Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit sudah lama kehilangan warnanya. Tidak lagi biru, tidak pula kelabu yang menyejukkan. Ia kini lebih menyerupai kain bekas yang dijemur terlalu lama, kusam dan pudar. Sisa dunia yang pernah hidup kini hanya berupa siluet-siluet retak, tiang listrik bengkok, jendela pecah, bangunan dengan coretan "SELAMATKAN DIRI SENDIRI" yang nyaris mengelupas. Tak banyak yang tersisa.
Di tengah kehancuran itu berdiri sebuah kedai kopi kecil.
Namanya “Emo Roastery” tertulis miring di papan tua yang nyaris lepas dari engselnya. Sebagian hurufnya menghitam karena terbakar, sebagian lagi dipenuhi debu atom yang tak pernah bisa dibersihkan. Namun di balik pintu kayu yang mulai lapuk, kedai itu tetap hidup, atau setidaknya berusaha.
Di dalamnya, aroma kopi masih bergentayangan, menempel di dinding dan plafon, seolah menolak mati bersama dunia.
Seorang pria berdiri di balik meja bar kayu tua. Tubuhnya jangkung, bahunya lebar tapi tak lagi gagah. Rambutnya mulai memutih di sisi kanan, dan tangannya bergetar sedikit saat memegang kain lap, gerakan refleks yang sudah menjadi ritual.
Dia mengelap gelas yang sama untuk ketiga kalinya pagi itu. Tak ada tamu, tak ada suara selain denting kecil dari mesin penggiling biji kopi tua yang sesekali berdecit lirih, seperti napas terakhir makhluk purba.
“Terlalu sepi untuk hari kiamat,” gumamnya.
Dia menatap jendela yang retak-retak s...