Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Elysera Surga yang Terkurung
3
Suka
19
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Elysera adalah dunia yang sempurna di permukaan. Langit biru, angin membawa harum bunga, dan sungai-sungai mengalir dengan kejernihan yang menenangkan. Penduduknya, meski selalu tersenyum, Dunia ini adalah ciptaan Aziel, seorang malaikat yang diutus oleh sang Pencipta untuk menciptakan surga di muka bumi. Namun, keindahan Elysera bukan tanpa harga. Untuk menjaga kedamaian, Aziel menetapkan aturan yang ketat. Setiap penduduk harus hidup dengan kejujuran, saling membantu, dan mematuhi batasan yang ia tetapkan.

Aziel adalah simbol kebaikan tanpa cela, atau setidaknya begitulah ia ingin dipandang. Sayap putihnya berkilau seperti berlian, memantulkan cahaya yang tak tertandingi. Aziel dulunya adalah malaikat kecil yang polos dan percaya akan segala keindahan dunia. Saat dunia pertama yang ia jaga hancur karena konflik, ia bersumpah untuk tidak membiarkan kehancuran yang sama terjadi lagi. Sumpah itu menjadi beban, membentuknya menjadi sosok pelindung yang tak kenal kompromi.

Di sisi lain, Nerion, iblis yang dulunya juga seorang malaikat, adalah teman seperjuangan Aziel sebelum jatuh ke kegelapan. Ia diasingkan karena mempertanyakan aturan sang Pencipta, menganggap bahwa tanpa pilihan, kebaikan hanyalah tirani yang dibungkus indah. Sekarang, Nerion melangkah di bayang-bayang Elysera, menguji kerapuhan dunia itu dengan bisikan-bisikan kebebasan.

Di sebuah desa kecil, Riot berjuang merawat ibunya yang sakit. Setiap hari, ia bekerja keras, memanen hasil kebun yang hanya cukup untuk makan sehari. Namun, ketika ibunya mulai batuk darah, Riot terpaksa mencuri buah dari pohon yang dijaga Aziel. Pohon itu dianggap suci, sumber kehidupan Elysera, dan mencurinya adalah dosa besar, tetapi hidup ibunya lebih penting dari segalanya. Ketika Aziel menemukannya, ia tidak hanya melihat seorang pencuri. Ia melihat seorang anak yang putus asa.

Hari itu, Aziel menemukan Riot bersembunyi dengan buah di tangan. Wajah anak itu ketakutan, tetapi matanya penuh perlawanan.

“Kenapa kau mencuri?” tanya Aziel dengan suara dingin.

“Aku hanya ingin ibuku hidup,” jawab Riot, suaranya bergetar. “Apakah itu salah?”

Aziel terdiam, tetapi aturan tetaplah aturan. Dengan berat hati, ia menghukum Riot dengan alasan larangan memetik hasil kebun selama tiga bulan. Keputusan itu, meskipun tampak adil, menghancurkan hati Riot.

Di sisi lain Elysera, Nerion menyaksikan semuanya dari kejauhan. Ia mengamati Aziel seperti seniman memandang kanvasnya. “Kau masih belum belajar, Aziel,” gumamnya. “Dunia yang kau bangun terlalu rapuh.”

Nerion memutuskan untuk mendekati Elysera, bukan untuk menghancurkannya, tetapi untuk menunjukkan kepada Aziel bahwa kebaikan yang dipaksakan tidak akan pernah bertahan. Ia menyusup ke dalam pikiran beberapa penduduk, membisikkan gagasan kebebasan. Ia berbicara kepada petani yang bekerja tanpa henti, kepada anak-anak yang takut akan kesalahan kecil. “Apa kau bahagia hidup seperti ini? Apakah ini dunia yang kau inginkan?”

Aziel mulai merasakan tekanan. Ia mengamati perubahan sikap penduduk bisikan-bisikan di malam hari, tatapan penuh pertanyaan. Namun, ia tetap teguh. Ia percaya bahwa aturan adalah satu-satunya cara menjaga Elysera dari kehancuran.

Ketika Nerion muncul di sisi lembah, Aziel sebenarnya telah menduga kedatangannya. Ia tahu bahwa Elysera terlalu damai untuk luput dari perhatian temannya yang dulu. “Kau tahu, Aziel,” kata Nerion sambil menunjuk para penduduk yang sibuk bekerja. “Mereka hidup seperti mesin, mengikuti aturanmu tanpa bertanya. Apa kau yakin ini dunia yang kau inginkan?”

Aziel tidak menoleh. “Aku tahu kau akan datang, Nerion. Kau selalu mencari celah untuk menghasutku.”

“Bukan menghasut,” jawab Nerion sambil melangkah mendekat. “Aku hanya ingin kau melihat kebenaran. Dunia ini bukanlah surga, Aziel. Ini penjara yang kau hiasi dengan cahaya.”

Aziel menghela napas. “Aku melindungi mereka dari kehancuran. Tanpa aturan, mereka akan saling menghancurkan.”

“Tapi apakah mereka bahagia?” balas Nerion. “Apakah itu yang mereka inginkan, atau hanya yang kau paksakan?”

Kejadian hukuman Riot menjadi percikan pertama pemberontakan kecil. Penduduk mulai mempertanyakan aturan Aziel, Mengapa seorang anak yang mencoba menyelamatkan ibunya harus dihukum? Riot, meski marah, menemukan kekuatan dalam penderitaannya. Ia menjadi suara kecil yang menantang sistem. “Kita layak untuk hidup tanpa rasa takut,” katanya kepada penduduk desa.

Aziel menyadari perubahan ini, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Ia fokus pada tugasnya menjaga kedamaian, bahkan jika itu berarti memadamkan api kecil pemberontakan. Namun, keraguannya tumbuh. Malam-malamnya dihabiskan di tepi danau, memandang bayangan dirinya di air. Suatu malam, ia melithat sesuatu yang mengerikan: sayapnya mulai menghitam di ujung-ujungnya. Itu adalah tanda bahwa ia tidak lagi murni, bahwa ia telah kehilangan jalan yang benar.

Tidak mungkin…” bisiknya. Dari balik pohon, Nerion muncul, menyeringai. “Lihat dirimu sekarang, Aziel. Apa kau masih berpikir kau lebih baik dariku?”

“Aku tidak sepertimu!” Aziel membalas. “Aku melakukan ini untuk kebaikan.”

“Kebaikan?” Nerion mendekat. “Atau egomu? Kau takut menjadi seperti aku, sehingga kau memaksakan kebenaranmu kepada mereka. Mereka tak lagi melihatmu sebagai pelindung, Aziel. Mereka melihatmu sebagai penguasa.

Di tengah keterpurukannya, Riot datang. Anak itu, meskipun masih marah, memiliki keberanian untuk berbicara. “Aziel,” katanya, “kenapa kau tidak melindungi kami lagi? Dulu aku pikir kau malaikat, tapi sekarang… kau membuat kami takut.”Kata-kata itu menusuk Aziel lebih dalam daripada panah mana pun. Ia menyadari bahwa ia telah gagal, bukan hanya sebagai pelindung tapi juga sebagai sosok yang diandalkan.

Aziel akhirnya menemui Nerion lagi. Kali ini, ia tidak lagi penuh amarah, tetapi membawa pertanyaan. “Jika aturan tidak sempurna, lalu apa yang harus ku lakukan?” tanya Aziel.

Nerion tersenyum, senyum yang penuh makna. “Kau harus memberi mereka kebebasan, Aziel. Biarkan mereka memilih jalan mereka sendiri, bahkan jika itu berarti mereka membuat kesalahan.”

“Tapi aku takut,” aku Aziel. “Tanpa aturan, dunia bisa hancur.”

“Dan dengan aturan, kau menghancurkan jiwa mereka,” jawab Nerion. “Pilihan ada di tanganmu, tetapi ingat ini: kebaikan sejati hanya bermakna jika datang dari hati, bukan paksaan.”

Pertemuan itu menjadi titik balik bagi Aziel. Ia memutuskan untuk mengambil risiko yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.

Di lapangan utama Elysera, Aziel berdiri di depan seluruh penduduk. Wajahnya tidak lagi penuh otoritas, tetapi kerendahan hati. Dengan suara yang gemetar, ia berkata, “Mulai hari ini, Elysera adalah milik kalian. Aku tidak lagi akan menjadi penguasa kalian, tetapi teman kalian. Kalian bebas menentukan aturan kalian sendiri.” Penduduk awalnya bingung, bahkan takut. Namun, perlahan, mereka mulai memahami arti dari kata-kata Aziel. Mereka mulai membangun komunitas dengan aturan yang mereka ciptakan sendiri, bukan karena paksaan, tetapi karena keinginan untuk hidup bersama dengan damai.

Riot, yang menjadi simbol dari perubahan ini, memimpin upaya untuk membuat Elysera lebih manusiawi. Ia mengajarkan kepada penduduk bahwa kebebasan adalah tanggung jawab, bukan kebebasan untuk merusak, tetapi kebebasan untuk menciptakan. Aziel meninggalkan Elysera dengan hati yang berat tetapi penuh harapan. Ia tahu bahwa ia tidak lagi dibutuhkan di sana. Sebelum pergi, ia mendekati Riot dan berlutut di hadapannya. “Kau telah mengajarkan sesuatu yang tidak bisa ku pelajari sendiri. Terima kasih, Riot.”

Riot tersenyum. “Jaga dirimu, Aziel. Kau juga layak menemukan kebahagiaan.”

Nerion, yang menyaksikan dari kejauhan, tidak lagi memiliki niat untuk mengganggu Elysera. Ia tahu bahwa dunia itu sekarang memiliki kesempatan untuk berkembang tanpa intervensi. Dengan senyum tipis, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Akhirnya, kau mengerti, Aziel.” Aziel dan Nerion berpisah untuk terakhir kalinya. Aziel pergi mencari pemahaman baru tentang kebaikan, sementara Nerion kembali ke bayang-bayang, puas bahwa teman lamanya telah menemukan jalan yang benar.

Elysera tidak lagi sempurna, tetapi justru di ketidaksempurnaan itu, penduduk menemukan kebahagiaan yang sejati. Mereka belajar dari kesalahan, tumbuh dari kegagalan, dan menciptakan dunia yang benar-benar milik mereka sendiri.

Aziel, dari kejauhan, mengawasi dengan senyum di wajahnya. Ia tahu bahwa perjalanan barunya baru saja dimulai, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa ringan. Ia tidak lagi terbelenggu oleh aturan, tetapi terinspirasi oleh kemungkinan.

Di antara bayangan, Nerion tersenyum, lalu menghilang, meninggalkan dunia yang ia tahu tidak lagi membutuhkan kehadirannya. Elysera tetap ada, bukan sebagai surga yang dipaksakan, tetapi sebagai dunia yang hidup tempat di mana kebebasan dan kebaikan menemukan keseimbangannya sendiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Elysera Surga yang Terkurung
go han
Cerpen
Seperti mati, hidup juga punya banyak alasan
tseasalt
Cerpen
Obral Obrol Tetangga
Lovaerina
Cerpen
Bronze
Pekerja Kontrak
Karlia Za
Cerpen
Pesawat Kertas "Surat Kasih Untuk Ayah"
Siska Amelia
Cerpen
Sitta dan Warna
Rewinur Alifianda Hera Umarul
Cerpen
Titik Jenuh
Rifa Asyifa
Cerpen
Bronze
Conversation with Me
hyu
Cerpen
Bronze
Tidak Benar Benar Terlihat
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Rumah Tanpa Pagar & Pintu
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Pietist
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Oh, Nani, Mastrubasi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Rekomendasi
Cerpen
Elysera Surga yang Terkurung
go han
Cerpen
Epilo Melodi Yang Menyentu Surga
go han
Cerpen
Sigod dan Rahasia Kebunnya, Ketika Tanaman Berbicara
go han