Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seekor kunang-kunang melintas, tanpa dia sadari. Cahaya kecil di tengah gulita malam yang dingin, tipis-tipis memberikan kehangatan—yang hampir tak terasa akibat dinginnya udara terbuka.
Anak lelaki itu tak mengatakan apa pun. Matanya yang setengah fokus seperti belum selesai memproses ada yang sedang terjadi.
Permukaan tanah jauh dari bawah sana. Sepasang kakinya yang masih mungil berayun tanpa ketegasan. Mukanya ditampar langsung oleh terpaan angin kencang, terasa tak nyaman.
“Retriever! Tenanglah!”
Teriakan tersebut membuat anak lelaki itu tersadar. Tepi tebing. Satu tangannya terulur ke atas, dipegang erat-erat oleh orang itu. Dia merosot sedikit, tanah bergeser perlahan. Bukan petanda bagus.
“Aku akan melindungimu!”
Detik berikutnya, tanah benar-benar turun sebagian. Tepat sebelum wanita itu ikut meluncur, dia melemparnya. Anak lelaki itu menghantam kasar tepian tebing, merasakan tanah keras yang membentur tulangnya.
Hembusan kencang angin menampar mukanya sekali lagi.
Aku akan melindungimu….
Kalimat itu masih menggema di pikiran Retriever saat entah berapa lama waktu telah berlalu—yah, agaknya tak selama itu pula. Namun, dia tak lagi berada di tepian tebing berangin, melainkan sebuah ruangan yang dia tak terlalu mau memikirkan tempat apa itu.
Hanya ada seorang pria di depannya. Retriever tak yakin bagaimana wajahnya, tetapi dia entah sejak kapan sudah mulai hafal dengan perawakannya. Seseorang yang jarang terlihat, tetapi kemunculannya tak pernah membuat anak itu tersenyum.
Hummingbird.
Bahkan mendengar namanya saja, anak lelaki itu enggan.
Agaknya itu terakhir kali dia melihatnya—bukan berarti dia sering melihat orang itu sebelumnya. Sisa-sisa yang Retriever ingat hanyalah logam panas mengukir lehernya, membentuk gambar hampir abstrak yang samar-samar membentuk burung kecil. Juga sebuah kuas dan cairan dingin—entah apa itu, mungkin tinta—yang menggores punggungnya.
Rasanya itu sudah lama sekali, Retriever hampir tak mengingat—atau waktu itu mungkin memang dia belum pandai mengingat. Kini, Retriever masihlah anak-anak, tetapi tingginya sudah satu meter lebih sedikit. Terkadang, dia masih sesekali mendengar suara wanita itu—yang menghilang dari pandangannya di antara tepi tebing dan permukaan tanah—hampir seperti bisikan yang nyaris ditelan angin, “Aku selalu menyayangimu….”
Namun, Retriever sama sekali tak paham maksudnya.
Apa itu menyayangi?
Hidupnya seperti tak pernah damai, dan agaknya anak lelaki itu sudah terlalu terbiasa dengan hal tersebut. Entah bagaimana ceritanya—Retriever gagal mengingat terlalu banyak bagian di hidupnya—dia berakhir di sebuah tempat yang begitu hancur.
Suara ledakan di mana-mana. Teriakan orang, itu pun jarang karena Retriever hampir tak pernah melihat siapa pun selain dirinya. Dia sampai heran, mengapa mereka tetap menghancurkan dan terus menghancurkan tempat ini.
Retriever akan bersembunyi di balik puing-puing ketika suara ledakan dan tembakan terdengar. Dia hanya akan diam di sana, sampai seluruh bunyi-bunyi berdentum itu surut dan hilang sepenuhnya.
Dia bosan terkadang.
Setidaknya, sampai matanya mendapatkan keberadaan seseorang di sisi lain puing bangunan. Anak kecil, tingginya sedikit kurang dari Retriever. Tepat saat menatapnya, mata anak itu tertuju padanya. Lebar dan jernih. Pipi masih berisi dengan wajah bulat, dan surainya menutupi sebagian wajah—tetapi Retriever masih bisa mengira-ngira bagaimana sisa paras anak itu.
Ledakan lain terdengar.
Itu pertama kalinya jantung Retriever berdetak kencang. Dia ingin begitu bergegas. Dia tak tahan untuk hanya diam. Takut? Jadi, inikah perasaan takut? Di dalam dirinya seperti bergemuruh, menciptakan rasa yang mirip kemarahan besar.
Ketidaksukaan yang teramat.
Retriever melesat, menarik pergelangan tangan anak itu dan menyeretnya menuju puing terdekat yang lebih kokok untuk tersembunyi, tepat sebelum area beberapa meter di belakang mereka luluh lantak.
“Firefly,” katanya, saat semua gemuruh itu akhirnya benar-benar telah reda dan Retriever mengajaknya menuju bekas-bekas bangunan lain yang lebih layak digunakan sebagai tempat istirahat.
“Sejak kapan kau di sini? Aku tak pernah melihatmu.”
Anak itu menggeleng. Dia belum lama berada di sisi. Sejauh yang Firefly sendiri ingat, dia dipaksa turun dari sebuah pesawat. Didorong dengan paksaan, meski menolak. Ditinggalkan di sebuah tempat tak karuan, sebelum pesawat itu kembali melaju dan terbang.
“Firefly.” Retriever berdiri di depan anak itu yang duduk di lantai, memeluk dua lutut, dengan surai panjang menyelimuti badan, dan menutupi sebagian wajahnya yang bulat. Kini, dia menatap atas, kepada Retriever. Ketakutannya begitu jelas bahkan Retriever mampu melihatnya dengan cepat. Dia terlihat lemah. “Ada aku.”
Retriever tak begitu yakin mengapa mengatakan hal tersebut. Bahkan, bila ditanya, dia tak benar-benar tahu apa maksudnya. Namun, dia begitu ingin mengatakannya.
Hari demi hari berlalu. Retriever akan selalu menggandeng tangan anak itu, menemukan tempat persembunyian terbaik. Setiap kali, dia selalu mendorong Firefly untuk lebih dulu berlindung dan mengakibatkan Retriever terluka satu dua kali.
Alih-alih mengeluh, Retriever selalu segera menatap anak itu. “Firefly, kau tak apa, ‘kan?”
“Maaf, Retriever….” Di celah puing-puing yang sempit, tubuh Firefly menempel dengan anak itu. Dia bergeser mendekat, menciptakan kontak lebih banyak. Dia hanya ingin memeluknya. “Aku selalu merepotkanmu.”
“Aku akan melindungimu, Firefly!” katanya, dan anak lelaki itu memang selalu berada di depan tiap kali Firefly lari kepadanya ketika ketakutan, memegang erat tangannya, melingkarkan lengan di tubuh mungilnya, menyembunyikan wajah di balik punggungnya.
Retriever terkadang tertawa. “Firefly, kau begitu penakut… lucu!”
“Firefly… Firefly… Firefly!” Nama itu jauh lebih sering disebut oleh Retriever daripada namanya sendiri.
Ketika rembulan menggantikan matahari dan sekeliling menjadi gelap, dentuman-dentuman mengganggu telinga akhirnya reda. Beberapa waktu lalu, Retriever sengaja menggandeng Firefly menuju sisi lebih dalam dari deretan pepohonan tinggi—mendominasi bangunan-bangunan besar di sana yang kini tersisa puing-puing.
Mereka menemukan sudut untuk beristirahat. Keduanya tidur bersebelahan. Retriever menatap ke atas, titik-titik langit yang sebagian tertutup daun di sudut matanya akibat pohon yang terlalu tinggi.
“Retriever. Ketika aku menyentuh tanganmu, terasa hangat.”
“Kau kedinginan?”
Firefly melingkarkan lengan anak itu padanya. Dia ingin kehangatan lebih sehingga bergerak sedikit mendekat—yang benar-benar dia dapatnya saat tubuh mereka kemudian bersentuhan. Firefly tersenyum, jauh lebih nyaman dari harapannya.
Dia menyandarkan kepala, hampir mengusapkan wajahnya di dada anak lelaki itu. Begitu menenangkan di antara kedua lengan yang melingkar di tubuhnya, rasanya seperti seluruh dunia kini berpihak kepadanya.
“Ambil jaketku. Aku tak masalah.” Retriever tiba-tiba bangkit, melepaskan kain tebal yang membungkus separuh badannya, untuk dikenakan kepada anak itu.
Firefly terkejut, lebih lagi saat kemudian Retriever berjalan menuju sisi lain reruntuhan bangunan tempat mereka beristirahat. Dia mengupas beberapa buah yang mereka temukan tadi siang—Retriever pernah mengatakan soal kenyang akan membuat tubuh sedikit lebih hangat.
“Namun, kau hampir tak mengenakan apa pun….”
Kecuali, celana pendek yang memperlihatkan separuh pahanya. Sementara torso anak lelaki itu benar-benar terbuka.
Namun, Retriever keras kepala seperti biasa. Dia tetap melanjutkan mengupas buah seperti tak ada apa pun mengganggu. Firefly memandang dari belakang. Punggung anak itu tampak begitu dingin tanpa sehelai kain tipis pun, rambut pendeknya yang berantakan pun hampir tak bisa menutupi tengkuk. panjang yang terurai jatuh.
Dia tak mengatakan apa pun.
Kulit anak lelaki itu biasanya tertutup jaket tebal, tetapi tidak dengan saat ini. Dia bersih, hanya ada satu dua bekas luka samar-samar, tetapi sisanya benar-benar tak mengganggu tatapan Firefly yang belum berpindah.
“Kau terlihat kedinginan.”
“Kubilang aku baik-baik, Firefly.”
“Retriever….” Dia beranjak, masih dengan jaket tebal di pundaknya. Menghampiri anak lelaki itu dari belakang, sebelum melingkarkan kedua lengan padanya, hal yang bagi Firefly merupakan terbaik karena selalu menimbulkan kehangatan dan rasa nyaman.
“Aku juga ingin Retriever merasa senang,” katanya. Badannya menempel pada seluruh punggung anak lelaki itu. Dia setengah mengantuk, kepala mulai berat sehingga memilih untuk menyandar di pundaknya. Tenggelam di sana, dengan bibir yang tipis-tipis bertemu dengan leher Retriever saat dia bicara.
Retriever menoleh dan sedikit menunduk, tetapi dia tak bisa menatap wajah anak itu sepenuhnya. Hanya surainya yang terurai panjang—bunga kecil yang suka sekali Firefly letakkan di pinggir rambutnya, mencuri perhatian. Pundaknya merasakan pipi anak itu yang menempel di sana. “Pipimu seperti buah persik.”
“Manis?”
“Lembut.” Dia menarik pipi anak itu.
“Retriever juga!”
“Pipimu lebih lebar dariku.”
“Tetapi, aku suka.” Dia berjinjit sedikit, agar dapat mengusapkan muka di sebelah wajah anak lelaki itu. Lantas, sama seperti para bunga yang selalu begitu wangi tiap kali dia mencari tahu seperti apa aroma mereka sehingga kemudian ingin mencium kelopaknya yang selalu saja lembut; pipi Retriever—walau tak sebulat miliknya—ternyata juga lembut.
Firefly selalu suka tiap kali wajah mereka begitu dekat.
Tawa dua anak kecil itu selalu mengisi tempat hancur tersebut. Harmoni senada yang seakan-akan merupakan setitik harapan di tengah lautan keputusasaan. Retriever tak pernah mengeluh akan hidupnya yang tak pernah damai. Namun…
Kini…
Dia menginginkan kedamaian.
Setidaknya untuk Firefly.
Ledakan kali itu terdengar lebih kencang dari biasa. Deru mesin belasan pesawat yang terbang rendah memekik telinga. Retriever tak tahu kekacauan bisa memburuk. Dirinya yang dahulu mungkin hanya akan mencari tempat persembunyian lain yang lebih terpencil. Namun, kali ini ada Firefly.
Anak itu begitu ketakutan.
Retriever memegang pundaknya yang gemetaran. “Firefly, aku akan melindungimu.”
Retriever sedikit membungkuk, agar dapat memandang wajah anak itu yang menunduk. “Aku akan melindungimu. Aku akan melindungimu, Firefly!”
Anak itu tiba-tiba memeluknya, begitu erat dan tergesa. Seperti tak ada hal lain yang dia inginkan selain Retriever. Tubuh yang hanya sedikit lebih tinggi darinya, yang selalu membuatnya merasa hangat dan nyaman.
Retriever melepaskan lengan anak itu darinya, justru menggandengnya, kemudian berlari. “Mari meninggalkan tempat ini!”
Retriever merasakan sudah berlari sekencang mungkin, sudah memegang tangan Firefly seerat mungkin. Namun, bunyi ledakan makin kencang, makin dekat. Sesekali tanah bergetar. Deru mesin pesawat makin bersahut-sahutan. Ada satu yang makin kencang.
Terlalu kencang.
Mendekat.
Hingga kemudian, saat ini, tepat di belakang mereka.
Retriever tak akan khawatir andai dirinya sendirian. Namun, Firefly tak boleh ketakutan. Firefly tak boleh terluka. Firefly harus selalu tersenyum. Firefly hanya boleh tertawa.
Retriever menoleh belakang. Dia mengenali pesawat itu—dia baru mengingat kembali ketika melihatnya lagi usai sekian tahun berlalu, dan entah kapan momen ketika Retriever pernah melihatnya.
Seorang lelaki turun dari pesawat. Mendekati mereka dengan langkah pelan, tetapi begitu percaya diri. Satu jangkahnya terasa seperti sama dengan tiga kali anak-anak itu.
Tangannya terangkat ke atas samping, menyilang di depan dadanya. Dengan dua jari mengapit sebuah kertas kecil dengan coretan-coretan tak jelas. Namun, entah mengapa, lagi-lagi Retriever merasa familiar, pernah melihat tulisan itu—atau setidaknya menyadari gaya tulisannya.
“Cukup, Bocah-bocah.” Lelaki itu mengayunkan tangannya ke depan, melepaskan kertas yang dipegang.
Rasanya seperti angin berhembus kencang, walau Retriever yakin itu sama sekali bukan angin sama sekali. Semuanya menjadi hitam, dia tak bisa merasakan apa pun.
Di mana Firefly?
Firefly harus baik-baik saja!
Dia harus segera menemukan Firefly!
“Retriever.”
Anak lelaki itu membuka mata. Pesawat. Meski tak begitu paham, tetapi dia yakin ini pesawat yang terbang ke arahnya beberapa waktu lalu. Lebih lagi, lelaki yang sama, ada di sana. Memanggilnya barusan.
Tatapan Retriever bergeser, menuju jendela yang hanya memperlihatkan biru dengan sedikit-sedikit goresan putih. Mereka tak lagi terbang rendah di sekitar tempat yang hancur itu, melainkan lebih tinggi, meski dia tak tahu setinggi dan sejauh apa.
“Firefly—”
“Masih mencari anak itu?” Lelaki tersebut bicara lagi.
Saat Retriever menatapnya, dia akhirnya sepenuhnya teringat. Dia lelaki yang dahulu menulis huruf-huruf aneh di punggungnya menggunakan kuas.
“Masih keras kepala. Dengar, ya, Retriever. Ada sihir yang dirapalkan padamu—bukan yang ada di punggungmu sekarang. Yah, memang sebelumnya mantra itu ditulis di sana, tetapi kemudian hilang setelah dirapalkan.”
Retriever melirik belakang melewati pundaknya, meski dia tak bisa melihat punggungnya sendiri. Jadi, artinya yang satu ini belum dirapalkan?
“Akibat adanya sihir tersebut, kau selalu diawasi… olehku, bahkan Hummingbird pula. Jadi, sudah cukup mempermasalahkan anak itu. Sejak awal, kau tak pernah melindunginya sama sekali, justru terus membawa sertanya dalam setiap petakamu.”
Petaka?
Jadi itulah mengapa Retriever tidak pernah merasakan kedamaian? Kehidupannya selalu dipenuhi huru-hara. Kekacauan tanpa henti. Hal-hal yang terus memburuk.
“Retriever, bila kau ingin melindunginya, maka pergilah dari pesawat, saat ini juga.”
Pergi… dari pesawat… saat ini juga?
Di ketinggian ini?
Yah, meski dia sudah pernah hampir jatuh dari tebing sebelumnya.
“Vulture!” Wanita yang juga ada di kapal, menggertaknya. “Jangan membual dan dengan sengaja menakut-nakutinya! Cukup katakan bahwa Hummingbird membutuhkannya untuk melakukan suatu hal.”
“Tidak! Memang sesungguhnya, Retriever adalah tumbal.”
Anak lelaki itu menatapnya. Retriever tak begitu paham yang dimaksud dengan tumbal, tetapi dia tahu itu bukan hal yang menyenangkan. Lelaki itu—yang dipanggil Vulture—sempat berkata tentang petaka. Tak heran, tumbal agaknya bagian dari itu. Masuk akal.
Artinya, Retriever hanya perlu menjalaninya.
“Vulture, istilah itu kejam!”
“Aku bisa melindungi Firefly.”
Wanita di sisi ruang penumpang pesawat menghela napas, sedangkan Vulture tampak puas. Dia segera mengiyakan saat Retriever kemudian memintanya untuk membawa Firefly ke hadapannya.
Pesawat mereka kini terbang di tempat. Tak bergerak sedikit pun. Pintu lebar telah terbuka. Vulture di belakangnya, menyeringai begitu lebar—dia sangat menikmati situasi ini, seperti sebuah pertunjukkan besar yang telah dinanti-nanti. Tangannya siap untuk merapalkan mantra kapan pun.
Retriever tak melepaskan pandangan dari Firefly, tak mau meninggalkannya.
Tak mau.
Tak mau!
“Firefly!” Namun, Retriever paham, bahwa dia lebih ingin melihat Firefly baik-baik saja, tak peduli seberapa tidak menyenangkan apa pun membayangkan tak akan pernah bisa melihat Firefly kembali.
Meski Firefly menggenggam tangannya begitu erat, dia harus bisa melepaskannya.
Meski Firefly menarik mendekat agar dirinya tak bisa beranjak kemana pun. “Aku tak mau, Retriever.” Anak itu membisik tepat di depan mukanya, hanya ingin dia mendengarkannya.
Retriever harus mengatakan semuanya.
Persis seperti bisikan wanita di tepi tebing—momen-momen terakhirnya—hari itu, “Aku selalu menyayangimu.” Cara wanita itu selalu melindunginya, selalu mengatakan hal-hal yang membuatnya tenang, Retriever ingin memberikannya kepada Firefly.
Retriever meraih kedua tangan Firefly, erat, juga melepaskan dari lengannya perlahan. Anak itu sangat dekat dengannya—Retriever tak pernah tahu mereka bisa sedekat ini.
Namun, dia ingin lebih dekat.
Setidaknya untuk terakhir kalinya.
Dia ingin Firefly tahu, bahwa Retriever paling senang menghabiskan waktu dengannya, memetik buah untuknya, mengupas buah untuknya, memberikan jaket padanya, melindunginya—terlebih ketika anak itu lari kepadanya tiap kali ketakutan.
Tangan anak itu selalu hangat, tubuh kecilnya—hanya sedikit lebih kecil dari Retriever—selalu menyenangkan tiap kali berada di tengah-tengah kedua tangannya yang melingkar. Pipi anak itu masih selalu mengingatkannya pada buah persik yang ingin dia makan.
Lembut tiap kali dia menciumnya. Namun, kali ini, sepasang pipi anak itu dipegang lembut oleh kedua tangan Retriever. Dia tanpa sadar sedikit mendekat. Dan saat dia ingin menenangkan anak itu—dengan cara yang menurut Retriever adalah yang paling disukai Firefly—yang tersisa adalah bibirnya yang kemerahan.
Dia… sama sekali tak ingin meninggalkan Firefly, andai Retriever boleh serakah.
“Selamat tinggal, Firefly.”
Retriever melepaskan anak itu dari genggamannya. Lantas menjatuhkan diri dari pesawat. Tarikan gravitasi terasa makin kuat dan kuat. Hembusan angin kencang seperti menampar punggung keras-keras.
Terasa panas.
Namun, entah mengapa, perlahan-lahan, keterangan justru merasuki. Apa karena dia telah melepaskan segalanya? Dia telah tenang karena Firefly tertinggal di sana? Karena dia telah menjauh dari sisinya sehingga Firefly tak pernah mendapatkan satu pun dari petaka-petakanya lagi?
Dia membuat mata perlahan.
“Retriever….”
Tepat saat menyadari bahwa beberapa meter di atasnya terdapat seseorang yang juga melayang jatuh, permukaan tanah hanya tersisa beberapa puluh meter lagi. “Firefly, tidak!”
Sebelum sempat mengatakan apa pun lagi, hanya tersisa satu detik hingga Retriever menghantam tanah. Di saat itu pula, dia dapat merasakan tulisan-tulisan tak jelas—mantra bila kata Vulture—menghilang dengan sendirinya.
Disusul ledakan besar tepat setelahnya.
Ledakan paling besar yang pernah didengar Retriever.
Di dalam pesawat, Vulture memegangi kepalanya yang sakit. “Hummingbird akan marah padaku karena melepaskan satu anak. Harga kunang-kunang itu begitu mahal….”
“Siapa suruh kau begitu ceroboh!”
Pesawat yang ditumpangi Vulture terbang kian tinggi, memasuki lautan bintang, menjauh dari sebuah planet yang salah satu sisinya menyala terang—sesaat setelah sisi lainnya retak menjadi tiga hingga empat bagian—seakan-akan juga merupakan salah satu dari bintang-bintang di sana.
Mantra yang tergores di punggung Retriever begitu kuat, itulah mengapa Vulture membutuhkannya sebagai media sebelum merapalkan dari kejauhan demi keselamatannya.
“Dengan begitu, tempat anak lelaki itu yang begitu bergemuruh, telah rata. Begitu tenang, bukan? Dia pasti tenang.”
“Dia pernah mengatakan demikian? Kau memang benar-benar mengawasinya, Vulture. Namun, aku yakin, bukan begitu yang dimaksudnya.” Wanita itu menghela napas, menyandar kursi pesawat, melihat keluar jendela. Cahaya terang planet itu perlahan redup. “Skenario milik Hummingbird benar-benar mengerikan—sebuah tragedi. Bukan planet yang hancur dalam satu ledakan, melainkan dua anak itulah tragedinya.”
“Anak lelaki itu, Retriever… sama sekali bukan anak, dia adalah monster.”
Wanita di sisi pesawat menghela lagi, kali ini sebal, begitu kentara. “Sudah kubilang jaga ucapanmu, Vulture. Anak lelaki itu tak melukakan satu hal salah pun. Aku heran mengapa kau sangat antusias mengikuti skenario Hummingbird yang satu ini.”
“Dia melakukan apa yang seharusnya dia lakukan,” kata Vulture enteng. “Sudah kubilang, kan, tadi?” Dia tertawa sedikit. “Tidak pernahkan kau bertanya akan keputusan Hummingbird, mengapa Retriever menjadi satu-satunya yang bukan alat perdagangan kita seperti halnya anak-anak lain?”
Sementara itu, planet yang telah hancur hanya tersisa kepingan-kepingan—tak ada tanda-tanda bunga yang biasa dipasang di rambut Firefly. Kecuali, satu anak lelaki yang tertutup debu di beberapa bagian tubuhnya.
Dia diam.
Telentang.
Kemudian tiba-tiba duduk, seperti sebuah mesin usang yang mendadak menyala kembali—dan nyatanya bukan usang sama sekali. Dari kejauhan, seseorang mendekat. Wajahnya tak terlihat—lagi-lagi dan lagi-lagi.
Perawakannya familiar.
Anak lelaki itu sudah bosan.
Hummingbird.
“Mari kembali…,” suara itu membuat anak lelaki di hadapannya mengangkat kepala, gambar abstrak yang sama-samar membentuk burung kecil di lehernya, masih begitu jelas, “Retriever.”
Kepingan-kepingan planet itu saling menjauh. Cahaya yang sempat menyelimuti terang, telah padam sepenuhnya. Pesawat milik Vulture telah lebih jauh meninggalkan tempat itu.
“Apa?! Kau bohong!”
“Dia hendak kemari… si Hummingbird.”
“Tidak mungkin! Aaa! Aku akan diomeli!”
“Pikirkan juga tentang Retriever! Terlepas dari ini semua yang merupakan skenario Hummingbird, kau juga berlebihan kepadanya. Berhentilah dan jangan keterlaluan padanya, Vulture. Setelah anak lelaki itu mampu untuk menggunakan mantra, dia pasti akan menendangmu ke luar planet.”
“Sialan!”
Wanita di sampingnya menggeleng-geleng tipis, sebelum kemudian tak sengaja melihat ke luar jendela pesawat dan tiba-tiba agak keheranan. “Kau meledakkan planet itu dua kali?”
Vulture mendengus. “Hah? Hanya sekali….”
Nyatanya, planet itu memang meledak satu kali lagi. Bekas sisa-sisa mantra milik Vulture masih samar-samar, ditutup oleh mantra sama persis yang bekasnya jauh lebih kentara—menandakan kekuatan atau skala yang jauh lebih besar.
Ledakan yang kedua adalah ulah Retriever. Dia mengingat mantra yang dilukis Vulture di punggungnya hanya dengan melihat satu dua kali melihat menggunakan cermin, ketika masih berada di tempat Hummingbird.
Retriever barusan merapalkannya, bahkan tanpa pernah maupun sekadar memiliki keinginan untuk belajar mengenai mantra sama sekali.
Agak jauh dari anak lelaki itu, Hummingbird membuka mata setelah debu di sekitarnya beterbarang pergi. Dia menghela napas, kemudian menghampirinya.
Tatapan Retriever terkunci pada Hummingbird, “Kau berhutang permintaan maaf!” katanya dengan kasar.
Muka marah Retriever hanya menjadi makin kentara ketika Hummingbird tak mengatakan apa pun dan masih saja berjalan mendekat. Dia tak gentar sama sekali kepada pria itu, seharusnya.
Seharusnya.
Retriever tak memiliki alasan untuk takut, kecuali ketika kemudian dia menyadari fakta bahwa Hummingbird sama sekali tak terluka akibat ledakan, dan kini mengulurkan tangan ke bawah, menawarinya sebuah bunga—benar-benar bunga yang biasanya ada di rambut Firefly—yang semula bahkan telah hancur tak tersisa.