Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tak ada tanda. Tak ada suara. Tapi kereta itu berhenti. Seperti keputusan yang diambil tanpa alasan jelas. Raya membuka matanya. Tak ada pengumuman, tak ada petugas. Hanya lampu redup dan suara besi yang perlahan menjauh.
“Stasiun mana ini?” gumamnya. Tak seorang pun menjawab.
Di balik kaca jendela, seorang perempuan tua menatapnya. Atau mungkin hanya pantulan bayangannya sendiri. Ia turun, meski tak yakin mengapa. Malam itu menggantung seperti lubang. Tidak gelap pekat, tapi samar—seolah waktu sedang ragu untuk bergerak.
Lalu dia muncul.
Seorang pria berdiri di bawah tiang lampu yang berkedip pelan, seperti sedang menunggu sesuatu yang tak pernah dijanjikan datang. Wajahnya datar, tapi matanya mengandung sesuatu yang sulit ditafsirkan—bukan ramah, bukan asing, hanya... akrab.
“Namamu?” tanyanya.
“Raya,” jawabnya.
“Kau penyair, kan?”
Raya diam. Ia tidak pernah merasa mengatakan itu, tapi juga tidak heran mendengarnya. Kalimat itu terdengar seperti rahasia yang telah lama ia tahu, hanya belum sempat diucapkan.
“Aku Noe,” katanya. “Sedang transit juga. Menuju tempat yang tak terlalu penting.”
Tidak ada senyum. Tapi tidak juga dingin. Kata-katanya mengambang di udara seperti potongan puisi yang belum selesai. Raya merasa ingin tertawa, tapi tidak lucu. Pria itu berdiri seperti seseorang dari sajak lamanya yang tak pernah selesai.
“Ayo,” ucap Noe. “Kota ini tak punya peta, tapi kita bisa tetap tersesat bersama.”
Dan Raya mengikuti. Bukan karena percaya, tapi karena tubuhnya memutuskan lebih cepat daripada pikirannya.
Malam itu, kota terlihat seperti panggung yang lupa skenario. Trotoar-trotoar sunyi, lampu-lampu jalan menyala tanpa keyakinan, dan dua tokoh berjalan masuk ke adegan yang bahkan Tuhan belum sempat tulis.
“Pacarku tinggal enam jam di belakang,” kata Raya. Suaranya seperti bunyi sandal yang lembap. “Saat aku bangun, dia tidur. Saat aku tidur, dia baru bangun. Kami berseberangan. Seperti dua tangan jam yang tak pernah bertemu.”
Noe mengangguk. Tapi seolah tak mendengar. Atau terlalu paham.
“Jadi kau selalu menunggu?”
“Iya,” katanya. “Aku tidur dengan ponsel di dada. Bangun karena notifikasi. Dan kecewa karena itu bukan dia. Kadang aku pikir, mungkin dia hidup di waktu yang salah. Atau aku yang salah hidup.”
Noe tertawa pelan.
“Aku juga tidak bebas.”
“Oh?”
“Ada seseorang. Tapi aku tidak tahu apakah dia kekasihku, atau hanya... seseorang yang terus bertanya kenapa aku tidak pulang.”
Raya tidak menjawab.
“Kami tinggal di kota yang sama,” lanjut Noe, “tapi rasanya seperti beda planet.”
Mereka berhenti di bawah lampu jalan yang kelap-kelip seperti kelilipan debu.
“Kalau begitu kenapa kau di sini?” tanya Raya.
“Karena kau di sini.”
“Baru malam ini.”
“Dan itu cukup.”
Tidak ada angin. Tapi baju mereka tetap berkibar. Mungkin karena waktu sedang menahan napas.
Hujan turun tanpa permisi. Seperti emosi yang tidak diajak bicara.
Kami masuk ke sebuah kedai kopi 24 jam yang terlalu terang untuk dini hari. Wangi kopi dan sisa rokok menggantung.
Seorang barista tidur di balik kasir. Kopi kami datang sendiri, entah siapa yang membuat.
“Kau pernah merasa jadi tempat bersandar orang lain?” tanya Noe.
Raya meniup uap kopinya. Tidak menjawab.
“Aku sering,” lanjutnya. “Telingaku seperti halte. Semua orang berhenti, bercerita, menangis, menjerit. Lalu pergi. Tapi saat aku butuh... tidak ada halte buatku.”
Dia tertawa. Ringan. Tapi tawa yang seperti dilempar ke dinding.
“Kau tidak pernah bicara ke siapa pun?”
“Kepada siapa? Mereka hanya tahu aku kuat. Jadi saat aku bilang aku capek, mereka pikir aku bercanda.”
Raya menatapnya lama.
“Kalau aku boleh jujur,” katanya, “aku bahkan sudah lupa cara bersandar. Selalu kuat. Selalu baik-baik saja. Sampai aku tidak tahu bentuk ‘tidak baik-baik saja’ itu seperti apa.”
Di luar, hujan mengguyur genting dengan ritme yang aneh—tidak rata, tidak bisa ditebak.
Mereka tidak bicara. Tapi diamnya terasa lebih gaduh daripada percakapan.
Waktu seperti malas bergerak. Atau mereka yang diam-diam ingin malam ini tak selesai.
Mereka berjalan tanpa arah. Trotoar basah memantulkan cahaya lampu jalan, seperti cermin retak yang tetap ingin memperlihatkan wajah kami.
“Aku merasa aneh,” kata Raya.
“Karena?”
“Karena merasa terhubung padamu. Padahal kita bahkan belum tahu nama tengah masing-masing.”
Noe mengangguk.
“Mungkin nama tengahku adalah kamu.”
Mereka tertawa. Tapi tawa itu seperti air yang dibuang dari ember bocor—sebentar, lalu hilang.
Taman itu sepi. Bangku taman dingin. Bau tanah basah seperti kenangan yang belum selesai dikubur.
“Aku mencintai seseorang,” kata Raya pelan, “yang sudah terikat dengan orang lain. Dan aku... tidak bisa berhenti.”
Noe diam.
“Dia selalu kembali,” lanjut Raya. “Tapi hanya kalau dia sedang butuh. Seolah aku ini stasiun pengisian ulang emosinya.”
“Dan kau membiarkan itu.”
“Karena cinta tak tahu cara melindungi diri.”
Noe menunduk. Tangannya menggenggam lutut sendiri.
“Kau tahu,” katanya, “aku juga begitu. Aku berpikir, kalau aku sabar, suatu hari orang itu akan memilihku. Tapi yang kupilih bukan cinta—yang kupilih adalah luka yang tak pernah selesai.”
Mereka tertawa lagi.
Lama.
Lalu hening.
Lalu tangis datang, tanpa aba-aba.
Seperti bocor di atap rumah. Pelan, tapi konstan.
Tidak ada yang saling menghibur. Karena yang bocor bukan air mata, tapi isi dada.
Halte tua itu nyaris roboh. Bangkunya karatan, catnya mengelupas seperti kulit lelah yang menunggu ganti musim.
Noe duduk, menatap hujan yang tersisa. Matanya tidak ke mana-mana, tapi juga tidak benar-benar di sini.
“Aku ingin jujur.”
Raya diam, menunggu.
“Aku... orang kedua dalam hubungan orang lain.”
Tak ada petir. Tapi suara itu seperti membelah ruang.
“Sudah bertahun-tahun,” lanjutnya. “Aku tahu ini salah. Tapi setiap kali aku menjauh, dia datang lagi. Dan aku seperti anak kecil yang dikasih mainan lama, tapi tetap senang.”
Raya menatap jalan kosong.
Noe melanjutkan, suaranya pecah tapi tidak bergetar.
“Aku memetik bunga yang bukan milikku.”
Raya menoleh pelan.
“Tapi kamu membuat bunga itu mekar kembali.”
Sunyi. Bahkan hujan pun seperti berhenti sebentar untuk mendengar.
Noe tertawa, lelah.
“Kalimat itu bisa membuatku menangis.”
Raya menggenggam lengan jaketnya sendiri.
“Aku tahu rasanya. Dicintai hanya setengah, tapi berharap penuh.”
“Lalu kenapa kita tetap memilih luka?”
“Karena luka tidak pernah pergi. Dan cinta—kadang cuma datang kalau ada luka.”
Halte itu jadi ruang pengakuan, tanpa pendeta, tanpa pengampunan. Hanya dua manusia, menumpuk beban pada udara yang sudah berat.
Tempat makan itu hanya beratap seng. Bau gorengan, mie rebus, dan hujan bercampur jadi satu.
Kami duduk di kursi plastik yang oleng. Di meja, ada botol saus yang lengket.
“Kadang aku mikir,” kata Noe, “kalau aku nggak bisa jagain dia… siapa yang bakal gantiin aku?”
Raya tidak menjawab. Hanya menatap asap dari gelas teh manis yang menggulung ke udara seperti doa yang gagal naik.
“Dan lucunya,” Noe melanjutkan, “aku cemburu. Padahal aku sendiri bukan siapa-siapa dalam kisahnya. Aku cuma jeda.”
Raya tersenyum. Pahit.
“Aku pernah juga,” katanya. “Diam-diam benci seseorang yang bikin dia ketawa. Padahal aku nggak punya hak.”
Noe menatap wajahnya. Untuk pertama kali, tak berani menatap mata.
“Kita ini,” bisik Noe, “sama-sama nyimpan cinta kayak nyimpan lilin di lemari. Nggak pernah dinyalain. Tapi juga nggak mau padam.”
Uap dari makanan mengaburkan pandangan. Atau mungkin mata yang mulai basah.
“Lucu ya,” kata Raya. “Kita berdua duduk di sini, mengeluh tentang orang lain. Tapi tetap menyayangi mereka lebih dari kita menyayangi diri sendiri.”
“Dan tidak ada yang tahu kita bicara malam ini.”
Mereka tertawa kecil. Tapi tawa yang tahu batas waktunya.
Di seberang jalan, ada jam kota yang rusak. Jarumnya diam di pukul 3. Seperti malam ini yang tidak mau bergerak maju.
Toko buku itu tidak punya nama. Hanya lampu kuning pucat dan papan kayu yang miring.
Mereka masuk tanpa berkata apa-apa. Di dalam, rak-raknya tinggi dan berdebu. Bau kertas tua dan waktu yang mengendap.
“Tempat seperti ini,” kata Noe, “kayak dunia lain. Semua cerita di sini... nggak pernah benar-benar selesai.”
Raya menyusuri rak demi rak. Jarinya menyentuh punggung buku-buku dengan hati-hati, seperti mengusap luka yang hampir sembuh.
Di pojok, dia duduk bersila. Membuka buku puisi kecil.
Ia membaca pelan.
“Rindu yang tidak pernah kau tahu...
tetap tumbuh seperti lumut,
diam, tapi membekas.”
Hening. Hanya detik jam dinding yang seperti napas terakhir.
Noe duduk di seberangnya.
“Kenapa kamu tetap tinggal,” bisiknya, “walau tahu kamu tak dipilih?”
Raya menutup buku.
Tersenyum kecil.
“Karena hati bukan pertanyaan logika.”
Noe tidak membalas. Tapi dadanya terasa penuh.
Mereka diam.
Rak buku menjadi saksi. Sunyi malam menyelimutkan mereka seperti selimut yang robek.
Lalu Noe memejamkan mata.
Dan untuk sesaat...
dunia berhenti bertanya.
Atap gedung parkir itu kosong. Kota Jakarta tampak jauh di bawah sana, seperti lautan lampu yang tenggelam dalam kabut.
Mereka duduk berdampingan, saling berbagi earphone yang sama.
Lagu itu mulai terdengar. Tentang mencintai seseorang yang mencintai orang lain.
Noe mendengarkan dengan mata yang terpejam. Raya juga begitu. Musik itu seperti pisau yang perlahan-lahan mengiris kenangan.
Mereka berpegangan tangan. Tidak ada kata, hanya getar dari jari-jari mereka yang menyatu dalam kebisuan.
Lalu, dengan perlahan, tangan itu terlepas.
“Tapi kita tahu kan?” Raya berbisik. “Ini bukan untuk kita. Cinta ini... hanya untuk diceritakan, bukan untuk dimiliki.”
Noe tidak menjawab. Ia hanya mengangguk.
Obrolan mulai mengalir lebih pribadi, semakin tajam.
“Kisahku benar-benar rusak,” kata Noe. “Aku jadi orang ketiga. Kadang aku merasa seperti pecahan kaca di hidup mereka. Tak ada yang utuh lagi.”
Raya tertawa pelan. Tertawa yang pahit.
“Lihat aku, Noe. Aku… Aku memendam cemburu pada seseorang yang bahkan tidak tahu aku ada. Dan aku terus menunggu. Seperti bodoh.”
Air mata Noe jatuh diam-diam. Ia menghapusnya dengan cepat, tapi Raya melihatnya.
“Kenapa kita membiarkan diri kita disakiti?” Noe bertanya.
Raya menggigit bibirnya. Ia tahu jawabannya, tapi tidak bisa mengatakannya.
“Karena itu... satu-satunya cara kita merasa hidup,” jawab Raya akhirnya, dengan suara yang hampir hilang.
Mereka saling menatap. Tidak ada kata-kata. Tapi keduanya tahu, mereka baru saja mengungkapkan segalanya tanpa perlu melanjutkan kalimat.
Tangan mereka tidak saling meraih lagi. Hanya ada jarak yang memisahkan—tapi jarak itu terasa lebih nyata daripada apapun.
Mereka duduk di jembatan rel tua. Rel itu sudah lama tak dilalui kereta, namun deritanya tetap terdengar, seperti masa lalu yang tak mau pergi.
Raya memandang ke bawah, ke arah air yang mengalir perlahan.
“Melepaskan itu sulit, Noe. Aku sudah mencoba, tapi hatiku bandel. Dia tetap ada di sini.”
Noe tidak menjawab. Hanya memandang rel yang memanjang di depannya, seolah menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.
“Aku nggak bisa janji akan berubah,” kata Noe akhirnya, pelan. “Aku tahu ini cuma sebentar. Tapi... aku juga nggak bisa mundur.”
Raya menoleh, menatap wajahnya. Ada sesuatu di mata Noe—sesuatu yang paham bahwa waktu mereka sangat terbatas.
“Kita cuma punya malam ini,” Raya berkata. “Dan besok, semua akan kembali seperti semula.”
Noe mengangguk. Mereka tahu. Semua tahu.
Saat malam hampir habis, mereka berdua berjalan ke taman. Duduk di bangku yang sudah tua, yang hanya bisa menampung dua tubuh yang lelah.
Mereka rebahan, membiarkan tubuh mereka tenggelam dalam kenyamanan yang aneh.
“Mimpi apa yang kamu punya, Noe?” tanya Raya, suara lembut mengisi malam yang semakin sepi.
“Mimpi tentang cinta yang bebas,” jawab Noe. “Mimpi bertemu di tempat lain, di waktu yang lebih adil.”
Raya tertawa pelan, meskipun ada kekosongan di matanya.
“Itu utopia,” katanya. “Tapi... setidaknya, itu bisa jadi tempat beristirahat.”
Mereka terdiam, membiarkan mimpi itu mengalir begitu saja, tak terburu-buru.
“Aku ingin beristirahat di sana,” kata Noe akhirnya. “Di tempat yang bebas.”
Raya mengangguk. Mereka berdua tahu, meski utopia itu tak pernah ada, malam ini adalah sebuah pelarian. Sebuah ruang yang cukup untuk menyembuhkan luka yang tak akan pernah sepenuhnya hilang.
Pagi itu datang dengan pelan, seperti malam yang tidak ingin pergi. Kota mulai terbangun, tapi mereka masih terdiam di bangku taman, di tempat yang sudah semakin dingin.
Raya duduk lebih tegak, membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah amplop tua.
“Ini... surat yang dulu kutulis untuknya,” kata Raya, suaranya hampir hilang. “Tapi tak pernah kuteruskan.”
Noe menatap surat itu, tapi tidak bertanya. Raya mulai membacanya, suaranya mengalun pelan, penuh ketenangan.
“Kalau suatu saat kamu baca ini, berarti aku sudah belajar mengikhlaskan tanpa harus membenci.”
Noe diam, mendengarkan setiap kata dengan seksama. Ada ketenangan di dalam dirinya, seperti mencari sesuatu yang hilang.
Raya menutup surat itu dan menatap Noe. “Aku baru merasa bisa berkata itu sekarang.”
Noe mengangguk. Tidak ada yang berkata lebih banyak. Mereka tahu ini adalah akhir dari sebuah perjalanan yang tak bisa diulang.
Raya menatapnya, dan dalam sekejap mata, mereka hampir berciuman—hanya sebuah detik yang panjang, sebuah perasaan yang menggantung di udara.
Tapi Noe menarik diri. “Kita akan rusak kalau melewati batas,” katanya dengan suara pelan, namun tegas.
Raya tertawa kecil, sedikit gugup. “Aku memang gegabah nomor satu.”
Mereka saling menatap. Hanya ada keheningan yang menggantung, tidak ada kata yang keluar.
Tidak ada yang berani melangkah lebih jauh.
Dan mereka tahu, dengan penuh kesadaran, bahwa ini adalah bagian dari perpisahan yang sebenarnya. Bukan karena mereka tidak ingin lebih, tetapi karena mereka tahu bahwa ada ruang yang lebih besar dari cinta yang bisa mereka berikan—ruang untuk melepaskan, tanpa kehilangan diri sendiri.
Kereta Noe akhirnya tiba. Waktu sudah habis, dan mereka berdiri di peron, tak banyak bicara.
Raya memandang Noe dengan mata yang penuh makna—perasaan yang tak bisa dijelaskan.
“Malam ini akan kusimpan seumur hidupku,” katanya, suara lembut namun penuh keteguhan. “Tapi aku tak akan menuntutmu hadir lagi.”
Noe hanya mengangguk, tidak ada kata-kata yang keluar. Kereta itu mulai bergerak, meninggalkan mereka di peron yang sepi.
Dua bulan berlalu, dan Raya menyelesaikan sebuah buku puisi yang sudah lama ingin ia tulis—“Langit Tak Pernah Sama di Dua Kota.” Buku itu berisi perasaan yang ia simpan, dan mungkin, tanpa sadar, puisi-puisi itu adalah cara Raya untuk mengungkapkan apa yang tak pernah bisa ia katakan langsung.
Suatu hari, Noe masuk ke sebuah toko buku tua, dan matanya tertumbuk pada sampul buku itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka halaman pertama. Hanya ada satu kalimat:
"Kita mungkin hanya sebuah jeda. Tapi kau jeda terindah yang membuatku akhirnya berhenti."
Noe menutup buku itu perlahan. Tidak ada air mata, hanya sebuah senyum yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Sesuatu dalam dirinya terasa lega. Mungkin ini adalah cara mereka untuk berakhir—sebuah kenangan yang tak perlu dilanjutkan, namun akan selalu ada.
Dan meskipun mereka tidak lagi saling mencari, Raya dan Noe tahu bahwa perjalanan mereka, meski singkat, akan selalu hidup dalam kata-kata yang mereka tinggalkan. Karena kadang, perpisahan bukan berarti akhir dari segalanya, tetapi justru awal dari sesuatu yang lebih indah, yang tetap mengisi ruang di hati mereka—selamanya.