Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Gue bakal ngelaporin lo ke HRD besok pagi, sumpah gue nggak peduli lo anak magang senior atau anak dewa!”
Faye berteriak sambil melempar sepatu heels ke arah Zeno yang berjalan sempoyongan di lorong apartemennya. Nyaris kena kepala, tapi Zeno malah tertawa keras sambil bersandar di dinding.
“Santai dong, Bestie. Gue cuma pengen nganterin lo pulang. Takut lo nyasar ke kosan mantan,” jawab Zeno dengan logat santainya.
“Lo ngikutin gue dari bar, ya?! Zeno, lo gila?!”
Zeno mendekat, kali ini dengan tatapan tajam. “Gue nggak gila. Gue kesel. Lo pikir lucu ya, nyindir presentasi gue kayak gitu?”
Faye hendak menutup pintu, tapi Zeno sigap menyelipkan kakinya di celah pintu. Tatapan mabuk mereka terkunci, sama-sama terluka egonya.
“Gue nggak akan pulang sebelum kita beresin ini.”
Faye menghela napas panjang, emosinya masih menyala. “Masuk. Ributnya jangan ganggu tetangga,” katanya, lalu membuka pintu apartemennya.
Zeno langsung duduk di sofa. Faye mengambil dua botol air mineral dari kulkas. “Minum. Kita terlalu mabuk buat adu mulut,” katanya sambil memberikan sebotol air ke Zeno.
Mereka duduk berhadapan. “Lo selalu ngerasa paling bener ya?” tanya Zeno.
“Gue cuma nggak mau kerja bareng orang bego yang sok jenius,” balas Faye.
“Lo anggap gue bego?”
“Lo duluan yang anggap gue badut.”
Suasana kembali meledak. Mereka saling dorong dan melempar kata-kata kasar. Tiba-tiba hening. Jarak mereka hanya tinggal satu langkah. Alkohol, ego, dan panas tubuh beradu dalam ruang sempit.
“Apa sih lo mau-nya, ha?!” desis Faye, mendorong dada Zeno.
Zeno mencengkeram pergelangan tangannya. “Lo! Yang nyeret gue ke sini! Sekarang acting kayak lo korban penculikan?!”
“Ampas,” gumam Faye, berusaha melepas tangannya. “Lo nggak pernah bisa nerima kalau gue lebih pinter!”
“Gue gak butuh jadi pinter, Faye,” suara Zeno rendah, mendekat, “gue cuma perlu menang.”
Mereka bergulat, saling dorong hingga guling ke samping. Tangan Zeno menahan pergelangan tangan Faye di kedua sisi tubuhnya. Wajah mereka hanya sejengkal, napas terasa hangat di pipi masing-masing. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba bibir mereka saling menabrak.
Ciumannya kasar. Dendam. Lidah dan amarah saling bertarung. Bukan karena cinta. Bukan karena rindu. Tapi karena keduanya sudah terlalu jenuh bersembunyi di balik profesionalisme yang palsu.
Pakaian berserakan. Suara napas berat memenuhi ruangan. Malam itu cuma milik mereka—dua orang yang membenci satu sama lain, tapi malah terjerat di ranjang yang sama.
***
Pagi harinya, Faye mengerang pelan. Kepalanya berat, mulutnya kering, dan tubuhnya terasa aneh. Ia melihat tangannya, yang terasa lebih besar, berurat, dan berbulu. Kemudian ia menunduk, menyadari dadanya rata dan perutnya berotot.
“...Apa ini?” suaranya serak, berat, dan dalam—bukan suaranya.
Faye panik, jatuh dari ranjang, lalu merangkak ke cermin. Saat melihat bayangan di sana, ia menjerit.
“APA-APAAN... Zen?!”
Tepat saat itu, sosok Faye bangkit dari ranjang, rambut acak-acakan dan mata masih setengah terbuka.
Tatapan mereka bertemu. Terdiam. Saling memandangi. Saling melihat ke arah bawah. Sama-sama menyadari kalau tubuh yang mereka pakai—bukan tubuh mereka sendiri.
“ZEN?!”
“FAYE?!”
“Gue di tubuh lo?!”
“Lo di tubuh gue?!”
Setelah lima detik mencerna, mereka berteriak bersamaan. Melihat sekeliling kamar yang berantakan, dan menyadari mereka telah melakukan hal di luar nalar.
Mereka mabuk... sempat mulai di sofa... lalu... lalu pindah ke kamar?
Faye—yang sekarang terjebak di tubuh Zeno—menelan ludah. “Oh God… semalam kita... kita ngapain...?”
Zeno langsung meraba dadanya sendiri dan berseru pelan, “Astaga... ini... tete’ beneran?” Tangannya malah asyik meremas.
Faye refleks berlari dan melempar bantal ke tubuhnya sendiri. “JANGAN PEGANG-PEGANG! TETE’ GUE BISA NGELEMBER!!”
Sunyi lagi. Sorot mata mereka bersinggungan, masih dalam tubuh masing-masing yang baru.
Zeno tiba-tiba berdiri, menatap ke bawah.
Faye buru-buru menghalangi pandangan.
“LO MAU NGAPAIN?!”
“Mau liat... ada apa aja...”
“LO PEGANG ALAT KELAMIN GUE, GUE PECAHIN KEPALA LO, ZEN.”
Zeno menelan ludah.
“A... ampun. Tapi serius nih, Faye... Gimana bisa kayak gini?”
Faye mendecak. “Oke, kita harus ngomong serius. GUE TIDUR SAMA LO DALAM KONDISI MABUK?!”
“Bukan ‘gue’, Faye. Tapi ‘kita’. Dan lo juga nyosor duluan! Lo narik gue balik ke sofa, terus bilang ‘udah diem dan buka kancing, Beibeh’!”
Faye menjerit lagi, kali ini sambil menjambak rambut Zeno.
“APAAN ITU KAYAK DIALOG NOVEL JALANG!”
Zeno beringsut ke belakang, tangan masih menutup dada milik Faye. “Gue juga kaget! Tapi waktu itu kayaknya... fun sih.”
Faye menendang kaki meja. “INI BUKAN MASALAH FUN ATAU NGGAK, BANGSAT!”
Sunyi. Kecuali napas mereka yang masih terengah dan detak jam dinding. Perlahan, mereka berdua terduduk di karpet, saling memandangi tubuh masing-masing yang kini... terbalik.
Zeno menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. “Kita... tukeran jiwa?”
Faye mengangguk. “Dan dalam kondisi yang salah. Kita... rival kantor.”
“Musuh bebuyutan,” tambah Zeno.
Faye bangkit berdiri—meski agak oleng karena masih menyesuaikan langkah kaki panjang milik Zeno. Dia menatap dirinya sendiri, yang sekarang diisi Zeno.
“Denger ya. Sampai kita tahu kenapa ini bisa kejadian, kita... nggak boleh ada yang tahu. Lo harus hidup jadi gue.”
Zeno mengerutkan kening.
“Maksud lo... lo ke kantor, jadi gue? Dan gue ke kantor, jadi lo?”
Faye menatap tajam. “Gue gak mau berita kalau Faye Aurora Marcelline tiba-tiba berubah jadi cewek tolol nyebar ke satu gedung.”
Zeno berdiri, meniru gaya arogan khas Faye.
“Oke. Fine. Tapi jangan nyalahin gue kalau sepatu lo lecet, atau lipstick lo ilang, atau kalau… datang bulan dan gue panik terus nelfon ambulans.”
“ZENO!”
Zeno cuma ngangkat bahu. Takut digeplak.
Hening kembali menggantung.
Faye menarik napas. “Kita harus cari tahu... apa yang terjadi. Dan yang paling penting... gimana cara balik. Gue nggak bisa biarin lo pake tubuh gue buat keluyuran seenaknya.”
Zeno mengangkat alis. “Tenang, gue bakal sopan. Makanya, kita tinggal di tempat masing-masing. Gue di apartemen lo, lo di kosan gue.”
Faye langsung duduk tegak. “HAH?!”
“Ya iya. Gue nyaman di apartemen lo. Ada air panas, kulkas gede, Netflix. Sounds like heaven to me.”
“Dan lo nyuruh gue tinggal di kos lo yang rame, sempit, dan isinya cowok-cowok absurd dengan otak setengah mateng?!”
Zeno tersenyum manis. “Kan itu tubuh gue. Wajar dong kalau lo adaptasi dengan lingkungan gue.”
Faye berdiri. “Lo gila. GAK ADA CERITA GUE MANDI BARENG SAMA TEMEN KOS LO!”
“Tenang aja, mereka pasti ngira lo Zeno dan nggak bakal tahu apa pun.”
“Ya justru itu masalahnya! Mereka bakal ajak main futsal bareng, nonton film horor sambil garuk-garuk selangkangan, dan nyanyi lagu metal pake celana kolor!”
“Eh... emangnya lo nggak pernah garuk selangkangan?” tanya Zeno usil.
“ZENO!!!”
Zeno ngakak. “Tapi itu hidup yang lo butuhkan, Faye. Menyatu dengan rakyat jelata.”
Faye melempar bantal ke wajahnya. “MIMPI! GUE GAK MAU DI SANA!”
“Yaudah, kita undi!”
“GAK ADA UNDI-UNDIAN!”
Zeno diam sejenak, menatap tubuh aslinya dengan kagum. “Atau... kita coba ulangin aja. Maksud gue... semalem. Siapa tau itu pemicunya.”
Faye lempar bantal lagi.
“DASAR OTAK MESUM!”
***
Faye menatap cermin. Yang balik menatapnya adalah Zeno, dengan wajah kusut, mata sembab, dan rambut acak-acakan.
“Gila... ini bukan mimpi,” gumamnya pelan.
Dia mengangkat tangan—lengannya berotot. Ia menengok ke bawah sebentar, lalu buru-buru merem. “Ugh, stop! Don’t look! Jangan liat bawah. Nggak penting.”
Dia mengambil handuk putih dari rak dan langsung melangkah ke kamar mandi tanpa banyak mikir. Toh, ini apartemennya sendiri.
Di ruang tamu, Zeno duduk selonjor, mencoba meniup rambut panjang yang jatuh ke wajah, gagal. Makin jengkel.
Perutnya bunyi. Tapi sebelum dia sempat cari makanan, dorongan lain datang. Kebelet pipis. Cepat. Urgent. Panik.
“Faye! Gue mau ke kamar mandi ya!” serunya sambil bangkit.
Nggak ada jawaban.
“Faye?”
Masih hening. Akhirnya Zeno buka pintu kamar mandi—yang ternyata nggak dikunci—dan langsung masuk tanpa mikir. Kebiasaan cowok. Di dunia lama mereka, nggak ada pintu kamar mandi yang perlu dikunci saat tinggal sendiri.
Yang terjadi selanjutnya?
Chaos.
“ZENO!!!”
Faye, yang sedang berada di bawah shower, sontak berbalik. Air mengguyur wajah dan pundaknya, rambutnya—alias rambut Zeno—nempel di pipi. Dia terkejut, panik, dan langsung nutup dada dengan tangan.
Padahal... dia lagi make tubuh Zeno. Artinya, dada itu—yah, nggak ada apa-apa juga sih.
Tapi insting tetap insting.
“APA-APAAN SIH LO MASUK GITU AJA!?”
Zeno, dengan wajah polos penuh kebingungan, menahan napas. “Gue... kebelet pipis.”
“TERUS NGGAK BISA NUNGGU?!”
“Lo mandi udah lima belas menit! Gue mau meledak!”
“Zeno—GUE TELANJANG!”
“Biasa aja. Piiiip lo itu piiip gue juga. Nggak usah lebay. Masa iya gue nafsu liat piiip sendiri?”
“BERHENTI NGGAK, BILANG PIIIP!” Faye naik darah.
Tapi Zeno malah ngakak, terus teriak,
“Piiiip piiip piiip!”
“OH MY GOD—I swear I’m gonna kill you!”
Zeno justru cengengesan, senyum jahilnya makin lebar.
“Kalau lo beneran bunuh gue, lo juga ikut mati dong... secara, kita satu badan sekarang. Think about it, Genius.”
Ia lalu menjulurkan lidah, masih sambil ngakak. Kemudian menurunkan celana bagian depan piyama satin pink yang nempel di pinggangnya. Tapi ekspresi Zeno berubah panik sedetik kemudian. Matanya melotot ke bawah.
“Anjir. Gue lupa... badan lo nggak punya titit.”
Faye menutup wajahnya. “GUE MAU BUTA AJA.”
“Gimana caranya pipis kalo lo nggak punya belalai?”
“ZENO, KELUAR SEKARANG!”
Zeno mengangkat kedua tangannya kayak orang ditodong, lalu berdiri sambil bersungut-sungut. “Yaudah, yaudah. Tapi cepetan ya, gue juga mau mandi.”
Dia baru buka pintu kamar mandi, lalu berhenti. Pandangan mereka bertaut.
Faye membuka mulut lebih dulu. “Lo gak boleh mandi sendirian.”
Zeno mengerutkan kening. “Maksud lo?”
“Gue... nggak bisa biarin lo ngelakuin apa pun ke tubuh gue. Apalagi... ya, you know.”
Zeno menghela napas. “Faye, gue nggak punya fetish ngaca sambil megangin dada sendiri. Gila apa lo?”
“Ini bukan soal fetish, bego! Ini soal... privasi. Martabat. Kehormatan. Harga diri. KEWANITAAN.”
Zeno melipat tangan, mulai sebal.
Faye berdiri sambil menarik handuknya rapat-rapat, membiarkan air menetes dari rambut tubuh Zeno. “Biar gue yang mandiin lo.”
Zeno melotot. “…Apa?!”
Faye menatap serius. “Biar gue aja yang mandiin. Daripada lo megang-megang sembarangan. Gue yang lebih tahu... tubuh gue.”
“Lo kira gue bayi? Gue bisa mandi sendiri, woy.”
“Zeno. Denger apa kata gue.”
“…Oke, oke.” Zeno mendesah, nyaris frustasi. “Yaudah deh, yang penting badan gue bersih.”
“Dan nggak usah komentar aneh-aneh waktu gue mandiin lo nanti. Pake penutup mata.”
“Yeah... whatever. Asal jangan sampe lo ngeremes dada gue pake dua tangan lo.”
Faye mengangkat gayung dan nyaris melemparnya ke kepala Zeno. “Diem. Duduk. Tunggu giliran.”
Zeno ngakak. “Baik, Miss Drama Queen.”
Dia melangkah keluar kamar mandi. Di balik pintu, Faye meremas handuknya dan menghela napas dalam-dalam.
***
Sore harinya...
Pagar besi berkarat bergemerincing setiap kali disentuh angin sore. Faye memandangi sebuah plang menggantung miring di dinding luar, tulisannya sudah pudar...
KOS DAMAI SENTOSA
Laki-Laki Only – Dilarang Masak Pakai Setrika
Faye memelototi tulisan itu.
“Dilarang... masak pakai setrika?” gumamnya ngeri.
Satu tarikan napas, dua tarikan napas.
‘Lo bisa, Faye. Cuma... tempat tinggal cowok-cowok.’
Yang kemungkinan punya stok kaus kaki seminggu, piring dengan sisa sambel kering dua abad, dan...
Oh Tuhan, jangan pikirin itu.
“Permisi…” gumamnya pelan sambil mendorong pagar.
BRAK!
Pintunya bunyi kenceng kayak dipukul makhluk halus. Langkahnya terhenti di halaman depan yang sempit—sebagian dipenuhi motor, sebagian lagi dipenuhi sendal jepit yang hampir semuanya lain sebelah—berantakan seperti hasil perang.
Tiba-tiba seorang cowok tinggi besar keluar dari arah dapur. Rambut gondrong, kulit gelap, celana pendek bola, dan... bertelanjang dada. Wajahnya mengilap karena minyak—bukan skincare, tapi hasil gorengan.
Dia bawa plastik bening berisi risol dan bakwan.
“WOI ZEN! LO PULANG JUGA!”
Faye terdiam. Itu Juan? Atau Ferdy?
Bentar, Juan yang mana sih?
“Ferdy taruhan ama gue, katanya lo kabur dengan tante-tante,” lanjut cowok itu.
Faye berkedip beberapa kali. Oke, berarti ini si Juan.
“Nih, gue bawain gorengan. Tinggal ini sih... tapi masih anget!”
Faye senyum paksa. “Oh… eh… makasih.”
Bibir kanan atas Juan naik dramatis. “Tumben bilang makasih, biasanya main ambil trus pergi. Abis gegar otak lo?”
Faye cuma bisa nyengir dikit.
Plastik gorengan disodorkan. Faye ragu. Tapi kalau nolak malah dicurigai, jadi ia angkat satu risol... yang ternyata udah digigit setengah. Isinya malah nggak ada. Dia cuma disisain kulit risol, anjay...
Faye menelan ludah. Lalu... menutup mata dan menggigit sisanya.
Juan nyengir puas. “Gitu dong. Cowok sejati gak milih-milih liur.”
Di dalam, rumah kos itu seperti dunia tanpa logika.
Ruang tamu sempit penuh kabel sambung dan colokan triple-t yang bergelantungan seperti jaring laba-laba.
“Kucing siapa?” Faye menunjuk seekor kucing abu-abu yang tidur pulas di atas helm full-face.
Juan ikut melirik. Tatapannya ke Zeno kayak lagi liat alien. Satu alisnya melengkung ke atas.
“Itu kucing lo. Lo bawa pulang dari pasar karena ngerasa bersalah nggak sengaja nginjek perutnya sampe keluar eek,” ujar Juan datar. Ada nada curiga dalam kalimatnya.
Faye spontan batuk. Tapi kemudian dia berusaha bersikap senormal mungkin. Dan pura-pura langsung mengakrabkan diri dengan si kucing—yang mukanya sama nyebelin kayak Zeno—sambil sok-sokan manggil nama.
“Hei... Kitty... sini sama Om.”
“Kok Kitty? Lo ganti namanya, Zen? Lo kayak cewek yang ngasih nama buat kucing,” protes Juan.
Faye mengerjap. Salah lagi dia.
“Emang namanya siapa?”
“Bosman. Lo bilang dia lebih setia dari mantan lo.”
Faye mengerjap pelan.
‘Hidup Zeno ini beneran nggak ada yang normal ya?’
Langkahnya terhenti lagi saat melihat kamar Zeno. Gagang pintunya bengkok. Dan dari dalam... terdengar suara kipas yang berderit seperti tangisan robot tua.
Dia buka pintunya pelan.
Kamar itu... kacau. Dan tentu saja, nggak lepas dari tulisan random dari spidol permanen.
“Zeno utang kopi.”
“Juan, stop maling telur!”
“Ferdy, JANGAN LAGI PAKE SEMPAK GUE!!!”
Faye menatap semua itu sambil mikir, ‘Zeno... lo emang hama. Kenapa lo hidup, Zeno? Kenapa?’
Faye menjatuhkan diri ke kasur. “Sial. Ini nyata. Gue di neraka,” gumamnya.
Masih part satu. Masih hari pertama. Masih belum seminggu.
Dan baru saja Ferdy dari dapur teriak.
“WOY JUAN! INDOMIE GUE PAKE AIR APAAN NIH! KOK ADA BUSA!!!”
***
Faye berdiri di depan halaman kantor dengan napas memburu. Sepatu yang ia pakai mengetuk lantai semen pelan, ritmis, tapi penuh tekanan.
Matanya berkedip gelisah ke arah jam tangan. Sebentar lagi meeting dengan klien penting, dan Zeno – dalam tubuhnya – belum juga muncul.
Ia menekan nomor ponsel Zeno untuk kelima kalinya.
Sambungan terhubung. Ada suara dengkuran pendek sebelum terdengar suara Zeno yang serak, "...halo... siapa sih pagi-pagi udah—"
"ZENOOOOOOO!!!" Faye hampir nyakar muka Zeno yang lagi dia pake. "LO MASIH DI KASUR?! GILA YA INI HARI PENTING! MEETING! NAIK JABATAN! TUBUH GUE HARUS ADA DI RUANG RAPAT, NGERTI?!"
"Ya ampun... santai, Sist. Gue bangun sekarang, ya? Gue... ya gue mandi dulu, ganti baju.”
"ZENO, HARI INI PENTING, TOLOL! NAIK TAKSI, SEKARANG!"
"Iya, iya... aduuuuh, sabar napa. Gue udah di depan cermin, mau pake kemeja lo yang ada kupu-kupunya tuh..."
Faye mencabut napas panjang. "ITU BUKAN KEMEJA, ITU BLOUSE! DAN JANGAN LUPA SKINCARE!”
Klik.
Telepon dimatikan. Faye mulai jalan mondar-mandir kayak singa di kebun binatang.
Waktu berjalan seperti seabad. Baru aja dia mau nelfon lagi, suara klakson taksi terdengar dan berhenti di depan kantor. Faye langsung refleks lari mendekat, membuka pintu dengan harapan penuh... dan mendadak dunia runtuh.
Zeno turun dengan gaya cowok balik nongkrong dari warung. Nguap lebar, satu tangan di saku, satu lagi garuk kepala. Blouse putih gading yang dipakai terlihat kusut. Kantong mata hitam menghiasi wajah yang bahkan nggak disentuh bedak. Dan yang paling fatal...
Zeno nggak pake bra!!!
Faye ngelihat dada sendiri berguncang pelan tiap Zeno melangkah.
Guncang, gengs. Gila, guncang!
"ZENO!" teriaknya panik, langsung narik tangan Zeno sampai tubuh mereka saling berhadapan.
Zeno yang kaget, protes. "Eh, eh, apaan sih, malu-maluin amat lo..."
Faye langsung narik kerah blouse-nya, ngintip ke dalam. Dan nyaris pingsan.
"ASTAGA... GUE... NGGAK PAKE BRA?!"
Zeno ikut intip pelan. "Ya... emang."
"KENAPA LO NGGAK PAKE?!"
"Lah gue nggak bisa. Ribet banget, anjir."
Emosi Faye meledak. "RIBET?! ZENO, LO BAWA-BAWA TETE’ GUE TANPA PENGAMAN!"
Zeno cengar-cengir. "Faye... lo nggak bisa maksa, apalagi marahin gue cuma gara-gara gue nggak bisa make bra. Gue cowok, Faye. Tugas dan keahlian gue soal bra di dunia ini tuh... take it off, not... put it on, oke?”
Faye terdiam. Otot pipinya gemetar. Lalu... dia pegang dada Zeno—lebih tepatnya, dada dia sendiri di tubuh aslinya. Telapak tangannya menempel tepat di bawah dada, dan...
Dia ngangkat-ngangkat dada itu pelan. Wajahnya frustasi kayak orang yang baru tahu harga facial roller yang dia punya rusak.
Dengan nada pilu dan gemetar, dia gumam, “Tete’ gue... hari ini nggak pake bra. Bakal... ngelember...”
Zeno mendesah. Bola matanya naik ke atas. Seolah bilang, ‘Astagaaa... lebay banget nih cewek.’
Dia melirik ke samping. Eh... tiga rekan kerja mereka—dua staf marketing dan satu dari HRD—lagi lewat dan berhenti. Tatapan mereka nempel ke tubuh Zeno yang lagi memegang dada Faye dengan khusyuk dan ekspresi tragis.
Zeno menoleh ke mereka, wajahnya datar kayak permukaan pancake basi.
Dengan jari telunjuknya, dia nunjuk ke Faye dan ngomong dengan nada super tenang, “Tolong, dia ngelecehin gue.”
Faye refleks lepasin tangannya dari dada. “ANJ—! BUKAN GITU! GUE... GUE CUMA...”
Orang-orang itu makin bingung. Ada yang batuk-batuk nahan tawa. Ada yang buru-buru ngeloyor sambil nelpon entah siapa.
Faye menutup wajah. “Sumpah, Zen… lo pengen gue dipecat, ya?”
**
Di ruang meeting, Faye menyeret Zeno ke kursi dekat proyektor. “Duduk tegak!” bisiknya.
Zeno malah selonjor, lipat tangan, dan blouse putih yang ia pakai jadi kusut, dadanya makin terlihat. Faye nyaris ngamuk. “ZEN! Duduk SOPAN! Lo itu gue!”
Zeno malas-malasan nurut. “Iya, iya, ribet amat.”
Pak Baskoro berdeham. “Baik, kita mulai. Faye, silakan presentasi.”
Faye refleks mau jawab, tapi sadar. Zeno maju, pegang clicker kayak rokok, lalu melirik Faye. Faye hanya bisa mengangguk kaku sambil memberikan tatapan ‘lo hancurin karier gue, lo mampus!’.
Zeno menarik napas dalam, lalu memulai. “Selamat pagi, Pak Baskoro, rekan-rekan sekalian. Saya Faye, dari tim marketing... yang paling... enerjik dan... charming.”
Faye menutup mata. ‘Charming? Dia mau jualan produk apa jual diri?’
“Hari ini, kita akan membahas proposal kampanye iklan untuk produk terbaru Bapak, yaitu ‘ReviaSkin’.” Zeno menekan tombol clicker. Slide pertama muncul. Normal. Masih aman.
“Seperti yang kita tahu,” lanjut Zeno, “pasar produk kesehatan dan kecantikan itu... uh... sensitif. Jadi, kita butuh sesuatu yang... klik.”
Zeno menekan clicker lagi. Slide berikutnya menampilkan grafik rumit dengan angka-angka.
Zeno menatap grafik itu dengan mata kosong. Lalu dia berbisik pada dirinya sendiri, “Ini grafik apaan, sih? Kok pusing amat?”
Bisikan itu terdengar lumayan jelas. Ruangan langsung dipenuhi oleh tawa cekikikan. Faye menggebrak meja dengan lutut. Zeno kaget.
Zeno buru-buru meralat, “Maksud saya… jelas menunjukkan peningkatan signifikan. Konsumen makin aware sama antioksidan. Betul?” Zeno melirik Pak Baskoro, mencari persetujuan.
Pak Baskoro hanya tersenyum tipis, tampak geli. “Lanjutkan, Faye.”
Zeno mengangguk, lalu tiba-tiba menggaruk pinggangnya dengan santai, seperti kebiasaan Zeno yang tidak pernah absen. Gerakan itu sangat tidak elegan, apalagi dari seorang “Faye” yang dikenal selalu anggun. Faye hampir loncat mau menerkam.
“Nah, strategi kita...” Zeno menunjuk ke slide berikutnya. “Kita akan fokus pada... emosi. Cewek gampang baper. Kalau glowing, pasti beli.”
Faye menggosok pelipisnya. ‘Baper? Strategi apa itu?!’
“Kita akan pakai influencer yang... jujur. Yang nggak cuma modal cantik, tapi juga... jujur soal struggle hidup. Biar relatable. Kayak... saya,” Zeno menunjuk dirinya sendiri, “saya jujur kan, lagi nggak pake bra sekarang.”
Ruangan hening total. Kemudian, terdengar suara batuk-batuk tertahan. Beberapa staf menunduk, bahu mereka bergetar. Pak Baskoro terlihat berusaha keras menahan senyum.
Faye rasanya ingin menghilang ke dimensi lain. Wajahnya merah padam. Dia memberi isyarat keras dengan mata ke Zeno. ‘MATI LO!’
Zeno malah cengar-cengir. “Oh, maaf, keceplosan. Maksud saya... ReviaSkin ini kan bikin kulit jadi jujur. Bebas dari masalah kulit. Jadi... ya gitu.”
Pak Baskoro akhirnya tak bisa menahan tawa kecilnya. “Faye, kamu... sangat jujur hari ini. Ini pendekatan yang... unik.”
“Betul, Pak. Jujur itu penting dalam marketing.” ujar Zeno bangga.
“Menarik. Sangat menarik. Faye... atau siapa pun kamu, presentasimu... membuatku terkesan. Mungkin pendekatan ‘jujur’ dan ‘relatable’ ini memang yang kami butuhkan.”
Faye membeku. Apa? Ini serius?
“Saya... uh... suka dengan spontanitasmu, Faye. Dan... keberanian untuk menampilkan diri apa adanya,” lanjut Pak Baskoro, menatap Zeno yang tanpa bra. “Ini menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi pada produkmu.”
Zeno nyengir, merasa menang. “Tuh, kan! Gue bilang juga apa. Natural is the best!”
Faye hanya bisa menatap tak percaya. Misi yang seharusnya tamat, kini entah bagaimana, malah berbalik arah. Kariernya yang nyaris hancur, kini malah naik berkat absurditas Zeno.
***
Apartemen Faye, pukul delapan malam.
Zeno baru beres skincare-an ala Faye, saat bel berbunyi. Begitu pintu dibuka, muncullah sosok Divya. Rekan kerjanya dari divisi lain, yang juga merupakan teman akrab Faye di kantor.
"Gue nginep ya malam ini."
Zeno menelan ludah. "Eh... sekarang?"
"Iya. Lo bilang gue boleh datang kapan aja. Katanya apartemen lo rumah kedua gue."
Zeno menggaruk kepala yang nggak gatal.
Divya langsung nyelonong masuk, naruh tas selempang dan jaketnya. Dia duduk di sofa, melirik ke arah Zeno dari atas sampai bawah. “Duduk. Gue pengen curhat.”
Zeno menelan ludah. ‘MATI GUE!’
Tapi ia tetap ambil posisi duduk di samping Divya. Mendengarkan gadis itu curhat tentang mantan, tentang baju diskon, dan tentang... bulu kaki yang belum sempat dicukur.
Setengah jam kemudian... Divya berdiri dan masuk ke kamar buat ganti baju tidur, Zeno baru sempat pegang HP. Mengetik pesan untuk Faye.
Tapi sebelum pesan itu sempat terkirim, terdengar pintu kamar terbuka.
Zeno masih fokus ke HP, berharap cuma isapan angin. Tapi langkah kaki itu nyata. Dan saat dia mendongak—
—dunia jadi slow motion.
Divya keluar kamar dengan lingerie burgundy transparan.
Zeno yang lagi nyeruput kopi—langsung keselek.
“MAMAAAA—!!”
Divya nyengir sambil muter-muter kecil kayak model katalog murahan. “Selamat malam, Dunia. Sambut Dewi Libido Indonesia.”
Zeno seketika membeku. Matanya melebar, lalu langsung mingkem kayak kerang tercekik.
“Gimana? Gue beli diskonan, tapi katanya ‘lingerie ini akan memanggil sisi dewi sensual dalam dirimu’.” Dia melempar pose tangan di pinggul, satu kaki naik ke kursi.
Zeno pengen loncat dari balkon. Dia refleks nutup mata pakai tangan. Tapi tetep ngintip dari sela jari.
Klise, tapi manusiawi.
Divya ketawa, duduk santai di sofa, menyalakan aromaterapi vanilla.
“Tenang dong. Gue kan biasa ganti di depan lo.”
Zeno merintih pelan di sudut sofa.
‘Lo ganti baju di depan Faye, iya. Tapi Faye cewek. GUE NIH, ZENO. LAKI. YANG SEDANG BERTAHAN DARI LEDAKAN HORMON!’
Divya benerin masker di muka. “Ayo. Sleepover confession time yang ke-152.”
Zeno, masih shock setengah hidup di bagian bawah, cuma bisa melongo.
“Lo... nggak mau ganti baju dulu? Maksud gue... kayak... baju beneran. Bukan yang kombinasi kabut asap sama jaring ikan.”
Divya malah berdiri lagi trus muter-muter depan kaca. “Lo suka warna ini? Soalnya waktu itu cowok gue bilang dia suka cewek yang berani.”
Zeno ngerasa jantungnya nyaris jatuh ke lutut. “LO TANYA GUE?! NGGAK NGERTI APA GUE INI BISA PENDARAHAN OTAK LIATNYA?!”
Divya cengar-cengir. “Ih, lebay banget sih, Faye. Biasanya juga lo malah nggak sabaran pengen nyobain juga. Kalau mau make, sini gue bantu masangin.”
“NGGAK!!! Berani lo nempelin ke kulit gue... bakal gue gunting jadi sepuluh pieces!”
Divya berdecak. “Ah, lo boring. Dulu lo nggak gini.” Divya meletakkan dua bantal peluk. “Cepet. Lo duluan. Ngaku satu rahasia tergila lo.”
“Ganti baju dulu kalau nggak mau gue bakar tuh lingerie sama orangnya sekalian!” ancam Zeno, makin stres.
Divya nyerah, masuk kamar buat ganti baju tidur. Zeno akhirnya bisa napas. Tapi belum lama dia lega, Divya udah balik lagi bawa dua bantal kecil dan nyuruh Zeno duduk di lantai bareng.
“Kita confession-an kayak dulu. Satu-satu.”
Divya mulai ngeluarin pengakuan.
“Gue pernah naksir kakak kelas yang udah tunangan. Tapi tiap dia upload foto bareng tunangannya, gue reply pake akun fake... bilang mereka nggak cocok secara astrologi.”
Zeno ngedip beberapa kali. “...Wadidaw.”
Divya nyolek bahu Zeno. “Lo dong sekarang.”
Zeno mau jawab, tapi Divya udah lanjut. “Eh, ngomong-ngomong soal cowok... Gue jadi inget cerita tragis cowok gue yang dulu. Si Leon. Lo inget kan? Gue pernah cerita.”
Zeno duduk lebih tegak. “Hah? Tragis gimana?”
Divya mendesah. “Jadi... dulu kita pernah kecelakaan kecil. Malem-malem, jatuh dari motor. Dia nyium aspal, dua giginya copot, darah keluar dari mulutnya banyak banget.”
Zeno langsung pegang pipi sendiri. “YAAMPUN.”
Divya lanjut, wajahnya serius kayak mau bacain berita kriminal. “Terus kita panik nyari kapas buat nyumpel gusinya. Tapi warung terdekat cuma jual... pembalut wing.”
Zeno membatu. Perasaannya nggak enak.
“Jadi...” Divya menghela napas dramatis. “Gue... minta dia tahan malu dan... nyumpel gusinya pake pembalut.”
Zeno noleh pelaaaaannnn... kayak setan film horor yang siap ngeluarin jumpscare. Mukanya pucat. Suara lirihnya keluar kayak kesurupan malaikat trauma.
“Terus... kenapa sekarang lo cerita ke gue? Itu kan rahasia neraka cowok lo. HARUSNYA LO SIMPEN SAMPE LO WAFAT!”
Divya cuma ngunyah permen karet dan nyengir. “Abis dia brengsek. Udah ngilang, ghosting, trus update story sambil ngodein mantannya. Biar dia tahu rasa.”
Zeno nutup muka.
“Cewek tuh... bener-bener lebih serem dari cowok. Ini bukan sleepover. Ini penyiksaan batin.”
Divya cengengesan. “Lo ngomong apa tadi?”
Zeno langsung meralat, “Maksud gue... empowering banget ceritanya. Gue dukung lo, Bestie.”
Dalam hati ia berkata, ‘Faye, lo sekarang resmi utang hidup dua kali lipat. Kalau gue bisa keluar dari tubuh lo hidup-hidup, gue mau tobat jadi pemuka agama.’
Zeno akhirnya merebahkan kepala ke bantal kecil yang dilempar Divya. Matanya kosong menatap langit-langit.
Dia melirik Divya yang mulai ngulet santai, sambil maskeran lumpur dan ngunyah permen karet. Damai banget. Padahal baru saja membocorkan tragedi pembalut berdarah.
Sementara itu di tempat lain...
Faye baru turun dari taksi, bajunya lecek kayak sisa-sisa pertarungan. Begitu buka pintu rumah kos, Juan muncul dari dapur dengan baju transparan dan apron bertuliskan, "CIUM CHEFNYA DULU BARU BOLEH NGAMBIL NASI."
Kepala Faye mulai pening. Tapi dia bertahan. Jalan pelan ke kamarnya sambil berusaha invisible. Sesampainya di sana, dia ngunci pintu, jatuhin diri ke kasur tipis, dan menghela napas.
Sepi.
Tenang.
Akhirnya...
Baru aja mau ngiler—TOK TOK TOK.
“ZEN! BOLEH NUMPANG TIDUR NGGAK? KIPAS KAMAR KITA MATI!”
Faye menutup muka pakai bantal sebelum akhirnya bangkit dengan malas.
Pintu terbuka. Dua manusia absurd berdiri di ambang pintu. Ferdy dan Juan. Bawa bantal. Tanpa baju. Hanya pakai sempak.
Faye menatap mereka seolah ingin teleportasi ke Pluto.
“Lo berdua, nggak pake... baju?”
Juan angkat bahu. “Ngapain? Kan cowok semua. Lagian lebih adem begini. Lo juga biasa begini, Zen. Jangan sok alim!”
Faye menggertakkan gigi. “Fine. Masuk. Tapi jangan sentuh gue.”
“Tenang, kita sopan. Cuma numpang hidup,” jawab Ferdy sambil nyelonong masuk.
Saat Ferdy nutup pintu...
Faye terdiam.
Matanya membelalak.
Semua waktu seakan berhenti.
Bagian belakang sempak Ferdy...
Bolong.
Bentuknya...
LOVE.
Faye berdiri. “FERDY?! APA ITU DI PANTAT LO?!”
Ferdy menoleh santai. “Oh, ini. Keren ya? Gue yang bolongin sendiri. Handmade.”
“LO SENGAJA?!”
“Iya lah. Bagus kan? Awalnya kebakar setrika, gue rapihin jadi LOVE. Limited edition. Paling mahal yang gue punya.”
Juan nimbrung. “Jiaahh... padahal itu sempak nyolong dari anak kos sebelah.”
Faye terduduk lemas. Dunia ini nyata. Dia di dalam tubuh cowok. Diapit dua makhluk tanpa nalar. Dengan sempak bolong cinta.
Ferdy udah selonjor di lantai, ngelurusin punggung. Juan langsung geletak di kasur. Faye, dengan seluruh iman yang tersisa, memutuskan kembali tidur.
Baru beberapa menit memejamkan mata, dia merasa...
Lengannya dipeluk. Dari kanan.
Kemudian dari kiri.
Dia membuka mata.
Juan dan Ferdy... memeluknya seperti sandwich.
Faye menjerit. “LEPASIN GUE! TANGAN LO DI MANA?!”
Ferdy ngigau. “Peluk dong, Zen... lo tuh bantal hidup terbaik.”
“GUE NGGAK MAU JADI BANTAL!!!”
Bukannya ngejauh, si Ferdy malah meluk dada Zeno. Meski bukan badan aslinya, Faye ngerasa dilecehin.
Ia meronta. Ngelempar tangan Ferdy jauh-jauh. Ngusep-ngusep leher, lengan, seluruh tubuhnya. Ngerasa najis. Jeritannya makin kencang.
Juan kebangun duluan. “Z-Zeno? Kenapa lo kejang?”
Faye mendelik. “JANGAN PELUK GUE LAGI!!!”
Ferdy bangun juga. Wajahnya pucat. “Lo... kerasukan ya?”
“APA?!”
Juan dan Ferdy saling pandang. Kompak lari keluar kamar.
Faye berpikir itu sudah selesai.
Dia salah.
Lima belas menit kemudian, saat dia nyaris tidur, suara langkah kaki mendekat. Pintu terbuka pelan.
Faye buka mata.
Ferdy dan Juan berdiri di sana.
Bersama...
Seseorang berpeci, pakai sarung, dan kalung tasbih.
“Zeno, gue panggilin Babeh Wahyu. Lo lagi butuh ahli spiritual. Spesialis pengusiran roh penasaran.”
Faye duduk tegak. “LO GILA YA?!”
Babeh Wahyu masuk sambil menyalakan dupa dari botol parfum refill. “Tenang, Nak Zeno. Kami hanya ingin menyelamatkan jiwa kamu dari gangguan mahluk astral.”
“GUE GAK KESURUPAN!”
Juan dan Ferdy udah pegang tangan dan kaki Faye. Babeh Wahyu mulai baca mantra.
“Oh, roh... pergilah dari tubuh pemuda ini... kami tahu kau wanita cantik yang tergila-gila padanya...”
“APA?!” Faye meledak. “SIAPA YANG TERGILA-GILA SAMA ZENO?!”
Faye ngamuk, loncat ke arah Babeh Wahyu.
“GUE MAU BUNUH DUKUN PALSU INI!!!”
Babeh Wahyu dicekek. Juan dan Ferdy teriak, lari tabrakan sama kursi plastik. Kos penuh teriakan.
Dan di tengah semua kekacauan itu, hanya satu suara yang teriak lebih keras dari yang lain...
“GUE CUMA MAU TIDUR, WOI!!!”
**
Zeno menatap ke depan dengan wajah kosong. Ponsel masih di telinganya, sementara Faye di seberang telepon baru saja selesai menceritakan trauma dari tingkah absurd Juan dan Ferdy.
“Gue... gue nggak nyangka...”
Faye mendesah, letih. “Apa?”
“Kalau temen-temen gue... ternyata segoblok itu.”
Mereka sama-sama terdiam.
“Ya lo bayangin aja... Ada dua cowok sempakan masuk kamar lo, dan satu di antaranya pakai sempak bolong bentuk love, terus mereka tidur di sebelah gue dan meluk dada badan lo kayak guling bernyawa!”
Zeno langsung meraih dinding terdekat. “Ya ampun. GUE PUSING. DASAR SI JUAN SAMA FERDY.”
“YES! Dan mereka sampai manggil dukun! Namanya Bah—Babi—apa tadi—Babeh Wahyu!”
Zeno nahan napas. “Faye... tarik napas dulu...”
“DAN GUE UDAH NYEKEK BABEH WAHYU.”
“...” Zeno bengong bentar. “...Mati?”
“NGGAKLAH! DIA CUMA GUE TENDANG KELUAR KAMAR.”
Zeno jatuh telentang di kasur, menatap langit-langit apartemen yang rasanya makin sempit.
“Lo pikir gue nggak trauma? Gue abis minum teh bareng cewek yang ceritain pacarnya nyumpel gusi pake pembalut wing.”
Mereka terdiam. Nafas berat keduanya terdengar dari dua tempat berbeda. Saling menguatkan. Saling menghancurkan.
Zeno akhirnya bersuara pelan.
“Faye...”
“Apa?”
“Kita... harus bertahan. Cari cara balikin badan. Kalau enggak...”
“Kalau enggak?”
“Gue takut ntar gusi gue yang disumpel pembalut sama temen lo.”
Faye membuang nafas dari mulut. “Dan gue takut sempak itu makin banyak variasi bolongnya.”
Zeno ngangguk-ngangguk. “Kita harus keluar dari neraka ini.”
“Secepatnya.”
Dan malam pun berlanjut. Di satu tempat, tubuh Faye tertidur sambil dikelilingi masker lumpur dan lilin aromaterapi vanilla. Di tempat lain, tubuh Zeno tergeletak di kamar yang masih bau sempak, ditemani kucing bermuka tengil.
Hidup telah berubah.
Selamat datang... di minggu paling absurd dalam hidup mereka.
Mereka tidak tahu apakah rahasia ini akan berakhir baik atau buruk. Yang jelas, sejak hari itu, tidak ada lagi yang sama.
Dan mungkin, rahasia paling sulit bukanlah tentang tubuh yang tertukar… melainkan perasaan yang perlahan ikut berubah.