Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ketulusan adalah saat kita ikhlas menunggu dalam rasa sakit — Tiwi Kasavela
Pontianak, Agustus 2002
Alisa masih ingat kejadian terakhir bersama Fajar di bandara sebelum dia pergi ke Bandung, sebulan setelah Kelulusan SMA.
“Lis, kalau kita ketemu empat, atau lima tahun lagi, aku mau kamu menggapai cita-cita kamu menjadi seorang novelis terkenal, oke?” Ucap Fajar berusaha menyemangatinya, jujur Alisa sedih, tapi dia tidak ingin Fajar mengetahui kegundahannya.
”Oke, Jar.. Kamu juga ya jadi Insinyur penerbangan seperti apa yang kamu mau,” jawab Alisa menahan pahit, tidak tahu apa jadinya hari-hari yang akan ia lewati tanpa Fajar di dalamnya. Mereka terbiasa bertemu untuk saling bercerita, tertawa, menghabiskan waktu bersama, berbagi luka, teman sejak masa kecilnya yang begitu menyenangkan dan tak tergantikan; Aldy Fajar.
Ditinggalkan oleh orang tua kandung mereka saat masih bayi merah di panti asuhan yang sama, tumbuh bersama sampai diangkat anak oleh keluarga yang berbeda. Mereka hanya terpisah tempat tinggal, tapi tidak dengan persahabatan.
“Empat tahun ya, apa selama itu kita akan berpisah, Fajar?”
“Aku harus menyelesaikan studiku, memiliki masa depan yang baik, punya kebanggaan…”
“Ah iya…”
“Kamu tau sendiri Lis, aku perlu pergi dari sini, menyembuhkan diri, melihat perceraian yang menyedihkan antara Papa dan Mama, meski mereka bukan orang tua kandungku, tetap membuatku merasa sakit. Berkuliah di kampus ternama di Kota Bandung adalah mimpiku, doakan aku bisa hidup dengan baik di sana.”
Alisa terdiam, entah kenapa perasaanya tidak pernah tenang sejak tahu Fajar akan pergi, meski dia yakin, mereka pasti akan bertemu lagi.
“Fajar…. ”
”Iya Lisa.”
”Aku minta maaf ya.”
“Buat apa Lisa?” Fajar nampak terkejut.
“Aku sudah tidak bisa lagi menahannya… Perasaanku entah sejak kapan tapi,” Alisa gelapagan dengan kata-katanya sendiri, dia takut salah.
“Lis….” Tiba-tiba Fajar menepuk bahunya.
“Tetaplah menjadi sahabatku yang baik ya? Setelah masuk kuliah nanti kamu juga akan bertemu dengan teman-teman baru, kamu nggak akan kesepian!”
Alisa terdiam, dadanya terasa nyeri, kenapa Fajar mengalihkan pembicaraan? Apakah selama ini apa yang dia rasakan hanya bertepuk sebelah tangan? Alisa benar-benar kecewa.
“Aku juga sama Lis, suka kamu! Entah sejak kita lulus SMP atau sejak masa-masa sulit belajar di SMA… Tapi aku lebih suka jika kita bersahabat, agar hubungan ini tidak menjadi beban, aku takut rasa cinta romansa yang malah akan memisahkan kita,” ucapan Fajar membuat Alisa terhenyak.
Puk!
Fajar menepuk bahunya lagi.
“Aku salah Lis, kalau menyatakan cinta lalu meninggalkan kamu, aku tidak mau kamu jadi kepikiran. Kamu cantik, kamu baik, jangan terus bergantung sama aku. Jangan fokus sama bully-bully itu, karena setiap orang spesial, termasuk kamu!”
“Seandainya aku bisa ikut kamu.”
“Bapak butuh kamu Lis…” Alisa terdiam, mengingat kondisi ayah angkatnya yang sering sakit-sakitan, dan Ibu yang juga terserang glukoma. Sekarang beban itu bertumpu padanya, ingin dia berlari dari kesulitan ini, tapi Bapak dan Ibu sudah berperan besar merawatnya sejak usia tujuh tahun dan kini dia harus membalas budi.
“Jangan kemana-mana Lis, jaga Bapak Ibumu, nanti aku juga akan pulang,” ucap Fajar menenangkannya, Alisa pasrah, dia tak kuasa menahan tetesan air mata yang sejak tadi sudah lama tertahan.
Dan Fajar menarik tubuh Alisa ke dalam pelukannya, pelukan pertama dengan nuansa yang amat berbeda.
Mereka pernah berpelukan sebelumnya, tapi kala itu, saar Fajar rangking 1 atau dapat olimpiade Fisika, juga saat Alisa mendapatkan juara menulis cerpen pelajar SMA tingkat provinsi. Pelukan sahabat yang merayakan kemenangan sahabatnya, bukan pelukan seperti ini, pelukan yang menyakitkan karena perpisahan.
Dan setelah memeluknya, Fajar pergi, dia terbang dari Pontianak ke Bandung, kota tempatnya menuntut ilmu.
***
Agustus, 2007
Lima tahun sudah berlalu sejak Fajar pergi, di awal-awal tahun mereka masih berkabar, bertukar pesan, menelepon untuk menceritakan pengalaman masa awal kuliah yang nano-nano.
“Kuliah di jurusan teknik bener-bener menantang, aku sibuk ngerjain tugas, kadang keteteran, tapi aku happy! Lingkungannya aku suka, dosennya asik, temen-temennya supportif!” Terang Fajar.
“Aku juga happy Jar, kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik, meski gagal masuk sastra, tapi aku juga belajar menulis di sini, seru juga ya kalau jadi jurnalis sekaligus novelis,” ungkapnya.
Ah! Obrolan lawas mereka, nyatanya Fajar sudah tak pernah lagi menghubunginya! Ingin sekali Alisa menyusul Fajar ke Bandung tapi dia tidak punya uang. Dia diangkat oleh orang tua yang sederhana, sepasang suami istri yang sudah lama mendamba tapi belum juga dikaruniai anak. Hidupnya layak, tapi belun mampu untuk membiayai pergi ke luar pulau dengan pesawat. Dan ketika sudah lulus pun, sebagai seorang jurnalis muda uangnya belum terkumpul untuk bisa pergi ke Bandung.
“Kamu ini kemana sih Jar? Tega banget ninggalin aku tanpa kabar seperti ini?”
“Apa kamu sudah punya pacar?”
“Fajar salah aku apa? Kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini?”
“Fajar apa kamu baik-baik saja?”
Tak ada orang yang bisa Alisa tanyakan, ayah angkat Fajar meninggal sebelum Fajar pergi ke Bandung, sementara ibu angkatnya sudah menikah lagi dan pindah ke Sulawesi. Fajar pun sebatangkara di pulau Jawa. Hari-hari Alisa selalu dipenuhi dengan kegalauan memikirkan keberadaan Fajar, bahkan ia tidak bisa menerima seorang pria untuk menjadi kekasihnya, karena di dalam hati, Alisa selalu merasa bahwa Fajar adalah kekasihnya.
***
Agustus, 2010
Delapan tahun sudah berlalu, Fajar belum pulang juga! Namun Alisa masih menunggunya, bahkan karena rindu yang sudah tak tertahankan ini, usai launching novel terbarunya di sebuah toko buku, dia langsung pergi ke bandara. Merasakan atmosfer ini lagi, kehadiran Fajar…
Jam demi jam berlalu, penumpang yang datang dan pergi silih berganti, tak ada Fajar di sana. Lagi dan lagi ia hanya bisa menelan ludah sakit, kekecewaan yang sudah mendera batin, frustasi menunggu Fajar yang tak kunjung pulang.
Jangankan pulang, kabarpun tak pernah datang. Padahal jika Fajar pulang hari ini, dia ingin memeluk laki-laki itu, menangis dan berkata ;
“Aku sukses Jar, setelah menulis lima novel yang gagal di pasaran, novel ke enamku akhirnya booming, laku, dicetak berkali-kali, aku berhasil menjadi novelis yang bukunya dibeli oleh banyak orang. Fajar? Bagaimana dengan kamu? Kamu sudah sukses meraih gelar insinyur itu?”
***
Agustus, 2011
“Jadi gimana Lis, kamu mau menikah denganku?” Tanya Romi.
Ya, Romi salah satu sahabatnya sejak kuliah, Alisa memang punya banyak teman di kampus, juga teman laki-laki, tapi tidak sekalipun Alisa berani membuka hatinya. Rasanya masih belum bisa move on dari bayang-bayang Fajar.
“Siapa sih yang kamu tunggu? Fajarmu itu? Dia sudah lama menghilang Lis…”
“Dia menghilang bukan berarti aku mau menikah dengan laki-laki yang tidak aku cintai kan Romi?”
“Sudah tiga kali kamu menolakku, aku menyerah Lis!”
“Iya, maaf ya Romi, aku rasa aku bukan perempuan yang tepat untuk hidup bersama kamu.”
“Good luck Lis! Semoga kamu bisa segera menemukan Fajarmu yang hilang”
“Terima kasih Romi!”
Romi pun pergi menelan kegagalannya untuk kesekian kali, nyatanya Alisa masih belum bisa melupakan Fajar.
Alisa terdiam terpaku menatap langit yang temaram, rasanya dia sudah tidak bisa menahan diri, dia harus ke Bandung mencari Fajar! Menyulam kembali harapan dari luka rindu yang dalam. Ia bahkan tak mengerti, kenapa rasa cinta ini tak juga mau pergi.
***
September, 2011
Alisa benar-benar sibuk, novelnya yang berjudul “Luka Rindu” benar-benar laku di pasaran, bahkan waktunya habis untuk acara talkshow dan promosi buku. Luka Rindu adalah novel yang terinspirasi dari kisah nyata di dalam hidupnya, tentang Fajar yang hilang.
Ya, sedalam ini perasaan cinta mengantarkannya pada pencapaian hidup!
“Mbak Lisa, besok kita berangkat ke Jawa ya…” ucap Pak Rusly, pimpinan penerbit yang tiba-tiba menghampirinya, Alisa sedang sibuk menandatangi novel-novelnya kala itu.
“Besok banget Pak?”
“Ya, kita ke Surabaya, Yogya, Jakarta dan terakhir Bandung. Mbak Lisa sore ini bisa langsung pulang dan beristirahat ya, besok jam 12 siang pesawat lepas landas.”
Alisa terdiam, kota yang sudah lama menbuatnya penasaran, akan dia kunjungi juga.
***
Seminggu yang melelahkan sudah berlalu, dia menyelesaikannya juga, tour promosi dan bedah buku di Kota Bandung.
Kota yang dingin! Dan sebelum dia kembali ke Pontianak besok, dia ingin jalan-jalan ke kampus Fajar berkuliah dulu.
Dia tiba di kampus yang megah, rimbun, asri sejuk, berkeliling melihat-lihat, tak nampak wajah Fajar di sana. Tentu saja, sembilan tahun sudah berlalu. Jika Fajar lulus tepat 4 tahun, laki-laki itu pasti sudah tak di sini lagi.
Untuk sementara, Alisa terduduk di sebuah bangku, sedikit melamun. Entah bagaimana harus menemukan Fajar, untuk kemudian dia berjalan lagi, menuju perpustakaan dan iseng bertanya kepada penjaga perpustakaan.
“Halo Pak! Saya Alisa, apa bapak pernah tau mahasiswa bernama Fajar,” ucap Alisa meragu.
“Wah banyak Mbak, lebih dari sepuluh!” Ucap Bapak itu sedikit terkekeh.
“Fajar yang mana Mbak? Yang duduk di pojokan itu juga namanya Fajar!” Ucapnya sambil menunjuk seseorang pria muda berkacamata yang sedang asyik membaca buku, ah itu bukan Fajar yang Alisa cari.
“Bukan Pak, Aldy Fajar namanya, angkatan 2002, orangnya tinggi, hitam manis, pembawaanya kalem…”
Bapak penjaga perpustakaan nampak diam, hening sesaat.
“Sepertinya saya ingat, Mbak ini siapa kok cari dia?”
“Temannya dari Kalimantan Pak”
“Mbak nggak tau ya, Fajar kan sudah lama meninggal. Dulu dia memang rajin sekali ke perpustakaan, makannya saya ingat, tapi di akhir semester dua perkuliahan dia kecelakaan, sepertinya dibegal, setau saya memang karena tidak ada sanak saudara, Fajar langsung dikuburkan…”
Ucapan penjaga perpustakaan itu membuat Alisa terdiam seketika, apakah dia tidak salah dengar.
Ia langsung mengambil dompetnya dan mengambil sebuah foto.
“Fajar ini Pak?” Alisa memastikan sambil menunjukkan foto Fajar sewaktu SMA dulu.
“Lah iya bener Mbak!”
Jantung Alisa rasanya mau berhenti.
“Mas Tio!” Ucap Penjaga perpustakaan tiba-tiba memanggil seseorang.
Seorang pemuda seusia Alisa menghampiri mereka.
“Ini Mas Tio, temennya Fajar sewaktu kuliah dulu, sekarang baru ambil kuliah magister, coba tanya-tanya sama dia ya Mbak!”
***
Alisa berjongkok lemas di depan sebuah kuburan yang nyaris tak terurus itu, namun di nisan itu masih tertulis jelas “Aldy Fajar”.
“Saya juga nggak habis pikir Mbak, kenapa Fajar diambil secepat ini, dia muda, penuh semangat, di semester pertama, IPK dia paling tinggi di kelas, hari-hari luangnya selalu dihabiskan di perpustakaan, tapi dia harus jadi korban begal, dompet, handphone kendaraan roda dua miliknya lenyap, orang tua angkat Fajar tak bisa dihubungi, Fajar kami kuburkan akhirnya, dihadiri kawan-kawan kampusnya,” ucap Tio yang lepas dari perpustakaan mengantarkan Alisa ke makam.
Air mata Alisa mengucur deras. Impiannya untuk bersama Fajar sirna, ternyata Fajar yang Alisa tunggu telah lama pergi dari dunia ini, delapan tahun yang lalu.
“Aku ini bodoh ya Mas, kenapa aku nggak cari Fajar dari dulu. Hanya menunggu seperti orang tolol,” gumam Alisa marah kepada dirinya sendiri. Dia memang bodoh, seandainya dia tau, dia tidak akan terluka hanya karena terus menunggu.
“Jangan terus menyalahkan diri sendiri Mbak, saya baca novel Mbak, judulnya Luka Rindu kan? Saya tamatkan minggu lalu, saya paham perasaan Mbak. Tapi saya yakin Fajar akan bahagia jika Mbak Lisa sekarang sudah menjadi perempuan sukses, bisa meraih cita-citanya. Fajar pasti berharap Mbak akan menemukan teman hidup, dan bebas dari galau lagi.”
“Ini terlalu berat.”
“Saya paham, saya hanya bisa turut berdoa semoga luka Mbak cepat sembuh,” tuturnya.
“Terima kasih Mas Tio,” ucap Alisa perlahan, mencoba menahan tangisnya yang tak kunjung berhenti, sementara gerimis mulai turun, basah mengenai bajunya.
“Mbak hujan, sudah mau maghrib kita pulang dulu ya,” pinta Tio, membuat Lisa akhirnya beranjak, meski kaki sepertinya sulit sekali untuk digerakkan.
“Fajar, kita harus bertemu lagi, di kehidupan berikutnya!” Bisik hati Alisa kemudian berjalan perlahan meninggalkan pusara.
Dia memang kecewa, marah, terluka, menyesal, tapi apa yang bisa dilakukan jika inilah takdir yang harus terjadi.
***
Bandung, 23 April 2012