Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aroma kopi pekat menguar di Kafe Bhumi yang terletak di pusat kota Jakarta siang itu. Angga, pria berusia pertengahan tiga puluh yang mengenakan kemeja bewarna hitam, tengah duduk di salah satu meja. Satu cappucinno telah tersaji, sementara ia menunggu kedatangan Melisa yang telah mengabarkan bahwa ia sudah turun dari Transjakarta dan tinggal menyebrang.
Tidak lama, sesosok gadis dengan hijab bewarna pastel muncul dari balik pintu kafe. Keduanya langsung menemukan satu sama lain mengingat kafe tidak begitu ramai, tersenyum canggung, dan bersamaan menyapa, “Hai,” satu sama lain.
Keduanya saling memperhatikan, setelah satu tahun lamanya mereka tidak bertemu. Angga menemukan Melisa jauh lebih kurus ketimbang satu tahun yang lalu. Sepasang matanya yang biasa terlihat cerah tampak sedikit lebih kuyu, tetapi senyumnya tetap tersungging cerah siang itu. Bagi Melisa, Angga terlihat jauh lebih berisi, terutama di bagian lengan. Rambutnya sedikit memanjang dan menipis di bagian depan, tetapi senyumnya tetap menawan. Selebihnya mereka tidak terlihat berbeda ketimbang setahun sebelumnya.
“Apa kabar?” Angga berucap seraya melepas napas.
“Ya, baik-baik, Alhamdulillah,” jawab Melisa, “Umm, aku pesen dulu kali ya.”
Angga meng-oke-kan. Di dalam hati ia merasa aman saat Melisa menyebut dirinya dengan sebutan ‘aku’. Masih sama, seperti setahun yang lalu. Melisa langsung memesan earl grey tea dingin. Masih sama, seperti setahun yang lalu.
“Tambah cemilan atau makan siang, Mel,” tawar Angga, “Gak laper?”
“Ah enggak, aku udah makan.”
“Ah, sini-sini, aku pesenin.”
Angga memesan satu platter cemilan, Melisa tidak menolak. Banyak yang bisa mereka bicarakan setelah setahun keduanya tidak bersua, dan obrolan mereka harus ditemani oleh satu piring cemilan.
“So...” Angga yang telah selesai memesan cemilan untuk keduanya, seperti biasa, akan memulai percakapan dengan helaan napas panjang, “gimana Inggris?”
Melisa ikut menghela napas, tersenyum pelan, “Ya gitu lah. Ok negaranya. Dingin. Gak kayak Jakarta, panas all the time. Eh… jadi inget…” Melisa kemudian merogoh tas kecilnya, mengeluarkan sebuah oleh-oleh berupa magnet kulkas dan menyerahkannya pada Angga. “Buat kamu.”
“Eh, gak usah ngerepotin, Mel.” Walaupun dalam hati Angga sedikit senang, karena Melisa menyempatkan untuk membelikannya oleh-oleh.
“Ah, bukan apa-apa kok. Aku punya banyak aja di rumah. Terus pas kamu ajak ketemuan, ya aku pikir gak mungkin aku dateng gak bawa sesuatu, kan?”
“Ok, thanks ya.” Sepasang matanya masih memperhatikan Melisa yang kentara tidak mencoba untuk balas menatap Angga. “Sorry to say, tapi kamu sangat lebih kurusan deh. Ok ok, mungkin aku kedengeran kayak orang yang gak tahu caranya basa-basi, dan mungkin kamu sering denger—“
“It’s ok. Emang kurusan banget kok. Gak ada nasi padang di Inggris.”
“Hahaha, iya, katanya makanan di sana cenderung bland ya?”
“Ya makanya Eropa ngejajah Indonesia, kan?”
Suasana jauh lebih cair saat keduanya mulai nyambung dengan candaan mereka yang sefrekuensi.
“Bangga banget akhirnya nambah satu temen lulusan Inggris,” Angga berucap tulus, “Congrats ya.”
Melisa menghela napas panjang, menggedikan bahunya, “Gak nyangka bisa lulus sih. It’s really tough, there.”
“Mmm, really?”
“Yeah, of course. Aku ke Inggris kan bukan buat liburan. Aku di sana kuliah, mikirin tugas banyak lah, belum lagi coba untuk adaptasi diri. Homesick-lah, anxious sana-sini lah…” Melisa mengangkat tatapannya, sementara Angga balas menatap Melisa dengan tatapan serius. Bahwa Angga ingin tahu lebih banyak kisah Melisa di Inggris sana.
“Do tell me,” Angga serius ingin mendengar, dan Melisa tahu Angga akan mendengarnya.
“Yeah… aku kan selalu kepengen kuliah di luar negri ya. Since a long time ago. Kayak… aku ngerasa itu mimpi yang gak mungkin. Jadi pas ngedapetinnya aku kayak, euphoria or something. Tapi ya ternyata, walaupun aku udah dapetin mimpi itu, turns out… aku gak bisa bilang kehidupanku di Inggris as the best moment of my life.”
Terdapat jeda dari obrolan mereka saat sang pelayan menyajikan pesanan earl grey tea dan platter cemilan yang mereka pesan.
“Makan, Mel,” tawar Angga, dan Melisa mengambil satu potong chicken nugget dan menyeruput sedikit teh-nya.
“Jadi ya gitu lah…” lanjut Melisa, “aku kedengeran kayak gak bersyukur yaa.”
Angga menggeleng, “Na’ah, ya… gak bisa dibilang begitu juga sih. Aku ngeliat beberapa IG story kamu kayak bahagia-bahagia aja. Stonehenge, gimana tuh pas lihat Stonehenge untuk pertama kalinya?”
“Batu doang! Mending candi-candi di Indonesia deh,” Melisa langsung tertawa, “Tapi ya amazing sih. Banyak yang bisa kunikmatin juga. Tapi yaa…”
Angga tidak menyela, ia menunggu Melisa untuk bercerita.
“…kamu pernah minum tranquilizer gak sih?”
“Mmm, gak sih.”
“Aku selama di Inggris minum itu buat redain anxiety-ku.”
Angga masih mencerna. Ia tahu bahwa Melisa memang sering merasa anxious selama ia mengenalnya. “Separah itu ya?”
“Separah itu. Aku gak pernah tahu aku bisa jadi histeris karena isi kepalaku sendiri.” Melisa membuat jeda, “Ah kok, jadi aku cerita gini sih ke kamu.”
“Eh, gakpapa cerita aja.”
“Ya gitu ‘Ngga. Aku ngerasa aneh aja. Aku udah dapetin cita-citaku kan buat ke Inggris, tapi sampe di sana… aku gak bisa tenang gitu lho. Kayak, ini bener keputusan terbaik yang aku pilih? Umur aku kan udah gak muda lagi ya. Sementara kita tahu sendiri di Indonesia lagi gak buka lowongan banyak-banyak. Aku bener-bener punya ketakutan, setelah aku mengantongi ijazah-ku di Inggris, aku malah jadi useless karena gak banyak lowongan di Indonesia.”
“Tapi… sekarang kamu udah dapet kerjaan kan?”
“Udah sih. Tapi pas di Inggris kan aku justru kepikirannya ke sana. Padahal kerjaanku udah settle sebelum aku berangkat. Belum lagi kepikiran soal nikah dan kawan-kawan. Aku sampe bilang ke orangtuaku buat jodohin aku sama siapa aja. Pasrah kalau sekarang.”
Baik Angga dan Melisa saling bertatapan saat gadis itu bicara soal pernikahan. Ada kecanggungan yang tidak terlihat, hanya menguar di meja yang mengelilingi mereka.
“Ok enough about me deh ya…” Melisa memutuskan untuk mengganti obrolan, “Kamu sendiri gimana?”
“Ya, kamu tahu sendiri lah.”
“Enggak, aku gak tahu,” Melisa menatap Angga lekat, “Aku beneran kaget pas kamu bilang gak jadi nikah.”
Angga menyeruput kopinya, karena ia tahu untuk sekarang giliran dia yang bercerita. “Yaaa… namanya juga bukan jodoh Mel.”
“Tapi kok bisa gitu? I mean—gimana ceritanya?”
“Hmm, yaa… sebenernya aku bisa bilang terlalu terburu-buru sih. Aku kenalan sama mantan tunanganku itu di Bumble. Kita match, aku ajak ketemuan, dan kita langsung obrolin ke arah sana. Kita ngerasa kita cocok lah, sevisi, dan gak lama kita tunangan. Turns out… anakku gak suka sama dia.”
“Anakmu Rangga? Si Angga junior?”
“Ya siapa lagi. Anakku baru satu.”
Melisa masih ingat saat melihat IG story Angga yang menunjukkan pertunangannya, sekitar lima bulan yang lalu.
“Ya udah deh. Aku coba menengahi antara Rangga dan mantan tunanganku itu, dan mereka gak bisa cocok. Aku juga bilang ke dia kalau aku gak bisa mengorbankan kebahagiaan Rangga, karena aku menikah juga untuk cari sosok ibu buat dia, kan? Diobrolin, blablabla, akhirnya bubar-bubar-bubar deh. Habis itu IG story-ku kalau gak isinya aku ngegalauin hubunganku yang lagi-lagi kandas, soal krisis eksistensi, atau meme-meme sarkas.”
“Oh… aku gak tahu lho soal itu.”
“Yep,” Angga paham, “aku merhatiin kamu gak pernah nge-view IG story aku lagi sejak aku tunangan.”
Melisa benar-benar ingat saat itu. Percakapan online-nya dengan Angga memudar semenjak kepergiannya ke Inggris, dan ditutup saat ia mendapati bahwa Angga telah bertunangan.
“Jadi gini…” Melisa melanjutkan, “kehidupanku di Inggris udah berat. Kuliah dan semacamnya. Aku fixated juga kadang sama sosmed, kan? Aku akhirnya ke psikolog kampus lah untuk cari solusi, karena Alhamdulillah di kampusku ada. Aku konsul ke psikolog, dia nyaranin aku untuk deactivate Instagram dan lapor ke dia setiap seminggu sekali karena aku punya kecenderungan untuk balik ke adiksi nge-sosmed-ku itu.”
Angga tahu Melisa tidak sepenuhnya jujur. Karena ia tahu, di saat yang sama, Melisa masih sering update Instagram story-nya.
“Eh… gak sepenuhnya gitu sih,” Melisa yang tiba-tiba sadar bahwa ceritanya tidak sepenuhnya benar, “intinya, aku coba meminimalisir adiksiku sama Instagram. Karena jujur, aku bener-bener pernah meledak histeris karena ngeliat IG story orang-orang.”
“Tapi sekarang udah baikan, kan?”
“With tranquilizer, rutin ke psikolog seminggu sekali, dan doa setiap saat. Alhamdulillah udah baikan.”
“Great, I’m glad you feel better.”
“But still, cegil alert banget aku tuh.”
Angga menggeleng, “Jangan mengecilkan apa yang kamu rasakan, Mel.”
Melisa tertawa, menghela napas panjang, “Yah, setahun bisa banyak kejadian yang gak disangka-sangka ya.”
“Yup, tapi aku seneng kamu balik. Ada rencana lanjut kuliah lagi di luar atau kerja di luar?” tanya Angga serius.
Melisa menggeleng. “Aku kepengen tenangin semua hal dulu. Balik kerja lagi, ngurus apartemenku lagi, nata perasaanku lagi. Mencoba bersyukur, karena secarut-marutnya Indonesia, ini rumahku.”
“So, udah selesai nih jadi Melisa yang ambisius?”
“Sekarang lebih ke slow down. Aku mau dengerin kata hatiku yang sebenar-benarnya. Karena aku gak mau terjebak sama anxiety-ku lagi.”
“What’s next?”
“I don’t know. Kerja dulu deh, menjalani hidup. Kamu?”
“Ya sama menjalani hidup aja.”
Baik Angga dan Melisa menghabiskan sedikitnya satu menit untuk meresap informasi yang keduanya dapatkan. Dekorasi dan suasana Kafe Bhumi siang itu tidak banyak berbeda. Baik capuccino yang diseruput Angga, dan juga earl grey tea yang diminum Melisa, semuanya masih sama seperti pertama kali keduanya rasakan di saat kencan pertama Angga dan Melisa, dua tahun yang lalu. Setelah keduanya bertemu di aplikasi Bumble dan cocok satu sama lain.
“Boleh tanya gak?” Melisa membuka pertanyaan, “Kamu sama mantan tunangan kamu itu match-nya sejak kapan?”
“Mmm… mungkin sekitar sebulan atau dua bulan setelah kamu ke Inggris kayaknya.”
“Oh, really?” Melisa terkejut, “aku kira udah sejak lama.”
“Enggak, ya aku baru main Bumble lagi setelah kamu berangkat ke Inggris.”
“Seriously?” Melisa terlihat kaget. “Aku selalu ngira kamu gak pernah berhenti main Bumble bahkan setelah kita match.”
“Heee, enggak lah. Ya pas kita match, ngobrol, cocok… aku udah jarang nengok Bumble lagi. Emang kamu, yang gak pernah berhenti swipe right.”
Nyatanya benar demikian. “Tapi ya… aku gak pernah nge-date sama siapapun selain kamu walaupun aku coba swipe right banyak orang. Kalau kamu kan beda, udah swipe right, langsung ajak nikah mantan tunangan kamu itu.”
“Nope, ya pas sama kamu aku fokusnya ngobrol sama kamu aja.”
“Yep, ngobrol. Kita kan cuman temen ngobrol, temen main game bareng, temen jalan itu juga tiga bulan sekali doang…”
“Ummm…” Angga mendengus pelan, “ya gimana. Dari awal aku udah tahu kamu lagi ngejar beasiswa. Paling masuk akal ya kita jadi temen aja. Apalagi pas aku tahu kamu dapet beasiswa di Inggris. Aku ngerasa gak ada harapan. Pas kamu udah di sana, aku cek profile Bumble kamu, location-nya udah di Inggris. Ya udah… aku cari yang lain.”
“Wait…” Melisa mencoba mencerna ucapan Angga, “really?”
“Ya iyalah, Melisa, aku harus logis setelah berbulan-bulan kayak orang galau. Jadi ya aku langsung gerak cari yang lain.”
“Galau?” Melisa mengulang. “Kamu galau karena aku ke Inggris maksud kamu?”
“What do you think?”
“I don’t know. Aku selama ini gak pernah ngerasa kamu serius sama aku. Dan pas kamu tiba-tiba pasang story tunangan, jeder lah. Dulu kita jalanin apapun itu yang kita jalanin setahun dan gak jelas, tiba-tiba kamu pasang story tunangan sama perempuan lain.”
“Ya, karena kita gak ada baseline dari hubungan kita. Makanya pas aku ketemu Putri, mantan tunanganku itu, aku langsung state baseline-nya karena aku gak mau kayak orang galau pas sama kamu.”
Angga dan Melisa saling bertatapan satu sama lain, mencerna satu lagi informasi yang mereka dapatkan.
“Aku—aku jujur bingung sih,” Melisa mengungkapkan, “ya, bingung aja. Kayak sama kamu tuh maju mundur banget. Aku pun udah lama gak nge-date-kan? Terus kupikir obrolan kita gak akan intense, but the truth is, emang gak pernah intense. Kita nyaris tiap hari call buat cuman main game doang. Gak pernah jelas arah hubungan kita. Dan itu buat aku semakin ambisius untuk ngejar beasiswa karena kamu gak jelas.”
Angga terdiam, menatap Melisa lekat.
“Tapi ya, kamu emang gak pernah serius kan, ‘Ngga’, sama aku?”
“Aku baru cerai, Melisa, terus aku ketemu kamu. Kita cocok, hobi kita sesuai, aku ngerasa nyaman. Tapi kamu tiba-tiba cerita kalau kamu lagi ngejar beasiswa. Aku—aku pas itu lagi mencoba untuk nyembuhin diri dari perceraianku yang brutal. Anakku butuh aku. Aku—aku masih bingung… sementara aku melihat kamu seperti sosok yang akan pergi lagi dari kehidupanku.”
“Oh my God…”
“Well, I’m so sorry.”
“Kamu tahu sebrutal apa anxiety-ku muncul gara-gara ngeliat story pertunangan kamu? I was like—kamu deketin aku selama setahun gak pernah diseriusin.”
Angga menunggu sampai Melisa selesai bercerita.
“I feel I’m not worthy. Sementara aku di sana kebingungan soal masa depan. Obrolan kita tiba-tiba mereda. My life almost crumbled when I saw you engaged with someone else! Aku langsung overthinking, kenapa aku gak di Indonesia aja? Tapi apa gunanya juga di Indonesia kamu juga gak pernah nyeriusin? Aku ngerasa gak good enough karena kamu menyia-nyiakan waktu setahunku cuman buat dapetin kamu tunangan sama orang lain!”
“I’m so sorry…”
“You never choose me!”
“Because you choose your dream, Melisa. You don’t choose me either.”
Nyatanya demikian. Baik Melisa dan Angga terjebak dalam diri mereka yang bertanya-tanya tentang hubungan mereka.
“Ya udah…” Melisa memutuskan menyelesaikan perdebatan mereka, “tho dari awal emang kita sama-sama gak milih satu sama lain, kan? We’re both just wasting our time.”
“Yes, but at least you’re graduated. Aku tetep gak punya istri.”
“Well, I don’t have anyone either beside me. So what? Tho aku ke Indonesia balik lagi kayak biasanya. Kerja dengan gaji yang nambahnya gak seberapa itu.”
“So, what now?” tanya Angga.
Melisa menatap Angga, tidak yakin maunya apa kali ini. Ia mengeluarkan ponsel dari tasnya, membuka sebuah aplikasi game yang biasa mereka mainkan. “Kamu udah lama gak online, kan?” Melisa membuka friendlist game yang biasa mereka mainkan. Profil Angga menunjukkan bahwa ia telah offline sejak lama.
“Ah, aku bisa install ulang sekarang. Wait, aku minta password wifi dulu yak.”
Tidak lama, Angga me-install ulang game yang biasa keduanya mainkan. Melisa bersandar pada kursi, menyeruput earl grey tea-nya seraya mengeluarkan tranquilizer dari dalam tas-nya. Angga memperhatikan dengan seksama botol obat, dan segera mengambilnya.
“Don’t drink it.”
“What? No. Aku kebantu banget tauk gara-gara ini.”
“Nope, ntar ketagihan,” Angga tetap melarang Melisa untuk minum. “I will make sure that you will never need that again.”
“How?” tanya Melisa.
Layar smartphone Angga menunjukkan bahwa ia telah selesai mengunduh game yang biasa mereka mainkan.
“Let’s play…”