Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Joe! Joe!”
Pekik suara ini rasanya sudah begitu nyaring. Berteriak sekeras yang kubisa. Namun, tak peduli mau berapa kali, tetap saja tidak ada balasan. Joe tak kunjung terlihat. Suaranya juga tidak terdengar. Ke mana dia pergi? Kapan? Apa mungkin dia akan … kembali?
Aku masih saja bergeming. Bukan karena tidak ingin pergi mencari ke mana Joe pergi. Namun, semua tahu bahwa itu adalah hal yang mustahil dilakukan. Tanpa bantuan dari seluruh energi di alam semesta, aku tak mungkin bisa mencari dan menemukannya. Hanya bisa menoleh, berpaling, dan meratapi diri.
“Hey, Lucy. Aku dengar kau meneriakkan nama Joe. Memangnya ke mana dia pergi?”
Tanpa pikir panjang mata ini lekas mendelik untuk mencari sumber suara yang memanggil. “Austin! kau tahu di mana Joe?”
“Aku tidak tahu di mana Joe sekarang berada.” Pria itu berhenti, berpikir sejenak. “Tapi, tadi aku melihat dia sedang ikut menari bersama Janeth.”
“Janeth?” tanyaku tanpa bisa menahan pekik. “Maksudmu, Janeth anak manusia itu?”
Anggukan badannya sudah jelas menjawab pertanyaanku. Kenapa? Kenapa Joe harus ikut menari bersama sang anak manusia? Padahal aku sudah berkali-kali mengingatkan bahwa itu adalah hal terlarang yang akan membuatnya pergi tanpa bisa kembali.
“Lu, kau tahu kita tak bisa benar-benar menghindarinya, bukan? Anak itu tiba-tiba saja memasukkan tangan ke tempat ini. Kulihat dia mencari-cari mainannya yang jatuh. Dan tanpa sengaja Joe ikut terbawa dalam sapuan tangan raksasanya.”
“Kenapa aku bisa tidak menyadari hal itu? Padahal aku selalu menjaga agar Joe tetap di sini.”
“Kau tak bisa terus membuka mata selama satu hari penuh, Lu. Dan ... kau tahu bahwa Joe bukanlah anak kecil yang harus selalu diarahkan. Bahkan sebenarnya kalian berada dalam rentang umur yang sama, bukan?”
Entah mengapa mendengar Austin mengungkap fakta itu terasa sedikit menyesakkan. Menyatakan seolah aku menganggap Joe adalah anak kecil yang harus diurus, padahal kami tercipta dalam jeda waktu yang mungkin hanya belasan detik. Lahir dari bebatuan yang akhirnya pecah ketika terus-menerus diadu, bersama ribuan debu lain yang namanya tak semua kuhafal.
Debu. Itulah julukan bagi kami dari mereka yang menyebut dirinya manusia. Hidup, tetapi tak berdaya. Bersuara, tetapi tak terdengar. Bernyawa, tetapi tak dianggap. Atau lebih tepatnya, tak dianggap hidup di hadapan mereka. Bahkan keberadaan kami saja dianggap sebagai entitas yang mengganggu dan mempersulit kehidupan.
Berapa lama waktu yang sudah berlalu sejak aku dan Joe pertama kali mulai terbang di udara? Berapa lama kami selalu hidup berdampingan mengandalkan kedekatan yang saling mengikat antara dua butir partikel debu? Pergi terbawa angin dari satu tempat ke tempat lain. Atau ikut mengalir bersama hujan yang sejuknya membuat seluruh badan ini basah dalam kesenangan. Belum lagi waktu kami terinjak dan ikut terbawa oleh alas kaki dari para manusia. Semua terasa amat membahagiakan selama kami menjalaninya bersama.
Namun, sekarang kebahagiaan itu sirna sudah. Joe telah pergi dalam siklus hidupnya sendiri. Sementara aku di sini, bergeming di tengah bisingnya suara dari puluhan ribu debu lain–yang juga tak memiliki upaya untuk bergerak. Sebagian dari mereka asyik berbincang sambil tersenyum. Tak sedikit yang hanya diam dalam lamunan, persis seperti keadaanku.
“Lu, tak ada gunanya kau terus memikirkan hal ini. Kau tahu kita tak akan pernah bisa mengubah takdir hidup kita sebagai entitas yang tak berarti. Kepergian Joe bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan.”
“Bukanlah sesuatu untuk dipermasalahkan? Entitas tak berarti?”
Aku hampir tak percaya dengan kalimat yang terucap lantang tanpa pikir panjang. Kini suasana tiba-tiba menjadi hening dan puluhan ribu pasang mata menyorot persis ke tempat di mana aku berdiri. Menjadikanku gugup, tentu. Namun, apa salahnya menyuarakan apa yang memang kupikirkan? Jika mereka membenciku, itu karena mereka tidak berani menyatakan apa yang mungkin juga mereka rasakan.
“Bagaimana mungkin kau menyebut dirimu tak berarti, Austin? Tidakkah kau malu mengucapkannya?”
Ekspresi wajah pria itu menggambarkan pertanyaan atas sikapku barusan. “Apa maksudmu? Aku hanya mengucapkan kenyataan seperti apa adanya. Mengapa kau harus marah?”
“Itu bukanlah kenyataan, Austin! Kau hanya mengucapkan apa yang kau tahu. Doktrin hidup yang selama ini selalu kau terima mentah-mentah. Padahal, kebenaran bukan saja semata yang kau tahu, lihat, dengar, dan terima. Kebenaran terkadang harus kau cari dari tempat yang tidak mudah ditemukan.”
Kali ini Austin tampak sedikit tersinggung. Tatap matanya tidak lagi tenang. “Dan kau merasa kau sudah mendengar, melihat, dan mengetahui hal yang lebih banyak dariku? Aku bahkan terlahir jauh lebih lama darimu. Dan kau berani menyatakan bahwa kau lebih mengetahui bagaimana hidup ini berjalan? Ucapkanlah satu saja hal yang bisa membuktikan seluruh kebijaksanaanmu itu, Lu.”
Kesombongan debu tua yang merasa lebih memahami hidup. Aku tahu bahwa tidak semua generasi akan memiliki pola pikir yang persis sama. Itulah sebabnya aku sangat ingin bertemu lagi dengan Joe. Satu-satunya debu yang kukenal, yang juga memiliki jalan pikiran serupa.
Sejenak aku tetap diam sambil terus membuka mata. Berusaha menenangkan diri sendiri.
“Baiklah. Itu mudah. Sekarang, lihatlah dirimu dan diriku, Austin.” Setelah kata-kataku berhenti, Austin berusaha membandingkan dirinya denganku untuk beberapa saat. “Kau lihat bahwa kita tidaklah sama, bukan? Tahukah kau kenapa? Karena aku tercipta berbeda denganmu. Aku berasal dari luar. Dari serpihan batu yang akhirnya runtuh. Sedangkan kau tercipta dari kulit mereka-mereka yang menyebut dirinya manusia. Kau adalah bagian dari mereka, yang kemudian menua dan melepas dengan sendirinya. Apa kau tahu itu? Sekarang kau tahu!
“Dan tahukah kau mengapa aku tidak mau menyebut diriku sebagai entitas tak berarti? Karena aku tahu keberadaanku memiliki tujuannya sendiri. Tanpa ada kita–para debu yang menutupi permukaan bumi–cahaya matahari akan membuat seluruh yang tampak di semua tempat terlihat terlalu terang-benderang. Mereka bisa membedakan hijau, putih, kuning, dan jingga karena masing-masing dari kita mampu menyerap cahaya matahari sehingga tidak begitu menyilaukan. Memendarkannya dengan apik. Membuat segalanya terlihat lebih cantik. Apa kau tahu? Sekarang kau tahu! Dan mulai saat ini, berhentilah menyebut dirimu entitas tak berarti!”
Tatapan yang sempat marah itu perlahan kembali tenang. Aku merasakan sebuah kekaguman dalam binar mata yang datang bukan hanya dari Austin, tetapi dari ribuan pasang mata lain yang juga melihat ke titik arah yang sama. Menatapku. Memandangiku.
“Bagaimana kau bisa tahu semua itu?”
“Mudah saja. Karena aku tidak pernah mengikuti semua doktrin yang kuterima. Aku menjalani hidupku sendiri. Sebagai debu. Sebagai entitas yang berarti!”
Hening. Semua debu diam tak bersuara hingga menciptakan kesunyian yang terasa aneh.
Entitas yang berarti. Ide itu merayapi jalan pikiranku yang sederhana. Rasanya begitu mudah aku menyatakan diri sebagai entitas yang berarti. Meskipun pada kenyataannya, aku sendiri masih menyimpan keraguan.
“Lu ….”
Telingaku dengan mudahnya menangkap suara tersebut. Kembali memandang ke arah Austin yang tampaknya sudah berhasil mengontrol luapan emosi yang tadi sempat merangkak naik. Melihat tatap matanya, dalam sekejap aku merasa telah menjadi debu yang teramat sombong. Hanya karena secercah pengetahuan yang membuatku sedikit lebih tahu, kesombongan telah membuatku berani berbicara lantang pada pria itu. “Aku .…”
“Kau ingin meminta maaf atas ucapanmu barusan?” tanya Austin, seolah bisa dengan mudahnya membaca pikiran. “Oh, sungguh kau tak perlu sedikit pun meminta maaf, Lu. Ucapanmu telah membuat mataku terbuka jauh lebih lebar. Melihat jauh lebih luas dari yang selama ini telah membuatku terkurung.”
“Tapi, tetap saja itu bukanlah hal yang sopan untuk kulakukan. Maafkan aku, Austin.”
Ia tidak lekas memberi jawaban. Menatapku dengan begitu dalam. Tatapannya membuatku seolah merasa tertelan.
“Masihkah kau mau pergi untuk mencari Joe?”
Aku terkejut. “Apa … apa katamu barusan? Mencari Joe?”
“Iya. Kau masih mau mencarinya?”
“Tentu. Niatku yang satu itu tidak sedikit pun sirna. Bahkan, semakin lama berpisah membuat keinginanku menjadi semakin kuat.”
Mengapa pria itu tersenyum? Sebuah senyum tipis yang menyimpan banyak arti. Senyum yang kali ini, aku merasakannya sebagai sesuatu yang … menenangkan.
“Kalau memang begitu, mungkin aku bisa sedikit membantumu.”
Untuk kali kedua, aku kembali terkejut. Apa dia bilang barusan? “Membantuku? Tapi, bagaimana caranya? Kita tak memiliki daya untuk berpindah. Dan hanya sekedar tekad tak akan mampu mengubah kenyataan tersebut.”
Senyumnya kian melebar. “Kau benar. Tekad saja tidak akan cukup untuk membantumu menemukan Joe kembali. Tapi, aku punya lebih dari sekedar tekad. Bahkan, mungkin aku memiliki sesuatu yang bisa membantumu benar-benar menemukannya.”
Kalimat itu berhenti sampai di sana. Senyum yang menghiasi seluruh tubuh bundar Austin terlihat memudar, beralih menjadi sebuah keseriusan yang begitu saja datang. “Tapi …,” ucapku ragu, “pasti ada sebuah taruhan besar untuk sekedar mencobanya?”
Hening. Seluruh debu yang berada di sekeliling kami ikut diam sekedar untuk menunggu jawaban Austin. Perlahan, aku melihatnya menganggukkan tubuh. “Sebuah pencapaian besar pasti akan memerlukan pula pengorbanan yang tidak mudah. Kau sudah pasti tahu akan hal itu.”
Kali ini giliranku yang mengangguk. “Apa taruhannya?”
“Kita anggap saja akan ada dua takdir yang menunggumu di akhir pencarian ini: kau berhasil menemukan Joe atau kalian justru akan semakin jauh berpisah tanpa pernah bisa lagi bertemu.”
Hari sudah semakin siang. Cahaya terang berhasil menyusup jauh lebih banyak dari celah-celah kursi. Membawa garis-garis indah yang tersusun atas beberapa macam spektrum cahaya. Aku tak sepenuhnya mampu mengenali seluruh spektrum cahaya yang dibawa oleh matahari. Namun, aku selalu bisa menikmati kehangatan yang penuh ketenangan ini. Menjadikanku berpikir lebih jernih.
“Jika ada sedikit saja harapan untuk bisa menemukan Joe, aku akan mempertaruhkan segalanya. Kau tahu itu.”
“Aku tahu. Tapi, aku perlu mendengar pernyataan itu keluar dari mulutmu sendiri.”
Kebisingan mulai kembali mengelilingi kami. Puluhan ribu debu ikut berbincang dengan rekan-rekan mereka dan mempertanyakan apa yang mungkin bisa Austin lakukan? Apa yang akan bisa sebutir debu lakukan?
“Dari seluruh usia hidup yang telah kujalani, ada berbagai makhluk lain yang telah kukenal selain para debu. Batu, tanah, air, angin, api. Sebutkan saja semua yang ada dalam pikiranmu, mungkin aku sudah pernah mengenal satu-dua dari masing-masing mereka. Lalu, apa kau tahu, Lu, mereka adalah makhluk-makhluk yang baik hati. Jika kau gunakan sedikit saja perasaan dalam mendengar apa yang seluruh bumi ini nyanyikan, aku yakin kau akan bisa menemukan bantuan yang sangat kau perlukan.
“Kau benar bahwa kita adalah makhluk yang tak akan pernah memiliki energi untuk melakukan upaya apa pun, jika kita melakukannya sendiri. Tapi, bagaimana jika kita mendapat bantuan dari seluruh alam?”
Pada saat itu aku bahkan masih berusaha mencerna apa maksud dari seluruh ucapan Austin yang penuh tanda tanya. Bagaimana caranya aku bisa mendengarkan nyanyian alam? Bagaimana aku bisa mendapat bantuan dari mereka? Aku masih berusaha mencerna kalimat itu satu per satu, ketika suara yang sebelumnya tidak pernah ada, mulai terdengar merdu di telinga. Melodi-melodi yang nyaman untuk didengar.
Tanpa pikir panjang mataku langsung memeriksa sekeliling. Memandangi puluhan ribu debu lain yang masih terlihat sama–tetap tak berdaya. Lantai keramik putih yang terasa hangat berkat sinar matahari. Seluruh sudut, pelosok, dan arah sudah kuperiksa sejauh mata berhasil menangkap. Namun, di seluruhnya tidak berhasil aku menemukan satu pun perbedaan.
Mengapa aku tiba-tiba mendengar nyanyian merdu ini?
“Kulihat kau masih belum menemukan kehadiran mereka.”
“Kau bicara seolah kau tahu siapa yang sedang kau bicarakan. Tapi, sungguh aku tak mengerti satu pun kalimatmu. Aku tak tahu siapa … atau makhluk apa mereka.”
“Sekarang kau mungkin belum tahu apa maksud ucapanku dan siapa yang dari tadi aku bicarakan. Tapi, nanti pengalaman akan mengajarkanmu segalanya. Memperkenalkanmu pada seluruh isi dunia.” Pria itu berhenti bicara sejenak. Sorot tatapnya mengarah pada sesuatu yang berada di belakangku. “Bersiaplah, Lu. Mereka telah datang.”
Aku menjadi semakin bingung. Seluruh ketidaktahuan ini membuatku benar-benar merasa seperti debu bodoh yang baru terlahir kemarin. “Apa maksudmu bahwa aku harus bersiap? Bersiap untuk apa? Dan siapa mere–”
Belum tuntas kalimat itu terucap, tubuhku perlahan mulai terangkat dari permukaan lantai. Terbang melayang dalam balutan angin yang hangat dan bersahabat. Seperti terpeluk dalam buai yang penuh kasih sayang. Tersentuh oleh nyanyian merdu yang dari tadi kudengar.
Terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa. Namun, kali ini semua terasa amat berbeda dari biasanya. Kulihat puluhan ribu debu lain masih tetap berada di bawah sana–tak satu pun ikut terbang bersamaku. Terpana. Seluruh mata tertuju padaku yang tengah terbang melayang. Kucari tempat di mana Austin berdiri tegap. Bergeming dengan wajah yang dipenuhi senyum.
“Austin!” teriakku dalam suara paling nyaring. “Apa yang telah kaulakukan padaku?”
Kulihat pria itu membuka mulut dan juga berteriak lantang, lalu menghias wajahnya dengan senyum yang kian melebar. Akan tetapi, aku tak mampu mendengar satu pun kata yang ia ucapkan. Tertutup oleh merdu suara yang membuat telinga ini terasa nyaman. Hanya bisa menduga atas seluruh ucapannya. Membalas senyum pria itu dengan lengkung bibir paling indah yang bisa menghiasi wajahku.
Sekali lagi aku berteriak dengan suara paling lantang yang mampu keluar, “Terima kasih, Austin. Aku tak akan pernah melupakan kebaikanmu.”
Lalu dalam sekejap, mereka semua tidak lagi tampak dalam pandang. Terganti oleh warna dan bentuk yang sudah begitu lama tidak pernah kulihat.
Terpeluk dalam belai lembut angin yang membawaku terbang jauh lebih tinggi.
Aku akan menemukanmu, Joe!