masih berlatih di lapangan sepak bola karena sebentar lagi akan ada pertandingan akbar antar SMA seprovinsi. Praktikum fisika yang selalu mengambil waktu setelah pelajaran juga salah satu alasan masuk akal buatku tidak menyukai pelajaran yang satu ini.
Bagus deh, sebentar lagi kenaikan kelas. Jadi nggak perlu ketemu fisika lagi.
“Hei, mau bareng nggak?” tanya Dona menawarkan tumpangan.
“Nggak deh, bentar lagi Papaku jemput kok. Kamu duluan aja,” kataku menolak.
“Oke. Duluan ya,” Dona segera melajukan motor bebeknya.
Hari sudah semakin sore, tapi Papa belum keliatan batang hidungnya juga. Gini ni nggak enaknya jadi anak jemputan. Musti sabar nungguin. Apalagi punya Papa yang kerjanya kantoran, bisa lama kalo sedang banyak kerjaan. Coba kalau Mama masih hidup. . .
Mamaku meninggal tiga tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan. Seorang pemuda mabuk yang menabraknya. Keduanya meninggal dalam kecelakaan itu. Sejak dulu Mamalah yang selalu menjemputku. Aku tidak bisa naik sepeda, apalagi motor. Jadi sekarang Papa lah yang punya tugas menjemput, meskipun aku bersikeras ingin naik angkutan umum saja.
“Sekarang ini angkutan umum tidak aman, Dilla,” begitulah kata Papa setiap kali aku mendiskusikan masalah ini. Yasudahlah, toh jadwal Papa bisa dibilang selalu konstan, walaupun sesekali harus lembur. Dan kalau lembur Papa pasti ngasih tau dan dengan berat hati merelakanku naik taksi.
Tapi hari ini tidak ada taksi maupun telepon dari Papa, sementara jam sudah bergeser tiga puluh menit dari jadwal yang dijanjikan.
“Sedang menunggu jemputan?” tiba-tiba ada suara di sebelahku. Seorang cowok putih jangkung tersenyum manis sembari mengambil tempat duduk di sebelahku.
“I. . .iya,” jawabku tergagap. Bukan saja karena yang bertanya cowok bertampang keren—walaupun aku akui itu memang membuatku grogi—tapi aku khawatir dia mendengarkan omelanku kepada Papa tadi dan menganggapku tidak waras.
Hei, sepertinya aku pernah melihatnya entah di mana. Ah, sudahlah, siapa tahu kita bisa kenalan, batinku penuh harap.
“Rumahmu di mana emang?” tanyanya lagi, membuatku deg-degan, tapi tidak berharap dia mau nganterin pulang. Aku menyebutkan nama tempat yang lumayan jauh dari sekolah.
“Wah, jauh juga ya. Emang kenapa baru pulang?” tanyanya lagi.
“Tadi ada praktikum fisika. Kamu sendiri kenapa belum pulang?” tanyaku mulai sedikit akrab. Itung-itung sambil nunggu Papa yang sedari tadi nggak bales pesanku.
“Mmm. Siapa gurunya?” tanyanya lagi tanpa mengindahkan pertanyaanku. Duh, ni cowok, untung kamu cakep, jadi aku nggak marah.
“Pak Badak,” kataku sedikit jengkel dipaksa menyebutkan nama guru fisikaku yang memang kami namai begitu saking bencinya kami dengan guru yang satu itu.
“Pak Badak?” rupanya siswa ini tergolong siswa baik-baik karena tidak tahu ‘nama-nama populer’ para guru di SMA ini.
“Pak Budiman. Guru paling menyebalkan di jagad raya ini,” kataku menerangkan dengan nada yang sama menyebalkannya.
“Memang kenapa kok menyebalkan?” tanyanya lagi. Sebenarnya cowok ini agak aneh juga. Baru kenal sudah nanya macem-macem. Ah, mungkin dia juga sedang nunggu jemputan, makannya dia mengalami kebosanan yang sama denganku. Dan untuk membunuh bosan aku pun meladeni semua pertanyaannya.
“Ya, pokoknya menyebalkan. Kalau saja aku punya lampu aladin, bakal aku gunain buat ngerubah tuh guru jadi samsak tinjunya Chris John,” kataku dengan jengkel mengingat kemarahan Pak Badak tadi pas praktikum kecepatan dan percepatan lantaran aku salah menghitung kecepatan mobil-mobilan yang melaju di atas papan.
Cowok itu tercenung sejenak, membuatku tidak enak karena sudah berkoar-koar dengan nada tinggi. Namun akhirnya dia melepaskan tawanya terbahak-bahak. Duh, pas ketawa gitu dia jadi tambah menarik. Ups. . .
“Emang kamu benci banget ya sama si Badak itu?” lagi-lagi dia bertanya. Dan tatapan matanya yang hitam kelam menyeretku untuk menjawab setiap penggal pertanyaannya.
“Iya. Tapi sebenernya yang aku tidak suka fisika nya. Aku tidak pernah bisa pelajaran fisika. Sejak SMP aku selalu remidi. Ditambah dengan guru seperti si Badak, lengkap sudah kebencianku terhadap fisika,” kataku setengah curhat.
“Wah, padahal fisika kan ilmu yang mengasyikan,” kata cowok itu.
“Hah? Baru kali ini aku nemu siswa yang bisa bilang begitu sambil tersenyum,” kataku jujur. “Kamu pasti jago fisika,” ujarku kemudian.
“Aku ketua tim olimpiade fisika,” jawabnya tanpa ada nada sombong sedikit pun dari kata-katanya. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku melihat rona kesedihan tersirat dari raut wajahnya yang tirus sempurnya.
“Oya, kalau mau aku bisa mengajarimu,” katanya tiba-tiba.
“Hah?” Duh, kenapa responku malah terperangah gitu? Habisnya siapa sih yang nggak mau diajarin sama cowok seganteng dia. “Maksudku, percumalah, aku bodo banget lo,” ralatku.
“Nggak masalah. Sebodo apa pun kamu, kalau mau berusaha, pasti bisa,” cowok itu berbicara dengan nada yang sangat mengenakkan. “Tapi ada syaratnya,” katanya sejurus kemudian, dan responku lagi-lgi berupa “hah?”. Duh, keliatan banget dongonya.
“Emang apa syaratnya?” aku penasaran.
“Ada tiga syarat yang harus kamu penuhi.” Hmm, Menarik juga, pikirku. “Kamu harus suka Fisika dulu,” si cowok menatapku, membuatku nyaris bilang “hah” lagi.
“Wah, kalau itu mustahil,” jawabku langsung pesimistis.
“Coba dulu,” pintanya, membuatku mengiyakan dengan asal-asalan karena aku terlalu penasaran dengan syarat berikutnya. Siapa tahu syaratnya aku harus mau menjadi pacarnya.
“O. .oke,. Trus?”
“Kamu harus mau belajar sungguh-sungguh,” dia mengutarakan syarat berikutnya yang sama susahnya dengan syarat berikutnya. Tapi aku mengiyakan saja karena ingin segera mendengar pernyataan cinta darinya. Duh, ngarep banget ya aku. Padahal baru kenal. Maklum, jomblo super kronis!
“Yang terakhir. . .” katanya lambat-lambat. Matanya menatapku sungguh-sungguh, membuatku terhisap ke dalam kekelaman pendarnya. Ini dia, pikirku.
Dia mendekatkan wajahnya. Hidungnya yang mancung nyaris menyentuh hidungku. Semoga dia tidak mendengar suara detak jantungku. Jangan-jangan dia mau. . .
“Aku mau kamu merahasiakannya,” bisiknya kemudian, membuatku entah kenapa sedikit lega sekaligus kecewa. Juga bertanya-tanya. Ah, mungkin dia tidak mau terlihat akrab dengan cewek jelek sepertiku.
Kemudian terdengar klakson. Ternyata mobil Papaku. Aku pamit kepada cowok misterius itu.
“Oke, sampai ketemu nanti malam,” katanya sambil melambaikan tangan. Aku mengangguk kemudian menuju mobil. Hah? Nanti malam? Aku baru sadar terlalu mudah mengiyakan. Gimana ni. Aku belum siap. Tapi saat aku ingin membatalkannya, cowok itu sudah tidak ada di tempat.
“Maaf ya, Papa ada rapat mendadak tadi,” kata Papa meminta maaf. Anehnya aku sama sekali tidak marah. Mungkin karena rapat itu yang sudah memberiku kesempatan bertemu dengan cowok mempesona (sekaligus misterius) tadi. “Ngomong-ngomong tadi kamu ngobrol sama siapa?” tanya Papa dengan nada keheranan alih-alih penasaran.
“Oh, temen,” kataku singkat saja. Aku tidak mau belum apa-apa syarat ketiga udah aku langgar. Aku lihat Papa mengernyitkan alis, makin keheranan.
***
Malam harinya cowok itu benar-benar datang. Jam 10 malam! Ketuk-ketuk jendela kamarku!
Waktu itu aku sudah selesai menunggunya dan berkeputusan bahwa cowok siang tadi hanya main-main belaka. Aku mematut diri di meja belajar sambil memain-mainkan pulpen yang aku temukan hari ini. Tadinya aku mau membuang puplen itu, tapi setelah dipikir-pikir aku akan mengganti isinya saja. Sayang kalau dibuang. Aku sedang menngganti tinta pada pulpen itu ketika jendela kamarku diketuk. Dan boila, itulah dia.
“Hai,” sapanya ceria. Membuat malam yang mendung jadi terasa bertabur bintang.
“Eh, kamu. . .aku kira nggak jadi,” kataku tergeragap, tanpa sengaja merapikan rambut dan kausku.
“Boleh aku masuk. Gerimis ni,” pintanya.
Dan begitulah, fisika yang awalnya menakutkan, semenjak ada dia, jadi menyenangkan. Dia benar-benar jago. Semua soal bisa dikerjakannya. Bukan hanya itu, dia juga pinter mengajari berbagai rumus dengan menyenangkan dan aplikatif. Pokoknya belajar dengan dia menjadi waktu yang paling aku tunggu-tunggu. Pernah suatu hari dia tidak datang, dan aku jadi cemas. Tapi esok harinya dia datang lagi tanpa pernah memberitahu kenapa waktu itu dia tidak datang. Dia benar-benar misterius, tapi aku suka.
Hal menyebalkan yang tidak aku sukai dari kisah indah ini adalah sikap Papa yang menjadi semakin protektif. Aku seperti tidak punya kebebasan. Seentar-sebentar Papa menelepon dan dengan nada cemas yang tidak berhasil disembunyikannya menanyakan segala hal yang tidak terlalu penting. Misal apakah aku sudah makan siang, aku makan siang dengan siapa, dan pertanyaan konyol lainnya. Aku tahu Papa merasa kehilangan Mama dan tidak mau kehilangan anak semata wayangnya ini juga. Tapi aku butuh duniaku juga, seutuhnya. Makanya saat ‘guru fisika’ku yang ganteng banget itu ngajak jalan-jalan seusai ujian kenaikan kelas, aku langsung mengiyakan saja tanpa meberitahu Papa.
Kami pergi ke pantai. Di sana kami hanya duduk-duduk sambil menunggu matahari jatuh di garis katulistiwa. Tak satu pun dari kami berniat mengacaukan ketenangan sore itu. Kami hanya diam, menikmati semilir angin senja yang menghempas anak-anak rambut kami.
“Habis ini kita nggak bisa ketemu,” katanya tiba-tiba, yang membuat suara ombak terdengar sepuluh kali lipat lebih keras di telingaku. Dan lagi-lagi aku hanya bisa terperangah “hah?”
“Kenapa?” tanyaku, belum siap kehilangan dia. Bahkan namanya saja aku belum tahu! Dan inilah hal paling menyebalkan lain dari kisah entah apa namanya di antara kami berdua ini. Dia selalu punya cara untuk membuatku lupa menuntut namanya. Entah dengan cepat-cepat menyuruhku mengerjakan tugas darinya, entah menyuruhku menyebutkan hafalan yang dia berikan, entah itu cepat-cepat pamit pulang. Yang jelas dia selalu berhasil menyembunyikan namanya. Pernah suatu hari aku berhasil menyudutkannya. Dia hanya bilang. “Kalau nilai UAS fisikamu bagus, baru deh aku kasih tau,” katanya sambil mengacak rambutku.
“Karena kamu sudah pinter fisika sekarang,” katanya enteng saja dengan seulas senyum manisnya. “Lagipula setelah ini kamu nggak akan menemui fisika lagi kan?” imbuhnya, masih dengan senyumnya.
“Siapa bilang. Aku belum menentukan mau masuk IPA atau IPS. Dan setelah aku pikir matang-matang sepertinya aku mau masuk IPA aja,” kataku setengah berbohong. Sejujurnya aku ingin masuk IPS, tapi nanti aku nggak bisa belajar bareng dia lagi. Lagian aku mulai menyukai fisika.
“Jangan karena aku kamu jadi mengubah passion-mu,” kelekarnya, membuatku semakin tak ingin jauh darinya. Pelan-pelan ia sandarkan kepalanya yang berambut rapi ke pangkuanku. Matanya menatapku, dan aku begitu menikmatinya seperti septong kue kismis yang begitu lezat.
“Kamu tahu,” imbuhnya, membuatku deg-degan. Tapi dia tidak melanjutkan kata-katanya, alih-alih melemparkan matanya ke samudera luas di depan kami dengan memiringkan tubuhnya yang jangkung.
“Hei, kalau bicara di selesaikan dong,” protesku. Tapi dia tidak menggubrisku sama sekali dan malah bangkit seraya menunjuk matahari yang sudah mulai terbenam.
“Lihat, sunset. Sudah lama sekali aku tidak melihat yang seindah itu,” serunya. Aku sendiri jadi lupa dengan protesku karena sunset di depan kami memang indah, membuat semua perhatian semua orang terhisap ke sana. Diam-diam aku hanya menikmati separuh pemandangan itu, separuhnya aku berikan untuk wajah malaikat di sebelahku.
Tiba-tiba dia menoleh ke arahku, membuatku geragapan karena tersergap sedang menikmati elok rupanya. Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ah, aku tidak terlalu berharap. Namun kali ini dia benar-benar mengecupku, tepat di pipi. Begitu lembut. Ternyata bukan seperti kismis, tapi manis seperti tart.
Setelah itu dia mengajakku pulang.
“Selama ini sebenarnya aku mau minta maaf karena sudah mengambil hal yang paling berharga dalam hidupmu,” katanya mendadak, menggenggam tanganku begitu erat, setelah kami tiba di rumahku. Aku hanya diam tidak tahu apa maksudnya. Saat aku ingin bertanya, dia langsung pamit. Sebenarnya aku ingin menahannya lebih lama, tapi aku tidak tahu harus bicara apa.
“Oya, sesuai janjiku,” katanya membalikkan badan. “Namaku Alfa.” Aku bergidik, sebuah nama yang kebetulan selalu membuatku teringat dengan berita tentang kematian mamaku.
Dia pun menghilang di telan malam. Sejak saat itu aku tidak pernah melihatnya lagi. Dia seolah lenyap begitu saja meninggalkan sebuah pertanyaan dan perasaan campur aduk.
Waktu itu hari-hari yang sangat sibuk dengan remedial di sekolahku. Khusus untuk pelajaran fisika, nyaris satu angkatan kena remedial. Hanya 20 siswa yang tidak. Dan aku salah satunya! Tidak heran kalau Pak Badak kemudian memanggilku ke kantornya untuk diinterogasi. Rupanya dia tidak percaya aku bisa mengerjakan ujian fisika dengan bersih. Akhirnya aku disuruh mengerjakan soal fisika di depan hidungnya. Dengan berat hati aku pun mengerjakan soal itu. Tapi belum juga aku mulai menjawab pertanyaan pertama, si Badak sudah menghentikanku dengan sebuah pertanyaan.
“Darimana kamu dapatkan pena itu?” tanyanya penuh selidik.
“Ini saya temukan di lab fisika,” jawabku jujur.
“Boleh saya lihat?” katanya meminta. Aku pun memberikannya. Tampak raut mukanya berubah.
“Pak?” tegurku, membuatnya seperti ditarik dari sebuah kenangan yang menyeretnya. “Kenapa Pak?” tanyaku agak penasaran, karena raut wajah yang biasanya galak itu tiba-tiba menjadi sedikit sendu.
“Ini pulpen anak saya,” katanya sedikit parau. “Saya memberinya sebagai kado karena dia terpilih dalam tim olimpiade yang mewakili SMA ini.”
“Oh, maaf, saya hanya menemukannya. Bapak boleh memberikanya kepada putra Bapak lagi,” kataku.
“Tidak, sebaiknya kamu simpan saja,” katanya sembari menyodorkan pulpen itu kembali kepadaku.
“Tidak Pak, nanti anak Bapak nyari lagi,” kataku, dan tiba-tiba matanya menatapku. Aku tidak tahu apa arti tatapan itu.
“Anak saya sudah meninggal. Tiga tahun yan lalu,” katanya sedih mengenang anak semata wayang yang teramat dibanggakannya.
“Kalau boleh tahu kenapa Pak?” tanyaku, sedikit bersimpati. Sejak Mamaku meninggal, berita meninggalnya seseorang yang aku kenal atau ada hubungannya dengan orang yang aku kenal selalu menarik minatku.
“Kecelakaan mobil,” jawabnya singkat. Dan sekonyong-konyong aku tersadar kenapa wajah Alfa begitu familiar buatku. Wajah itu pernah menghiasi kolom berita kecelakaan mamaku di harian lokal.
Aku genggam pena bersepuh emas itu dengan perasaan aneh. Fisika oh Fisika, kenapa kau tidak mampu membuat waktu terulang kembali?!