Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ribuan bunga canola akan bermekaran hingga pemandangan di Pulau Jeju berubah menjadi warna kuning ketika musim semi tiba. Bunga-bunga itu akan bergerak selaras ke berbagai arah mata angin bersamaan dengan angin yang berembus.
Di antara ribuan canola yang tengah menari itu seorang anak muncul dan berlari ke arah ibunya yang menunggu di bawah pohon dengan senyuman lebar yang terlukis di bibir. Ia datang dengan membawa sebatang canola di tangannya, akan tetapi langkahnya berhenti saat ibunya memberi kode dengan cara menutup bagian hidung hingga terciptalah jarak di antara mereka sekitar satu meter.
Anak lelaki itu menggaruk permukaan lehernya yang tak gatal. Kemudian diletakkannya bunga canola yang ia bawa di atas permukaan rumput di hadapannya, sebelum akhirnya berlari ke dekapan sang ibu yang duduk di atas permukaan rumput.
"Ibu sudah bilang padamu untuk tidak pergi terlalu jauh." Ibunya berujar.
"Musim semi membuatku lebih bersemangat berada di luar. Tapi aku juga lebih sering mengantuk," ujar sang anak usai menguap. Ia merebahkan tubuhnya di sana dengan menggunakan kedua paha ibunya sebagai bantalan. "Apa Ibu bisa menceritakan dongeng sebelum tidur?"
Salah satu alis milik ibunya naik. "Ini masih siang. Kau yakin?"
Bocah itu mengangguk mantap dan semakin bersemangat mencari posisi ternyaman untuk menyambut tidur siangnya. Sebelumnya ia mengambil kembali canola yang sempat ia dapatkan tadi tanpa harus mendekatkan bunga itu pada ibunya.
Wanita itu tertawa pelan lalu segera mengusap rambut putranya. Kemudian kedua matanya memandang lurus ke arah ribuan canola di depan sana lalu menarik napas dalam.
"Pada tahun 1413, salah seorang anak perempuan di Tamra dikirim ke sebuah pulau misterius yang bernama Pulau Ulleung dan ia dikurung di puncak gunung berapi yang ada di sana. Ia dikirim ke sana oleh orang tuanya karena memiliki kemampuan aneh, di mana setiap bunga akan berubah mati dan menjadi debu setiap kali ia sentuh yang akan membuatnya panjang umur dan awet muda di usia tertentu, sehingga orang tuanya menganggap kalau anak itu hanyalah sebuah kutukan untuk keluarga." Sang ibu mulai bercerita.
"Jahat sekali." Putranya berujar dengan kesadaran yang masih utuh. "Kenapa mereka harus mengirimnya ke tempat seperti itu? Bukankah dia masih kecil?"
Ibunya mengangguk pelan, kemudian menjawab, "anak itu sempat disembunyikan di ruangan bawah tanah yang ada di rumahnya selama bertahun-tahun dan saat berhasil melarikan diri, dia tak sengaja merusak salah satu ladang canola yang ada di desanya. Oleh karena itu, keluarganya segera membawa gadis malang itu ke tempat yang jauh agar keberadaannya tak diketahui oleh siapapun."
"Lalu bagaimana setelahnya? Apakah ada yang berhasil menemukannya?" Anak itu kembali bertanya dengan raut wajah penasaran. Namun gelengan kepala ibunya membuat ia menghela napas pelan.
"Sayangnya, Pulau Ulleung adalah pulau suci dan tak ada satu pun manusia yang berani datang ke sana karena mereka percaya, kalau di sana terdapat sesosok roh alam bernama Yaksa yang bertugas menjaga pulau itu. Konon, Yaksa memiliki kepribadian ganda di mana ia sewaktu-waktu bisa berubah menjadi jahat saat alam yang ia jaga terancam bahaya."
"Apa yang terjadi pada orang tua anak itu setelah mengirim putrinya ke sana? Apa mereka hidup bahagia?"
"Setahun setelahnya, orang tua gadis itu ditangkap oleh pihak kerajaan usai mendapatkan laporan dari warga setempat kalau mereka berdua telah menggunakan ilmu sihir dan menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Akhirnya karena tak ingin kekacauan itu berkepanjangan, Raja Taejong menjatuhi mereka itu hukuman mati sementara keberadaan putri mereka tak bisa ditemukan oleh siapapun."
"Kasihan, tapi itu memang pantas untuk mereka. Lalu bagaimana nasib anaknya? Apa dia tidak tahu kalau kedua orang tuanya sudah mati?"
Ibunya kembali menggelengkan kepala. "Bahkan setelah bertahun-tahun hidup di Pulau Ulleung, gadis itu tidak mengetahuinya. Sampai akhirnya setelah hampir sepuluh tahun berada di sana, seorang pria berhasil menemukan gadis itu. Namun ternyata di sana gadis itu tidaklah sendirian, melainkan dijaga oleh Yaksa yang wujudnya menyerupai anak perempuan berusia delapan tahun sepertimu. Pria itu mengaku kalau ia datang ke sana untuk mencari tanaman yang bisa mengobati penyakit kakaknya. Orang-orang di desanya berkata kalau ada satu tanaman obat yang benar-benar bisa menyembuhkan kondisi vegetatif kakaknya dan tanaman itu hanya bisa dijumpai di Seonginbong, puncak gunung tempat gadis itu dikurung," ujarnya.
Merasa tak ada lagi pertanyaan dari putranya, ia kembali melanjutkan, "Setelah menemukan tanaman yang ia cari, pemuda itu malah terjebak di sana karena sebuah badai dan cuaca tak kunjung membaik setelah beberapa hari. Karena mulai terbiasa di sana, mereka berdua pun semakin dekat dan berakhir saling jatuh cinta tanpa tahu alasan sebenarnya gadis itu di sana, tapi sayangnya kebersamaan mereka tak bisa bertahan lama karena pria itu harus segera kembali ke tempatnya untuk mengobati sang kakak."
"Kenapa dia tidak membawa gadis itu bersamanya? Harusnya dia tidak meninggalkannya, kan?"
"Gadis itu sudah terikat dengan Yaksa. Tak bisa sembarangan pergi dari sana."
"Begitu, ya, sayang sekali. Lalu apa mereka berdua bertemu kembali?" Anak itu kembali bertanya sesaat setelah mengusap kedua matanya yang terasa semakin berat.
"Ya. Beberapa hari setelahnya, pria itu datang kembali ke Pulau Ulleung dan ia berkata kalau kakaknya gagal diselamatkan dan meninggal. Karena rasa cinta yang semakin dalam dan juga frustrasi setelah kakaknya meninggal, pria itu pergi dari rumahnya demi hidup bersama dengan gadis itu tak peduli dengan reaksi keluarganya."
"Jadi, akhirnya mereka hidup bersama di Pulau Ulleung?"
"Ya, pada awalnya. Sebelum akhirnya gadis itu menceritakan seluruh kisah hidupnya. Ia berpikir kalau pria itu akan meninggalkannya tapi ternyata tidak. Kemudian ia meminta izin untuk pergi kembali ke Tamra saat musim semi tiba dan berjanji akan kembali ke Pulau Ulleung dalam waktu beberapa hari. Karena gadis itu sudah terikat dengan roh alam dan tak bisa sembarangan pergi, maka sebagai gantinya sang kekasih memutuskan untuk tinggal di sana. Ia membiarkan gadis itu pergi ke tempat asalnya setelah pergi sekian lama. Namun, sayangnya gadis itu tak pernah kembali lagi bahkan saat musim semi di tahun berikutnya tiba, hingga ke tahun-tahun berikutnya. Sampai akhirnya pria itu mengerti kalau yang diinginkan oleh kekasihnya adalah sebuah kebebasan yang tak pernah didapatkan. Dengan ikhlas ia merelakan dirinya berada di sana walau wanita yang ia cintai tak pernah kembali. Ia menjalani sisa hidupnya dengan Yaksa di sana dan berakhir menyatu dengan pulau itu sampai akhir hayatnya. Selesai."
"Jadi walau kekasihnya sudah meninggal, gadis itu masih hidup di Tamra? Bukankah Ibu bilang bunga-bunga yang ia sentuh akan membuatnya abadi?" Anak itu menatap ibunya.
Sang Ibu mengangguk.
"Setelah ratusan tahun berlalu, apa dia masih hidup hingga zaman ini? Tamra sudah berubah menjadi Jeju yang sangat indah sekarang. Dia tidak seharusnya hidup di zaman ini atau orang-orang tak akan bisa menikmati musim semi."
Kemudian dengan kesadaran yang semakin menipis anak itu kembali berujar, "Harusnya gadis itu tidak pergi. Harusnya dia tidak menukar kekasihnya dengan kebebasan yang tak berarti. Kebebasan itu belum tentu membawanya pada kebahagiaan. Musim semi hanya akan jadi kenangan yang buruk untuknya. Bukankah begitu, Bu?" Ia menguap setelahnya.
Dengan tangan yang masih mengusap puncak kepala putranya, wanita itu mengangguk. "Ibu ingin saat kau dewasa nanti, jangan menaruh seluruh kepercayaanmu pada wanita yang akan kau cintai. Karena sewaktu-waktu ia bisa saja pergi dan itu hanya akan membuatmu terluka dalam waktu yang lama."
Anak itu menganggukkan kepala. "Oh, iya, ngomong-ngomong siapa nama gadis itu? Ibu belum menyebutkannya sejak tadi."
Ibunya terdiam sejenak. "Namanya ... Hayoon. Ok Hayoon."
Kedua mata putranya kembali terbuka usai mendengarnya. "Benarkah? Namanya persis seperti nama Ibu," ujarnya dengan seulas senyuman, lalu kedua matanya menutup secara perlahan.
Menyadari kalau putranya sudah tertidur di pangkuannya, wanita itu pun tersenyum tipis. Ia lalu beralih menatap sebatang canola yang ada di genggaman putranya. Namun bunga yang cantik itu dalam sekejap berubah saat ia menyentuhnya walau hanya dengan sentuhan halus.
Setetes cairan bening jatuh menuruni permukaan pipinya.
"Maaf karena aku meninggalkanmu, Choi Soobin."
—SELESAI—