Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
FINE
0
Suka
97
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Krak, selembar foto tanpa bingkai terjatuh saat aku sedang berbenah tumpukan buku yang sudah tidak terukur berantakannya di lemariku. Senyumku seketika mengembang saat memandang foto yang terjatuh, foto kita berdua berdiri berdampingan dibalut toga yang menjadi simbol kebanggaan. Saat itu kita sudah saling memanggil mantan, namun aku berterima kasih karena kamu beri kesempatan untuk sekali lagi menyimpan potret kita di dalam gambar. Senyummu yang lebar begitu menawan, matamu yang selalu hangat memancar keramahan, dan aku percaya hari itu kamu tulus kepadaku. Walau akhirnya kamu tahu, ajakan yang aku lontar itu tersebab oleh selembar uang lima puluh ribu yang dipancing teman-teman kita. Aku pikir kamu akan tersinggung ketika tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun dengan gayamu yang khas, kamu meminta selembar uang berwarna biru itu kita bagi dua, meski aku tetap mendapat bagian lebih besar. Ternyata sudah delapan tahun berlalu, kamu merasa baru kemarin atau tidak?, kalau aku memang sadar itu sudah cukup lama (hehehe). Mau aku beri tahu rahasia? satu hal yang sampai hari ini selama delapan tahun itu tidak pernah aku bicarakan pada siapapun, bahwa sesungguhnya aku sangat gugup ketika menghampirimu dan mengajakmu untuk tersenyum disampingku menghadap kearah kamera yang dipegang salah seorang yang sama-sama menjadi teman baik kita kala itu. Degup jantungku juga mulai tidak beraturan, aku khawatir detaknya terdengar sampai keluar, tapi seperti yang kamu tahu, keras kepala adalah karakter utamaku. Buatku harga diri diatas segalanya, tidak peduli luka dan duka yang tersembunyi, di hadapan banyak orang aku harus tetap tampak berani. Aku tidak pernah jujur kepada siapapun bahwa hingga saat itu kamu masih sangat berarti buatku, termasuk pada diriku sendiri. Karena yang aku ingat, hanya denganmu aku bisa merasa lemah, hanya denganmu aku boleh merasa takut, hanya kamu yang mengizinkan aku untuk merasa lelah dan boleh banyak meminta tolong.

Selembar foto yang terjatuh itu dengan cepat mengalihkan fokusku, berbagai ingatan tentangmu bergantian muncul setelah aku tersenyum melihat kamu yang tersenyum di foto itu. Rasanya aku seperti diserang bertubi-tubi oleh memori baik yang tidak aku perlakukan cukup baik. Aku tidak pernah menyesal mengambil keputusan untuk sempat berbagi cerita hidup denganmu, meski pada akhirnya kita harus terpisah, aku juga tidak pernah menyesali perpisahan itu. Karena saat kita sepakat menghabiskan waktu bersama, kamu membuat diriku begitu berharga, betapa hebatnya kamu membuat diriku berarti hingga aku mulai menghormatinya. Sudah lupa belum, ketika kamu menumpahkan air mata di pundakku saat pertama kali mendengar jalan hidup yang aku lalui?, aku yang kebingungan dan menganggapmu aneh, baru kemudian merasa tersentuh saat kamu menyampaikan perasaan kagummu dan memujiku dengan penuh kasih sayang. Aku sudah lupa bagaimana rasanya dipuji dengan cinta, sudah lama sekali aku kehilangannya. Tapi sejak saat itu, kamu berhasil hadirkan rasa berbeda yang tumbuh dalam cerita kita. Sepertinya kita punya cukup banyak warna dalam cerita singkat kita, mulai dari hal-hal konyol yang tidak sengaja kita lakukan, sikap-sikap romantis kamu yang diluar dugaan, juga percakapan-percakapan serius yang ujungnya membawa kita pada keadaan yang lebih asing daripada saat kita belum sempat berkenalan. Setuju?

Tapi aku harus mengakui bahwa kamu adalah salah satu yang terbaik yang pernah hadir, bagaimana dengan caramu, kamu bisa menaklukkan perempuan paling galak dan kasar yang ada di kelas. Membuatnya begitu takut akan kehilangan, membuatnya perlahan mendewasa. Mengingat kamu selalu mengajak dan menungguku diakhir mata kuliah, selalu menggengam tanganku sepanjang kita bersama, selalu tersenyum saat menemukan pandangan mataku, lalu saat aku kesal karena kamu menungguku di ujung koridor toilet, yang kesemua alasannya sama, kamu bilang kamu tidak mau menyiakan waktu untuk tidak disampingku, membuat aku rasanya ingin sekali lagi mengulang waktu itu untuk sedikit saja bersikap lebih baik padamu. Seingatku, aku sudah minta maaf karena kesalku atas tingkah konyolmu yang setia menunggku di ujung koridor toilet itu. Meski salah seorang temanku bilang itu sikap gentle dan manis, aku masih belum menemukan dimana letaknya. Atau ketika kamu dengan tanganmu sengaja menutup mataku saat kita sedang berjalan di parkiran mall, lalu kamu bilang, sekalipun dunia rasanya begitu gelap, satu-satunya hal yang boleh aku takutkan hanyalah tidak menemukan tanganmu untuk kugenggam, karena kamu akan selalu ada untukku. ingat tidak?

Senyumku sudah semakin lebar dan mataku mulai hangat berkaca-kaca, mungkin aku rindu, bukan dirimu, tapi memori yang pernah kita buat bersama-sama. Dulu, setiap ada yang menyalip kita dengan suara knalpot yang lebih bising dari punyamu, akan ada kode utama 'balap yaaang' berbunyi dengan kencang dari mulutku untuk kita mulai berolahraga di jalan raya itu. Sedangkan 'meluk yaaang' adalah aba-aba yang menandakan bahwa adrenalin akan mulai bekerja dua kali lebih kencang. Kenapa?, karena dengan sengaja aku memicu agar kamu menarik gas motormu lebih dalam. Aku tahu kamu tidak sesuka itu untuk kebut-kebutan tanpa keperluan bersama motor merah berkopling kesayanganmu itu, terima kasih karena saat itu tetap mau melakukannya untuk menyenangkan aku. Sebentar, apa boleh sekarang aku kembali bercerita tentang kita di masa lalu??, tidak untuk kupamerkan pada siapapun, tidak juga untuk aku banggakan pada hidumu yang baru yang aku yakin kamu sudah sangat bahagia dengan itu. Aku hanya ingin menyampaikan pada diriku selagi masih bisa kuingat dengan baik, bahwa aku punya masa muda yang bahagia, dan kebetulan kamu salah satu bagian di dalamnya. Setidaknya aku harus berterima kasih kepada diriku yang lalu karena memilih kamu yang menjadikan cerita di halaman ini sangat berwarna. Walaupun tidak semua bisa aku ceritakan, beberapa mungkin hanya boleh aku simpan dalam hati. Tidak karena siapapun melarangku untuk menulisnya, tapi karena mendewasa juga jauh lebih berharga.

Pada saat itu, mungkin rasanya menyenangkan melihat dua orang dengan sifat yang bertentangan bisa menjadi pasangan yang membuat orang-orang kadang iri kepada cara kita memperlakukan satu sama lain dengan respek dan cinta. Kita juga mengira semua akan berjalan selamanya, bagaimana dengan besar hati kamu menerima segala keanehanku, dan aku yang belajar sabar untuk memahami keunikanmu. Kamu masih ingat, ketika lebih dari satu bulan aku meledekmu karena playlist yang tidak sengaja kita buka bersama di ponselmu?. Aku tahu kamu kesal dengan sikapku, tapi aku sengaja terus melakukannya untuk melihat cara kamu menunjukkan kemarahanmu padaku, tapi kamu tidak pernah mengeluarkannya, hingga aku menyerah dan berhenti melakukan itu. Kamu sering kali bertanya sejak kapan aku mulai merasa bahwa kamu istimewa sebelum akhirnya kita saling mengungkapkan, dan aku tidak pernah punya jawaban, yang kemudian hal itu akan memicu rasa kesal yang kamu tahan. Caranya dengan berhenti merespon candaanku, mempersingkat ucapanmu, mengurangi bahkan menghilangkan senyummu, atau dengan kalimat 'pulang yuk' dan 'aku pulang ya'. 

Masa kita bersama itu seru bukan?, menyenangkan kan?. Sekalipun yang tiba-tiba terlintas momen kebencian yang harus kita relakan, aku tetap tersenyum. Aku tidak pernah mengutuk satu momen pun yang kita lalui bersama. Ada banyak mitos yang menjadi nyata selama itu keluar dari mulutmu, salah satunya untuk aku minum susu putih hangat menjelang tidur agar tidak lagi bersahabat dengan insomnia. Selama menjadi pacarmu hal itu benar-benar ampuh menghipnotis alam bawah sadarku untuk terlelap begitu saja setelah segelas susu hangat aku habiskan. Namun saat kamu dan aku bukan lagi kita, semua itu tidak lagi berguna. Ketika aku semakin jatuh cinta, bagiku kamu adalah duniaku dan kamu tahu itu. Tapi kamu selalu membenci perasaanku yang itu, karena kamu tidak ingin aku hidup dalam dunia yang sempit. Kamu selalu menegaskan bahwa bukan hanya kamu yang aku miliki di hidup ini, keluarga dan teman juga bagian dari hidup yang harus aku hargai.

Aku tidak terluka ketika kamu bilang dengan sendirinya rasa yang kamu punya buatku pudar, padahal semakin hari rasa yang aku punya buatmu semakin besar. Hal yang paling menyakitiku dalam perpisahan kita adalah saat kamu bilang 'kalo ada apa-apa kabarin aku' , kalimat itu seakan memberi penegasan yang sangat kuat bahwa diantara kita sudah tidak akan pernah ada kabar gembira atau cerita yang bahagia. Kamu ingin kita bahagia sendiri-sendiri, tapi untuk duka tetap selalu ada. Aku tidak pernah berniat memperthankanmu di hatiku setelah perpisahan itu, tapi kamu tidak mau pergi selama bertahun-tahun. Aku yang egois, keras kepala, sok idealis, mengatakan dengan lantang bahwa perpisahan kita sebagai pasangan adalah perpisahan kita sebagai segalanya, bahkan hanya sebagai sesama hamba pun aku tidak mau lagi bicara denganmu. Sementara kamu tetap tersenyum jika mereka masih mengaitkan namaku dengan dirimu, kamu ikut tertawa jika mereka kembali mengungkit cerita lama kita dalam obrolan ramai itu. 

Aku berharap kamu lupa betapa menyebalkannya aku ini, yang tiba-tiba mengajakmu bicara saat kita turun dari bus di acara study tour kampus. Tanpa aba-aba aku menyapamu, bilang kalau ada hal-hal yang ingin aku bicarakan. Padahal berapa bulan lalu kita sudah sepakat untuk melanjutkan perjalanan kita masing-masing, dan aku yang bersikeras untuk tidak lagi memiliki hubungan dengan kamu dalam bentuk apapun. Entah angin apa yang mendorongku begitu kuat untuk mau bicara dengan kamu, apa yang ingin aku bicarakan denganmu saja aku tidak tahu. Terima kasih karena menyambutku dengan sangat baik dan memberikan senyuman yang sudah lama hilang dari hari-hariku. Malam itu di lobby hotel kamu menunngguku dengan santai, duduk di salah satu sofa dan langsung melambai ke arahku ketika aku sedang celingukan mencari keberadaanmu. Aku benar-benar berantakan, perasaanku mulai tidak bisa diatur, walau begitu aku tetap menghampirimu dengan langkah yang tergas. Aku kemudian duduk di sampingmu dan melemparkan senyum yang sama seperti yang kamu berikan. Bagian ini aku sedikit lupa apa yang mulanya aku katakan dengan meminta waktumu bicara denganku, tapi kemudian secara bergantian teman-teman kita tidak sengaja melewati kita yang sedang berbincang di sofa lobby itu dan tidak mungkin jika tidak ada satupun ledekan yang keluar dari mereka. Kamu yang mulai risih akhirnya mengajakku keluar menikmati udara malam Yogyakarta, tanpa berpikir panjang aku ikuti intruksi dan langkah kakimu. Penginapan kita yang tidak berada di tengah kota, sedikit memberikan efek damai dalam perjalanan ini, gerobak nasi goreng yang tidak sengaja kita temukan membuat kenangan lama itu seakan ingin diajak bernostalgia juga. "aku laper" katamu sambil bergantian melirik ke arahku dan gerobak nasi goreng yang beberapa langkah di depan kita. Senyummu yang seakan mengatakan "hayu makan" membuat lisanku dengan refleks mengatakan "hayu". Aku tahu tiba-tiba kecanggungan mulai menemani kita diantara nasi goreng dan kwetiaw goreng di hadapan kita. Usahamu meruntuhkannya dengan pertanyaan,

"Kenapa sih udah gak mau nongkrong bareng?."

"Yaa ngapain?."

"Yaa nongkrong."

"Kan udah aku bilang waktu itu, aku gak bakal pernah mau ikut kalo ada kamu."

"Kan ada anak-anak yang lain juga."

"Mereka yang bikin aku lebih males."

"Kenapa?, orang temen-temen kamu semua isinya."

"Mereka gak pernah berhenti bahas soal kita, apapun obrolannya ujung-ujungnya pasti ngeledekin, kamu emang gak digituin?."

"Yaa digituin juga."

"Terus kenapa masih mau nongkrong bareng?."

"Yaa karena mereka temen-temen aku, temen kita."

"Kamu gak marah kalo mereka udah resek kelewatan gitu?."

"Enggak, kalo bisa aku jawab cadaannya yaa aku jawab, kalo enggak yaa aku ikut ketawa aja."

"Aneeeeh. gak risih emang?,"

"Aku sih enggak yaa. karena kadang apa yang mereka omongin emang bener. kaya misal kita sering misahin diri kalo lagi rame, kita asyik sendiri walaupun lagi gabung sama mereka, terus yaa hal-hal yang memang bener dulu kita lakuin aja, jadi ya mau gimana, ketawa aja kan lebih ringan, iya gak?."

"Tetep aja aneh."

Sambil berjalan kembali menuju penginapan kamu bilang "Aku gak mau bingung, aku pengen kita sepakat kalo kita udah berteman."

"Aku sih enggak. aku tetep sama keputusan yang lalu, aku gamau punya hubungan apapun lagi sam kamu."

"Terus kenapa sekarang ngajak ngobrol?."

"Kayanya aku kangen, tapi aku gak tau gimana harus nyampeinnya. dan mumpung lagi gak di Bandung juga."

"Emag kenapa kalo di Bandung?."

"Kan nanti jadinya jalan kenangan, kalo disini kan belum tentu tahun depan aku balik lagi kesini, jadi gak akan keinget-inget terus."

"Berarti sekarang Bandung sempit banget dong buat kamu?."

"Maksudnya?."

"Jalan mana di Bandung yang belum pernah kita datengin?, kalo kesana nginget lagi dong pasti?, jadi sekarang kamu kemana aja kalo di Bandung?."

"Aku lagi kerja keras ngehapus banyak memori soal kita, biar bisa tetep bebas kemana-mana sebandung raya."

"Jangan terlalu nyiksa diri, let it flow aja. ntar juga lupa sendiri. apalagi kalo udah dapet yang lebih ganteng dari aku, yaa wakaupun gak akan ada."

"Naon sih?." aku mellirik ke arahmu dengan tatapan sinis dan nada yang ketus, tapi kamu tetap tersenyum walau aku sudah berubah kesal.

"Aku yakin kamu bakal baik-baik aja, kamu bakal tumbuh lebih keren, karena kamu sekuat itu, kamu sehebat itu tapi kamu selalu nyepelein diri kamu."

"Udahlah, kalo gak bakal balikan gak usah sok bijak, sok nguatin."

"Hahahaha." renyah sekali tawamu terdengar.

"Pokoknya kalo ada apa-apa kamu boleh ngabarin aku. kalo ada yang gak enak dan ganjel boleh ngajak discus kaya gini lagi. aku mau unblock semua sosmed kamu."

"JANGAN, GAK BOLEH." nadaku tiba-tiba meninggi.

"Kenapa sih?."

"Gak mau, pokoknya jangan."

"Iya kenapa?, aku pengen tahu."

"Aku takut sakit hati kalo kamu duluan dapet yang baru terus posting-posting."

"Yaa kamu juga harus nyari yang baru dong, masa stuck di aku?,"

Langkah kaki yang sudah tiba di penginapan membuat obrolan kita seketika terhenti, karena ternyata teman-temen kita tetap nongkrong dimanapun berada. Aku langsung melarikan diri tanpa menyapa satupun dari mereka. Dan kamu tetap mengulang kalimat "kabar-kabar aja kalo ada apa-apa."

Nyatanya memang stuck sampai di kamu, sampai hari ini aku belum lagi menemukan seorang yang akan otomatis berdiri didepanku untuk melindungiku dari cipratan air hujan jika terpaksa kita harus berteduh. Mungkin bagi orang lain ini sepele, tapi aku selalu tersentuh mengingat momen seperti itu denganmu. Sampai hari ini aku belum menemukan seorang yang sabar merawatku saat sedang sakit dan datang bulan bersamaan, meski wajahku sudah bercampur antara ingus dan air mata, kamu tetap sabar dan tersenyum menyeka dan membersihkan wajahku, memijat kepalaku, sampai aku bisa terlelap dengan nyaman. Pada saat itu, kamu sudah memberikan segala yang terbaik versimu dan versi masa itu sebagai seorang partner. Aku yang tidak bersyukur dan mengedepankan ego lah yang sebenarnya sangat menyebalkan. 

Semua ini bukan berarti aku belum melepaskanmu atau masih terbelenggu dengan cerita kita delapan tahun lalu, hanya saja aku memang tidak menemukan lagi yang seperti kamu. Apa yang kamu bilang waktu itu sepertinya benar, memang tidak akan ada yang seperti kamu. Aku sudah selesai dengan kitam sudah lama sekali, tapi menceritakanmu sebagai masa lalu yang baik tetap hal yang menyenangkan, meski beberapa hal tetap harus tertahan.

Terima kasih sudah pernah mau bersamaku dan tidak membenciku sampai akhir. Semoga kebahgiaan selalu dalam hidupmu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
FINE
eSHa
Cerpen
Bronze
Duwa Nyawa
Silvarani
Cerpen
CALON MANTU
Ani Hamida
Cerpen
Bronze
Pekerja Kontrak
Karlia Za
Cerpen
Harapan
Cassandra Reina
Cerpen
climate[Pg 4] improved. It has been made habitable. The soil, which bore formerly only a coarse vegetation, is covered to-day with rich harvests. The rock-walls in the valleys are laid out in terraces and covered with vines. The wild plants, which yielded
Miftahudin
Cerpen
Bronze
Bukan Dari Mereka
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Sejakartanya Jakarta
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Cinta Tanpa Batas
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Tipu-Tipu Media Sosial
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Durakim
Nada Niken Anggraeni
Cerpen
Bronze
Perempuan Pemakan Bangkai
Nimas Rassa Shienta Azzahra
Cerpen
Ibu Jangan Mati
Siti Soleha
Cerpen
Bronze
Hilang
Dingu
Cerpen
Maaf, aku terlambat tahu.
Fianaaa
Rekomendasi
Cerpen
FINE
eSHa
Novel
Sebentar
eSHa
Cerpen
Sebentar
eSHa
Novel
Hotelier
eSHa
Novel
Bapak
eSHa
Cerpen
Bronze
Sebentar (Continued)
eSHa