Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Adisty duduk di teras rumah, mengawasi Dika, adik laki-lakinya yang berusia lima tahun, bermain bola dengan riang di halaman. Senyumnya cerah, namun matanya menyimpan kekhawatiran. Sejak kecil, Adisty memiliki kemampuan prekognisi, sering kali ia melihat di masa depan yang buruk atau menakutkan.
Ayah mereka muncul dengan wajah serius. "Adisty, Dika, Ayah harus pergi sebentar. Ada yang butuh pertolongan Ayah." katanya dengan nada berat, suaranya terdengar seperti gemuruh halus yang menggetarkan udara.
Jantung Adisty berdebar kencang. Kemampuan prekognisi yang dimilikinya memberi petunjuk bahwa ayahnya dalam bahaya. Dia berdiri cepat, dan menghampiri ayahnya. "Ayah, tolong jangan pergi! Aku melihat sesuatu yang buruk akan terjadi," katanya, suaranya bergetar dan mata memancarkan rasa takut yang mendalam.
Ayahnya terkejut, alisnya berkerut dan matanya melebar. "Apa maksudmu? Ayah harus menolong orang itu. Ini tugas Ayah, Nak," katanya, tangannya yang hangat menggenggam bahu Adisty, memberikan sentuhan yang menenangkan namun tegas.
Adisty menggenggam tangan ayahnya erat-erat. "Ayah, kumohon. Ayah akan dalam bahaya besar," Ucapnya, nadanya penuh dengan permohonan tulus.
Adisty enggan menceritakan penglihatan yang menunjukkan bahaya bagi ayahnya, meskipun dia tahu penglihatannya mungkin saja salah. Kali ini, dia bertekad untuk melindungi ayahnya.
Dika memandang mereka dengan raut wajah polos, Ayah mereka melihat kesungguhan di mata Adisty. Meski sulit, kasih sayangnya lebih kuat. Dia menghela napas panjang. "Baiklah. Ayah akan cari cara lain untuk membantu mereka." katanya dengan suara yang lebih lembut.
Adisty merasa lega, "Aku hanya ingin Ayah aman bersama kami."
Sang Ayah tersenyum lalu memeluk anak-anaknya penuh kasih sayang, "Ayah juga ingin selalu ada untuk kalian."
Beberapa saat kemudian, Pak Rusdi dan Ibu Wulan datang dengan langkah cepat, suara langkah mereka seperti irama ketukan pintu. Wajah mereka penuh kekhawatiran. "Assalamu'alaikum, Pak Herman," ucap mereka memandang mereka yang tengah berbicara di depan teras
"Wa'alaikumsalam," jawab Pak Herman dengan menoleh.
Pak Rusdi berkata, "Pak, bisakah Bapak menolong kami?" suaranya parau.
Pak Herman melihat ke arah Adisty yang menggeleng pelan. Mata Adisty penuh rasa takut dengan firasat buruk.
"Saya mohon, Pak!. Ponakan saya selalu menangis tiap malam. Kondisinya sehat, tapi dia selalu menangis," Ibu Wulan berkata dengan suara bergetar, "Bantu kami, Pak Herman!!." Pintanya benar-benar memohon
"Nama ponakan Ibu siapa?" tanya Pak Herman
"Aira Marlia. Ibunya wafat saat melahirkan." jawab Ibu Wulan, suaranya bergetar menahan kesedihan yang sejak tadi ia tahan
Pak Herman menghela napas berat, seperti beban besar yang diletakkan di pundaknya. Hatinya ingin membantu, tapi permintaan anaknya menahan diri. Ia meminta izin pada Adisty dengan isyarat.
Adisty berkata, "Berikan alamat lengkapnya saja, Bu. Nanti kita diskusikan terlebih dahulu untuk keberangkatannya!"
Pak Herman tersenyum, merasa bersyukur atas keputusan anaknya. Ia cepat-cepat mencari kertas dan pulpen ke dalam rumah. Lalu Adisty mempersilakan mereka duduk, dengan sigap ia ke dapur untuk membawa nampan berisi air dan camilan.
Di persilahkannya Pak Rusdi dan Ibu Wulan untuk menikmati jamuan, dengan rasa terima kasih mereka pun merasa lebih tenang dan mencicipi jamuan dari pemilik rumah.
Pak Rusdi menulis alamatnya di kertas penuh dapat menolong ponakannya. "Terima kasih, Pak Herman, kami sangat menunggu kehadirannya." ujar Pak Rusdi menyerahkan kertasnya
"Terimakasih pak Herman, Terimakasih." Ucap Ibu Wulan terharu oleh kebaikan pak Herman
"Sama-sama, Pak Bu. Saya akan datang." kata Pak Herman dengan nada suara yang menenangkan.
"Terimakasih, Pak," jawab Ibu Wulan, suaranya mengandung kelegaan yang tulus. Tak lama kemudian, mereka berpamitan pulang.
Seusai mereka pulang, Adisty berkata, "Aku ikut! Aku akan temani Ayah," Ucapannya yakin seperti api yang menyala-nyala. Pak Herman terkejut dengan permintaan anaknya.
Menghembuskan nafas pasrah, "Baiklah. Kita akan berangkat bersama. Ayah akan selalu melindungimu dalam situasi apa pun," Ucapnya dengan suara tegas namun lembut.
Adisty mengangguk. "Aku ingin membantu dan menjaga Ayah." katanya dengan keyakinan.
"Terima kasih, kamu selalu berusaha menjaga ayah," kata sang ayah sembari memeluk. Adasty tersenyum lega sambil mengangguk, merasa bersyukur karena ayahnya menyadari kepeduliannya.
"Iya ayah. Aku senang kita bersama-sama ayah." Memeluk sang ayah erat.
Keesokan harinya. Mereka berangkat menuju rumah bayi Aira dengan sambutan udara pagi. Namun, di balik sambutan alam yang damai itu, mereka tahu ada masalah besar yang menanti mereka.
Adisty meninggalkan adiknya, Dika, di rumah tetangga yang mereka anggap dekat bagaikan keluarga. Perjalanan mereka di awali dengan melewati perbatasan hutan lebat dan jalan setapak yang jarang dilalui orang. Ketegangan dalam hati mereka diimbangi oleh suara dedaunan dan kicauan burung pagi.
Adisty merasa gugup, namun kehadiran ayahnya memberinya kekuatan. Saat mereka kian mendekati tempat tinggal bayi Aira, seolah-olah alam menyadari kehadiran sesuatu yang tidak wajar di sekitar. Kabut tipis menyelimuti jalan setapak, memberikan nuansa misterius. Suara dedaunan yang biasanya menyenangkan kini terdengar seperti bisikan rahasia pada pendengaran sang Ayah. Adisty merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan Adisty terus menggenggam tantang sang ayah dengan jalan perlahan.
Mereka tiba disebuah halaman rumah yang tampak besar, "Assalamu'alaikum." Ucap pak Herman
"Waalaikumsalam. Terima kasih pak Herman sudah datang. Anak saya... Selalu menangis saat tertidur di malam hari. Saya pun tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk anak saya Aira." Sembari menjabat tangan pak Herman dengan wajah khawatir
Pak Herman menenangkan pria itu dengan senyuman hangat, mencoba menyebarkan rasa tenang di tengah kekacauan. "Kami akan membantu. Tolong tunjukkan kami ke tempat Aira."
Di dalam rumah, suasana terasa suram. Bayi Aira terbaring di tempat tidurnya yang kecil, setelah semalam menangis, tampaknya sang bayi kelelahan. Adisty mendekati bayi itu dengan hati-hati, merasakan hawa dingin yang menjalar di tubuhnya. Seolah ada sesuatu yang tak kasatmata mengintai di sudut-sudut ruangan. Ia berusaha menenangkan dirinya, namun kegelisahan tak kunjung hilang.
Matanya terbelalak saat melihat bayangan gelap yang samar-samar bergerak di sekitar kamar Aira. Bayangan itu tampak seperti kabut pekat yang menyelimuti seluruh ruangan. Dia menoleh pada ayahnya dengan ekspresi serius. "Ayah, kita harus segera bertindak."
Ayahnya, yang tengah berdiri di ambang pintu, menyadari ketegangan di wajah Adisty dan segera mendekat. “Apa yang kamu lihat, Nak?” tanyanya dengan suara rendah namun tegas.
“Bayangan itu, Ayah. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Kita tidak bisa membiarkan Aira tetap di kamar ini,” jawab Adisty, suaranya bergetar sedikit.
Ayahnya mengangguk, menyadari situasi. “Bawa Aira keluar dari sini dulu!, ayah ingin memastikan apa yang terjadi.”
Dengan hati-hati, Adisty mengangkat bayi Aira dan membawanya keluar kamar, menyerahkannya pada Ibu Wulan yang sudah menunggu. Bayangan gelap terus bergerak di ruangan, seakan enggan melepaskan Aira, sementara suara angin dan bisikan misterius mengisi udara, mengiringi langkah mereka.
Ibu Wulan memeluk Aira erat, mencoba menenangkan bayi itu yang mulai gelisah lagi. "Apa yang terjadi, Adisty?" tanyanya cemas, matanya tak lepas dari pintu kamar yang kini tampak lebih gelap dan menyeramkan.
"Ada sesuatu yang aneh di kamar Aira, Bu. Ibu tidak usah khawatir, ayah akan segera membantu." jawab Adisty
Pak Herman mengangguk dengan serius dan mulai menyiapkan perlengkapan ritual. Garam yang sudah di sucikan dengan doa di sebarkan tepat sekitar tempat tidur bayi Aira, membentuk lingkaran perlindungan yang memancarkan kilauan samar di bawah cahaya lampu minyak. Sementara itu, Adisty menutup matanya, memusatkan pikirannya pada arus energi yang mengelilingi mereka. Dengan lembut, dia mulai merapalkan doa, mengundang cahaya dan perlindungan untuk bayi Aira. Suaranya lembut namun penuh kekuatan, bergema di dalam ruangan yang mencekam.
Pak Herman menuangkan air suci ke dalam mangkuk tembaga dan menambahkan ramuan kering. Aroma daun dan bunga segera memenuhi ruangan. Setelah menyalakan api kecil di bawah mangkuk, asap perlahan membubung, mengisi ruangan dengan aroma menenangkan untuk mengusir kehadiran jahat yang mengancam Aira.
"Ayah, aku merasakan sesuatu," bisik Adisty. "Bayangan itu semakin kuat."
Pak Herman mengangguk. "Tetap fokus, Adisty. Ayah akan coba memulai pengusirannya." Adisty mengangguk, mengikuti perintah sang ayah.
Pak Herman menyiapkan peralatan ritualnya dengan teliti, kemudian mulai merapalkan doa-doa pengusiran dengan penuh konsentrasi. Energi kekuatannya tersebar ke seluruh ruangan, membentuk perisai pelindung yang kuat di sekeliling mereka. Bayangan itu berteriak dengan suara menggema di seluruh rumah, seolah-olah berusaha melawan energi yang dipancarkan oleh ritual tersebut.
Adisty merasakan kekuatan bayangan itu semakin menguat, dengan mata terpejam, dia terus merapalkan doa, memperkuat energi pelindung di sekitar mereka. Suara gemuruh dari bayangan itu semakin keras, namun perlahan-lahan mulai memudar sementara waktu.
"Adisty... tolong ibu..." Suara itu mirip dengan suara ibunya yang sudah lama meninggal, mengguncang hati Adisty dengan rasa sedih dan kebingungan.
Adisty terperangah, "Ibu? Bagaimana mungkin?"
Pak Herman tetap tenang meskipun wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Adisty, jangan biarkan dirimu terjebak. Fokuslah!" katanya dengan suara tegas.
Adisty mengangguk, menahan air matanya, berusaha kembali fokus. Ia menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, kembali menjaga ketenangan pikirannya. Suara ibunya kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Namun, Adisty tahu bahwa ini bisa jadi tipuan dari entitas yang mereka hadapi.
Pak Herman memperhatikan sekitar ruangan. "Ayah akan lanjutkan pengusirannya," ucapnya sambil mulai mengatur perlengkapan ritual tambahan.
Kemudian, Pak Herman dan Adisty berhasil mengusir bayangan itu sepenuhnya. Ruangan yang tadinya dipenuhi kegelapan kini terasa lebih terang dan damai.
"Ibu..." bisik Adisty, air matanya kembali mengalir, namun kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena kelegaan dan rasa rindu.
Mereka kembali memusatkan semua energi mereka, dengan hentakan energi dari sang ayah terhadap sosok bayangan itu, kini bayangan itu menghilang.
Setelah pengusiran itu berhasil, sang ayah memastikan keadaan bayi Aira benar-benar stabil. Kini tangisan Aira yang sedari tadi terdengar kuat, perlahan mulai berhenti dengan ketenangan, menandakan bahwa kekuatan jahat itu telah pergi.
Pak Herman menghembuskan napas lega dan memandang Adisty dengan bangga. "Kita berhasil, Nak," katanya dengan suara tenang.
Adisty mengusap air matanya dan tersenyum lemah. Sang ayah langsung memeluk Adisty lega.
Ibu Wulan mendekat, wajahnya menunjukkan kelegaan yang mendalam. "Terima kasih pak Herman sudah membantu kami." Menggendong Bayi Aira dengan wajahnya yang begitu cantik
Mereka beristirahat sejenak di ruang tengah, merasakan kedamaian yang perlahan kembali menyelimuti rumah mereka. Seketika Pak Herman mengalami batuk, dan terlihat ada darah yang keluar di ujung dari bibirnya. Adisty yang panik segera membantu sang ayah untuk membersihkan darah di ujung bibirnya. Pak Rusdi pun segera memberikan minum untuk Pak Herman untuk memulihkan tenaganya. Pak Herman berusaha menenangkan situasi dengan mengatakan bahwa kondisinya baik-baik saja.
Setelah kondisi Aira membaik, Pak Herman dan Adisty berpamitan untuk pulang. Dalam perjalanan, air mata Adisty menetes perlahan, diliputi kekhawatiran akan kemungkinan buruk yang bisa menimpa ayahnya. Ia tidak ingin kehilangan sosok ayah yang sangat dicintainya. Sepanjang perjalanan, Adisty terus menggenggam tangan ayahnya, penuh khawatir. Pak Herman tersenyum, tersentuh oleh kasih sayang Adisty yang mendalam.
Sesampainya di rumah kembali dalam keadaan sudah malam, Adisty menemukan Dika tertidur pulas di rumah tetangga. Dengan lembut, ia menggendong adiknya dan membawanya pulang, menidurkannya di tempat tidur dengan penuh perhatian. Selimut dibenahi dengan lembut, bantal-bantal dirapikan, memastikan adiknya bisa tidur nyenyak.
Setelah itu, Adisty membantu sang ayah untuk bersih diri, menyiapkan tempat tidur yang nyaman setelah perjalanan yang melelahkan.
Pak Herman menatap putrinya dengan bangga, rasa haru di matanya jelas terlihat. "Kamu telah menunjukkan keberanian yang luar biasa hari ini, Adisty. Aku yakin ibumu juga bangga padamu." Adisty tersenyum lemah, kelelahan fisik dan emosional tampak dalam senyumnya.
Ayah menjelaskan dengan suara lembut namun penuh wibawa, "Terkadang sosok ghaib itu menyerupai apa yang ada di fikiran kita, termasuk orang yang sudah meninggal. Ini adalah cara mereka untuk melemahkan manusia yang ingin mengusir mereka dari lingkungan manusia."
Adisty mengangguk, meskipun batinnya merasakan keanehan karena suara sosok itu mirip dengan almarhum ibunya, yang telah meninggal saat Dika lahir. Perasaan ini mengganggu pikirannya, menambah kedalaman pemahamannya tentang dunia yang dihadapinya.
“Kita harus terus belajar memahami petunjuk alam dengan jiwa yang tenang agar mudah membantu orang lain,” jawab sang ayah dengan kebijaksanaan dan kelembutan.
"Lalu, kenapa sosok itu berada di kamar bayi Aira?" Tanyanya
"Sosok itu tidak sengaja terbawa oleh salah satu anggota keluarga saat bepergian. Tanpa disengaja, ia masuk ke kamar tanpa membersihkan diri dan berdoa terlebih dahulu. Bayi, yang masih suci dan sangat sensitif terhadap entitas tak terlihat, menangis sebagai bentuk permohonan untuk melawan ketidaknyamanan akibat entitas negatif di rumahnya," jelas Pak Herman, memberi Adisty pemahaman lebih dalam tentang kompleksitas dunia ghaib.
Meski tak tampak dengan mata biasa dan hanya bisa dirasakan melalui indra keenam, Adisty mulai memahami bahwa di dunia ini ada dimensi lain yang hidup berdampingan dengan manusia. Ia bertekad terus belajar tentang dunia ghaib dengan bimbingan ayahnya.
Malam itu mereka pun tertidur nyenyak dan siap menghadapi hari esok dengan bahagia.