Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Embun untuk Daun
1
Suka
23
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Embun Karisma menghela napas panjang begitu langkah kakinya berhenti di depan pintu kaca besar bertuliskan "Semesta Ide". Gedung startup tempat ia bekerja selama lima tahun terakhir itu masih terasa seperti rumah keduanya. Ia mengenal setiap sudutnya, dari ruang brainstorming yang dindingnya penuh coretan spidol warna-warni, sampai pantry tempat kopi instan menjadi penyelamat ide-ide mentok.

Pagi ini, ia datang lebih awal dari biasanya. Bukan karena tenggat proyek atau presentasi penting, tapi karena HR mengiriminya pesan semalam—sebuah pemberitahuan bahwa akan ada karyawan baru di divisinya. Laki-laki. 25 tahun. Namanya: Daun Laksana. Dan yang paling membuat Embun menyesap kopinya lebih cepat dari biasanya adalah satu kalimat di akhir pesan itu:

“Kak Embun akan menjadi mentor sekaligus penanggung jawab Mas Daun selama masa percobaan tiga bulan, yaa. Semangat!”

Mentor. Lagi.

Ia bukan tak suka membimbing, tapi kadang... yang muda-muda itu terlalu berisik. Terlalu enteng. Terlalu “ya ampun Kak Embun, kok serius banget sih hidupnya?” Dan itu menyebalkan. Ia punya reputasi sebagai kepala divisi yang tegas, fokus, dan jarang bercanda. Mungkin agak intimidating, kata beberapa orang baru. Tapi semua ide gila yang pernah berubah jadi proyek besar di Semesta Ide selalu lahir dari ruangannya. Dia bukan kepala divisi karena usia—tapi karena otaknya.

“Selamat pagi!”

Suara itu membuatnya menoleh. Dan ia langsung tahu: itu dia.

Laki-laki itu berdiri dengan jaket denim dilipat di lengan, rambutnya sedikit acak seperti habis naik ojek tapi entah kenapa tetap tampak kece. Dia tersenyum lebar, matanya menyipit dan menyala.

“Embun Karisma?” tanyanya sambil menyodorkan tangan. “Saya Daun. Daun Laksana. Tapi semua orang biasanya cukup panggil saya Daun aja. Kayak... daun jatuh, gitu.”

Embun menyambut tangannya. “Saya kepala bagian pengembangan ide di sini,” katanya datar. “Ikuti saya.”

Hari-hari berikutnya diwarnai dengan suara tawa Daun yang terlalu keras untuk ukuran kantor. Ia sering berdiri di ruangannya dengan tubuh agak membungkuk, membaca ide-ide lama yang tertumpuk di rak, dan berkomentar dengan santai seperti, “Wah ini lucu banget idenya, tapi kayaknya waktu eksekusinya terlalu ‘aman’, ya. Kakak waktu itu lagi kurang tidur, ya?”

Embun hanya menoleh dengan pandangan tajam. Tapi Daun tidak gentar.

Ia mulai menjuluki Embun dengan nama-nama aneh: "Kepala Divisi Tanpa Ekspresi", "Miss No Kompromi", "Ibu Negara Semesta Ide", dan bahkan pernah—dengan santai saat rapat—memanggilnya, “Kak Embun sang Peredam Kekacauan.”

Semua orang tertawa. Bahkan CEO mereka pun terkekeh. Embun? Ia hanya menaikkan alis.

Tapi anehnya, ia tidak merasa marah.

Malam-malamnya mulai berubah. Ia masih bekerja lembur, tapi sekarang sering menemukan sisa post-it kuning di layar laptopnya bertuliskan hal-hal seperti:

“Kalau kamu nggak makan malam lagi malam ini, aku serius akan pesan pizza dan duduk di sebelah kamu sampai kamu terganggu.”

“Ide kamu barusan bikin aku mikir, kayaknya kamu pernah jadi alien yang nyasar ke bumi terus kelupaan pulang.”

Atau…

“Aku tahu kamu bakal buang post-it ini. Tapi aku tetap akan tulis satu lagi besok.”

Embun mulai menyadari sesuatu: ia menanti-nanti gangguan dari Daun.

Perasaan itu datang seperti hujan kecil yang tiba-tiba mengguyur di siang terik. Tidak deras, tapi cukup membuat langkahnya melambat.

Ia mulai menyimpan gelak tawa kecilnya setiap kali Daun membuat lelucon bodoh. Ia mulai merasa gugup saat Daun mendekat terlalu dekat, atau ketika tangan mereka tanpa sengaja bersentuhan saat memilih sticky notes di ruang meeting. Ia mulai memikirkan cara berpakaian agar “tidak terlalu kaku”—tanpa terlihat seperti sedang berusaha.

Dan itu membuatnya... takut.

Dia 30. Daun 25. Beda lima tahun bukan hal besar untuk orang lain, tapi untuk Embun, itu seperti alarm bahaya. Apalagi di dunia kerja, di mana kredibilitas dan profesionalisme adalah harga mati. Ia bukan remaja yang bisa jatuh cinta hanya karena sering dikirimi kopi.

Tapi Daun tidak pernah berhenti.

Suatu malam saat mereka lembur berdua, Daun menatapnya lama setelah ia selesai menjelaskan strategi kampanye baru.

“Kamu tahu nggak,” katanya sambil menyender di kursi. “Setiap kali kamu jelasin sesuatu, aku selalu kayak... lupa harus nafas. Karena kamu keren banget.”

Embun tertawa pendek. “Itu gombal murahan.”

“Tapi bener,” Daun masih menatap. “Aku serius, Kak. Kamu bikin aku pengen belajar terus. Pengen jadi lebih baik. Pengen... deket terus.”

Embun mengalihkan pandangannya. Hatinya seperti ruang kosong yang mulai dipenuhi embun pagi—dingin tapi perlahan menghangat.

“Daun... kita beda usia. Kamu masih... terlalu muda.”

Daun mengangguk. “Aku tahu. Tapi perasaan itu nggak pernah nanya umur, kan?”

Hari-hari berikutnya seperti medan perang batin.

Embun mulai menjaga jarak. Ia tidak menanggapi catatan post-it. Ia pergi makan siang lebih cepat. Ia menghindari pertemuan hanya berdua. Tapi anehnya, hatinya semakin berat. Seolah-olah ia kehilangan sesuatu yang membuat harinya... hidup.

Daun, yang biasanya ceria, mulai lebih diam. Ia tetap melakukan tugasnya dengan baik, tetap sopan, tetap tersenyum—tapi hanya sebatas formalitas.

Hingga suatu malam, saat hujan turun deras dan semua orang sudah pulang, Daun berdiri di depan ruangan Embun dengan payung di tangannya.

“Aku tahu kamu lagi ngelindungin dirimu. Mungkin juga ngelindungin aku,” katanya lirih. “Tapi aku di sini bukan buat main-main. Aku nggak peduli kita beda usia. Aku cuma peduli satu hal: aku suka kamu. Dan aku nggak akan berhenti nunggu, kalau kamu masih punya sedikit ruang buat aku.”

Embun menatapnya lama. Hujan di luar seperti bergema di dalam dadanya. Semua ketakutan, semua keraguan, semua luka masa lalu yang pernah membuatnya takut untuk percaya, perlahan meleleh dalam tatapan mata Daun yang jujur.

Ia berjalan mendekat. Perlahan.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, ia membiarkan seseorang melihat hatinya tanpa dinding.

Beberapa bulan kemudian, orang-orang di kantor mulai memperhatikan bahwa Embun lebih sering tersenyum. Ia tidak lagi menegur karyawan dengan dingin, melainkan dengan tawa kecil yang tulus. Daun? Masih sama cerianya, tapi kini lebih sering duduk di ruang Embun tanpa alasan, hanya untuk berdiskusi hal-hal random.

Mereka tidak pernah mengumumkan apapun.

Tapi di sudut pantry, di sebelah mesin kopi, ada satu post-it yang tidak pernah diambil oleh siapa pun. Bertuliskan:

“Kalau kamu akhirnya nerima aku, kamu bakal lihat… bahkan daun pun bisa jadi tempat embun berlabuh.”

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Embun Karisma merasa... dia pulang

Setelah malam itu, segalanya tak langsung jadi mudah.

Embun masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Perasaannya untuk Daun tak bisa ia abaikan, tapi juga tak bisa langsung diterima begitu saja. Ada terlalu banyak hal yang mengganjal di kepalanya: omongan orang, kredibilitas profesional, masa depan hubungan mereka. Ia bukan anak kuliahan yang bisa pacaran diam-diam dan berpura-pura dunia baik-baik saja.

Ia adalah kepala divisi. Di sebuah perusahaan startup yang tengah naik daun. Ironis, mengingat laki-laki yang sedang membuatnya pusing justru bernama Daun.

Tapi... Daun tidak mundur.

Ia tidak lagi menjahili Embun seperti dulu, tapi ia juga tidak menjauh. Ia tetap hadir—dengan caranya sendiri yang lebih tenang. Ia tahu batas. Ia tahu saat Embun sedang ingin ruang. Tapi ia juga tahu kapan harus bicara.

Suatu sore di ruang kerja, saat hujan rintik turun di luar jendela dan Embun tengah mengetik dengan konsentrasi penuh, Daun mendekat dengan dua cangkir kopi panas.

"Aku nggak mau ganggu,” katanya. “Cuma… kamu butuh ini.”

Embun mengangkat wajahnya. Matanya bertemu mata Daun. Diam sesaat.

“Terima kasih,” katanya pelan.

Daun tersenyum, lalu pergi.

Embun menatap cangkir itu lama sebelum akhirnya menyeruputnya. Pahit. Tapi hangat. Seperti caranya menyukai laki-laki itu: perlahan, dan tanpa sadar.

Beberapa minggu berlalu. Proyek besar baru diumumkan: kolaborasi dengan perusahaan teknologi besar di Jakarta. Dan Divisi Pengembangan Ide mendapat kepercayaan untuk menangani strategi kreatifnya.

Embun ditunjuk sebagai penanggung jawab utama. Dan atas saran CEO—dan diamini oleh semua tim—Daun dipilih menjadi salah satu asisten proyek.

“Dia cepat tangkap dan punya pendekatan unik,” kata CEO sambil melirik Embun. “Kamu juga kayaknya cocok kerja bareng dia, ya?”

Embun hanya tersenyum kaku.

Mereka mulai bekerja intens. Malam-malam brainstorming. Meeting ke luar kota. Presentasi internal. Dan di sela-sela itu, kedekatan mereka kembali tumbuh—tak lagi lewat godaan, tapi lewat kerja keras bersama, kepercayaan, dan komunikasi yang semakin dalam.

Pada suatu malam, di vila tempat tim menginap untuk retret proyek, Embun duduk sendirian di balkon, memandangi lampu kota yang berpendar di kejauhan. Daun datang membawa dua selimut.

“Kamu selalu suka tempat tinggi ya,” katanya sambil duduk di sampingnya.

Embun mengangguk. “Tempat tinggi bikin aku ngerasa kecil. Dan entah kenapa itu bikin aku tenang.”

Daun tersenyum. “Tapi buat aku… kamu yang bikin segalanya terasa besar. Maksudku… penting. Aku belum pernah seserius ini sama seseorang, Kak. Tapi kamu selalu bikin aku mikir seribu kali buat ngomong jujur.”

Embun menoleh padanya. “Karena aku lebih tua?”

“Karena kamu lebih berarti.”

Malam itu mereka tidak banyak bicara. Tapi Embun tahu, ia tak bisa lagi berpura-pura tidak tahu. Hatinya sudah sejak lama memilih.

Namun seperti semua cerita manis, konflik datang tanpa diundang.

Gosip mulai beredar di kantor. Tentang mereka. Tentang kedekatan mereka. Tentang bagaimana Embun—yang biasanya keras dan tegas—tiba-tiba memberi kelonggaran pada Daun. Tentang keberpihakan. Tentang profesionalitas.

Embun mengetahuinya dari Mira, teman terdekatnya di kantor.

“Bun… aku tahu kamu orangnya kuat,” kata Mira suatu pagi. “Tapi kamu juga manusia. Dan kantor ini kejam dalam diam. Kamu harus siap kalau nanti semua jadi sorotan.”

Embun hanya diam. Tapi malamnya, ia memanggil Daun ke ruangannya.

“Aku pikir kita perlu... rehat,” katanya pelan. “Bukan karena aku nggak suka kamu. Tapi karena aku harus jagain semuanya. Kamu. Aku. Dan pekerjaan ini.”

Daun tidak langsung menjawab. Lama. Lalu ia hanya berkata,

“Oke. Tapi aku tetap di sini. Aku nggak akan ke mana-mana.”

Beberapa minggu mereka menjauh. Embun kembali jadi dirinya yang dulu—dingin, fokus, tak tergoyahkan. Tapi setiap malam, saat kantor mulai sepi dan layar laptopnya menyala sendiri, ia merasa ada ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh apa pun. Ia merindukan Daun. Bukan hanya karena perhatiannya, tapi karena caranya memahami tanpa banyak bertanya.

Di sisi lain, Daun tetap hadir. Ia bekerja seperti biasa. Tak satu pun rekan kerja bisa menebak apa yang terjadi. Tapi hanya Embun yang tahu, di balik semua senyumnya, Daun sedang menunggu.

Sampai suatu hari, proyek besar mereka menang penghargaan nasional. CEO memanggil seluruh tim, membagikan apresiasi, dan menyebut Embun serta Daun sebagai dua pilar sukses proyek tersebut.

Semua orang bertepuk tangan. Tapi Embun tahu: yang paling berharga bukan penghargaannya, tapi perjalanan yang mereka tempuh untuk sampai ke sana.

Malam itu, setelah perayaan kecil-kecilan di kantor, Embun memanggil Daun ke atap gedung.

Hujan turun pelan. Lagi-lagi. Seperti malam pertama mereka bicara dari hati ke hati.

“Aku capek pura-pura kuat,” kata Embun pelan. “Aku capek berpura-pura nggak ngerasa apa-apa. Padahal tiap hari aku nunggu... nunggu kamu nyapa, nunggu kamu godain, nunggu kamu minum kopi di ruanganku tanpa alasan.”

Daun menatapnya. Wajahnya teduh. Lalu ia berkata,

“Aku di sini, Kak. Dan aku nggak pernah pergi. Cuma nunggu kamu buka pintu lagi.”

Embun melangkah maju. Tangannya menggenggam lengan Daun.

“Aku nggak bisa janji semua akan mudah,” katanya. “Tapi kalau kamu masih mau... kita bisa mulai. Pelan-pelan.”

Daun mengangguk. Lalu memeluknya. Hujan mengguyur pelan, seperti merestui dua hati yang akhirnya saling menguatkan.

Sejak hari itu, mereka tak sembunyi lagi. Mereka tidak mengumumkan hubungan mereka, tapi juga tidak menutupinya. Mereka bekerja profesional, saling melengkapi, dan tetap menjadi diri masing-masing. Kantor pun akhirnya terbiasa. Mereka tak bisa menyangkal bahwa Embun dan Daun adalah tim paling solid di perusahaan.

Dan di suatu sore ketika Embun tengah menyiapkan presentasi untuk investor, ia menemukan sebuah post-it kecil di bawah mouse-nya. Tulisannya:

“Kamu tahu kenapa aku namanya Daun? Karena aku diciptakan untuk meneduhkan. Dan kamu... kamu adalah Embun yang selalu jatuh di tempatku setiap pagi.”

Embun tersenyum. Kali ini, ia tidak membuang catatan itu.

Ia menempelkannya di dinding dekat layarnya—di antara semua ide besar, rencana masa depan, dan strategi kreatif. Karena ia tahu, di balik semua pencapaian hidupnya, Daun adalah bagian terbaik yang tak pernah ia rencanakan.

Tapi kini, jadi yang paling ia syukuri.

Embun mengerjapkan mata dengan malas ketika notifikasi pesan berbunyi di ponselnya, pukul 4.45 pagi. Satu pesan dari Daun:

“Pakai jaket. Aku jemput 15 menit lagi. Jangan banyak tanya.”

Ia sempat menghela napas. Antara malas dan penasaran. Tapi kemudian, seperti tubuhnya sudah mengerti kode, ia bangkit dan mengenakan jaket birunya.

Benar saja, tepat pukul 5.00 pagi, mobil Daun sudah terparkir di depan rumahnya. Wajah laki-laki itu cerah seperti biasa—tapi matanya punya sesuatu yang berbeda pagi ini. Lebih tenang. Lebih dalam.

“Ini gila, tahu gak?” kata Embun sambil duduk di kursi penumpang.

“Yang gila itu cinta, Bun,” jawab Daun, membuat Embun mendesah, setengah tertawa.

Mereka meluncur ke arah taman kota yang jarang dikunjungi. Udara pagi masih segar dan sunyi. Burung belum banyak berkicau. Dan matahari masih malu-malu memanjat ufuk.

Tapi saat mereka sampai di sana, Embun terdiam.

Taman itu telah berubah.

Di tengah rerumputan hijau yang masih basah oleh embun pagi, ada satu sudut yang didekor penuh daun-daun yang dirangkai membentuk lingkaran. Lampu-lampu kecil tergantung di dahan pohon, berpendar lembut. Sebuah meja kecil dengan dua kursi ditata rapi. Dan di tengahnya, satu vas bening berisi bunga lili putih.

Embun melangkah pelan, seperti takut merusak keindahan yang ada.

“Daun… kamu…”

Daun berjalan mendekat. “Ini taman tempat pertama kali aku lihat kamu tersenyum, waktu kita brainstorming luar kantor dulu. Waktu itu kamu ngelucu tanpa sadar, dan semua orang ketawa. Tapi yang paling aku ingat... kamu juga ikut ketawa. Dan aku tahu… aku pengen lihat senyuman itu tiap hari.”

Embun tak bisa bicara. Dadanya sesak oleh haru yang hangat.

“Aku tahu, kita beda usia. Aku tahu kamu udah terlalu sering mikirin ‘apa kata orang’. Tapi hari ini aku nggak mau mikirin siapa-siapa. Aku cuma mau ngomong…”

Daun menggenggam tangan Embun, menatap matanya dalam-dalam.

“Aku sayang kamu, Bun. Sayang banget. Dan aku akan terus belajar, terus tumbuh, terus jadi dewasa—bareng kamu. Kalau kamu mau… kita jalani ini sama-sama.”

Embun menahan air mata. Lalu ia tersenyum. Senyum yang hanya Daun tahu artinya.

Ia mengangguk pelan.

“Aku juga sayang kamu, Daun,” bisiknya. “Terima kasih... udah datang ke hidupku kayak matahari yang datang setelah hujan. Tenang. Hangat. Dan penuh harapan.”

Mereka berdiri di bawah langit yang mulai memerah. Matahari terbit perlahan, menyapu kabut tipis yang menggantung di taman. Seolah ikut menyaksikan dua hati yang akhirnya saling menerima.

Di tengah hening pagi, hanya ada mereka berdua. Embun dan Daun. Dua nama alam, yang akhirnya tahu—mereka diciptakan untuk saling menemukan

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
FIRST SNOW
Devi Indah Pujiana
Cerpen
Embun untuk Daun
Ningningluvvzz
Novel
SUN FLOWER
gtrara
Skrip Film
JANJI HATI AHMAD
Aries Supriady
Novel
Gold
#Berhentidikamu
Mizan Publishing
Flash
Pelangi di Ujung Senja
Ika Karisma
Novel
Gold
THE VISUAL ART OF LOVE
Mizan Publishing
Novel
Tersurat Takdir
Firdha Ayutia
Flash
Bronze
Sesuatu yang Bernama RASA
Aizawa
Cerpen
Gara-Gara Kondangan
anaibeterbangan
Novel
Bronze
Kuat Untuk Sebuah Patah
Little Zombie
Skrip Film
UNDERAGE MARRIAGE (SERIES SCRIPT)
Ika Karisma
Cerpen
Bronze
Janji di ujung senja
Askia
Novel
Bau Hujan
Dita Sofyani
Novel
When I Fall in Love
Fani Fujisaki
Rekomendasi
Cerpen
Embun untuk Daun
Ningningluvvzz
Cerpen
ANTARA KITA
Ningningluvvzz
Cerpen
Rinai Hujan
Ningningluvvzz
Novel
I Became The Mother of Duke Family
Ningningluvvzz