Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
ETER
1
Suka
589
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hidup di antara detik-detik yang biasa, Sea menulis puisi-puisi kecil yang jarang dibaca orang lain, dan menyimpan pikirannya dalam diam. Ia menulisnya di buku usang bersampul biru laut, di kertas-kertas robek, atau di belakang kwitansi belanja. Bagi Sea, dunia adalah tempat yang terlalu ramai, dan ia telah lama memilih tempat sunyinya sendiri. Di rumah kecil di pinggir kota, segalanya terasa cukup—senja yang pulang perlahan, buku-buku tua, dan keheningan yang ia peluk seperti teman lama. Tapi di balik hari-hari yang tampak tenang itu, ada sesuatu yang tak sepenuhnya nyata, dan Sea, perlahan, mulai menyadarinya.

“Sea, kamu sudah siap?”

Suara Ayah terdengar dari dapur. Lembut dan renyah, seperti bunyi sendok yang menyentuh gelas kaca.

Sea melangkah keluar kamar, rambutnya masih basah, matanya masih berkabut tidur. “Iya, Yah. Tapi kayaknya hujan bakal turun siang ini.”

Ayah tertawa kecil. “hujan itu cuma air mata langit yang kangen bumi. Gak perlu ditakuti.”

Ia mengulurkan selembar roti panggang dengan selai kacang favorit Sea.

Sea duduk di meja makan, melihat ke arah Ibunya yang sedang memotong apel dengan tangan gesit. “Bu, kenapa setiap pagi kita selalu makan hal yang sama?”

Ibu tersenyum. “karena dalam keulangannya, sarapan itu seperti doa. Kita ulang supaya kita gak lupa: kita pernah punya pagi.”

Sea mengunyah pelan. Aroma kopi Ayah memenuhi udara seperti ingatan yang belum mau pergi. Tangannya diam-diam mengambil pena, dan di pinggir koran pagi, ia menulis satu kalimat: “Kita mengulang agar tak lupa pernah bahagia.”

“Ayah kerja hari ini?” tanya Sea.

“Ya. Tapi pulangnya cepat. Aku mau temenin kamu nonton film itu. Apa tadi judulnya?”

“Yang tentang penyelam perempuan di Jeju.”

“Ah ya. Wanita laut yang menyelam tanpa takut. Seperti kamu.”

Sea tersenyum. Ayah selalu tahu kata-kata yang membuat dadanya hangat, bahkan di hari paling beku.

Di sekolah, Sea seperti biasa: senyap tapi mengamati. Ia menulis puisi di belakang buku catatan, tentang laut yang kehilangan cahaya, tentang perahu-perahu yang terus mencari pantai. Ia menyalin beberapa bait ke kertas kecil dan menyimpannya di saku. Setiap pulang sekolah, di kamar, ia menempelkan potongan-potongan puisi itu di dinding, seperti mozaik dari hatinya sendiri.

Ketika bel pulang berbunyi, Sea melangkah cepat. Angin sore menyapu rambutnya, seperti tangan seseorang yang rindu.

“Ayah!” panggilnya dari gerbang.

Ayah berdiri dengan motor tua, mengenakan jaket cokelat yang sama seperti kemarin.

“Sea, naik. Kita beli es krim dulu, ya?”

“Yang rasa kopi, ya!”

“Selalu,” jawab Ayah.

Mereka melaju di jalanan yang dibungkus cahaya jingga. Pohon-pohon seperti melambai, dan langit perlahan membuka selendangnya.

“Yah,” tanya Sea, “kenapa Ayah selalu ngajak Sea keliling sore-sore gini?”

Ayah diam sebentar. “Karena waktu seperti pasir. Kalau kamu nggak genggam, dia akan hilang di sela jari. Aku nggak mau waktu kita cuma jadi butir-butir kenangan.”

Malamnya, Ayah duduk di ruang tengah, membaca buku tua tentang kapal karam. Sea duduk di samping, menyender di bahunya, sambil mencatat satu baris di buku puisinya:

“Kita adalah kapal, tapi cinta yang tak karam.”

“Ayah percaya surga itu seperti laut?”

Ayah mengerling. “Aku lebih suka membayangkan surga itu kayak rumah kita. Ada tawa kamu, bau masakan Ibu, dan suara radio kecil di pagi hari.”

“Kalau Ayah pergi ke surga, Sea bisa ikut?”

Ayah menutup bukunya. “Sea, kamu gak perlu ke surga untuk merasa utuh. Cukup ingat siapa yang kamu cintai, dan cintailah mereka sepenuhnya.”

“Tapi kalau Ayah pergi...”

Ayah mengusap rambutnya. “Aku gak pergi. Aku selalu di sini. Di ruang ini. Di dadamu.”

Sea tertidur malam itu dengan kepala di pangkuan Ayah. Lampu kuning menyinari wajahnya, dan di luar, angin seperti mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tak bisa ditulis.

Namun sesuatu mulai berubah.

Pagi berikutnya, Ayah tidak ada di meja makan.

“Ibu, Ayah ke mana?”

Ibu menoleh. Raut wajahnya seperti seseorang yang menyembunyikan badai di balik senyum.

“Sayang, sudah empat tahun Ayah pergi.”

Sea tertawa kaku. “Hah? Bu, bercanda?”

Ibu duduk, menggenggam tangan Sea. “Kamu selalu melihat dia. Tapi Ayah sudah tiada, Nak. Sudah lama.”

“Bu, Ayah tadi malam baca buku sama aku. Dia bilang dia nggak akan pergi!”

“Sayang...” mata Ibu mulai basah, “setiap malam kamu bicara sendiri di ruang tengah. Kamu nyender di bantal. Bukan Ayah.”

Sea berlari ke kamar Ayah. Kosong. Meja berdebu. Jaket cokelat itu tak ada. Hanya ada satu foto di dinding: foto Ayah mengenakan pakaian pemakaman.

Dunia Sea runtuh seperti menara pasir terkena ombak.

Hari-hari berikutnya menjadi sunyi. Sea mencoba tak menunggu suara motor di sore hari, mencoba tak menyiapkan sendok ketiga di meja makan. Tapi di dalam dirinya, Ayah tetap hidup: dalam potongan mimpi, dalam aroma kopi yang tak lagi diseduh, dalam bayangan sore di jalan pulang sekolah.

Setiap malam, Sea menulis. Ia menuliskan dialog-dialog terakhir mereka, menyalin aroma, cahaya, dan rasa menjadi kalimat. Ia tahu, jika tak bisa memeluk Ayah lagi, maka ia akan merangkumnya dalam kata.

Suatu malam, ia kembali bermimpi.

Dalam mimpi itu, Sea berdiri di pinggir pantai. Ombak datang dan pergi, seperti napas yang menyimpan rahasia. Di kejauhan, Ayah melambai, tapi semakin Sea berlari mendekat, semakin jauh Ayah menghilang ke kabut.

“Ayah, tunggu! Jangan tinggalin Sea!”

“Aku gak pergi, Sea. Aku hanya berubah bentuk. Kadang jadi angin. Kadang jadi cahaya. Tapi aku selalu pulang padamu.”

“Lalu kenapa aku gak bisa peluk Ayah lagi?”

“Karena pelukan yang sesungguhnya... kini tinggal dalam kenangan.”

Sea terbangun dengan air mata. Tapi ia tidak takut. Untuk pertama kalinya, ia merasa tenang. Lalu ia menyalakan lampu kecil dan menulis puisi hingga fajar datang.

Beberapa bulan kemudian, Sea berdiri di depan kelasnya. Di tangan, ada naskah puisi berjudul “Eter.”

Ia membaca pelan, tapi suaranya menembus setiap dinding hati:

"Kau hadir dalam biru langit dan bisik angin pagi.

Kau menetap di antara awan dan cahaya yang tak sempat kusapa.

Kau adalah eter, tak terlihat, tapi selalu ada,

Kau bukan bayangan, tapi napas yang diam-diam menjagaku pulang."

Seluruh kelas hening. Dan dari jendela, angin berhembus perlahan, membawa serta aroma kayu dan laut.

Sea menunduk sejenak, lalu menoleh ke luar jendela. Langit terbentang luas, biru dan dalam, seperti dada yang belajar merelakan. Ayah mungkin tak lagi bisa jemput di gerbang sekolah, tapi ia tahu: setiap kali ia menutup mata, Ayah akan kembali. Tidak sebagai sosok utuh, tapi sebagai kehangatan yang tidak pernah mati.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
ETER
se
Cerpen
Bronze
Perjuangan Menggapai Mimpi di Tengah Cobaan
Azhar Ainun Hidayat
Cerpen
Bronze
Pemangsa Paling Kejam
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Kedai Suram
godok
Cerpen
Bronze
Iri sama Tetangga
Selvi Rain
Cerpen
Ibu Jangan Mati
Siti Soleha
Cerpen
Bronze
Manusia Dan Mesin
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Usman dan Ujang, Suatu Kali
Harsa Permata
Cerpen
Polwan cita-cita ku
Nesya Nurbaeyinah
Cerpen
Bronze
Pelarian
Wafiqah
Cerpen
Bronze
Jejak Dunia Maya
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Tentang Teman dan Waktu
Aura R
Cerpen
1: Kopi dan Para Pemikir
Nana Mangoenmihardjo
Cerpen
Bronze
Perjalanan
Fatimah Ar-Rahma
Cerpen
Buku yang Hilang II
zain zuha
Rekomendasi
Cerpen
ETER
se