Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Apa-apaan ini?” sentak Salan seraya mendobrak pintu divisi marketing – anak pendiri Astro.
Salan merasa aneh, ayahnya terlihat santai di meja kerja dengan kapasitas volume suara musik yang sangat kencang, hal yang membuat Salan membelalakkan matanya saat para karyawan di ruang tersebut tengah joget menyamai irama dendangan lagu, seraya bekerja. Bagi kamus Salan bekerja dan santai harus dikelompokkan tersendiri, tidak boleh disatukan seperti ini. Ini kantor atau taman bermain?
Salan tahu, kapasitasnya untuk berbicara masih tidaklah mudah. Meskipun, ia anak dari seorang pendiri perusahaan.
Karena aktivitasnya terlihat saat berjoget seraya sambil bekerja, Zidan, Resti serta Arman menghentikan kegiatannya dan kembali duduk pada kursi mereka. Salan pun melangkahkan kakinya menuju meja ayahnya, lalu mematikan tombol speaker dan musik yang sedang dimainkan. Herlambang memejamkan matanya, serta menghempaskan napasnya.
"Mengapa pula kau matikan?" tanya Herlambang mencoba mengatur emosinya dengan Salan.
"This is office dad, you can't do this! Berisik, ini suaranya sampe keluar loh dad. Nanti customer kita ada yang lewat sini dikiranya ini tempat diskotik bulan kantor. Citra kita bisa rusak dad," jelas Salam menggebu-gebu.
Herlambang hanya tertawa mendengar ucapan Salan yang ketakutan. Padahal, sebenarnya tidaklah masalah menyalakan musik, toh area ini milik dirinya. Ia bisa melakukan apa yang ia ingin lakukan, mendengar ucapan sang anak yang setiba-tiba itu melarangnya membuat Herlambang tak habis pikir dengan jalan pikiran Salan.
"Kau ini aneh kali lah, bapakmu ini pecinta musik. Musik itu bentuk karya, yang harus dinikmati. Betul kan Zidan?" ucap Herlambang menekankan kalimat akhir seraya menatap Zidan yang sibuk dengan kertas PO nya alias Purchase Order milik customer.
Zidan hanya terdiam seraya mengerutkan dahinya sebab bingung harus menjawab jawaban apa, sebab yang dihadapinya ialah Salan selaku direktur marketing di tempat tersebut. Keringat mengucur dalam tubuhnya, suhu dingin menyelimuti dirinya — ia grogi setengah mati menghadapi perdebatan ayah dan anak di tempat ini. Herlambang dan Salan masih menunggu jawaban Zidan.
"Sudahlah dad, hear me please! Kita harus kembangin Astro dengan lebih baik," ucap Salan seraya berlalu begitu saja meninggalkan ruangan tersebut.
Herlambang menatap punggung sang anak dengan hempasan napas. Ia membalut kekecewaan itu dengan mengedarkan senyum dengan opini apapun yang ia punya selalu menabrak opini Salan yang tidak akan ketemu ujungnya. Selalu sama seperti itu, setiap waktunya. Karyawan Astro, layaknya saksi perdebatan tiap hari di antara keduanya.
"Sudah jangan serius-serius, saya ini tahu jelas alur pekerjaan di sini. Padat dan selalu hectic, saya membiarkan kalian menikmati pekerjaan walaupun banyak tekanan ya dengan memainkan musik. Kalian anggap saja barusan sedang menatap drama," ucap Herlambang santai.
"Iya pak benar, kalo ada musik ngerjain kerjaan jadi gak gampang ngantuk," ucap Zidan menyeringai
"Hei kau, tadi ku tanya kau diam. Sekarang Salan pergi, kau berucap. Memang kau ini berani di kandang saja. Kau takut dengan singa muda?" tanya Herlambang dengan tawa.
"Kalo pak Salan singa muda, bapak singa tua ya pak?" tanya Arman seraya tetap fokus mengetik di layar laptop.
"Itu kau tahu, memang cakap kali kau ini Arman, mengapa tadi kau berhenti joget? kau takut laptopmu dibelah dua dengan singa muda?" tanya Herlambang santai.
"Yehh, si bapak tau aja. Saya masih mau selamet pak sampe besok sampe ya seterusnya gitu pak hehe," ucap Arman menyeringai.
Herlambang hanya menggelengkan kepala. Lalu berlalu ingin keluar ruangan untuk melepaskan penatnya.
"Bapak, bapak! Jangan pergi dulu atuh, saya mau minta tanda tangan buat surat jalan pengiriman barang hari ini," tutur Resti yang berlari kecil menghampiri Herlambang.
"Alamak, macam artis saja aku," ucap Herlambang menghentikan langkahnya lalu pergi kembali ke mejanya diikuti Resti.
Resti hanya tertawa kecil, seraya memberikan lembaran kertas serta pulpen berwarna merah muda kepada Herlambang.
"Mana yang harus saya tanda tangani?" tanya Herlambang membolak balikkan lembaran kertas.
"Ini pak, yang saya tandain stiker sign here," ucap Resti seraya menunjukkan.
Herlambang mengganggukan kepalanya seraya menanda tangani beberapa lembaran kertas. Karyawan Astro, sangat memaklumi dengan keterbatas daya yang Herlambang miliki. Karena, saat ini dirinya sudah menginjak kepala 7 alias 70 tahun. Yang seharusnya tidak lagi beraktivitas aktif berada di luar rumah, setidaknya istirahat saja. Tetapi Herlambang tidak betah berlama-lama di rumah, justru beraktivitas di luar rumah membuatnya merasa tidak lagi kesepian.
Meski, ia harus berhadapan dengan Salan anaknya yang selalu saja memperdebatkan keinginannya. Hingga suatu ketika, Herlambang tampak lemah di meja kerjanya.
“Resti,” panggilnya.
Resti yang sedang merapikan dokumennya dengan sigap menghampiri Herlambang.
“Iya pak?” tanya Resti dengan raut wajah khawatir.
“Duduk dulu,” ucap Herlambang mempersilahkan Resti duduk di samping Herlambang.
Bagi Resti, dengan cakupan umur yang terlampau jauh. Umur kakeknya sudah setara dengan Herlambang, namun profesionalitas di kantor ditegakkan dengan menghormatinya dengan menyebutnya bapak, sebab ia bos besar. Ya meskipun, Arman dan Zidan kerap kali bergurau menyebutnya kakek di luar kantor, tetapi Resti menganggap Herlambang seperti orang tuanya sendiri.
Resti duduk dengan takzim, memperhatikan Herlambang yang hendak menyampaikan sesuatu.
“Saya mau pergi jauh Res, sementara ini saya masih bingung siapa yang akan mengisi posisi menjaga warehouse. Apakah ada ya Res?”
“Bapak emang mau pergi jauh kemana pak? Ke Bangkok? Atau ke Korea pak?” tanya Resti menebak.
“Jauh Res, jauh. Kira-kira ada gak ya Res, yang meneruskan ini semua nantinya?” tanya Herlambang bingung.
“Bapak jangan bingung pak, pasti ada kok. Saya contohnya, ada Arman sama Zidan juga pak. Kita bisa saling bantu pak di sini. Lagipula bapak kan udah pernah bilang kita semua satu tim harus saling bantu,” jelas Resti.
Herlambang memulas senyum di wajah pucatnya, namun Resti membelalakkan mata ketika ia melihat wajah pucat pasi bos besarnya.
“Pak, bapak sakit pak? Bapak pulang aja ya pak, saya panggil supir bapak di depan buat bantu bapak pulang aja ya pak,” ucap Resti khawatir seraya beranjak dari duduknya.
Herlambang menggeleng kepalanya dengan lemah, sesaat setelah itu ia tidak lagi mengindahkan bos besarnya untuk meminta bantuan. Ia berlari menuju meja Arman, lalu Zidan yang semenjak tadi mendengar pembicaraan Resti dan Herlambang di ruangan tersebut sudah pergi keluar ruangan untuk mencari bala bantuan.
Didapatinya Salan, yang tidak tahu perihal apapun tentang kondisi ayahnya. Ia masih berkutat di meja kerjanya meskipun di balik pintu kacanya sudah terlihat Neti – resepsionis yang mencoba mengetuk-ngetuk pintu tersebut namun hanya dibuahi usiran halus dengan tangan di udara. Meski ratusan deringan telepon masuk, itu tidak membuat Salan tersadar.
Hingga pukul enam sore tiba, saat ruangan kantor sudah sepi dan notifikasi pesan berbaris memenuhi layar ponselnya. Ia terpaku dan mematung dalam kesunyian kantor yang sudah gelap gulita tanpa penghuninya, sebab jam pulang kantor sudah lewat satu setengah jam yang lalu, saat satu kalimat pesan dari sang ibu yang memberi pesan bahwa sang ayah dilarikan ke rumah sakit.
Salan dengan langkah gontai, pergi menuju mobilnya. Mengendarai mobil dengan kalang kabut. Ia menyesal saat egonya terlalu tinggi untuk tidak mempedulikan sekitarnya termasuk keluarga terdekatnya. Ia menyesal, tidak cepat peka akan keadaan genting seperti ini. Ia sungguh amat menyesal seraya memukul setir kemudi mobil miliknya. Tangis di wajah dingin dan muka tebalnya perlahan luruh saat itu juga. Sesampainya ia di rumah sakit Sejahtera, ia berlari menuju ruang tersebut namun dihadang oleh ibunya dan juga istri serta anak-anaknya. Seluruh perasaan bersalahnya menyeruak, memenuhi rongga-rongga dalam hatinya pelukan hangat dari mereka meluruhkan tembok tebal Salan seketika itu juga.
Sudah hampir satu pekan, Herlambang masih belum sadar dari siumannya. Salan yang masih terdiam menatap ayahnya yang terkulai lemah dengan alat bantu pernapasan serta Antari sang ibu yang menemaninya dalam keheningan.
“Kau makan dulu sana, ibu tidak mau kau juga ikut sakit,” ucap Antari mengusap punggung sang anak.
Salan menggelengkan kepalanya.
“Bapak marah banget ya bu, sama aku yang keras kepala ini?” tanya Salan.
“Kau kan tahu, bapakmu marah saja bisa dihitung jari. Kau keras kepala memang sejak dari dahulu, sudahi sudahi rasa bersalahmu itu,” ucap Antari.
Salan hanya menunduk, hingga tetesan air matanya kembali jatuh. Ia sadar selama ini, keegoisannya membangun jarak antara dirinya dan juga ayahnya.
Selasa pagi, saat Salan sedang berbincang dengan anak pertamanya – Axel. Binar mata Axel tersorot pada gerakan tangan kanan sang kakek. Dengan segera Salan menghampiri tenaga medis untuk memeriksa kondisi ayahnya. Dokter memberitahu bahwa Herlambang sudah sadar dari siumannya.
Salan dan keluarganya memulas wajah bahagia, mendengar kabar itu. Salan segera menghampiri sang ayah. Hari itu, saat sang ayah sudah sadar dan sudah bisa berbicara. Salan memohon maaf ata sikapnya selama ini terhadap sang ayah, yang membuat genderang perang tiap kali di kantor. Namun, hal itu dibuahi tawa dari Herlambang.
“Sudahlah, kau ini macam tak tahu ayahmu seperti apa. Sudah ku maafkan, sudah jangan kau bahas lagi perihal itu. Keras kepalamu itu, sudah ku tebak saat kau masih belajar berlari di rumput taman Asoka. Ibumu pun tahu, keras kepalamu menurun dariku. Macam salinannya diriku lah kau ini, bedanya kau ini garang, galak pula kau ini. Turuni galakmu ya, takut pula anak-anak astro lihatmu,” ucap Herlambang santai.
Salan menggangguk dengan senyum, lalu tangan kanannya mencari-cari satu benda di nakas samping ranjangnya. Axel sang cucu mengetahui hal itu, ia segera mengambilnya di laci nakas. Axel memberikannya pada Herlambang, sebuah pulpen berwarna hitam emas. Salan mengerutkan keningnya, pertanda ia bingung dengan apa yang ayahnya lakukan.
“Kalau ada pulpen pasti ada kertas, Axel tolong ambilkan kertas,” titah Salan pada Axel.
“Tidak, aku tidak butuh kertas. Aku bukan mau menggambar, sini mana tanganmu,” ucapnya pada Salan.
Axel kembali duduk, lalu memainkan ponselnya tanpa mendengar apa yang diucapkan oleh sang kakek dan ayahnya. Salan menyodorkan tangan kanannya pada Herlambang. Lalu, ia berikan pulpen itu tepat di telapak tangan Salan dan dibuahi wajah bingung dengan arti dan maksud yang ayahnya lakukan padanya.
“Kau tak tahu artinya?” tanya Herlambang.
Salan menggeleng dengan ragu.
“Estafet pulpen,” ucap Herlambang.
“Kita mau marathon sambil bawa pulpen pak?” tanya Salan polos.
Herlambang tertawa.
“Kau ini sudah tamat kuliah, menikah dan punya anak. Kau masih saja tak tahu, sudah kubilang keras kepalamu menutupi semuanya Salan,” ucap Herlambang.
“Bapak kasih saya clue saja tidak, makanya saya juga bingung,” ucap Salan.
“Mau ku kasih cluenya?” tanya Herlambang.
“Iya mau, saya bakalan tetap bingung tanpa penjelasan,” ucap Salan.
“Tapi aku tak mau kasih clue, aku akan jelaskan maksudnya. Estafet pulpen, aku berikan pulpen ini seperti kuberikan milikku ini kepadamu. Ini bukan milikmu saja, namun Astro dan dalamnya harus kau benahi seluruhnya, ini waktu yang tepat Salan. Jangan kau siakan ini sedetikpun lagi, aku tahu kau bisa bahkan lebih bisa dariku. Aku percaya padamu,” ucap Herlambang.
Salan masih mencerna ucapan ayahnya, namun ia tidak mau memikirkan yang tidak tidak. Sepuluh menit saat otaknya masih mencerna ucapan ayahnya. Napas terengah-engah milik ayahnya kembali terjadi, ayahnya tidak sadarkan diri. Dan saat itu juga, dokter mengabarkan Herlambang telah tiada.
Semenjak sepeninggalan Herlambang Winarto – pendiri Astro office. Keanehan di dalamnya semakin mencuat. Banyaknya peraturan tak masuk di akal, bahkan suasana di kantor tersebut tidak lagi sama. Berubah seratus delapan puluh derajat, layaknya tumbuhan yang layu dengan langit abu di sekitarnya. Begitulah julukan Astro office sekarang, mempekerjakan karyawan dengan dominan sesepuh alias orang tua, membuat Shelora tercengang waktu kali pertama menginjakkan kaki di sana. Kalau dipikir-pikir, Astro seperti gudangnya para sesepuh dan senior lama yang sudah menekuni karir semenjak mereka muda dan generasi milenial yang bekerja di sana sepertinya harus berlapang dada ekstra jika harus mendengar tabiat peraturan aneh nan lampau yang masih harus dibawa-bawa ke era jaman sekarang.
“He to the loooo, sheloo plis bantuin gue,” seru Zidan dengan khawatir.
“Tarik napas, buang tarik lagi tarik tarikkk,” ucap Shelora yang diikuti Zidan.
“Tarik sist, semongko! Itu kan maksud lo shel? Duh serius kali ini gue serius shel, lu tau kan tadi tuh gue mau berangkat, terus haduh terus itu shel,” ucap Zidan menggantungkan kalimat.
“Itu apa sih dan? Gue gak ngerti maksud lo, kalo mau jelasin sesuatu coba dengan pikiran tenang dulu. Oke?” ucap Shelora.
Ceklek…Brakkk…
Seluruh mata tertuju pada sumber suara, suasana berubah hening tanpa suara. Tatapan mata penuh selidik tertuju pada semua orang di ruang kantor tersebut.
“Siapa yang barusan menyela motor, dengan asap menggumpal tepat di wajah saya?” tanya Salan
Zidan menunduk, seraya memijat keningnya. Shelora melirik Zidan yang tengah ketakutan. Jika suasana sudah seperti ini, tidak ada yang berani berkutik. Bagi Shelora, berhadapan dengan pak Salan sepertinya mencari perkara yang tak kunjung usai, layaknya tikus yang tertangkap di perangkap dengan ketakutan terciduk mencuri makanan.
“Zidan, kamu ke ruangan saya!” tegas Salan.
Zidan perlahan menelan salivanya, detak jantungnya seprti ingin berhenti saat itu juga. Akibat perkara sepele seperti ini, taruhannya karir di ujung tanduk. Zidan merasa kesialannya hari ini, mendapatkan kesempatan, siapa pula yang dapat menduga jika motor yang ia gunakan harus disela dan akibat jarang di service menimbulkan kepulan asap ketika di gas untuk dipanaskan namun ia tidak melihat jika si pak bos baru saja keluar dari mobil miliknya untuk menuju ke kantor.
Entahlah, Zidan hanya pasrah saja. Seraya ia mengikuti perintah si pak bos. Menuju luar ruangan, seluruh penghuni ruangan bisa bernapas lega karena si pak bos sudah pergi.
“Mbak Shel, saya bingung,” ucap Neti.
“Bingung kenapa bu?” tanya Shelora.
“Itu pak Salan sepertinya marah sama mas Zidan. Hukumannya di suruh nyanyi sambil joget. Pak Salan kenapa ya mbak, kok aneh banget,” ucap Neti bingung.
Shelora memijat keningnya mendengar ucapan Neti – resepsionis Astro yang dikenal sesepuh karena umurnya sudah menginjak 65 tahun. Pekerjaannya di Astro bukan hanya resepsionis saja, melainkan menyiapkan makan serta minum untuk para customer dan CEO Astro saat ini setiap harinya. Neti melakukan itu, dengan senang hati meskipun keluhannya tiap waktu sampai juga di divisi marketing.
“Lu inget gak sih, waktu pak Herlambang masih ada. Kita tuh masih bisa ngobrol, masih bisa bercanda eh ini mah udah kayak masuk ruang isolasi ngomong sedikit atau ricuh sedikit bayar gope ke bu Neti. Mending kalo begitu, dia rekrut robot aja kalo gak patung tuh yang gak gerak sama sekali,” keluh Zidan.
“Lah, lu kek gak tau aja singa muda kek gimana? Takut? Ya iya sih sama gue juga, tapi mau keluar males apply nya,” keluh Arman.
“Shel, menurut lu gimana?” tanya Zidan.
“Ya gitu, sama lah keluhan kita,” ucap Shelora masih fokus mengetik di tengah perbincangan ketiganya di ruangan tersebut.
Kedatangan singa muda, tidak bisa tahu kapan diprediksinya. Kerap kali Arman, Resti dan juga Zidan lebih baik diam tanpa harus menebak kedatangannya daripada ekspetasinya harus melesat dengan realita yang ada. Shelora jarang sekali berhadapan langsung dengan Salan dibanding Zidan dan juga Arman.
Namun, suatu ketika saat dirinya baru sampai di kantor telat lima menit dikarenakan macet di jalanan ibukota sangatlah sulit ditebak kapan dan tidaknya lengang atapun berjeda. Salan membuka pintu divisi marketing dengan sangat keras.
“Shelora, ke ruangan saya!” tegas Salan.
Shelora mematung dan tak lama ia mengangguk. Setelah Salan pergi, Shelora mengeluh apa yang akan terjadi pada dirinya akankah sama dengan Zidan? Shelora menolak jauh-jauh spekulasi tersebut dalam otaknya. Zidan dan juga Arman hanya menyemangati saat Shelora akan pergi ke ruangan Salan yang dijuluki singa muda oleh seantero Astro.
“Kerjakan matriks penawaran ke customer Sinar Terang. Saya butuh tahu rincian harga per bulannya kalau kita supply barang ke sana, lagipula saya yakin kamu bisa. Tolong kerjakan secara manual, saya tinggal dahulu ya. Saya mau ketemu customer baru di Jakarta Utara,” ucap Salan.
Shelora menelan salivanya pelan-pelan, seraya mencerna seluruh titah aneh secara mendadajk tahu bulat yang ia tidak pernah duga akan mendapatkan pekerjaan baru diluar job desk miliknya.
“Oh iya sama satu lagi, kamu kerjakan di sana saja. Itu pulpen di meja pakai saja, jangan sampai hilang,” ucap Salan lagi.
“Baik pak,” ucap Shelora.
Setelah Salan pergi, Shelora berteriak dalam hati akankah ia mengerti mengerjakan seluruh pekerjaan ini. Bahkan, diajari permulaan mengerjakannya saja tidak, dengan mudahnya estafet pekerjaan yang timpang akan penerimaan si calon pekerjanya. Bagi Shelora, ini aneh diluar nalar.
Shelora mengerjakan itu, seraya sesekali pergi ke ruangannya untuk mengeluh. Meskipun, Arman dan Zidan masih tetap menyemangatinya namun bagi Shelora hal itu tidaklah cukup. Hari-hari berikutnya, Shelora masih mengerjakan hal yang sama. Meskipun ia tidak tahu salah atau benarnya, namun biarlah ia bisa mengerjakan itu sesuai titah bosnya. Sejujurnya, ia sudah menangis setiap pulang dari kantor. Upaya dirinya untuk keluar dari sana sudah ada, namun selalu urung dilakukan saat Shelora merasa lingkungan pekerjaannya dimana dirinya bekerja sekarang sangatlah ramah meskipun dihadapi tekanan dengan singa muda.
"Titip kerjaan ya Ar, mau ke wc dulu gue," ucap Shelora.
"Oke," ucap Arman seraya menatap tumpukan lembaran kertas di mejanya.
Jaja - OB Astro yang umurnya tidak lagi muda menghampiri Arman.
"Mas Ar, di depan ada ekspedisi mau ambil barang yang mau dikirim," ucap Jaja.
"Oh iya pak," ucap Arman segera pergi keluar ruangan.
Ruangan divisi marketing kosong, datanglah Ela - divisi Finance datang dengan terburu-buru mencari sesuatu. Ia mendapatkan barang itu yaitu pulpen di atas tumpukan kertas milik Shelora. Ela mendengus sebal seraya mengangkat panggilan telpon tersebut.
"Ya ampun, iya atuh Leni. Sabar Ela kan lagi cari pulpen, ini udah dapet minjem di ruang marketing," keluh Ela seraya melenggang begitu saja.
Salan menerima hasil yang dikerjakan Shelora tanpa peduli raut wajah Shelora yang kurang tidur akhir-akhir ini. Namun, ketika Shelora merasa dirinya sudah bebas dari pekerjaan itu. Justru ia mendapatkan masalah besar saat pulpen milik Salan hilang entah kemana. Ia mencoba cari jawabnya dengan bertanya pada Arman, namun Arman tidak tahu menahu akan hal itu. Ia menjelaskan bahwa ada ekspedisi datang saat itu, bertanya pada Zidan ia pergi berbelanja kebutuhan barang di kantor itu hanya akan percuma saja. Shelora mengitari kantor, mencari pulpen itu. Ketika ia sampai di ruang divisi IT, ia mendapati Rian yang sedang menulis menggunakan pulpen yang Shelora kira itu milik pak Salan.
"Rian, main comot pulpen aja lu ya? Curanpen lu!" tanya Shelora tanpa tedeng alih.
"Eh enak aja lu, ini pulpen gue. Gue baru beli kemarin, tuh ada namanya," ucap Rian membuka tutup pulpen itu dan menunjukkan nama yang ditempel di secarik kertas yang berada di dalam pulpen tersebut.
Shelora menghempaskan napas, ia tidak tahu lagi harus mencari kemana. Ia pun pergi dari ruangan tersebut dengan pasrah akan keadaan yang terjadi selanjutnya.
Shelora mengaku menyesal, bahkan ia bersikeras mencari pulpen itu karena taruhannya ialah karirnya. Perkara pulpen, ia bisa lupa dengan waktu istirahat di kantornya. Salan memberinya dispensasi waktu, namun hal itu membuat dirinya ketar ketir setengah mati. Shelora panik, jika dirinya sudah ditakuti dengan spekulasi negatif dari singa muda.
Salan bahkan memanggil seluruh karyawan seraya menyindir kinerja Shelora yang tidak benar, hal itu Axel dengar. Saat meeting dadakan layaknya menggoreng tahu bulat itu selesai dilakukan, Ela tiba-tiba saja menjatuhkan pulpen tepat di hadapan Axel. Axel dengan sigap mengambil pulpen itu, dengan seksama Axel perhatikan pulpen itu. Ternyata ia dapati, bahwa barang yang dikira ayahnya hilang sampai Shelora mencarinya dan dituduh dengan tidak enak hati.
"Sorry, ini pulpenku," ucap Axel.
Ela tidak enak hati, bahwa pulpen yang ia ambil tanpa permisi di divisi marketing ialah pulpen dari anak perusahaan tersebut.
"So-sorry mas, aku gak tau. Aku dapat kerjaan buru-buru dan butuh pulpen saat itu. Jadi aku ambil dengan maksud meminjam," ucap Ela dengan tidak enak hati.
Axel menggangguk paham, lalu Ela kembali meminta maaf dan pamit untuk pergi dari hadapan Axel. Ia pun mengantongi pulpen berharga itu di saku jas casual berwarna navynya. Lalu ia pergi menuju ruang ayahnya, namun langkah kakinya terhenti saat melihat Shelora dimarahi habis-habisan karena perkara pulpen saja. Axel tahu, bahwa ayahnya sedang tahap pemulihan hal itu menguatkan tekadnya untuk menghampiri ayahnya saat emosi ayahnya tidak stabil.
“Kau tak tahu, betapa pentingnya pulpen itu buat saya! Kau tak becus melakukan pekerjaan, kau salah besar Shelora. Kau salah besar!” tegas Salan.
Shelora menunduk menahan tangisnya.
“Selesai sampai di sini, kau bisa pergi dan tak usah kembali lagi,” ucap Salan dingin.
Shelora pun pergi, namun saat Shelora ingin pergi. Axel tiba-tiba memasuki ruang ayahnya dengan membawa pulpen itu.
“Ayah janji kan, gak menyakiti diri dengan seperti ini lagi?” tanya Axel.
Saat itu Salan terdiam, bahwa apa yang ia lakukan jelas tidak bisa ia gunakan menjadi tameng dirinya lagi. Ia lupa bahwa janjinya pada sang ayah terdahulu, tidak ia tepati melainkan mengecewakan diri dan orang lain kembali.
“Estafet pulpen yang kakek lakukan, harus diterima dengan baik dan rendah hati ayah. Axel bisa bantu ayah, ayah kan sering bilang kalau ada apa-apa selalu bilang tapi nyatanya ayah gak sering bilang kalau ayah butuh bantuan. Ayah inget gak, dokter Siska bilang ayah harus istirahat dan gak boleh banyak pikiran dan aktivitas dulu? Yah, Axel sayang sama ayah. Jangan lakukan ini lagi ya,” ucap Axel memeluk sang ayah.
Haru biru pecah saat keduanya memeluk satu sama lain di ruangan itu.
“Shelora?” panggil Axel.
Shelora menoleh saat akan merapikan barang-barang kantornya, sebab ia tahu itu hari terakhirnya berada di Astro.
“May I talk with you?” tanya Axel.
Shelora terdiam, lalu meletakkan barang-barangnya di atas meja. Hal itu dibuahi pertanyaan di wajah Arman dan Zidan.
“Sorry sebelumnya aku tiba-tiba tanpa tanya bikin bingung kamu tadi. Papaku sakit Shel, dia divonis anxiety disorder semenjak kakekku meninggal. Penyesalan dalam dirinya serta seluruh takut dan kecewanya masih terus ada, kami pihak keluarga udah sesering mungkin ajak papa untuk meninggalkan pekerjaannya sementara tapi papaku masih suka keras kepala. Bahkan seperti tadi, kamu jadi pelampiasannya, aku sebagai perwakilan dari papa minta maaf ya Shel,” ucap Axel merasa bersalah.
Shelora memahami situasi tersebut, bahwa apa yang sebenarnya terjadi sedang tidak baik-baik saja. Bahkan setelah perbincangan keduanya selesai, Axel memberikan pulpen itu pada Shelora bahkan Antari istri Alm Herlambang memberi mandat. Untuk Shelora mengepalai bagian atas divisi marketing, estafet pulpen dilanjutkan oleh Axel sampai keadaan sang ayah kembali membaik.
Peran Shelora membantu Astro kembali maju, bersama-sama bersinergi memberikan pelayanan terbaik pada pelanggan produk yang mereka jual. Mewarnai Astro kembali hidup, bagi Shelora adalah peran bersama